“Maaf,” lelaki itu terus saja menggumamkan kata tersebut di hadapanku, tak bosan-bosannya hingga telingaku mulai menebal. Aku masih enggan menaikkan kelopak mataku untuk menatapnya. Percuma, hanya membuatku lemah di hadapannya dengan menjatuhkan air mata yang sengaja kuseka.
Lelaki itu semakin kuat menggenggam tanganku. Memaksaku untuk menatap ke arahnya.
“Apakah aku tak pantas mendapatkan permintaan maaf darimu?”
Kata-kata itu membuat kelopak mataku sontak menaik. Melihatnya samar karena sekaan air mata yang menumpuk pada kelopak mataku. Mulai terjatuh membentuk aliran pada pipiku.
“Kau kira, kau pantas mendapatkan maaf dariku?”
Ia menyeka peluh di dahi. Melihatku dengan cemas. Ingin membalas perkataanku, namun takut. Ia terus menatapku seperti menghujamkan kata ‘maaf’.
“Aku yang salah,” ucapku tiba-tiba yang kemudian langsung menundukkan kepalaku. Sepertinya aku bisa mengetahui raut apa yang dikeluarkan oleh lelaki yang berada di hadapanku ini. “Maaf. Aku egois.”
Aku memberanikan diri untuk mendongakkan kepalaku. Secercah senyuman sudah menyambutku dengan hangat.
“Kita makhluk yang bernama manusia. Wajar memiliki rasa egois sepertimu, atau memiliki kesalahan sepertiku. Jadi, kita deal?”
Ia mengacungkan jari kelingkingnya, aku ikut mengacungkan jari kelingkingku dan mengaitkan kedua jari kami. Menyudahi semua beban hati yang sedari tadi kutahan—mungkin bukan hanya aku, tapi kami.
Lelaki itu semakin kuat menggenggam tanganku. Memaksaku untuk menatap ke arahnya.
“Apakah aku tak pantas mendapatkan permintaan maaf darimu?”
Kata-kata itu membuat kelopak mataku sontak menaik. Melihatnya samar karena sekaan air mata yang menumpuk pada kelopak mataku. Mulai terjatuh membentuk aliran pada pipiku.
“Kau kira, kau pantas mendapatkan maaf dariku?”
Ia menyeka peluh di dahi. Melihatku dengan cemas. Ingin membalas perkataanku, namun takut. Ia terus menatapku seperti menghujamkan kata ‘maaf’.
“Aku yang salah,” ucapku tiba-tiba yang kemudian langsung menundukkan kepalaku. Sepertinya aku bisa mengetahui raut apa yang dikeluarkan oleh lelaki yang berada di hadapanku ini. “Maaf. Aku egois.”
Aku memberanikan diri untuk mendongakkan kepalaku. Secercah senyuman sudah menyambutku dengan hangat.
“Kita makhluk yang bernama manusia. Wajar memiliki rasa egois sepertimu, atau memiliki kesalahan sepertiku. Jadi, kita deal?”
Ia mengacungkan jari kelingkingnya, aku ikut mengacungkan jari kelingkingku dan mengaitkan kedua jari kami. Menyudahi semua beban hati yang sedari tadi kutahan—mungkin bukan hanya aku, tapi kami.
0 comments:
Post a Comment