Deru napasnya terdengar sesekali. Melihat orang-orang yang berlalu lalang dari hadapannya. Tak ada seorang pun yang menyapanya. Mungkin teman-temannya masih merasa kesal dengan perbuatannya yang lalu. Selalu mengerjai teman-temannya. Tak pernah yang tak terkena getah dari Rama. Bagaimana ia ingin berbuat kebaikan? Teman-temannya saja sedang menjauhinya.
Inisiatif yang harus ia jalani adalah memulai menyapa temannya. Namun tetap saja. Berkali-kali teman-temannya menghiraukannya.
"Eh, Dian.." sapanya ramah. Dian sempat menghentikan langkahnya, menatap tajam Rama. "Mau dibantu bawain proyektornya?"
"Nggak butuh!" jawab Dian cetus. Kemudian ia meninggalkan Rama di tempat.
Rama menghela napas. Niat baiknya sama sekali tak terbaca. Sesekali melihat ke arah jam yang melingkar di tangannya. Waktunya tinggal 63 jam lagi. Waktunya semakin lama semakin menipis. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan selain bernapas dan melamun.
Bel berbunyi nyari. Pelajaran matematika dimulai. Setidaknya dengan ia terdiam, ia tidak melakukan sebuah dosa. Guru matematika itu pun melangkah kakinya masuk ke dalam kelas dengan santainya, dan mulai mengajar. Baru kali ini, Rama serius dalam belajarnya.
"Rama, tolong kamu isikan tinta spidol. Tinta spidol Ibu udah abis." pintanya.
Dengan langkah lemas tetapi dalam hatinya begitu senang. Akhirnya ia bisa melakukan kebaikan.
"Awas Bu, bukannya nanti diisi tinta malah diisi air got lagi," canda Gildan. Membuat teman-temannya tertawa terbahak-bahak, termasuk Rama.
"Haha.. ya enggak lah, masa gue segitunya, sih?"
Namun tiba-tiba saja tawa mereka terhenti. Tak menganggap bahwa barusan ada yang sedang berbicara.
Rama terdiam, lalu ia melangkahkan kakinya menuju pintu. Kemudian ia ke ruang Tata Usaha.
***
Sehari telah berlalu. Waktunya hanya tinggal dua hari lagi. Percuma, desisnya. Yang hanya bisa ia lakukan adalah berbaik hati dengan Ibunya. Apa pun akan ia lakukan.
"Kamu kenapa, Ram? Tumben rajin bantu Ibu," ucapnya sambil menyapu ruangan.
Rama menggeleng, hanya membalas senyuman. Ia tak tahu lagi harus berbuat apa. Ia tak tahu lagi harus bagaimana mengungkapkan perasaannya. Dua hari lagi, ia sudah tidak ada di rumah ini lagi. Meninggalkan keluarganya.
"Udah makan?" tanya Ibunya, mencoba menyadarkan anaknya yang sedang melamun.
"Udah kok, Bu," jawab Rama. "Ibu mau dibantu apa lagi? Biar Rama yang ngerjain."
"Nggak usah. Kamu istirahat aja gih," ucap Ibunya lembut.
Kemudian Rama berdiri, mengecup pipi Ibunya. Membuat Ibunya sedikit terperanjat. Rama langsung kabur dari hadapan Ibunya. Ibunya hanya menggeleng tak mengerti mengapa anaknya berbuat seperti itu.
***
Hari kedua lebih parah dibanding sebelumnya. Tak ada seorang pun teman sekelasnya yang berbicara dengannya. Yang hanya bisa ia lakukan adalah tertidur, sambil menghitung jam. Jam kepergiannya.
Hari ketiga, Rama tak masuk sekolah. Suhu badannya tiba-tiba saja meninggi. Badannya tak berhenti bergetar. Bibirnya mulai pecah-pecah. Mulutnya selalu berkata menggigil. Padahal suhu disaat itu normal.
Ibunya lebih khawatir lagi. Ia terus memeluk tubuh anaknya yang bergetar. Keringat yang keluar dari tubuh Rama, dirasakan oleh kulit Ibunya. Ada apa dengan anaknya?
Di sekolah
"Udah pada siap semua?" tanya mencoba melihat persiapan.
Jam sudah menunjukkan pukul 6.15 pagi. Tak biasanya Rama datang setelat ini. Dilihatnya keluar kelas, belum ada tanda-tanda Rama akan masuk ke kelas. Akhirnya semua temannya menunggu di dalam kelas. Karena semua temannya sudah masuk ke dalam kelas, orang terakhir yang membuka pintu kelas pasti adalah Rama.
Perlakuan teman-temannya memang cukup keterlaluan. Namun, itu semua hanya sebuah candaan. Candaan untuk mempersiapkan ulang tahun Rama.
Akting Dian waktu itu pun, cukup membuat Dian tertawa sendiri tanpa sepengetahuan Rama. Takut-takut ia tertawa saat di depan Rama.
6.25. Tanda-tanda Rama akan masuk kelas belum ada. Teman-temannya mulai gelisah. Takut Rama telat atau bolos sekolah karena teman-temannya tidak mengacuhkannya.
Bel telah berbunyi. Tepat jam 6.30 pagi. Teman-temannya mendesah. Mungkin Rama telat, pintu gerbang tak boleh dibuka oleh satpam. Rencana mereka gagal hari ini.
Tak berselang waktu lama, suara hentakan kaki terdengar dari luar. Gildan sudah siap membawa kue dengan lilin yang menyala. Ia berjalan menuju depan pintu. Menyambut Rama dengan meriah. Teman-temannya juga sudah bersiap.
Pintu terbuka lebar. Tiba-tiba saja, ruang kelas itu senyap. Bukan Rama, melainkan wali kelas mereka.
"Duduk, semuanya." Ucap wali kelas mereka. Mereka langsung berlari menuju bangku mereka masing-masing.
"Buat siapa kue itu?" tanya wali kelasnya, menatap kue tersebut dengan garang.
"Buat Rama, Bu. Dia kan ulang tahun hari ini," ucap Gildan dengan riang.
"Percuma, teman kalian sudah dipanggil sama yang Maha Kuasa," ucap wali kelas mereka sambil menyeka air matanya.
Mereka semua dibuat bingung. Masih mencerna perkataan wali kelas mereka. Mereka mulai bertanya-tanya, ingin mendapat penjelasan atas semua ini.
Tepat jam 6 pagi tadi, wali kelas mereka ditelepon oleh orangtua Rama. Tepat disaat itu juga, Rama dipanggil yang Maha Kuasa.
3 hari yang lalu
"Bagaimana dengan kabarmu, Rama?" sosok dengan wajah yang menawan itu menyapa dengan ramah. Menambah rasa mengerikan bagi Rama.
"Siapa kamu?" pertanyaan itulah yang pertama kali terlontar dari mulut Rama. Ia hanya membalas dengan tersenyum. Cukup lama membuat jeda. Matanya yang halus menatap seakan berbicara, 'Kau tak perlu tahu siapa diriku sebenarnya'.
"Mau apa kamu datang ke sini? Apa kamu ingin mencabut nyawaku?" sosok itu tersenyum lagi, kemudian menggeleng.
"Kau sangat beruntung, Rama. Hanya orang tertentu yang memiliki kesempatan ini."
"Kesempatan? Kesempatan apa?" tanya Rama bingung.
"Tuhan telah memberikanmu kesempatan hidup, hanya 3 hari. Kau harus mempersiapkan bekalmu, berbuat baiklah kepada orang lain."
"A-aku akan mati?" tanya Rama semakin cemas.
"Semua manusia akan kembali kepada Tuhannya. Pergunakanlah hari-hari terakhirmu dengan sebaik-baiknya."
"Ta-tapi.."
Namun, tiba-tiba sosok dengan wajah yang menawan itu menghilang dari penglihatan Rama. Dahi Rama dipenuhi dengan bulir keringat. Tiba-tiba saja terdengar suara yang mendengungkan telinganya. Cukup membuatnya terperanjat dari tempat tidurnya. Suara Ibunya yang melengking cukup membuat dirinya terjatuh dari tempat tidurnya, lalu ia langsung lari maraton menuju kamar mandi. Mengingat jam sudah menunjukkan pukul 6 pagi.
Di sekolah, kelas mereka
Kelas mereka begitu sepi. Namun, tiba-tiba saja terpecahkan oleh suara tangis, semakin mengeras. Mereka menyesal telah melakukan ini terhadap Rama.
Wali kelas mereka membiarkan mereka menangis. Benar-benar pagi yang basah. Penuh dengan deru napas yang tak beraturan.
"Rama bilang untuk terakhir kalinya, dia ingin minta maaf sama kalian semua, tolong, maafin dia, biar dia bisa bebas," ucapnya getir. Membuat deru tangis muridnya semakin mengeras.
10 menit..
20 menit..
Tangis penyesalan mereka belum berhenti. Akhirnya, Gildan melangkahkan kakinya, menuju depan kelas dengan membawa kue tersebut. Matanya merah, pipinya basah, rambutnya acak-acak.
"Happy birthday Rama, happy birthday Rama, happy birthday happy birthday happy birthday Rama..."
Tangis mereka tersendu-sendu. Kemudian, Gildan meniup lilin tersebut.
"Sampai jumpa kawan, kami semua menyesal, kami harap, elo bisa maafin kami. Semoga elo tenang disana, Ma," ucap Gildan terakhir.
Yang diujung hanya bisa tersenyum senang. Bahagia melihat semua ini. Kemudian sayapnya mengembang, mengajaknya untuk pergi dari dunia. Terimakasih atas kejutannya, kawan.
Views: