“Gue mau cabut!”
Anka langsung mengambil kunci motor dan helmnya. Dia nggak peduli dengan Wina yang terus saja berteriak di belakangnya. Anka mengambil langkah lebar untuk keluar dari rumah kontrakan itu.
“Anka! Kamu mau ke mana?!” teriak Wina yang menghampiri Anka, mencoba mencegah adiknya itu untuk pergi. Dia langsung mencengkram tangan Anka. “Kita belom selesai ngomong, Ka!”
Anka sedikit menaikkan sudut bibirnya. Dia melirik ke arah Wina. “Tapi menurut gue ini semua udah selesai. Lo boleh ikut mereka, tapi gue enggak!”
Anka langsung melepaskan cengkraman Wina dan segera pergi dari rumah kontrakan itu. Kali ini Wina nggak mengejarnya lagi. Dia tahu Anka pasti marah banget. Tapi ini dilakukannya untuk kepentingan mereka berdua.
Wina merasa ada yang lepas setelah melihat Anka mengendarai motornya menjauh dari rumah kontrakan itu.
Anka melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Dia nggak peduli dengan teriakan orang-orang akibat cara mengemudi motornya yang kelewat asal. Dia berharap rasa sakit hatinya sekarang ikut terlewat dengan arus jalanan. Anka menghela napas dan sejenak menutup mata.
Dan tabrakan itu pun terjadi.
Wina setengah berlari menuju ruang UGD. Tangannya cukup gemetar memegang ponsel. Ponselnya itu digenggam terus ketika seseorang mengabarkan bahwa adik perempuannya itu mengalami kecelakaan.
Wina hendak menghambur masuk ke dalam ruang UGD sebelum seorang perawat keluar dari ruangan tersebut.
“Sus, adik saya... adik saya di mana?!” Terdengar nada gemetar dari suara Wina. Perawat itu mencoba menenangkan Wina.
“Maaf, adik anda siapa ya?”
“Adik saya yang baru aja kecelakaan motor! Adik saya di mana, Sus?!” Wina masih histeris karena hatinya cukup nggak tenang.
“Mari saya antarkan. Mbak tenang dulu ya, adik mbak ada di dalam,” kata perawat itu sambil mengantarkan Wina ke dalam ruang UGD.
Wina menemukan Anka dengan tubuh penuh balutan perban. Ada darah yang merembes dalam perban itu. Adiknya benar-benar kelihatan nggak berdaya.
“Alhamdulillah nggak ada yang terlalu serius dari luka adik mbak. Walaupun ada beberapa bagian tulang yang retak. Nggak disangka struktur tulang saudari ini cukup kuat, padahal tadi dia sempat terpental setelah tertabrak mobil pikap,” jelas perawat tersebut. “Untuk pemulihannya, adik mbak butuh dirawat di sini,” lanjutnya.
Wina menoleh ke arah perawat tersebut. “Berapa lama buat di rawat di sini?”
“Tergantung seberapa cepat pulihnya adik mbak.”
Wina menghela napas. “Tolong urus semuanya.”
Anka terbangun dan merasakan seluruh tubuhnya seperti habis dijotosi berkali-kali, bahkan lebih parah. Kepalanya terasa pening ketika pertama kali membuka mata dan melihat cahaya lampu di langit-langit kamar. Dia juga merasakan kerongkongannya yang kering.
Ketika Anka menoleh ke arah samping, dia mendapati Wina dengan kepalanya yang tersandar di atas ranjang. Tiba-tiba kejadian yang hampir merenggut nyawanya tadi terlintas di otaknya. Kenapa gue nggak mati aja sih?
Anka melupakan hasrat hausnya dan langsung menolehkan kepalanya ke arah samping kiri. Sepertinya dia berada di ruangan dengan tiga bilik karena terdapat hordeng yang menutupi ranjangnya.
Anka dikagetkan dengan kedua mata di balik hordeng! Dia ingin berteriak, namun percuma, pita suaranya sedang habis. Akhirnya dia hanya menutup mata dan mencoba tidak mengingat apa yang dia lihat barusan.
Akhirnya Anka kembali tertidur dengan rasa lelah yang luar biasa di tubuhnya.
Karena keberisikan yang dilakukan oleh Wina, akhirnya Anka terbangun dari tidurnya. Wina terperanjat ketika mengetahui akhirnya adiknya bangun juga dari pingsannya. Padahal semalam dia sudah siuman.
“Alhamdulillah akhirnya kamu bangun juga,” Wina langsung menggenggam tangan Anka. “Kakak nggak tau harus ngapain kalo kamu sampe lewat, Ka.”
Oh? Dia ngedoain gue lewat? Fine.
Anka hanya menghela napas. Kemudian dia melirik ke arah botol mineral yang ada di atas meja. Wina langsung tahu apa yang diinginkan oleh adiknya tersebut.
“Sebentar, sebentar,” Wina berjalan memutari ranjang menuju meja tersebut, kemudian membuka botol. Nggak lupa dia menyiapkan sedotan juga.
Anka dibantu Wina untuk sedikit terduduk, kemudian membantunya untuk meminum air mineral tersebut. Setelah itu, Anka kembali ke posisi tidur.
“Mau kakak panggilin dokter?”
Anka hanya menggeleng, menjauhkan tatapannya ke arah lain.
Tiba-tiba Anka merasakan tangannya digenggam lagi. Tapi Anka enggan menoleh.
“Anka, kakak mau kamu lebih hati-hati setelah kejadian ini. Kakak nggak mau kamu kenapa-napa. Tolong balik ke sifat kamu yang dulu, Ka. Kakak kangen sama kamu yang dulu,” Terdengar nada sedih dari suara Wina.
“Kakak balik aja ke rumah. Gue bisa di sini sendirian,” kata Anka dengan begitu nggak pedulinya. “Oh ya kalo mau ke sini lagi, tolong bawain hp gue yang satunya lagi, sama charger.”
Wina menghela napasnya. Baiklah, kali ini dia akan menuruti permintaan Anka. Lagi pula semua ini bisa terjadi karena dirinya yang nggak mau mencegah kepergian Anka.
Wina mengambil ponsel beserta dompetnya di atas meja. Kemudian dia berpamitan dengan Anka.
“Ya udah, kakak pulang dulu. Kalo ada apa-apa, pencet bel di dinding belakang ranjang kamu ya. Nanti kakak balik lagi.”
Wina menghilang di balik pintu. Dan kini ruangan itu kembali menyepi. Padahal sekarang sudah tepat jam delapan pagi. Tiba-tiba Anka teringat dengan mata yang muncul di balik hordeng tadi malam.
Anka langsung mengambil remot tv di atas meja dengan susah payah. Akhirnya dia menyalakannya dengan sengaja memperbesar volumenya agar pikirannya tentang tadi bisa menghilang.
“Bisa ngecilin volume suaranya nggak sih?”
Anka menoleh dan mendapat seseorang yang bermata sama dengan semalam yang dia lihat muncul setengah badan di balik hordeng. Entah Anka dapat tenaga dari mana ketika remot tv yang digenggamnya tadi sudah terlempar ke arah kepala orang itu.
Orang itu meringis, Anka juga setengah berteriak.
“Nggak ada benda yang lebih empuk buat ditimpuk ke gue apa?”
Anka terdiam sejenak dan memandangi cowok yang kini sudah benar-benar sempurna bentuknya—nggak setengah badan lagi ketika badan bagian bawahnya tertutup hordeng tadi.
“Lo... manusia?”
“Emang badan gue keliatan ijo kayak buto ijo atau hulk?”
Anka langsung merasa lebih tenang. Ternyata dia manusia. “Lo lebih mirip si buta dari goa hantu.” Anka menatap pergelangan tangan cowok itu yang juga diinfus sama sepertinya. “Balikin remotnya.”
“Kenapa si buta dari goa hantu?” Cowok itu mengambil remot yang berada di lantai. Tapi dia nggak segera memberikannya pada Anka.
Anka menoleh malas. Kemudian dia hanya menengadahkan tangannya untuk meminta remot itu kembali. Tapi cowok itu justru diam saja.
Kali ini Anka menoleh ke arah cowok itu yang masih menatapnya datar. Matanya menyiratkan cepetan-balikin-remot-gue.
“Jawab dulu pertanyaan gue.”
Anka memutar bola matanya. Memangnya itu penting?
Dia mencoba membalikkan badannya membelakangi cowok itu dengan susah payah. Dia sedikit meringis ketika badannya tiba-tiba digerakkan seperti itu.
“Gue Andre.”
Terus gue peduli?
Anka nggak kembali membalikkan tubuhnya. Untuk menggeser badannya sekidit pun dia merasa kesakitan.
“Oke. Tanpa nama. Kenapa lo bisa ada di rumah sakit ini?”
Bawel.
“Masih nggak mau ngomong juga?”
Ya terus?
“Gue denger pembicaraan lo sama kakak lo,” Andre mencoba untuk memancing.
“Itu namanya lo nguping,” cela Anka.
“Aha! Akhirnya lo ngomong juga,” Andre mengangguk-angguk puas di belakang Anka. Anka hanya menghela napasnya. Dasar cowok gila.
“Eh, jawab dong pertanyaan gue,” desak Andre.
“Jangan ganggu gue.”
“Lah, ini kan kamar gue juga, gue duluan lagi yang nempatin ruangan ini.”
Karena sudah nggak sabar lagi, akhirnya Anka memaksa untuk membalikkan tubuhnya ke arah cowok itu. Tapi celaka! Kini dia merasa lebih kesakitan dibanding yang tadi.
“Shit!” gumam Anka mencoba memegang sesuatu agar bisa meredakan sakitnya.
Andre sedikit kelabakan melihat teman seruangannya itu. Dia berjalan cepat menuju sisi ranjang Anka dan menekan bel di dinding. Kini, dia dapat melihat dengan jelas wajah meringis Anka.
Nggak lama, seorang perawat datang ke kamar mereka.
“Ada apa?”
“Itu sus... itu...”
Perawat itu langsung menghampiri Anka.
“Kenapa bisa jadi begini?”
Anka masih memejamkan matanya, menahan sakit. Andre sendiri juga nggak kunjung menjawab.
“Tunggu sebentar, saya panggilkan dokter.”
Perawat itu keluar dari ruangan. Andre masih menatap Anka sedikit ngeri.
“So...sori...”
Kali ini Anka membuka kelopak matanya, matanya sedikit memerah.
“Sekali lagi lo ngomong, gue gampar mulut lo.”
Walaupun nggak ada penekanan dalam kalimatnya, Andre tahu kata-kata itu cukup menakutkan. Setelah mendapat ancaman dari Anka, Andre kembali menuju ranjangnya.
Nggak lama, datang dokter dengan perawat yang sama. Dia langsung memeriksa Anka. Andre nggak terlalu memerhatikan karena hordeng bilik Anka sempat ditutup oleh perawat tadi. Setelah dokter itu selesai dengan pemeriksaan Anka, Anka jauh lebih tenang dibandingkan tadi. Sepertinya dia dibius.
“Orangtuanya ke mana?” tanya si dokter.
“Kemarin sih cuma kakaknya aja yang dateng, dok.”
“Hmm kalo kamu ketemu sama kakaknya, pesan saya suruh adiknya untuk nggak banyak bergerak untuk mempercepat pemulihannya.”
“Baik, dok.”
Pintu ruangan terbuka. Seseorang yang dikenal Andre dengan panggilan bang Jeki masuk ke dalam membawakan sarapan. Dia memang sudah kenal betul dengan Andre.
“Weits! Punya temen sekamar juga nih akhirnya,” goda bang Jeki sambil menaruh piring bubur beserta lauk pauknya di atas meja. “Mana cewek lagi.”
Andre langsung mencoba memperingatkan.
“Jangan berisik! Saya nanti yang kena!”
“Wih, galak nih ceritanya?”
Bang Jeki kembali menuju troli makanan dan mengambil menu sarapan milik Anka. Dia kembali masuk dan menaruh makanan milik Anka di atas mejanya.
“Selamat sarapan, Mas!”
Andre hanya manggut-manggut. Kemudian bang Jeki keluar dari ruangan tersebut. Andre menoleh ke arah hordeng yang membatasi wilayahnya dengan wilayah Anka. Lalu dia beranjak dari ranjangnya dan sedikit mengintip di balik hordeng. Anka masih tertidur pulas akibat suntikan bius dokter tadi.
Padahal kan niatnya cuma ingin mencari teman mengobrol, eh ujung-ujungnya dia yang kena damprat.
Andre kembali menutup hordeng dan terduduk di ranjangnya. Dia mengambil menu makanannya. Sebenarnya dia bosan bahkan lumayan enek memakan menu itu. Tapi mau bagaimana lagi? Biar dia cepat sembuh.
Nggak beberapa lama Andre menyuap beberapa sendok makanan, pintu ruangan kembali terbuka. Nggak ada suara apa pun kecuali bunyi hordeng yang dibuka, dari bilik ranjang Anka.
“Ya Allah Anka...” Terdengar isakan wanita dari bilik sebelah. Sebenarnya Andre nggak mau menguping, tapi telinganya sendiri sudah stand by daritadi. “Dia belum siuman, Win?”
“Udah kok, Ma. Kayaknya dia cuma tidur.”
“Maafin Mama baru jenguk kamu, Ka. Mama ke sini bareng Papa buat nemenin kamu, nak.”
Tiba-tiba Andre merasa tersedak. Suasana yang menurut Andre sedikit mengharukan itu langsung terhenti. Andre langsung menyambar air mineral di atas meja.
“Ruangan ini ada orang selain Anka?” Kali ini suara seorang pria.
“Ada, Pa.”
Tiba-tiba alis Anka tergerak. Dia membuka kelopak matanya dan mendapatkan orangtuanya bersama kakaknya di hadapannya.
“Anka...” Mama mencoba untuk memegang tangan Anka.
Anka menghela napasnya. “Semuanya keluar. Anka mau istirahat.”
“Anka...”
“Tolong.”
Papa langsung merangkul bahu mama dan menggiringnya keluar dari ruangan. Wina juga mengikuti dari belakang.
Suasana kembali sepi. Andre masih sibuk dengan makanannya dari biliknya. Tiba-tiba Anka merasa haus lagi. Anka melirik ke arah meja sambil berdeham untuk menghilangkan rasa dahaganya.
Tapi tiba-tiba Andre muncul dari balik hordeng. Dia pikir barusan Anka bermaksud memanggilnya dengan berdeham.
“Lo manggil gue?”
Anka menghela napasnya lagi. Dia lupa bahwa ruangan ini bukan hanya dirinya yang menempatinya.
Lagi-lagi Anka melirik ke arah botol mineral di atas meja, kemudian dia mendesah lagi. Mending dia lanjut tidur dibandingkan minta tolong sama teman sekamarnya itu.
“Tinggal bilang tolong ke gue apa susahnya.” Anka menoleh dan telah mendapati Andre sudah berdiri di samping ranjangnya sambil memegang botol minuman. “Mau gue bantu?”
Anka mengerutkan keningnya. Siapa lo siapa gue?
“Nggak usah malu-malu,” Andre membuka tutup botol dan menyodorkan sedotan ke arah mulut Anka. Mau nggak mau akhirnya Anka minum juga dengan bantuan Andre. Setengah botol air langsung tersedot ke tubuh Anka.
“Lo nggak laper?” tanya Andre setelah menutup kembali botol minuman.
Apaan sih nih cowok? Kepo banget jadi orang.
Anka menoleh ke arah pintu, nggak menjawab pertanyaan Andre. “Bisa tolong kunciin pintu kamar nggak?” Akhirnya Anka bersuara.
Kali ini gantian alis Andre yang mengerut. “Buat apaan?”
Anka menoleh ke arah Andre dengan tatapan nggak-usah-banyak-tanya-deh. Hal itu membuat Andre bergegas menuju pintu sambil mendorong tiang infusnya, kemudian mengunci pintu ruangan.
Setelah terkunci, Anka ingin mengambil menu makanannya, tapi tenaganya belum pulih banget.
“Eh, kata dokter lo belom boleh banyak gerak,” cegah Andre sambil kembali menuju sisi ranjang Anka.
Ini gara-gara lo, bego.
Andre mendorong meja khusus makan ke ranjang Anka. Kemudian dia menaruh menu makanannya di meja tersebut. Anka mengernyit ke arah makanannya. Nggak ada nasi padang atau gorengan apa?
Tanpa berbicara lagi, Anka memakan sarapannya. Sebenarnya dia nggak suka dengan makanan seperti ini. Tapi karena dia belum makan dari kemarin, yah mau bagaimana lagi?
“Tadi itu... keluarga lo?” tanya Andre di sela-sela Anka menyuap makanannya. Dia sudah terduduk di ranjangnya sendiri.
Anka mulai nggak berselera. Dia sedikit memainkan makanannya. “Lo udah gue peringatin.”
Andre pindah ke posisi tidur. “Gue nggak mau nilai, tapi kayaknya lo nggak suka sama keluarga lo ya? Kenapa?”
Kali ini Anka menghentikan acara makannya. Dia menatap lurus ke arah Andre. “Lo bukan siapa-siapa gue. Jangan pernah ikut campur.”
“Sori, bukannya mau ikut campur,” Andre membalas tatapan Anka. Sudut bibirnya tersenyum. “Gue cuma iri aja sama lo.”
Iri? Apa coba yang ngebuat orang iri sama gue?
“Lo masih punya keluarga di sekeliling lo. Sedangkan gue, boro-boro. Sodara aja gue nggak punya, bahkan orangtua pun gue juga nggak punya.”
Anka langsung berpikir lebih baik dirinya yang seperti itu dibanding dia menerima keluarganya.
“Gue nggak peduli.”
“Terserah. Gue cuma mau bilang kalo lo harus bersyukur masih punya keluarga. Dan yang gue sempet denger tadi, mereka peduli sama lo.”
“Peduli? Cih. Kalo peduli, kenapa mereka nggak langsung ke rumah sakit aja sebelum gue diopname?”
“Kalo mereka tau lo kecelakaan dan langsung ke sini, lo mau berubah pikiran tentang keluarga lo?”
Anka tertohok. “Lo nggak ngerti.”
“Gue ngerti,” Andre nggak mau mengalah.
“Nggak usah sok jadi Mario Teguh. Gue nggak butuh nasehat.”
“Apa yang ngebuat lo sampe benci kayak gitu?”
“Masa kecil gue kayak nggak punya orangtua! Mereka sibuk masing-masing! Pada akhirnya mereka nyalahin satu sama lain karena nggak becus ngurus gue! Dan setelah itu mereka cerai!”
Andre hanya menatap datar Anka, menunggu cewek itu untuk berargumen lagi.
“Setelah bertahun-tahun sampe sekarang, mereka mau rajuk lagi. Ngapain mereka rajuk? Mau ngerusak masa remaja gue juga? Toh mereka ujung-ujungnya bakal sibuk sendiri. Itu drama keluarga gue. Puas lo?”
“Seenggaknya mereka masih hidup dan mau balikan lagi, nyatuin keluarga lo,” Andre membalas dengan nada tenang.
Hati Anka langsung memberontak. Baiklah, dia tahu. Keadaan dirinya dengan keadaan Andre memang berbeda. Tapi... argh! Andre nggak pernah merasakan menjadi dirinya.
“Apa sih mau lo? Mau ngorek-ngorek tentang keluarga gue?”
“Lo masih sebut mereka ‘keluarga’? Padahal kayaknya lo benci banget sama mereka.”
Lagi-lagi Andre membuat Anka tertohok.
Anka nggak tahu apa yang harus dia katakan lagi. Dia mengalihkan tatapannya ke sarapan paginya. Andre hanya tersenyum ketika Anka sudah kehabisan kata-kata.
“Dari lahir, gue nggak tau siapa sodara gue, apalagi orangtua. Sori aja ya, kehidupan gue juga drama banget. Tapi toh ini kenyataannya. Sampe sekarang nggak ada orang yang ngakuin gue sebagai anak.”
Anka melirik pedas ke arah Andre. Apaan sih nih orang? Curhat ke gue?
“Oke. Kayaknya lo nggak mau denger lika-liku kehidupan gue. Tapi sekali lagi, gue iri banget sama lo. Seharusnya lo seneng kalo orangtua lo mau balikan lagi. Itu berarti mereka mau memperbaiki keluarga lo. Ya emang sih gue nggak ngerti tentang keluarga, toh sampe sekarang gue nggak pernah punya keluarga. Tapi satu hal yang sampe saat ini gue pertahanin, rasa bersyukur. Gue bersyukur masih dikasih hidup sama Allah, mungkin aja suatu saat nanti gue bakal ketemu sama orangtua gue. Siapa tau, kan?”
Tiba-tiba pintu ruangan terketuk. Andre dan Anka berbarengan menoleh.
“Anka? Kok pintunya dikunci, nak?”
Anka mengalihkan tatapannya ke arah Andre. Dia hanya diam saja. Tapi pada akhirnya Andre membuka kunci pintu kamar tersebut.
Sudah berhari-hari Andre dan Anka berada di satu ruangan. Cowok itu juga nggak menampakkan dirinya lagi setelah berbicara panjang lebar dengan Anka waktu itu. Anka juga tampak lebih diam setelah Andre menasihatinya.
Dan untuk hari ini, waktunya kepulangan bagi Andre. Dia sudah merasa cukup bugar walaupun dia nggak tahu harus pergi ke mana. Orang yang sempat menyelakakannya bertemu dengannya di ruangan itu untuk meminta maaf sekian kalinya akibat kecerobohannya. Andre hanya mengangguk. Walaupun badannya masih terasa sedikit remuk, asalkan orang yang menyelakakannya bertanggungjawab, nggak akan jadi masalah.
Setelah itu, Andre hendak langsung pergi. Tapi dia teringat dengan teman sekamarnya.
Awalnya dia mau berpamitan, tapi rasanya kurang enak karena di biliknya sedang terdapat keluarganya. Akhirnya Andre melengos pergi keluar dari ruangan.
Namun sebelum Andre sempat keluar dari ruangan, Anka sempat melihat Andre yang sudah berpakaian rapi.
“Eh, Andre! Lo mau ke mana?”
Andre menghentikan langkahnya. Dia terdiam sebentar. “Gue mau balik nih, udah sembuh ceritanya,” Andre sedikit mengulaskan senyumannya.
Sekarang Andre bisa melihat kedua orangtua Anka, plus kakaknya. Dia jadi semakin iri.
“Gue pulang ya, semoga cepet sembuh deh.”
“Sebentar,” kata Anka sebelum Andre melanjutkan langkahnya. “Ini... bokap nyokap gue, itu kakak gue.”
“Oh?” Andre agak sedikit tersentak. Setelah itu, dia segera bersalaman dengan keluarga Anka. Dari raut wajahnya sih, Anka cukup berbeda dengan hari-hari kemarin.
“Andre?”
Andre menatap ke seorang pria yang disebut Anka sebagai ‘bokap’nya. Andre sedikit tersentak. Dia sendiri daritadi nggak terlalu memerhatikan wajah pria itu.
“Bapak?”
“Astaga, kamu sakit?”
Andre hanya menggarukkan kepala belakangnya. “Saya sempet kecelakaan, Pak. Untungnya orang yang nyelakain saya mau tanggung jawab.”
“Saya pikir kamu udah nggak kerja lagi di kantin kantor.”
“Papa... kenal?”
Ayah Anka menoleh ke arah Anka. “Dia kerja di kantin kantor Papa.” Kemudian ayah Anka beranjak dari tepat duduknya, menggiring Andre keluar dari ruangan tersebut.
“Andre, saya mau berterimakasih sama kamu,” kata ayah Anka ketika mereka berdua sudah berada di lorong.
“Terimakasih buat apa ya, Pak?”
“Aduh, kamu jangan pura-pura lupa gitu deh, kamu kan belum tua kayak saya,” candanya. “Jadi gini, Anka sempat bungkam seharian, nggak mau ngomong sama saya, sama mamanya, apalagi sama kakaknya semenjak kamu ngunci ruangan itu. Entah ada angin apa, tiba-tiba Anka minta disuapin sama mamanya, saya pikir itu perubahan yang cukup drastis karena selama ini dia jarang mau berkontak sama mamanya, apalagi saya. Setelah itu, dia baru cerita ke mamanya tentang nasehat yang kamu kasih. Saya pikir dari situ Anka mulai berubah. Itu gara-gara kamu, Ndre. Saya berterimakasih sekali ke kamu karena bisa sedikit merubah sikap anak saya.”
“Ah, bapak. Enggak kok, Pak, biasa aja. Itu karena emang dari diri Anka sendiri yang nggak akan bisa jauh dari keluarga, cuma mulutnya aja yang emang suka nyangkal.”
Ayah Anka sedikit tersenyum. “Untuk itu, kamu mau tinggal di rumah saya? Saya dan istri saya dengan senang hati nerima kamu di keluarga kami. Kamu mau?”
Untuk pertama kalinya dalam seumur hidup ada perasaan lebih dari kata senang dalam diri Andre.
“Beneran, Pak?”
Ayah Anka mengangguk.
Tiba-tiba, Anka beserta mama dan kakaknya keluar dari ruangan. Dia dipapah oleh mama dan kakaknya. Anka memancarkan senyum yang baru pertama kali dilihat oleh Andre.
“Lo mau gue panggil mas, abang, atau kakak?”
Andre nggak bisa lagi menahan senyumnya yang semakin melengkung terlukis di bibirnya. Walaupun dia cowok, ternyata ada juga air mata kebahagiaan di pelupuk matanya.
Anka langsung mengambil kunci motor dan helmnya. Dia nggak peduli dengan Wina yang terus saja berteriak di belakangnya. Anka mengambil langkah lebar untuk keluar dari rumah kontrakan itu.
“Anka! Kamu mau ke mana?!” teriak Wina yang menghampiri Anka, mencoba mencegah adiknya itu untuk pergi. Dia langsung mencengkram tangan Anka. “Kita belom selesai ngomong, Ka!”
Anka sedikit menaikkan sudut bibirnya. Dia melirik ke arah Wina. “Tapi menurut gue ini semua udah selesai. Lo boleh ikut mereka, tapi gue enggak!”
Anka langsung melepaskan cengkraman Wina dan segera pergi dari rumah kontrakan itu. Kali ini Wina nggak mengejarnya lagi. Dia tahu Anka pasti marah banget. Tapi ini dilakukannya untuk kepentingan mereka berdua.
Wina merasa ada yang lepas setelah melihat Anka mengendarai motornya menjauh dari rumah kontrakan itu.
Anka melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Dia nggak peduli dengan teriakan orang-orang akibat cara mengemudi motornya yang kelewat asal. Dia berharap rasa sakit hatinya sekarang ikut terlewat dengan arus jalanan. Anka menghela napas dan sejenak menutup mata.
Dan tabrakan itu pun terjadi.
***
Wina setengah berlari menuju ruang UGD. Tangannya cukup gemetar memegang ponsel. Ponselnya itu digenggam terus ketika seseorang mengabarkan bahwa adik perempuannya itu mengalami kecelakaan.
Wina hendak menghambur masuk ke dalam ruang UGD sebelum seorang perawat keluar dari ruangan tersebut.
“Sus, adik saya... adik saya di mana?!” Terdengar nada gemetar dari suara Wina. Perawat itu mencoba menenangkan Wina.
“Maaf, adik anda siapa ya?”
“Adik saya yang baru aja kecelakaan motor! Adik saya di mana, Sus?!” Wina masih histeris karena hatinya cukup nggak tenang.
“Mari saya antarkan. Mbak tenang dulu ya, adik mbak ada di dalam,” kata perawat itu sambil mengantarkan Wina ke dalam ruang UGD.
Wina menemukan Anka dengan tubuh penuh balutan perban. Ada darah yang merembes dalam perban itu. Adiknya benar-benar kelihatan nggak berdaya.
“Alhamdulillah nggak ada yang terlalu serius dari luka adik mbak. Walaupun ada beberapa bagian tulang yang retak. Nggak disangka struktur tulang saudari ini cukup kuat, padahal tadi dia sempat terpental setelah tertabrak mobil pikap,” jelas perawat tersebut. “Untuk pemulihannya, adik mbak butuh dirawat di sini,” lanjutnya.
Wina menoleh ke arah perawat tersebut. “Berapa lama buat di rawat di sini?”
“Tergantung seberapa cepat pulihnya adik mbak.”
Wina menghela napas. “Tolong urus semuanya.”
***
Anka terbangun dan merasakan seluruh tubuhnya seperti habis dijotosi berkali-kali, bahkan lebih parah. Kepalanya terasa pening ketika pertama kali membuka mata dan melihat cahaya lampu di langit-langit kamar. Dia juga merasakan kerongkongannya yang kering.
Ketika Anka menoleh ke arah samping, dia mendapati Wina dengan kepalanya yang tersandar di atas ranjang. Tiba-tiba kejadian yang hampir merenggut nyawanya tadi terlintas di otaknya. Kenapa gue nggak mati aja sih?
Anka melupakan hasrat hausnya dan langsung menolehkan kepalanya ke arah samping kiri. Sepertinya dia berada di ruangan dengan tiga bilik karena terdapat hordeng yang menutupi ranjangnya.
Anka dikagetkan dengan kedua mata di balik hordeng! Dia ingin berteriak, namun percuma, pita suaranya sedang habis. Akhirnya dia hanya menutup mata dan mencoba tidak mengingat apa yang dia lihat barusan.
Akhirnya Anka kembali tertidur dengan rasa lelah yang luar biasa di tubuhnya.
***
Karena keberisikan yang dilakukan oleh Wina, akhirnya Anka terbangun dari tidurnya. Wina terperanjat ketika mengetahui akhirnya adiknya bangun juga dari pingsannya. Padahal semalam dia sudah siuman.
“Alhamdulillah akhirnya kamu bangun juga,” Wina langsung menggenggam tangan Anka. “Kakak nggak tau harus ngapain kalo kamu sampe lewat, Ka.”
Oh? Dia ngedoain gue lewat? Fine.
Anka hanya menghela napas. Kemudian dia melirik ke arah botol mineral yang ada di atas meja. Wina langsung tahu apa yang diinginkan oleh adiknya tersebut.
“Sebentar, sebentar,” Wina berjalan memutari ranjang menuju meja tersebut, kemudian membuka botol. Nggak lupa dia menyiapkan sedotan juga.
Anka dibantu Wina untuk sedikit terduduk, kemudian membantunya untuk meminum air mineral tersebut. Setelah itu, Anka kembali ke posisi tidur.
“Mau kakak panggilin dokter?”
Anka hanya menggeleng, menjauhkan tatapannya ke arah lain.
Tiba-tiba Anka merasakan tangannya digenggam lagi. Tapi Anka enggan menoleh.
“Anka, kakak mau kamu lebih hati-hati setelah kejadian ini. Kakak nggak mau kamu kenapa-napa. Tolong balik ke sifat kamu yang dulu, Ka. Kakak kangen sama kamu yang dulu,” Terdengar nada sedih dari suara Wina.
“Kakak balik aja ke rumah. Gue bisa di sini sendirian,” kata Anka dengan begitu nggak pedulinya. “Oh ya kalo mau ke sini lagi, tolong bawain hp gue yang satunya lagi, sama charger.”
Wina menghela napasnya. Baiklah, kali ini dia akan menuruti permintaan Anka. Lagi pula semua ini bisa terjadi karena dirinya yang nggak mau mencegah kepergian Anka.
Wina mengambil ponsel beserta dompetnya di atas meja. Kemudian dia berpamitan dengan Anka.
“Ya udah, kakak pulang dulu. Kalo ada apa-apa, pencet bel di dinding belakang ranjang kamu ya. Nanti kakak balik lagi.”
Wina menghilang di balik pintu. Dan kini ruangan itu kembali menyepi. Padahal sekarang sudah tepat jam delapan pagi. Tiba-tiba Anka teringat dengan mata yang muncul di balik hordeng tadi malam.
Anka langsung mengambil remot tv di atas meja dengan susah payah. Akhirnya dia menyalakannya dengan sengaja memperbesar volumenya agar pikirannya tentang tadi bisa menghilang.
“Bisa ngecilin volume suaranya nggak sih?”
Anka menoleh dan mendapat seseorang yang bermata sama dengan semalam yang dia lihat muncul setengah badan di balik hordeng. Entah Anka dapat tenaga dari mana ketika remot tv yang digenggamnya tadi sudah terlempar ke arah kepala orang itu.
Orang itu meringis, Anka juga setengah berteriak.
“Nggak ada benda yang lebih empuk buat ditimpuk ke gue apa?”
Anka terdiam sejenak dan memandangi cowok yang kini sudah benar-benar sempurna bentuknya—nggak setengah badan lagi ketika badan bagian bawahnya tertutup hordeng tadi.
“Lo... manusia?”
“Emang badan gue keliatan ijo kayak buto ijo atau hulk?”
Anka langsung merasa lebih tenang. Ternyata dia manusia. “Lo lebih mirip si buta dari goa hantu.” Anka menatap pergelangan tangan cowok itu yang juga diinfus sama sepertinya. “Balikin remotnya.”
“Kenapa si buta dari goa hantu?” Cowok itu mengambil remot yang berada di lantai. Tapi dia nggak segera memberikannya pada Anka.
Anka menoleh malas. Kemudian dia hanya menengadahkan tangannya untuk meminta remot itu kembali. Tapi cowok itu justru diam saja.
Kali ini Anka menoleh ke arah cowok itu yang masih menatapnya datar. Matanya menyiratkan cepetan-balikin-remot-gue.
“Jawab dulu pertanyaan gue.”
Anka memutar bola matanya. Memangnya itu penting?
Dia mencoba membalikkan badannya membelakangi cowok itu dengan susah payah. Dia sedikit meringis ketika badannya tiba-tiba digerakkan seperti itu.
“Gue Andre.”
Terus gue peduli?
Anka nggak kembali membalikkan tubuhnya. Untuk menggeser badannya sekidit pun dia merasa kesakitan.
“Oke. Tanpa nama. Kenapa lo bisa ada di rumah sakit ini?”
Bawel.
“Masih nggak mau ngomong juga?”
Ya terus?
“Gue denger pembicaraan lo sama kakak lo,” Andre mencoba untuk memancing.
“Itu namanya lo nguping,” cela Anka.
“Aha! Akhirnya lo ngomong juga,” Andre mengangguk-angguk puas di belakang Anka. Anka hanya menghela napasnya. Dasar cowok gila.
“Eh, jawab dong pertanyaan gue,” desak Andre.
“Jangan ganggu gue.”
“Lah, ini kan kamar gue juga, gue duluan lagi yang nempatin ruangan ini.”
Karena sudah nggak sabar lagi, akhirnya Anka memaksa untuk membalikkan tubuhnya ke arah cowok itu. Tapi celaka! Kini dia merasa lebih kesakitan dibanding yang tadi.
“Shit!” gumam Anka mencoba memegang sesuatu agar bisa meredakan sakitnya.
Andre sedikit kelabakan melihat teman seruangannya itu. Dia berjalan cepat menuju sisi ranjang Anka dan menekan bel di dinding. Kini, dia dapat melihat dengan jelas wajah meringis Anka.
Nggak lama, seorang perawat datang ke kamar mereka.
“Ada apa?”
“Itu sus... itu...”
Perawat itu langsung menghampiri Anka.
“Kenapa bisa jadi begini?”
Anka masih memejamkan matanya, menahan sakit. Andre sendiri juga nggak kunjung menjawab.
“Tunggu sebentar, saya panggilkan dokter.”
Perawat itu keluar dari ruangan. Andre masih menatap Anka sedikit ngeri.
“So...sori...”
Kali ini Anka membuka kelopak matanya, matanya sedikit memerah.
“Sekali lagi lo ngomong, gue gampar mulut lo.”
Walaupun nggak ada penekanan dalam kalimatnya, Andre tahu kata-kata itu cukup menakutkan. Setelah mendapat ancaman dari Anka, Andre kembali menuju ranjangnya.
Nggak lama, datang dokter dengan perawat yang sama. Dia langsung memeriksa Anka. Andre nggak terlalu memerhatikan karena hordeng bilik Anka sempat ditutup oleh perawat tadi. Setelah dokter itu selesai dengan pemeriksaan Anka, Anka jauh lebih tenang dibandingkan tadi. Sepertinya dia dibius.
“Orangtuanya ke mana?” tanya si dokter.
“Kemarin sih cuma kakaknya aja yang dateng, dok.”
“Hmm kalo kamu ketemu sama kakaknya, pesan saya suruh adiknya untuk nggak banyak bergerak untuk mempercepat pemulihannya.”
“Baik, dok.”
***
Pintu ruangan terbuka. Seseorang yang dikenal Andre dengan panggilan bang Jeki masuk ke dalam membawakan sarapan. Dia memang sudah kenal betul dengan Andre.
“Weits! Punya temen sekamar juga nih akhirnya,” goda bang Jeki sambil menaruh piring bubur beserta lauk pauknya di atas meja. “Mana cewek lagi.”
Andre langsung mencoba memperingatkan.
“Jangan berisik! Saya nanti yang kena!”
“Wih, galak nih ceritanya?”
Bang Jeki kembali menuju troli makanan dan mengambil menu sarapan milik Anka. Dia kembali masuk dan menaruh makanan milik Anka di atas mejanya.
“Selamat sarapan, Mas!”
Andre hanya manggut-manggut. Kemudian bang Jeki keluar dari ruangan tersebut. Andre menoleh ke arah hordeng yang membatasi wilayahnya dengan wilayah Anka. Lalu dia beranjak dari ranjangnya dan sedikit mengintip di balik hordeng. Anka masih tertidur pulas akibat suntikan bius dokter tadi.
Padahal kan niatnya cuma ingin mencari teman mengobrol, eh ujung-ujungnya dia yang kena damprat.
Andre kembali menutup hordeng dan terduduk di ranjangnya. Dia mengambil menu makanannya. Sebenarnya dia bosan bahkan lumayan enek memakan menu itu. Tapi mau bagaimana lagi? Biar dia cepat sembuh.
Nggak beberapa lama Andre menyuap beberapa sendok makanan, pintu ruangan kembali terbuka. Nggak ada suara apa pun kecuali bunyi hordeng yang dibuka, dari bilik ranjang Anka.
“Ya Allah Anka...” Terdengar isakan wanita dari bilik sebelah. Sebenarnya Andre nggak mau menguping, tapi telinganya sendiri sudah stand by daritadi. “Dia belum siuman, Win?”
“Udah kok, Ma. Kayaknya dia cuma tidur.”
“Maafin Mama baru jenguk kamu, Ka. Mama ke sini bareng Papa buat nemenin kamu, nak.”
Tiba-tiba Andre merasa tersedak. Suasana yang menurut Andre sedikit mengharukan itu langsung terhenti. Andre langsung menyambar air mineral di atas meja.
“Ruangan ini ada orang selain Anka?” Kali ini suara seorang pria.
“Ada, Pa.”
Tiba-tiba alis Anka tergerak. Dia membuka kelopak matanya dan mendapatkan orangtuanya bersama kakaknya di hadapannya.
“Anka...” Mama mencoba untuk memegang tangan Anka.
Anka menghela napasnya. “Semuanya keluar. Anka mau istirahat.”
“Anka...”
“Tolong.”
Papa langsung merangkul bahu mama dan menggiringnya keluar dari ruangan. Wina juga mengikuti dari belakang.
Suasana kembali sepi. Andre masih sibuk dengan makanannya dari biliknya. Tiba-tiba Anka merasa haus lagi. Anka melirik ke arah meja sambil berdeham untuk menghilangkan rasa dahaganya.
Tapi tiba-tiba Andre muncul dari balik hordeng. Dia pikir barusan Anka bermaksud memanggilnya dengan berdeham.
“Lo manggil gue?”
Anka menghela napasnya lagi. Dia lupa bahwa ruangan ini bukan hanya dirinya yang menempatinya.
Lagi-lagi Anka melirik ke arah botol mineral di atas meja, kemudian dia mendesah lagi. Mending dia lanjut tidur dibandingkan minta tolong sama teman sekamarnya itu.
“Tinggal bilang tolong ke gue apa susahnya.” Anka menoleh dan telah mendapati Andre sudah berdiri di samping ranjangnya sambil memegang botol minuman. “Mau gue bantu?”
Anka mengerutkan keningnya. Siapa lo siapa gue?
“Nggak usah malu-malu,” Andre membuka tutup botol dan menyodorkan sedotan ke arah mulut Anka. Mau nggak mau akhirnya Anka minum juga dengan bantuan Andre. Setengah botol air langsung tersedot ke tubuh Anka.
“Lo nggak laper?” tanya Andre setelah menutup kembali botol minuman.
Apaan sih nih cowok? Kepo banget jadi orang.
Anka menoleh ke arah pintu, nggak menjawab pertanyaan Andre. “Bisa tolong kunciin pintu kamar nggak?” Akhirnya Anka bersuara.
Kali ini gantian alis Andre yang mengerut. “Buat apaan?”
Anka menoleh ke arah Andre dengan tatapan nggak-usah-banyak-tanya-deh. Hal itu membuat Andre bergegas menuju pintu sambil mendorong tiang infusnya, kemudian mengunci pintu ruangan.
Setelah terkunci, Anka ingin mengambil menu makanannya, tapi tenaganya belum pulih banget.
“Eh, kata dokter lo belom boleh banyak gerak,” cegah Andre sambil kembali menuju sisi ranjang Anka.
Ini gara-gara lo, bego.
Andre mendorong meja khusus makan ke ranjang Anka. Kemudian dia menaruh menu makanannya di meja tersebut. Anka mengernyit ke arah makanannya. Nggak ada nasi padang atau gorengan apa?
Tanpa berbicara lagi, Anka memakan sarapannya. Sebenarnya dia nggak suka dengan makanan seperti ini. Tapi karena dia belum makan dari kemarin, yah mau bagaimana lagi?
“Tadi itu... keluarga lo?” tanya Andre di sela-sela Anka menyuap makanannya. Dia sudah terduduk di ranjangnya sendiri.
Anka mulai nggak berselera. Dia sedikit memainkan makanannya. “Lo udah gue peringatin.”
Andre pindah ke posisi tidur. “Gue nggak mau nilai, tapi kayaknya lo nggak suka sama keluarga lo ya? Kenapa?”
Kali ini Anka menghentikan acara makannya. Dia menatap lurus ke arah Andre. “Lo bukan siapa-siapa gue. Jangan pernah ikut campur.”
“Sori, bukannya mau ikut campur,” Andre membalas tatapan Anka. Sudut bibirnya tersenyum. “Gue cuma iri aja sama lo.”
Iri? Apa coba yang ngebuat orang iri sama gue?
“Lo masih punya keluarga di sekeliling lo. Sedangkan gue, boro-boro. Sodara aja gue nggak punya, bahkan orangtua pun gue juga nggak punya.”
Anka langsung berpikir lebih baik dirinya yang seperti itu dibanding dia menerima keluarganya.
“Gue nggak peduli.”
“Terserah. Gue cuma mau bilang kalo lo harus bersyukur masih punya keluarga. Dan yang gue sempet denger tadi, mereka peduli sama lo.”
“Peduli? Cih. Kalo peduli, kenapa mereka nggak langsung ke rumah sakit aja sebelum gue diopname?”
“Kalo mereka tau lo kecelakaan dan langsung ke sini, lo mau berubah pikiran tentang keluarga lo?”
Anka tertohok. “Lo nggak ngerti.”
“Gue ngerti,” Andre nggak mau mengalah.
“Nggak usah sok jadi Mario Teguh. Gue nggak butuh nasehat.”
“Apa yang ngebuat lo sampe benci kayak gitu?”
“Masa kecil gue kayak nggak punya orangtua! Mereka sibuk masing-masing! Pada akhirnya mereka nyalahin satu sama lain karena nggak becus ngurus gue! Dan setelah itu mereka cerai!”
Andre hanya menatap datar Anka, menunggu cewek itu untuk berargumen lagi.
“Setelah bertahun-tahun sampe sekarang, mereka mau rajuk lagi. Ngapain mereka rajuk? Mau ngerusak masa remaja gue juga? Toh mereka ujung-ujungnya bakal sibuk sendiri. Itu drama keluarga gue. Puas lo?”
“Seenggaknya mereka masih hidup dan mau balikan lagi, nyatuin keluarga lo,” Andre membalas dengan nada tenang.
Hati Anka langsung memberontak. Baiklah, dia tahu. Keadaan dirinya dengan keadaan Andre memang berbeda. Tapi... argh! Andre nggak pernah merasakan menjadi dirinya.
“Apa sih mau lo? Mau ngorek-ngorek tentang keluarga gue?”
“Lo masih sebut mereka ‘keluarga’? Padahal kayaknya lo benci banget sama mereka.”
Lagi-lagi Andre membuat Anka tertohok.
Anka nggak tahu apa yang harus dia katakan lagi. Dia mengalihkan tatapannya ke sarapan paginya. Andre hanya tersenyum ketika Anka sudah kehabisan kata-kata.
“Dari lahir, gue nggak tau siapa sodara gue, apalagi orangtua. Sori aja ya, kehidupan gue juga drama banget. Tapi toh ini kenyataannya. Sampe sekarang nggak ada orang yang ngakuin gue sebagai anak.”
Anka melirik pedas ke arah Andre. Apaan sih nih orang? Curhat ke gue?
“Oke. Kayaknya lo nggak mau denger lika-liku kehidupan gue. Tapi sekali lagi, gue iri banget sama lo. Seharusnya lo seneng kalo orangtua lo mau balikan lagi. Itu berarti mereka mau memperbaiki keluarga lo. Ya emang sih gue nggak ngerti tentang keluarga, toh sampe sekarang gue nggak pernah punya keluarga. Tapi satu hal yang sampe saat ini gue pertahanin, rasa bersyukur. Gue bersyukur masih dikasih hidup sama Allah, mungkin aja suatu saat nanti gue bakal ketemu sama orangtua gue. Siapa tau, kan?”
Tiba-tiba pintu ruangan terketuk. Andre dan Anka berbarengan menoleh.
“Anka? Kok pintunya dikunci, nak?”
Anka mengalihkan tatapannya ke arah Andre. Dia hanya diam saja. Tapi pada akhirnya Andre membuka kunci pintu kamar tersebut.
***
Sudah berhari-hari Andre dan Anka berada di satu ruangan. Cowok itu juga nggak menampakkan dirinya lagi setelah berbicara panjang lebar dengan Anka waktu itu. Anka juga tampak lebih diam setelah Andre menasihatinya.
Dan untuk hari ini, waktunya kepulangan bagi Andre. Dia sudah merasa cukup bugar walaupun dia nggak tahu harus pergi ke mana. Orang yang sempat menyelakakannya bertemu dengannya di ruangan itu untuk meminta maaf sekian kalinya akibat kecerobohannya. Andre hanya mengangguk. Walaupun badannya masih terasa sedikit remuk, asalkan orang yang menyelakakannya bertanggungjawab, nggak akan jadi masalah.
Setelah itu, Andre hendak langsung pergi. Tapi dia teringat dengan teman sekamarnya.
Awalnya dia mau berpamitan, tapi rasanya kurang enak karena di biliknya sedang terdapat keluarganya. Akhirnya Andre melengos pergi keluar dari ruangan.
Namun sebelum Andre sempat keluar dari ruangan, Anka sempat melihat Andre yang sudah berpakaian rapi.
“Eh, Andre! Lo mau ke mana?”
Andre menghentikan langkahnya. Dia terdiam sebentar. “Gue mau balik nih, udah sembuh ceritanya,” Andre sedikit mengulaskan senyumannya.
Sekarang Andre bisa melihat kedua orangtua Anka, plus kakaknya. Dia jadi semakin iri.
“Gue pulang ya, semoga cepet sembuh deh.”
“Sebentar,” kata Anka sebelum Andre melanjutkan langkahnya. “Ini... bokap nyokap gue, itu kakak gue.”
“Oh?” Andre agak sedikit tersentak. Setelah itu, dia segera bersalaman dengan keluarga Anka. Dari raut wajahnya sih, Anka cukup berbeda dengan hari-hari kemarin.
“Andre?”
Andre menatap ke seorang pria yang disebut Anka sebagai ‘bokap’nya. Andre sedikit tersentak. Dia sendiri daritadi nggak terlalu memerhatikan wajah pria itu.
“Bapak?”
“Astaga, kamu sakit?”
Andre hanya menggarukkan kepala belakangnya. “Saya sempet kecelakaan, Pak. Untungnya orang yang nyelakain saya mau tanggung jawab.”
“Saya pikir kamu udah nggak kerja lagi di kantin kantor.”
“Papa... kenal?”
Ayah Anka menoleh ke arah Anka. “Dia kerja di kantin kantor Papa.” Kemudian ayah Anka beranjak dari tepat duduknya, menggiring Andre keluar dari ruangan tersebut.
“Andre, saya mau berterimakasih sama kamu,” kata ayah Anka ketika mereka berdua sudah berada di lorong.
“Terimakasih buat apa ya, Pak?”
“Aduh, kamu jangan pura-pura lupa gitu deh, kamu kan belum tua kayak saya,” candanya. “Jadi gini, Anka sempat bungkam seharian, nggak mau ngomong sama saya, sama mamanya, apalagi sama kakaknya semenjak kamu ngunci ruangan itu. Entah ada angin apa, tiba-tiba Anka minta disuapin sama mamanya, saya pikir itu perubahan yang cukup drastis karena selama ini dia jarang mau berkontak sama mamanya, apalagi saya. Setelah itu, dia baru cerita ke mamanya tentang nasehat yang kamu kasih. Saya pikir dari situ Anka mulai berubah. Itu gara-gara kamu, Ndre. Saya berterimakasih sekali ke kamu karena bisa sedikit merubah sikap anak saya.”
“Ah, bapak. Enggak kok, Pak, biasa aja. Itu karena emang dari diri Anka sendiri yang nggak akan bisa jauh dari keluarga, cuma mulutnya aja yang emang suka nyangkal.”
Ayah Anka sedikit tersenyum. “Untuk itu, kamu mau tinggal di rumah saya? Saya dan istri saya dengan senang hati nerima kamu di keluarga kami. Kamu mau?”
Untuk pertama kalinya dalam seumur hidup ada perasaan lebih dari kata senang dalam diri Andre.
“Beneran, Pak?”
Ayah Anka mengangguk.
Tiba-tiba, Anka beserta mama dan kakaknya keluar dari ruangan. Dia dipapah oleh mama dan kakaknya. Anka memancarkan senyum yang baru pertama kali dilihat oleh Andre.
“Lo mau gue panggil mas, abang, atau kakak?”
Andre nggak bisa lagi menahan senyumnya yang semakin melengkung terlukis di bibirnya. Walaupun dia cowok, ternyata ada juga air mata kebahagiaan di pelupuk matanya.
Views: