“Karin!” teriak seseorang yang membuat kepala Karin langsung mencari sumber suara tersebut. “Sini!” seorang lelaki tengah melambaikan tangannya ke arah Karin. Menyuruhnya untuk segera menghampirinya. Lelaki itu bernama Gerald, teman satu kelas Karin pada saat kelas X.
“Kenapa?” tanya Karin heran.
Sebenarnya, Karin agak setengah kesal karena harus masuk di hari sabtu seperti ini. Tetapi, sebenarnya bukan dirinya saja yang diharuskan masuk sekolah pada hari sabtu. Hari ini adalah peringatan upacara 17 Agustus. Maka dari itu, seluruh penghuni sekolah tersebut diharuskan menghadiri upacara 17 Agustus.
“Elo pernah make up anak-anak pentas seni waktu itu, kan? Yang nari itu lho,” Gerald mencoba mengingakan bayangan Karin.
Karin memutar bola matanya, mengingat hari di mana ia yang me-make up para penari di saat yang seharusnya me-make up-kan anak-anak pentas seni tersebut justru belum memunculkan batang hidungnya. Entahlah, apa yang berada dipikiran seorang penanggung jawab pada saat itu. Mungkin, terlintas pikiran bahwa Karin adalah adik seorang ‘make up artis’, bisa saja keahlian kakaknya turun kepada Karin. Toh, memang hasilnya cukup memuaskan.
Perlahan, Karin mengangguk. Matanya masih memicing ke arah Gerald, ingin mengetahui apa yang diinginkan oleh lelaki tersebut.
“Oke, ikut gue,” ajak Gerald yang kemudian langsung membalikkan badannya.
Karin menatapnya dengan heran. Namun tanpa ragu, ia mengikuti langkah Gerald menuju suatu kelas yang terletak di lantai satu. Sepertinya, kelas itu sudah cukup ramai dihuni beberapa orang. Padahal, lingkungan sekolah masih cukup terlihat sepi.
“Tolong make up mereka,” pinta Gerald dengan seenaknya ketika mereka berdua telah mencapai kelas tersebut yang ternyata isi kelas tersebut adalah anak-anak Paskibra. Oh my God. Bagaimana ini?
Karin mencoba mengatur napasnya, menahan detak jantungnya yang mulai berdetak tak beratur. Tolong dengarkan aku, jantung. Tolong.
“Emangnya lo nggak panggil tukang make up? Kenapa harus gue?”
“Ada masalah kecil, dan kebetulan yang gue lihat pagi ini adalah elo. Kebetulan juga lo perempuan, pasti lo bisa make up-in mereka, dong?”
Karin melihat sekeliling. Ia melihat beberapa perempuan yang sedang menyibukkan diri masing-masing. Kemudian, ia mengernyitkan dahinya. Di kelas ini banyak jumlah perempuan, mengapa harus menggunakan jasanya?
“Ger, tapi di sini banyak anak perempuannya. Kenapa harus gue? Mereka juga udah pada pakai make up, kan?” Karin mencoba membela diri, sebenarnya hanya ingin cepat menyingkirkan dirinya dari hadapan Gerald.
“Ya anak perempuan emang udah bisa make up sendiri. Tapi lihat dong anak laki-lakinya. Yang perempuan juga udah pakai saputangannya masing-masing,” Gerald mencoba mencari alasan yang logis walaupun sebenarnya kurang masuk akal bagi Karin. “Ayolah, nanti gue traktir deh. Anak laki-lakinya cuma tiga, kok. Lo mau, kan?”
Karin mendengus kesal. Akhirnya, ia menyetujui permintaan Gerald. Ia memulai me-make up laki-laki yang lebih dikenalnya terdahulu. Mungkin untuk meregangkan otot tegang pada tangannya. Bisa saja tangannya tiba-tiba kaku tepat di wajah lelaki itu, kan?
Sebenarnya, Karin memiliki alasan tertentu mengapa ia sempat mengelak permintaan dari Gerald. Pertama, ah lelaki itu. Lelaki yang telah setahun lebih telah memikat mata Karin, bahkan mungkin hatinya juga ikut terpikat. Namun, ia lebih memilih untuk bungkam, bahkan tidak melakukan sesuatu hal untuk menarik perhatian lelaki tersebut.
“Huh, kalau kayak gini mending gue datang agak siangan,” gumam Karin pelan ketika ia sedang me-make up teman lelakinya, Tio.
“Jangan banyak gerutu, Rin,” balas Tio yang sedang memejamkan matanya. “Seharusnya gue yang banyak gerutu. Nggak tahu gue ngantuk, apa?”
Karin langsung mengernyitkan dahinya. Memangnya itu urusanku?
“Lo datang jam berapa emangnya?”
“Tiga.”
Hampir saja Karin tersentak kaget. Kalau saja ia tak bisa menahannya, pasti tatapannya sudah tersita menuju ke arahnya. Karin langsung menepuk-nepuk bahu Tio dengan perasaan iba. Namun, lelaki itu belum mau membuka kelopak matanya.
“Nggak apa-apa. Perjuangan buat Indonesia. Jadi paskibraka kan artinya sama aja berjuang untuk Indonesia. Jadi—”
“Cerewet,” tepis Tio langsung yang mulai merasa sebal. Karin langsung merengut. Kemudian, ia menekan-nekan dahi Tio menggunakan spon bedak dengan cukup keras. Sebagai pelampiasannya karena telah memutuskan perkataannya. Tio hanya bisa menggerutu sambil melanjutkan memejamkan matanya.
Dan sekarang giliran lelaki itu. Tangan Karin mulai merasa kaku ketika membereskan alat make up tersebut. Karin memanjangkan lehernya. Melirik ke arah lelaki tersebut di pojok kelas yang sedang tertidur dengan meletakkan kepalanya di atas meja. Perlahan, ia mulai melangkah ke arah lelaki tersebut. Setelah ia mengatur napasnya, ia mencoba membangunkan lelaki tersebut.
“Rin—” Karin hampir memanggil lelaki itu. Ah, sial. Seharusnya ia tak memanggil nama lelaki itu karena mereka berdua belum saling mengenal. Kalau Karin memanggil nama lelaki itu, dan ternyata lelaki itu menyahut, nanti ia bisa dibilang sebagai orang yang sok kenal sok dekat. Ah, pura-pura tidak kenal saja.
“Eh,” panggil Karin sambil menyembulkan kepalanya sedikit ke arah Rino. Rino belum sedikit pun bergerak karena panggilan Karin. Akhirnya, Karin memberanikan diri untuk menyentuh bahu Rino.
Sambil menusuk-nusuk pelan ke arah bahu Rino, ia juga menyerukan ‘eh’ pada Rino agar ia terbangun. Tak lama, Rino mengangkat kepalanya yang mungkin terasa berat. Ia menatap samar ke arah Karin. Tatapan seolah mengatakan ‘ada apa?’.
“Eh, ini, gue disuruh make up anak paskibra,” Karin merasa sedikit gugup melihat wajah Rino yang terus saja menatapnya datar. “Eh, lo masih ngantuk ya?” Karin bertambah gugup. Rino sama sekali belum memberikan respon untuknya. “Eh, tidur dulu aja deh. Sori deh kalau ganggu.”
Karin langsung membalikkan badannya sambil memegang dadanya yang terasa ingin robek karena jantung yang berada di dalamnya ingin mencelos keluar. Ada apa sih dengan dirinya kali ini?
“Eh? Sori,” seru Rino yang membuat langkah Karin berhenti. “Nyawa gue belum terlalu ngumpul jadi kayak gini. Yaudah, make up-in gue aja, tapi jangan terlalu tebal.”
Perlahan, Karin membalikkan kembali badannya ke arah Rino dengan kikuk. Kemudian, berjalan menghampirinya. Menarik bangku lain dan duduk berhadapan dengan Rino. Namun saat itu, ia mulai merasakan posisi duduknya kurang terlalu enak. Padahal, sama saja ketika ia me-make up Tio dan temannya yang satu lagi.
“Kenapa?” tanya Rino heran sambil melipat kedua tangannya di depan dadanya. Kemudian, sesekali ia menguap. Sepertinya anak ini memang benar-benar mengantuk.
Seperti sedang tertangkap basah karena melakukan suatu hal, Karin langsung menyengir kikuk sambil menggeleng. Perlahan, ia duduk tepat di hadapan Rino.
Karin mulai kembali mengeluar alat make up, tanpa disadari Rino memerhatikan tangan Karin yang sibuk mengeluarkan alat-alat make up tersebut dengan tatapan datar. Entahlah, sepertinya tak ada yang menarik selain melihat tangan Karin yang terus saja sibuk mengeluarkan alat make up tersebut.
Karin juga baru menyadari bahwa sedari tadi Rino menatapnya dengan tatapan jenuh—pikirannya berkata seperti itu.
“Eh, kalau lo mau tidur, tidur aja. Gue tetap bisa me-make up orang yang lagi tidur kok,” seru Karin tanpa menatap ke arah Rino sedikit pun. Namun, ia sedikit melirik ke arah Rino. Tanpa harus membalas perkataannya, Rino langsung menutup kelopak matanya dan berusaha tetap menegakkan kepalanya dengan lurus.
Dengan kaku, jari Karin mulai mengoleskan pelembab pada wajah Rino agar bedak yang setelah ini dioleskan pada wajahnya tidak terlalu menyerap pada kulitnya. Dengan hati-hati, Karin meratakan pelembab tersebut ke area wajah Rino. Tangannya gemetar ketika menyentuh area wajah lelaki tersebut.
“Lo kenapa?” seru Rino tiba-tiba tanpa membuka kelopak matanya. “Gemetar gitu tangannya. Belum makan?”
Wajah Karin langsung memerah. Ia sempat memberhentikan mengoleskan pelembab pada wajah Rino. Untung saja kelopak mata Rino sedang tertutup. Jadi, ia tak bisa melihat wajah Karin yang sedang bersemu merah seperti ini.
“Ah, iya,” jawab Karin gugup sambil kembali meneruskan meratakan pelembab pada area wajah Rino. Rino seperti terlihat pasrah diperlakukan seperti itu oleh Karin.
“Terus, kenapa lo datang sepagi ini?”
“Intuisi mungkin,” jawab Karin sesingkat-singkatnya dan tanpa sadar ia berceletuk seperti itu. Ah, masa bodoh. Yang penting, ia berharap lelaki ini tak membuka kelopak matanya agar ia bisa terus menatap wajah lelaki tersebut dari arah dekat.
“Intuisi apa?” Rino bertanya dengan nada heran.
“Jadi tukang make up kayak gini mungkin,” jawab Karin dengan nada pasrah yang sebenarnya ia sedang menahan napasnya gara Rino tak bisa merasakan embusan napasnya.
Bibir Rino sedikit tergerak, membuat Karin sedikit tersentak kemudian menjauhkan jemarinya dari area wajah Rino. Apa lelaki ini sedang mengigau? Mana mungkin mengigau di saat percakapannya menyambung seperti ini.
“Lo nggak alergi make up, kan?” tanya Karin memastikan namun dengan ragu-ragu.
Rino langsung menggeleng. “Gue belum pernah pakai make up.”
Karin mengangguk pelan, kemudian mengambil alas bedak untuk wajah Rino. Lelaki ini meminta untuk make up yang tidak terlalu berlebihan. Memakai alas bedak saja sepertinya juga cukup karena faktor wajah Rino yang memang sudah putih.
“Oh ya, lo Karin, kan?”
Tangan Karin langsung berhenti ketika sedang menekankan spon bedak pada bagian hidung Rino. Seketika itu juga, kelopak mata Rino terbuka. Kini, mereka berdua saling betukar pandangan satu sama lain.
Rino mengenalku? Dia tahu namaku?
“Lo dulu anak kelas X-4 kan, ya?” timpal Rino lagi dengan wajah datarnya. Perlahan, Karin mengangguk kikuk sambil kembali melanjutkan pekerjaannya. Ia mencoba tak bersikap tegang dan tetap fokus pada pekerjaannya tersebut. Aduh, tangan ini. Bisa untuk tidak bersifat kaku untuk sebentar saja tidak, sih?
Rino sedikit tersenyum. Tetapi Karin tak mengerti apa maksud dari senyuman Rino tersebut. Seperti sedang menang sebuah undian?
Tiba-tiba, hati Karin mulai melambung tinggi. Rino mengenal Karin. Kalau begitu, Karin tak perlu merasa sok tak kenal dengan Rino lagi, kan?
“Untung gue udah tahu semua nama teman seangkatan gue,” tambah Rino yang kemudian kembali menutup kelopak matanya. Dan tiba-tiba saja, hati Karin yang tengah melambung tinggi, menabrak roket yang sedang terbang dan jatuh ke arah bumi dengan tamparan angin yang begitu keras.
Setelah itu, Karin tak mau lagi mengajak ngobrol Rino. Biarkan saja ia tertidur, dan Karin bisa menatap wajahnya dengan puas. Dengan begitu, ia tak perlu menggantungkan kalimatnya tersebut yang menyebabkan hati Karin terlanjur mencelos keluar. Huh, menyebalkan.
“Duh, pelan-pelan dong make up-in-nya,” protes Rino ketika spon bedak itu terus saja menimpa tulang pipinya. Spontan, ia langsung membuka kedua matanya, menatap ke arah Karin yang nampak terlihat panik.
“Eh, sori, Rin. Sori,” seru Karin sambil menjauhkan spon bedak tersebut. Rino masih menatap lurus ke arah Karin. Kemudian, ia sedikit memiringkan kepalanya.
“Lo sadar nggak?” seruan Rino membuat Karin terperanjat. Apa aku melakukan kesalahan hingga membuatnya marah seperti ini?
“Eh, maaf Rin. Maaf banget, gue nggak sengaja. Emang sakit banget, ya?” Karin sedikit memajukan wajahnya, hendak melihat ke arah pipi Rino. Tak ada bekas lebam sedikit pun. “Nggak terbekas luka, kok,” tambah Karin dengan nada khawatir.
“Kenapa?” tanya Karin heran.
Sebenarnya, Karin agak setengah kesal karena harus masuk di hari sabtu seperti ini. Tetapi, sebenarnya bukan dirinya saja yang diharuskan masuk sekolah pada hari sabtu. Hari ini adalah peringatan upacara 17 Agustus. Maka dari itu, seluruh penghuni sekolah tersebut diharuskan menghadiri upacara 17 Agustus.
“Elo pernah make up anak-anak pentas seni waktu itu, kan? Yang nari itu lho,” Gerald mencoba mengingakan bayangan Karin.
Karin memutar bola matanya, mengingat hari di mana ia yang me-make up para penari di saat yang seharusnya me-make up-kan anak-anak pentas seni tersebut justru belum memunculkan batang hidungnya. Entahlah, apa yang berada dipikiran seorang penanggung jawab pada saat itu. Mungkin, terlintas pikiran bahwa Karin adalah adik seorang ‘make up artis’, bisa saja keahlian kakaknya turun kepada Karin. Toh, memang hasilnya cukup memuaskan.
Perlahan, Karin mengangguk. Matanya masih memicing ke arah Gerald, ingin mengetahui apa yang diinginkan oleh lelaki tersebut.
“Oke, ikut gue,” ajak Gerald yang kemudian langsung membalikkan badannya.
Karin menatapnya dengan heran. Namun tanpa ragu, ia mengikuti langkah Gerald menuju suatu kelas yang terletak di lantai satu. Sepertinya, kelas itu sudah cukup ramai dihuni beberapa orang. Padahal, lingkungan sekolah masih cukup terlihat sepi.
“Tolong make up mereka,” pinta Gerald dengan seenaknya ketika mereka berdua telah mencapai kelas tersebut yang ternyata isi kelas tersebut adalah anak-anak Paskibra. Oh my God. Bagaimana ini?
Karin mencoba mengatur napasnya, menahan detak jantungnya yang mulai berdetak tak beratur. Tolong dengarkan aku, jantung. Tolong.
“Emangnya lo nggak panggil tukang make up? Kenapa harus gue?”
“Ada masalah kecil, dan kebetulan yang gue lihat pagi ini adalah elo. Kebetulan juga lo perempuan, pasti lo bisa make up-in mereka, dong?”
Karin melihat sekeliling. Ia melihat beberapa perempuan yang sedang menyibukkan diri masing-masing. Kemudian, ia mengernyitkan dahinya. Di kelas ini banyak jumlah perempuan, mengapa harus menggunakan jasanya?
“Ger, tapi di sini banyak anak perempuannya. Kenapa harus gue? Mereka juga udah pada pakai make up, kan?” Karin mencoba membela diri, sebenarnya hanya ingin cepat menyingkirkan dirinya dari hadapan Gerald.
“Ya anak perempuan emang udah bisa make up sendiri. Tapi lihat dong anak laki-lakinya. Yang perempuan juga udah pakai saputangannya masing-masing,” Gerald mencoba mencari alasan yang logis walaupun sebenarnya kurang masuk akal bagi Karin. “Ayolah, nanti gue traktir deh. Anak laki-lakinya cuma tiga, kok. Lo mau, kan?”
Karin mendengus kesal. Akhirnya, ia menyetujui permintaan Gerald. Ia memulai me-make up laki-laki yang lebih dikenalnya terdahulu. Mungkin untuk meregangkan otot tegang pada tangannya. Bisa saja tangannya tiba-tiba kaku tepat di wajah lelaki itu, kan?
Sebenarnya, Karin memiliki alasan tertentu mengapa ia sempat mengelak permintaan dari Gerald. Pertama, ah lelaki itu. Lelaki yang telah setahun lebih telah memikat mata Karin, bahkan mungkin hatinya juga ikut terpikat. Namun, ia lebih memilih untuk bungkam, bahkan tidak melakukan sesuatu hal untuk menarik perhatian lelaki tersebut.
“Huh, kalau kayak gini mending gue datang agak siangan,” gumam Karin pelan ketika ia sedang me-make up teman lelakinya, Tio.
“Jangan banyak gerutu, Rin,” balas Tio yang sedang memejamkan matanya. “Seharusnya gue yang banyak gerutu. Nggak tahu gue ngantuk, apa?”
Karin langsung mengernyitkan dahinya. Memangnya itu urusanku?
“Lo datang jam berapa emangnya?”
“Tiga.”
Hampir saja Karin tersentak kaget. Kalau saja ia tak bisa menahannya, pasti tatapannya sudah tersita menuju ke arahnya. Karin langsung menepuk-nepuk bahu Tio dengan perasaan iba. Namun, lelaki itu belum mau membuka kelopak matanya.
“Nggak apa-apa. Perjuangan buat Indonesia. Jadi paskibraka kan artinya sama aja berjuang untuk Indonesia. Jadi—”
“Cerewet,” tepis Tio langsung yang mulai merasa sebal. Karin langsung merengut. Kemudian, ia menekan-nekan dahi Tio menggunakan spon bedak dengan cukup keras. Sebagai pelampiasannya karena telah memutuskan perkataannya. Tio hanya bisa menggerutu sambil melanjutkan memejamkan matanya.
Dan sekarang giliran lelaki itu. Tangan Karin mulai merasa kaku ketika membereskan alat make up tersebut. Karin memanjangkan lehernya. Melirik ke arah lelaki tersebut di pojok kelas yang sedang tertidur dengan meletakkan kepalanya di atas meja. Perlahan, ia mulai melangkah ke arah lelaki tersebut. Setelah ia mengatur napasnya, ia mencoba membangunkan lelaki tersebut.
“Rin—” Karin hampir memanggil lelaki itu. Ah, sial. Seharusnya ia tak memanggil nama lelaki itu karena mereka berdua belum saling mengenal. Kalau Karin memanggil nama lelaki itu, dan ternyata lelaki itu menyahut, nanti ia bisa dibilang sebagai orang yang sok kenal sok dekat. Ah, pura-pura tidak kenal saja.
“Eh,” panggil Karin sambil menyembulkan kepalanya sedikit ke arah Rino. Rino belum sedikit pun bergerak karena panggilan Karin. Akhirnya, Karin memberanikan diri untuk menyentuh bahu Rino.
Sambil menusuk-nusuk pelan ke arah bahu Rino, ia juga menyerukan ‘eh’ pada Rino agar ia terbangun. Tak lama, Rino mengangkat kepalanya yang mungkin terasa berat. Ia menatap samar ke arah Karin. Tatapan seolah mengatakan ‘ada apa?’.
“Eh, ini, gue disuruh make up anak paskibra,” Karin merasa sedikit gugup melihat wajah Rino yang terus saja menatapnya datar. “Eh, lo masih ngantuk ya?” Karin bertambah gugup. Rino sama sekali belum memberikan respon untuknya. “Eh, tidur dulu aja deh. Sori deh kalau ganggu.”
Karin langsung membalikkan badannya sambil memegang dadanya yang terasa ingin robek karena jantung yang berada di dalamnya ingin mencelos keluar. Ada apa sih dengan dirinya kali ini?
“Eh? Sori,” seru Rino yang membuat langkah Karin berhenti. “Nyawa gue belum terlalu ngumpul jadi kayak gini. Yaudah, make up-in gue aja, tapi jangan terlalu tebal.”
Perlahan, Karin membalikkan kembali badannya ke arah Rino dengan kikuk. Kemudian, berjalan menghampirinya. Menarik bangku lain dan duduk berhadapan dengan Rino. Namun saat itu, ia mulai merasakan posisi duduknya kurang terlalu enak. Padahal, sama saja ketika ia me-make up Tio dan temannya yang satu lagi.
“Kenapa?” tanya Rino heran sambil melipat kedua tangannya di depan dadanya. Kemudian, sesekali ia menguap. Sepertinya anak ini memang benar-benar mengantuk.
Seperti sedang tertangkap basah karena melakukan suatu hal, Karin langsung menyengir kikuk sambil menggeleng. Perlahan, ia duduk tepat di hadapan Rino.
Karin mulai kembali mengeluar alat make up, tanpa disadari Rino memerhatikan tangan Karin yang sibuk mengeluarkan alat-alat make up tersebut dengan tatapan datar. Entahlah, sepertinya tak ada yang menarik selain melihat tangan Karin yang terus saja sibuk mengeluarkan alat make up tersebut.
Karin juga baru menyadari bahwa sedari tadi Rino menatapnya dengan tatapan jenuh—pikirannya berkata seperti itu.
“Eh, kalau lo mau tidur, tidur aja. Gue tetap bisa me-make up orang yang lagi tidur kok,” seru Karin tanpa menatap ke arah Rino sedikit pun. Namun, ia sedikit melirik ke arah Rino. Tanpa harus membalas perkataannya, Rino langsung menutup kelopak matanya dan berusaha tetap menegakkan kepalanya dengan lurus.
Dengan kaku, jari Karin mulai mengoleskan pelembab pada wajah Rino agar bedak yang setelah ini dioleskan pada wajahnya tidak terlalu menyerap pada kulitnya. Dengan hati-hati, Karin meratakan pelembab tersebut ke area wajah Rino. Tangannya gemetar ketika menyentuh area wajah lelaki tersebut.
“Lo kenapa?” seru Rino tiba-tiba tanpa membuka kelopak matanya. “Gemetar gitu tangannya. Belum makan?”
Wajah Karin langsung memerah. Ia sempat memberhentikan mengoleskan pelembab pada wajah Rino. Untung saja kelopak mata Rino sedang tertutup. Jadi, ia tak bisa melihat wajah Karin yang sedang bersemu merah seperti ini.
“Ah, iya,” jawab Karin gugup sambil kembali meneruskan meratakan pelembab pada area wajah Rino. Rino seperti terlihat pasrah diperlakukan seperti itu oleh Karin.
“Terus, kenapa lo datang sepagi ini?”
“Intuisi mungkin,” jawab Karin sesingkat-singkatnya dan tanpa sadar ia berceletuk seperti itu. Ah, masa bodoh. Yang penting, ia berharap lelaki ini tak membuka kelopak matanya agar ia bisa terus menatap wajah lelaki tersebut dari arah dekat.
“Intuisi apa?” Rino bertanya dengan nada heran.
“Jadi tukang make up kayak gini mungkin,” jawab Karin dengan nada pasrah yang sebenarnya ia sedang menahan napasnya gara Rino tak bisa merasakan embusan napasnya.
Bibir Rino sedikit tergerak, membuat Karin sedikit tersentak kemudian menjauhkan jemarinya dari area wajah Rino. Apa lelaki ini sedang mengigau? Mana mungkin mengigau di saat percakapannya menyambung seperti ini.
“Lo nggak alergi make up, kan?” tanya Karin memastikan namun dengan ragu-ragu.
Rino langsung menggeleng. “Gue belum pernah pakai make up.”
Karin mengangguk pelan, kemudian mengambil alas bedak untuk wajah Rino. Lelaki ini meminta untuk make up yang tidak terlalu berlebihan. Memakai alas bedak saja sepertinya juga cukup karena faktor wajah Rino yang memang sudah putih.
“Oh ya, lo Karin, kan?”
Tangan Karin langsung berhenti ketika sedang menekankan spon bedak pada bagian hidung Rino. Seketika itu juga, kelopak mata Rino terbuka. Kini, mereka berdua saling betukar pandangan satu sama lain.
Rino mengenalku? Dia tahu namaku?
“Lo dulu anak kelas X-4 kan, ya?” timpal Rino lagi dengan wajah datarnya. Perlahan, Karin mengangguk kikuk sambil kembali melanjutkan pekerjaannya. Ia mencoba tak bersikap tegang dan tetap fokus pada pekerjaannya tersebut. Aduh, tangan ini. Bisa untuk tidak bersifat kaku untuk sebentar saja tidak, sih?
Rino sedikit tersenyum. Tetapi Karin tak mengerti apa maksud dari senyuman Rino tersebut. Seperti sedang menang sebuah undian?
Tiba-tiba, hati Karin mulai melambung tinggi. Rino mengenal Karin. Kalau begitu, Karin tak perlu merasa sok tak kenal dengan Rino lagi, kan?
“Untung gue udah tahu semua nama teman seangkatan gue,” tambah Rino yang kemudian kembali menutup kelopak matanya. Dan tiba-tiba saja, hati Karin yang tengah melambung tinggi, menabrak roket yang sedang terbang dan jatuh ke arah bumi dengan tamparan angin yang begitu keras.
Setelah itu, Karin tak mau lagi mengajak ngobrol Rino. Biarkan saja ia tertidur, dan Karin bisa menatap wajahnya dengan puas. Dengan begitu, ia tak perlu menggantungkan kalimatnya tersebut yang menyebabkan hati Karin terlanjur mencelos keluar. Huh, menyebalkan.
“Duh, pelan-pelan dong make up-in-nya,” protes Rino ketika spon bedak itu terus saja menimpa tulang pipinya. Spontan, ia langsung membuka kedua matanya, menatap ke arah Karin yang nampak terlihat panik.
“Eh, sori, Rin. Sori,” seru Karin sambil menjauhkan spon bedak tersebut. Rino masih menatap lurus ke arah Karin. Kemudian, ia sedikit memiringkan kepalanya.
“Lo sadar nggak?” seruan Rino membuat Karin terperanjat. Apa aku melakukan kesalahan hingga membuatnya marah seperti ini?
“Eh, maaf Rin. Maaf banget, gue nggak sengaja. Emang sakit banget, ya?” Karin sedikit memajukan wajahnya, hendak melihat ke arah pipi Rino. Tak ada bekas lebam sedikit pun. “Nggak terbekas luka, kok,” tambah Karin dengan nada khawatir.
To be continued.
Views: