Diikutkan Dalam Lomba Cerpen ‘The Chronicles of Audy: 4/4’
“Au, SBMPTN milih apa?” tanya Missy ketika Audy lagi asyik memakan bekalnya. Tapi hasratnya melarut gara-gara Missy dengan tiba-tibanya bertanya seperti itu padanya.
Audy memutar bola matanya. “Sy, bisa nggak sih buat nggak ngomongin itu dulu? Ngerusak mood makan gue aja,” balas Audy dengan raut sebal. Padahal sehabis itu dia tetap menyuap bekalnya, tapi rasanya berbeda karena nikmat makanannya sudah menghilang.
“Lo tetep milih kedokteran, kan?”
Sekali lagi Audy melirik ke arah Missy. Entah kenapa rasanya kok nyesek banget kalau lagi ngomongin masalah itu. Belum lagi dia juga lagi dilema harus memilih apa karena sebentar lagi ujian SBMPTN akan dilaksanakan.
Dilema? Oh! Audy nggak perlu merasakannya karena orang tuanya—oh bukan, tapi KELUARGANYA—sudah dan pasti menyuruh Audy untuk memilih jurusan kedokteran yang notabene IQ siswanya pasti di atas rata-rata.
“Yah, mau gimana lagi. Itulah kemauan keluarga gue. Emangnya gue bisa apa? Ngelawan?” Missy cuma bisa diam melihat raut wajah lelah Audy yang akhir-akhir ini sering ngalor-ngidul di tempat les. “Gue cuma takut nggak bisa kuliah, Sy.” Tiba-tiba mata Audy terasa panas. Rasanya ia kepengin menangis ketika keinginannya untuk kuliah di luar kedokteran ditolak mentah-mentah oleh keluarganya.
***
Belum sempat melepas lelah dari tempat les, Audy dikejutkan oleh Regan yang sedang duduk manis di depan laptopnya. “Au, Kakak udah daftarin ujian SBMPTN kamu.”
“WHAT?!” Audy langsung menghampiri Regan dan melihat layar laptop yang terpampang kartu peserta dirinya. Rasanya kaki Audy mau putus melihat pilihan jurusannya. KEDOKTERAN TIGA-TIGANYA! “Kok Kakak nggak bilang ke Audy dulu sih?!”
“WHAT?!” Audy langsung menghampiri Regan dan melihat layar laptop yang terpampang kartu peserta dirinya. Rasanya kaki Audy mau putus melihat pilihan jurusannya. KEDOKTERAN TIGA-TIGANYA! “Kok Kakak nggak bilang ke Audy dulu sih?!”
“Kakak tadi disuruh Mama cepet-cepet buat ngedaftarin kamu. Lagian udah fix kedokteran, kan?”
Audy merasakan dadanya begitu sesak. Pantas saja ketika memasuki rumahnya ini dia sudah merasakan hawa yang aneh. Jadi ini penyebabnya?
“ARGH!” Tiba-tiba Audy histeris, mengagetkan Regan dan juga kedua orang tuanya yang kebetulan berada dekat di ruang keluarga. “TERSERAH KALIAN, DEH! OH YA! EMANG TERSERAH KALIAN! PERCUMA JUGA KALO AUDY MINTA JURUSAN YANG LAIN!” Audy menahan air matanya agar tidak mengalir di pipinya. “KARENA NGGAK BAKAL ADA YANG MAU DENGERIN!”
Audy langsung berlari ke tangga menuju kamarnya. Dia menutup pintunya dengan keras dan menguncinya dengan rapat. Dia langsung melompat ke kasur dan menutup wajahnya dengan bantal, menangis dalam kehampaan malam tanpa bintang.
***
Sedih rasanya mengingat kejadian kemarin. Sebenarnya, bukan hal itu yang membuatnya sedih, tapi sudah dari awal dia tidak percaya diri dengan kemampuannya. Belum lagi hasil TO miliknya masih jauh sekali untuk menggapai ‘cita-cita keluarganya’ tersebut.
“Audy sayang?” panggil mamanya di balik pintu. “Mama bawain martabak kesukaan kamu, lho. Mau nggak?”
Audy hendak menolak, tapi apa daya dengan perut konsernya tersebut. Akhirnya dia beranjak dari kasur dan membukakan pintu untuk mamanya. “Apaan sih, Ma? Kayak mau ke rumah mertua aja pake bawa martabak segala,” Audy mengambil piring martabak dari tangan mamanya dan membawanya ke kasur. Mama duduk di depan Audy selagi dia melahap martabaknya.
“Au, jangan ngunyah mulu ya? Dengerin Mama.” Audy terdiam sejenak, dia tidak berani menatap mamanya. Dia tahu bahwa hal ini akan terjadi. “Mama nggak maksa kamu, Nak. Kita semua nggak maksa kamu. Kami hanya ingin membantu kamu, karena kami tau sebenarnya kamu ingin ke dunia sana dan punya bakat di sana, hanya saja—”
“Tapi Audy nggak pinter, Ma!”
“Kalo kamu potong omongan Mama, martabak kamu Mama ambil satu.” Audy kembali terdiam, menjauhkan piringnya dari jangkauan mamanya. “Cobalah kamu belajarnya lebih serius, jangan main-main. Kurang-kurangin tuh nonton animenya,” Mama melirik ke arah Audy dengan jutek. Audy hanya bisa mesem-mesem malu. “Mama yakin kamu bisa. Kamu itu sebenernya pinter, tapi kebanyakan main jadinya ya begini.”
“Satu lagi, Ma!” Tiba-tiba Regan sudah berada di depan pintunya. Bukan hanya Regan, tapi papanya juga! “Dia pacaran mulu!”
“Apaan sih, Kak!” Pipi Audy langsung bersemu merah.
“Kakakmu ini kan calon arsitek, Au,” papanya ikut menimbrung. “Jadi kalau mau bikin rumah, ya tinggal ke kakakmu ini aja. Nah, kalo ada yang sakit, kita tinggal ke kamu. Jadinya kan enak.” Audy mengembuskan napasnya yang sedari malam terasa sesak. Ternyata dia baru sadar bahwa keluarganya lebih peduli dibandingkan dirinya sendiri. “Tapi ingat Au, ingat pesan Papa. Kalau kamu mau jadi dokter, jangan karena uang, tapi karena kamu ingin menyembuhkan orang lain. Tertanda, Papa Golden Ways.”
Semua yang berada di kamar Audy tertawa dengan hangatnya.
“Lagian dari kecil kamu ada bakat jadi dokter kok!” Regan angkat suara lagi. “Kamu inget nggak dulu pernah ngebelek ikan yang abis dibeli sama Mama?”
“Iya! Iya! Mama inget! Mama kira itu darah kamu, nggak taunya darah ikan.” Mama tersenyum lebar. “Mama kaget lho kalo abis itu kamu nggak nangis, padahal Regan aja kalo ngeliat darah dikit langsung kejang-kejang.”
“Yee! Kok Mama jadi ngomongin Regan, sih?”
Audy tersenyum puas. Sangat puas. Akhirnya dia mendapatkan jawaban yang selama ini dia pikir terlalu menyesakkan. Tapi ternyata setelah mendengarkannya, ini semua justru terlalu melegakan.
Mereka peduli dengan Audy. Mereka menyayangi Audy. Dan tentu saja, Audy sayang dengan mereka semua.
Views: