Sedih rasanya, aku harus berpindah rumah sekaligus berpindah sekolah hanya karena orang tua ku bekerja di kota yang cukup jauh. Lumayan di sayangkan, karena harus meninggalkan teman-teman sekolah ku yang sudah akrab dengan ku. Walaupun hanya berselang satu tahun.
Di kelas, aku hanya berdiam duduk sambil memasang headphone di kepala ku. Rasanya pertama kali masuk sekolah baru, agak asing memang. Ya tetapi, disini aku tak terlalu susah untuk bersosialisasi.
Tiba-tiba, terdengar bel berbunyi. Tetapi...
"Aduh, ini kenapa kebelet gini sih." Gerutu ku. Aku langsung keluar kelas kemudian menuju kamar mandi yang letaknya di lantai 2.
Aku langsung berjalan dengan cepat. Seusai membuang air kecil, aku langsung berlari menaiki tangga. Tetapi, aku langsung berjalan lambat. Aku melihat ada seorang laki-laki sedang duduk di tangga. Nampaknya ia sangat sedih. Awalnya, aku tak ingin menganggunya. Tetapi, aku tak bisa melewati tangga.
"Permisi.." Omongku. Ia tak menoleh ke arah ku. Mungkin ia tak mendengar ku. Aku langsung mendeham. "Maaf, lo nggak masuk ke kelas? Bukannya udah bel?"
Ia menoleh ke arah ku. "Lo ngomong sama gue?"
Aku memutar bola mata sambil tersenyum sinis. "Ya emang gue ngomong sama siapa?"
Ia menengok ke arah kanan dan kiri. "Oh, iya sih."
"Maaf. Misi dong, gue mau ke atas, ke kelas."
Ia langsung berdiri kemudian agak minggir sedikit. "Oh iya, maaf."
Aku tersenyum sedikit. Kemudian langsung berlari menaiki tangga. Tiba-tiba, ia memanggilku.
"Eh, nama lo siapa?"
Aku langsung menoleh. "Jasmine." Sambil tersenyum tipis. Kemudian, aku langsung berlari menuju kelas.
Di kelas, aku hanya berdiam duduk sambil memasang headphone di kepala ku. Rasanya pertama kali masuk sekolah baru, agak asing memang. Ya tetapi, disini aku tak terlalu susah untuk bersosialisasi.
Tiba-tiba, terdengar bel berbunyi. Tetapi...
"Aduh, ini kenapa kebelet gini sih." Gerutu ku. Aku langsung keluar kelas kemudian menuju kamar mandi yang letaknya di lantai 2.
Aku langsung berjalan dengan cepat. Seusai membuang air kecil, aku langsung berlari menaiki tangga. Tetapi, aku langsung berjalan lambat. Aku melihat ada seorang laki-laki sedang duduk di tangga. Nampaknya ia sangat sedih. Awalnya, aku tak ingin menganggunya. Tetapi, aku tak bisa melewati tangga.
"Permisi.." Omongku. Ia tak menoleh ke arah ku. Mungkin ia tak mendengar ku. Aku langsung mendeham. "Maaf, lo nggak masuk ke kelas? Bukannya udah bel?"
Ia menoleh ke arah ku. "Lo ngomong sama gue?"
Aku memutar bola mata sambil tersenyum sinis. "Ya emang gue ngomong sama siapa?"
Ia menengok ke arah kanan dan kiri. "Oh, iya sih."
"Maaf. Misi dong, gue mau ke atas, ke kelas."
Ia langsung berdiri kemudian agak minggir sedikit. "Oh iya, maaf."
Aku tersenyum sedikit. Kemudian langsung berlari menaiki tangga. Tiba-tiba, ia memanggilku.
"Eh, nama lo siapa?"
Aku langsung menoleh. "Jasmine." Sambil tersenyum tipis. Kemudian, aku langsung berlari menuju kelas.
*****
Terlihat dari luar jendela, awan menampakkan kelabu nya. Rintik-rintik hujan sedari tadi membasahi kaca jendela luar. Di kelas, aku tinggal seorang diri. Yang lain, sudah pulang sedari tadi. Entah mengapa, aku lebih menetap di kelas.
"Dimohon yang masih berada di sekitar lantai 3 dan 2, harap segera turun. Pintu tangga akan segera di kunci. Mohon yang masih berada.." Suara itu tiba-tiba saja mendengungkan telinga ku.
Aku segera keluar dari kelas kemudian turun menuju lantai satu. Semakin lama, hujan semakin deras. Seperti nya, kalau ke halte depan sekolah pun akan basah kuyup. Aku berjalan menuju pos satpam untuk berteduh sebentar.
Tiba-tiba ada yang memanggil namaku. "Jasmine?"
Aku langsung menoleh. Cowok yang berada di tangga tadi pagi. "Elo?"
Ia tertawa sedikit. "Iya. Oh iya, kenalin," ia mencoba menjabat tangan ku. "Gue Andreas."
"Oh? Gue Jasmine. Udah nanya kan ya tadi pagi?"
"Ya tapi lo belum tau nama gue kan?"
"Emang nya gue harus tau ya?"
"Ya.. enggak juga sih. Gue cuma mau kenalan aja. Lo anak baru ya?"
Aku mengangguk. "Pantesan, wajah baru toh.." Aku hanya tersenyum. "Lo nggak mau balik? Ini udah lumayan sore loh."
"Mau balik sih, tapi.."
"Hujan? Masa takut sama hujan?"
"Ya bukan gitu. Nah lo sendiri? Kenapa nggak balik?"
Ia tertawa kecil. "Gue cuma mau nyari temen bareng. Emang nya lo naik apa?"
"Katanya nyokap sih naik kopaja."
"Kopaja? Kok sama? Bareng ya?"
"Terserah."
"Eh tapi gue nggak sksd kan?"
Aku tersenyum kecil. "Enggak. Bertemen masa nggak boleh?"
Ia ikut tersenyum. "Kayaknya ujannya nggak bakal reda. Mau nerobos aja?"
"Tapi gue nggak ada payung. Gimana dong?"
Aku melihatnya ia sedang melepas jaket nya. "Ayo, pake ini bisa kok, halte kan nggak terlalu jauh ini." Ia langsung menarik perlahan tangan ku dan ia membentangkan jaketnya untuk meneduhkan kami berdua.
Tetap saja, badan kami berdua agak basah. Tapi itu cukup menyenangkan. Aku melihat sekeliling, angkutan umum belum ada yang lewat. Aku melihat wajahnya, agak pasi pucat.
"Lo sakit?" Tanya ku.
"Ah, enggak. Khawatir yaaa?"
Aku tertawa. "Pede banget. Tapi muka lo emang pucet."
Ia tersenyum. "Ini nggak kenapa-kenapa kok. Mungkin efek dari muka gue yang udah putih." Kami berdua tertawa.
"Ngomong-ngomong, lo kelas berapa?"
"Gue? Kelas 12."
Aku langsung menutup mulut. Ia tersenyum lebar. "Gapapa. Sekali-kali nggak sopan sama senior. Nggak akan gue bullying kok."
"Gapapa nih, kak, a-aku ngo-ngomong gu-e e-lo?" Omongan ku langsung terbata-bata.
Ia tertawa lebar. "Loh? Kenapa tiba-tiba terbata-bata gitu? Nggak usah aku kamu. Kesannya kaku banget."
"Serius?"
Ia mengangguk. "Eh itu ada kopaja nya. Naik yuk."
Tiba-tiba ada yang memanggil namaku. "Jasmine?"
Aku langsung menoleh. Cowok yang berada di tangga tadi pagi. "Elo?"
Ia tertawa sedikit. "Iya. Oh iya, kenalin," ia mencoba menjabat tangan ku. "Gue Andreas."
"Oh? Gue Jasmine. Udah nanya kan ya tadi pagi?"
"Ya tapi lo belum tau nama gue kan?"
"Emang nya gue harus tau ya?"
"Ya.. enggak juga sih. Gue cuma mau kenalan aja. Lo anak baru ya?"
Aku mengangguk. "Pantesan, wajah baru toh.." Aku hanya tersenyum. "Lo nggak mau balik? Ini udah lumayan sore loh."
"Mau balik sih, tapi.."
"Hujan? Masa takut sama hujan?"
"Ya bukan gitu. Nah lo sendiri? Kenapa nggak balik?"
Ia tertawa kecil. "Gue cuma mau nyari temen bareng. Emang nya lo naik apa?"
"Katanya nyokap sih naik kopaja."
"Kopaja? Kok sama? Bareng ya?"
"Terserah."
"Eh tapi gue nggak sksd kan?"
Aku tersenyum kecil. "Enggak. Bertemen masa nggak boleh?"
Ia ikut tersenyum. "Kayaknya ujannya nggak bakal reda. Mau nerobos aja?"
"Tapi gue nggak ada payung. Gimana dong?"
Aku melihatnya ia sedang melepas jaket nya. "Ayo, pake ini bisa kok, halte kan nggak terlalu jauh ini." Ia langsung menarik perlahan tangan ku dan ia membentangkan jaketnya untuk meneduhkan kami berdua.
Tetap saja, badan kami berdua agak basah. Tapi itu cukup menyenangkan. Aku melihat sekeliling, angkutan umum belum ada yang lewat. Aku melihat wajahnya, agak pasi pucat.
"Lo sakit?" Tanya ku.
"Ah, enggak. Khawatir yaaa?"
Aku tertawa. "Pede banget. Tapi muka lo emang pucet."
Ia tersenyum. "Ini nggak kenapa-kenapa kok. Mungkin efek dari muka gue yang udah putih." Kami berdua tertawa.
"Ngomong-ngomong, lo kelas berapa?"
"Gue? Kelas 12."
Aku langsung menutup mulut. Ia tersenyum lebar. "Gapapa. Sekali-kali nggak sopan sama senior. Nggak akan gue bullying kok."
"Gapapa nih, kak, a-aku ngo-ngomong gu-e e-lo?" Omongan ku langsung terbata-bata.
Ia tertawa lebar. "Loh? Kenapa tiba-tiba terbata-bata gitu? Nggak usah aku kamu. Kesannya kaku banget."
"Serius?"
Ia mengangguk. "Eh itu ada kopaja nya. Naik yuk."
*****
Taman belakang sekolah
Aku lebih memilih taman untuk jam istirahat kali ini. Sekaligus untuk mencari suasana nyaman. Dan benar saja, taman ini sepi. Sambil membolak-balikkan lembran novelku, tiba-tiba, ada yangg duduk di sampingku. Aku tak menggubrisnya.
"Suka kesini? Aih gue lupa. Lo kan anak baru." Aku mengenal suara ini. Andreas.
"Hmm begitulah. Padahal taman ini bagus, bersih pula, tapi sepi."
Ia tersenyum kecil. "Gue dari pertama masuk sekolah ini, juga sering kesini kalo jam istirahat atau nggak bolos pelajaran."
"Bandel amat."
Ia tertawa kecil. "Namanya juga remaja labil." Ia mendesah. "Dari dulu, emang taman ini selalu sepi. Entah kenapa gue juga nggak tau."
"Iya deh, yang lebih banyak tau nya."
"Malahan gue pernah pas jam istirahat terakhir, gue coba tidur sebentar di bangku ini. Nggak tau nya, kebablasan sampe pulang. Parah kan?"
Aku tertawa kecil. "Serius? Berarti setengah hati lo udah ada disini dong?"
Ia tersenyum kecil. "Begitulah." Kemudian, sejenak ia terdiam. "Suka novel?" Tanya nya.
Aku mengangguk. "Tapi khususnya romans sih."
"Oh, tapi kayaknya seruan komik."
Aku langsung mengelak. "Tapi, kalo kita baca novel, imajinasi kita bebas kemana-mana."
"Dewasa amat omongannya. Nggak ke kantin?"
Aku menggelengkan kepala. "Males. Nggak laper juga."
"Oh.. Eh.."
Aku langsung menatapnya. "Ada apa?"
"Kok lo mau temenan sama gue?" Aku tersenyum kecil. "Emangnya lo nggak risih? Pada baru kenal kemarin."
Aku tertawa kecil. "Emangnya yang ngajak kenalan siapa?" Ia menggaruk-garuk kepalanya. "Ya gue sih open free aja, asal nggak dimanfaatin."
Ia menghela napas. "Hmm bagus deh."
"Gue mau nanya deh. Kok lo nggak gabung sama temen-temen lo? Kenapa malah cari-cari gue?"
Ia langsung memasang muka yang agak tegang. "Eh? Itu.. Hmm.. Gue lagi males. Abis gue di bully mulu."
"Bully?" Aku tertawa. "Ada juga adek kelas yang di bully. Tapi, muka lo emang pantes di bully sih haha.."
"Jahat amat."
"Nggak-nggak. Gue bercanda. Mungkin mereka seneng nge bully lo karena ya emang lo enak buat jadi bahan candaan. Ya agak keluar batas sih, tapi gapapa lah, amal."
"Gitu ya? Mungkin mereka kesepian nggak ada gue."
"Loh? Kan lo sekarang lagi sama gue. Lagian kenapa coba nggak gabung sama mereka?"
"Eh.. anu.. gapapa sih."
Aku meneruskan membaca novel yang ku pegang. Tiba-tiba, bel masuk kelas berbunyi. Aku langsung berdiri dari bangku.
"Ndre, gue balik ke kelas duluan ya."
"Oh, bareng dong." Ia mengikutiku dari belakang. "Nanti pulang sekolah tungguin gue di gerbang ya. Pulang bareng mau kan?"
"Yaudah. Tapi jangan lama-lama." Lalu kami berdua berjalan menuju tangga.
"Eh, gue duluan ya." Ia menuju lantai 2, sedangkan aku, lantai 3. Aku hanya mendeham. Kemudian menaiki tangga menuju lantai 3.
Aku lebih memilih taman untuk jam istirahat kali ini. Sekaligus untuk mencari suasana nyaman. Dan benar saja, taman ini sepi. Sambil membolak-balikkan lembran novelku, tiba-tiba, ada yangg duduk di sampingku. Aku tak menggubrisnya.
"Suka kesini? Aih gue lupa. Lo kan anak baru." Aku mengenal suara ini. Andreas.
"Hmm begitulah. Padahal taman ini bagus, bersih pula, tapi sepi."
Ia tersenyum kecil. "Gue dari pertama masuk sekolah ini, juga sering kesini kalo jam istirahat atau nggak bolos pelajaran."
"Bandel amat."
Ia tertawa kecil. "Namanya juga remaja labil." Ia mendesah. "Dari dulu, emang taman ini selalu sepi. Entah kenapa gue juga nggak tau."
"Iya deh, yang lebih banyak tau nya."
"Malahan gue pernah pas jam istirahat terakhir, gue coba tidur sebentar di bangku ini. Nggak tau nya, kebablasan sampe pulang. Parah kan?"
Aku tertawa kecil. "Serius? Berarti setengah hati lo udah ada disini dong?"
Ia tersenyum kecil. "Begitulah." Kemudian, sejenak ia terdiam. "Suka novel?" Tanya nya.
Aku mengangguk. "Tapi khususnya romans sih."
"Oh, tapi kayaknya seruan komik."
Aku langsung mengelak. "Tapi, kalo kita baca novel, imajinasi kita bebas kemana-mana."
"Dewasa amat omongannya. Nggak ke kantin?"
Aku menggelengkan kepala. "Males. Nggak laper juga."
"Oh.. Eh.."
Aku langsung menatapnya. "Ada apa?"
"Kok lo mau temenan sama gue?" Aku tersenyum kecil. "Emangnya lo nggak risih? Pada baru kenal kemarin."
Aku tertawa kecil. "Emangnya yang ngajak kenalan siapa?" Ia menggaruk-garuk kepalanya. "Ya gue sih open free aja, asal nggak dimanfaatin."
Ia menghela napas. "Hmm bagus deh."
"Gue mau nanya deh. Kok lo nggak gabung sama temen-temen lo? Kenapa malah cari-cari gue?"
Ia langsung memasang muka yang agak tegang. "Eh? Itu.. Hmm.. Gue lagi males. Abis gue di bully mulu."
"Bully?" Aku tertawa. "Ada juga adek kelas yang di bully. Tapi, muka lo emang pantes di bully sih haha.."
"Jahat amat."
"Nggak-nggak. Gue bercanda. Mungkin mereka seneng nge bully lo karena ya emang lo enak buat jadi bahan candaan. Ya agak keluar batas sih, tapi gapapa lah, amal."
"Gitu ya? Mungkin mereka kesepian nggak ada gue."
"Loh? Kan lo sekarang lagi sama gue. Lagian kenapa coba nggak gabung sama mereka?"
"Eh.. anu.. gapapa sih."
Aku meneruskan membaca novel yang ku pegang. Tiba-tiba, bel masuk kelas berbunyi. Aku langsung berdiri dari bangku.
"Ndre, gue balik ke kelas duluan ya."
"Oh, bareng dong." Ia mengikutiku dari belakang. "Nanti pulang sekolah tungguin gue di gerbang ya. Pulang bareng mau kan?"
"Yaudah. Tapi jangan lama-lama." Lalu kami berdua berjalan menuju tangga.
"Eh, gue duluan ya." Ia menuju lantai 2, sedangkan aku, lantai 3. Aku hanya mendeham. Kemudian menaiki tangga menuju lantai 3.
"Ah, ini dia orangnya." Reny menghampiriku. "Lo kemana aja? Gue cariin daritadi."
"Abis dari taman. Emang kenapa?"
"Oh.. gapapa." Ia berbisik pelan. Ia menghela napas.
*****
Sedari tadi, aku terus melihat jam yang berada di tangan ku. Mengapa orang itu tak kunjung datang juga? Bukan kah aku sudah bilang untuk tak berlama-lama? Keadaan sekolah semakin sepi. Ah, kenapa aku harus menunggunya?
Aku putuskan, untuk meninggalkannya. Aku langsung berjalan menuju halte. Kopaja yang ku tunggu, belum terlihat dari ujung jalan. Tiba-tiba saja, datang Andreas yang berlari ke arah ku.
"Sorry, nunggu lama ya?" Aku mendeham keras. "Sorry deh. Tadi tugas banyak banget."
"Tugas? Sekolah udah sepi kali daritadi. Tugas apaan coba?"
"Hmm itu, tugas di papan tulis. Tadi gue ketiduran. Eh lupa nyatet. Yaudah, gue nyatet dulu."
"Oh.."
"Sorry-sorry." Ia langsung melihat ke arah jalanan. "Eh itu kopaja." Ia mencoba memberhentikannya. "Ayo naik. Ladies first lah." Aku menuruti perkataannya. Kami berdua, duduk di pojok paling belakang.
"Eh, lo ada recehan nggak?" Tanya ku.
"Yah nggak ada."
"Yaudah deh."
Kenek kopaja ini menghampiri kami berdua. "Baru balik neng?"
"Ini bang, nungguin temen lama banget."
"Temen?"
"Nih, duitnya. Ada kembaliannya nggak?"
"Ada lah. Sepuluh ribu.. Lima belas ribu.. Delapan belas ribu. Ini neng, kembaliannya."
"Makasih ya bang." Sepertinya ada yang kurang. Aku langsung menatap Andreas. "Kok lo ngak bayar?"
"Hm? Gue.. gue kan udah kenal sama kenek ini, jadi gue di gratisin." Ia tertawa kecil.
"Gratis? Enak amat. Kenapa lo nggak bilang gue di gratisin juga?"
"Keenakkan elo nya." Ia menyilangkan tangan di depan dadanya.
"Gapapa lah. Kemarin lo nggak bayar juga kan?"
"Kopaja yang sering lewat di depan sekolah tuh udah kenal gue. Jadi, gue ya nggak bayar ya gapapa."
"Ah masa sih? Tapi kenek nya kayak nggak ngegubris lo."
"Udah lah nggak usah di pikirin. Emang kenek nya mikirin elo?"
"Ya enggak sih." Tiba-tiba geluduk menyambar. Seketika itu juga, hujan mulai membasahi bumi. "Yah, nggak bawa payung lagi."
"Mau minjem jaket gue?"
Aku langsung menatapnya. "Nggak usah. Entar gue nunggu dimana dulu kek buat neduh."
"Gue temenin ya?"
Aku menatapnya aneh. "Lo mau ngapain emang? Ngikut-ngikut gue?"
"Ya abis, di rumah nggak ada orang. Mending gue kemana dulu gitu."
"Hmm boleh deh. Pas nanti turun dari kopaja, ada kafe kecil. Nyeruput kopi enak kayaknya."
"Serius? Yaudah deh. Eh lo di kelas ada yang kesusahan nggak? Maksud gue di mata pelajarannya."
"Emang nya kenapa?"
"Ya kali aja lo butuh bantuan buat minta ajarin gitu."
Aku tertawa kecil. "Tapi.. dari tampang lo nggak ada pinter-pinternya deh."
"Parah banget lo." Ia menepuk-nepuk dada nya. "Gini-gini gue 10 besar terus."
"10 besar dari urutan terakhir?" Tawa ku semakin membesar.
"Adek kelas ngocol ye. Gue bully baru tau rasa lo." Seperti nya ia agak sedikit kesal kepadaku.
"Iya-iya. Sorry bercanda Ndre. Ada sih, gue rada susah sama kimia. Lo mau ngajarin?"
"Kimia? Hmm bisa dikit-dikit lah."
"Gapapa lah. Kemarin lo nggak bayar juga kan?"
"Kopaja yang sering lewat di depan sekolah tuh udah kenal gue. Jadi, gue ya nggak bayar ya gapapa."
"Ah masa sih? Tapi kenek nya kayak nggak ngegubris lo."
"Udah lah nggak usah di pikirin. Emang kenek nya mikirin elo?"
"Ya enggak sih." Tiba-tiba geluduk menyambar. Seketika itu juga, hujan mulai membasahi bumi. "Yah, nggak bawa payung lagi."
"Mau minjem jaket gue?"
Aku langsung menatapnya. "Nggak usah. Entar gue nunggu dimana dulu kek buat neduh."
"Gue temenin ya?"
Aku menatapnya aneh. "Lo mau ngapain emang? Ngikut-ngikut gue?"
"Ya abis, di rumah nggak ada orang. Mending gue kemana dulu gitu."
"Hmm boleh deh. Pas nanti turun dari kopaja, ada kafe kecil. Nyeruput kopi enak kayaknya."
"Serius? Yaudah deh. Eh lo di kelas ada yang kesusahan nggak? Maksud gue di mata pelajarannya."
"Emang nya kenapa?"
"Ya kali aja lo butuh bantuan buat minta ajarin gitu."
Aku tertawa kecil. "Tapi.. dari tampang lo nggak ada pinter-pinternya deh."
"Parah banget lo." Ia menepuk-nepuk dada nya. "Gini-gini gue 10 besar terus."
"10 besar dari urutan terakhir?" Tawa ku semakin membesar.
"Adek kelas ngocol ye. Gue bully baru tau rasa lo." Seperti nya ia agak sedikit kesal kepadaku.
"Iya-iya. Sorry bercanda Ndre. Ada sih, gue rada susah sama kimia. Lo mau ngajarin?"
"Kimia? Hmm bisa dikit-dikit lah."
*****
"Lo mau pesen apa?" Tanya ku sambil membolak-balik menu.
"Minuman, tapi samain kayak elo."
"Okey." Aku menutup buku menu. Aku mencoba memanggil pelayan caffe ini. Tak lama, pelayannya datang. "Mbak, pesen hot chocolate nya 2."
"2? Buat pacarnya ya?"
"Eh? Enggak kok. Dia temen saya."
"Ooh.. Itu aja?" Aku mengangguk. "Di tunggu ya."
"Mana? Katanya kimia susah. Sini, gue ajarin, kalo gue bisa ya."
Aku langsung mengeluarkan buku dari dalam tas ku. "Apa karena efek guru nya kali ya gue nggak ngerti."
"Guru kimia kelas 11 emang galak. Tapi, gue berusaha buat ngerti yang di ajarin dia."
"Oke-oke. Ajarin gue tentang mol dong. Gue agak sedikit nggak ngerti."
"Oooh ini mah nggak begitu susah. Jadi gini..." Ia terus-menerus mengajari ku hingga akhirnya aku mengerti. Tak lama, pelayang datang dengan membawa pesanan ku. Pelayan itu menatap ku aneh. Lalu, ia menaruhnya di atas meja. Kemudian, ia meninggalkan kami berdua.
"Kenapa sih orang-orang ngeliatin gue begitu banget." Gerutu ku. Andreas hanya tersenyum. "Kenapa lo senyum-senyum?"
"Udah, minum aja dulu." Kemudian Andreas memeriksa kantong celana nya. Sepertinya ia agak kelihatan panik. Kemudian, ia mengubrak-abrik tas nya.
"Lo kenapa?"
"Jas, duh, maaf banget nih, gue nggak bawa dompet."
Aku memutar bola mata ku. "Yaudah, gue yang bayarin. Kan lo udah ngajarin gue."
Ia tersenyum kepadaku. "Makasih ya.."
"2? Buat pacarnya ya?"
"Eh? Enggak kok. Dia temen saya."
"Ooh.. Itu aja?" Aku mengangguk. "Di tunggu ya."
"Mana? Katanya kimia susah. Sini, gue ajarin, kalo gue bisa ya."
Aku langsung mengeluarkan buku dari dalam tas ku. "Apa karena efek guru nya kali ya gue nggak ngerti."
"Guru kimia kelas 11 emang galak. Tapi, gue berusaha buat ngerti yang di ajarin dia."
"Oke-oke. Ajarin gue tentang mol dong. Gue agak sedikit nggak ngerti."
"Oooh ini mah nggak begitu susah. Jadi gini..." Ia terus-menerus mengajari ku hingga akhirnya aku mengerti. Tak lama, pelayang datang dengan membawa pesanan ku. Pelayan itu menatap ku aneh. Lalu, ia menaruhnya di atas meja. Kemudian, ia meninggalkan kami berdua.
"Kenapa sih orang-orang ngeliatin gue begitu banget." Gerutu ku. Andreas hanya tersenyum. "Kenapa lo senyum-senyum?"
"Udah, minum aja dulu." Kemudian Andreas memeriksa kantong celana nya. Sepertinya ia agak kelihatan panik. Kemudian, ia mengubrak-abrik tas nya.
"Lo kenapa?"
"Jas, duh, maaf banget nih, gue nggak bawa dompet."
Aku memutar bola mata ku. "Yaudah, gue yang bayarin. Kan lo udah ngajarin gue."
Ia tersenyum kepadaku. "Makasih ya.."
*****
Begitulah, berminggu-minggu, aku sudah berteman dengannya. Sangat dekat. Entah apa yang membuat ku ingin berteman dengannya. Tetapi selama ini, aku sering mengalami keanehan. Tetapi, itu ku coba untuk ku hindari.
"Jas? Jasmine?"
"Hm?"
"Gue boleh minta tolong nggak? Karena cuma lo doang yang bisa ngelakuin ini."
"Maksud lo?" Aku langsung menatap Andreas.
"Iya. Gue minta tolong, tolong sampein minta maaf gue ke temen gue, namanya Trista."
"Kenapa harus gue? Kenapa nggak lo aja?"
"Gue.. Gue udah bener-bener jauh sama dia. Udah nggak deket lagi. Jadi gue mohon banget." Ia mengepalkan tangannya.
"Lo lagi musuhan?"
Ia langsung menatap ku. "Iya. Gue kepengen minta maaf, tapi dia ngejauh terus. Please.." Ia menggenggam tangan ku. "Tolongin gue, kalo kayak gini, gue nggak akan bisa tenang."
"Emangnya lo punya salah apa sama dia?"
"Gue..." Ia tak melanjutkan omongannya.
"Yaudah kalo nggak mau cerita. Gue nggak mau sampein minta maaf lo." Aku melepas genggaman tangannya.
"Oke-oke. Jadi, selama ini itu cuma salah paham. Gue ngajak jalan ceweknya dia.."
"Nah udah tau itu ceweknya dia, lo malah ngajak jalan."
"Dengerin gue dulu, Jasmine." Ia menghela napas. "Gue ajak jalan ya karena itu temen deket gue. Nggak salah dong gue?" Aku menggeleng pelan.
"Terus?"
"Ya namanya temen deket, gue ngerangkul pundaknya dia, ya tapi bukan karena itu juga, dia udah gue anggep kayak adek gue karena dia adek kelas gue."
"Temen lo, si Trista tau kalo lo temen deket cewek lo?"
Andreas menggeleng. "Gue mau ngejelasin, tapi nggak akan bisa, percuma."
Aku menghela napas sejenak. "Tapi kenapa harus gue?"
"Karena gue yakin, lo bisa ngebuat dia maafin gue." Kemudian ia berdiri, lalu berjalan meninggalkan ku.
Aku langsung menuju kelasnya. Walaupun agak sedikit kesal karena banyak mata yang memandangi ku. Karena aku tak tahu paras wajah temannya itu, aku bertanya kepada salah satu orang di kelas tersebut.
"Kak, maaf, mau numpang nanya. Yang namanya kak Trista yang mana ya?"
"Trista? Itu-tuh.." Ia langsung menunjuk sudut kelas. "Yang lagi galau orangnya."
"Oh itu, makasih ya kak."
Aku langsung masuk ke dalam kelas tersebut dan menuju bangku Trista. "Misi kak.."
Ia langsung bangun dari lamunannya. "Lo siapa?"
"Maaf kak, lancang. Aku dari kelas 10, pindahan."
"Oh, mau ada urusan apa lo ke sini?"
"Gini kak. Saya mau nyampein minta maaf dari temen kakak. Selama ini, kaka cuma salah paham sama dia."
"Temen gue? Siapa?"
"Kak Andreas." Pendekku.
"Andreas?"
Aku mengangguk. "Dia cerita semuanya. Katanya kakak salah paham. Dia itu cuma sahabat karib pacar kakak, nggak lebih."
Ia langsung berdiri, kemudian menuju lemari kelas. Tak lama ia kembali. Ia menunjukkan sesuatu kepadaku. Sebuah foto.
"Andreas yang ini orang nya kan?"
Aku mengangguk. "Iya, ini dia orang nya."
Dia agak sedikit tersontak. "Di-dia ngomong sama lo?" Aku mengangguk. "Di-dia ngomong apa?"
"Dia bilang dia mau minta maaf, dia sama pacar kakak itu cuma sebatas temen nggak lebih. Waktu dia mau ngejelasin semua, kakak malah ngehindar."
"Lo gila ya? Kapan lo tau Andreas? Anak baru kan lo?"
Aku menunduk. berani-berani nya ia mengatakan seperti itu. "Maaf kak. Tapi, ini semua emang dari Andreas. Dia yang minta saya buat ngelakuin ini."
"Sekarang gue tanya. Andreas nya mana?"
"Saya sih udah nggak ketemu sama dia 3 hari ini."
"Astaghfirullahaladzim.. Ya Allah Ya tuhan!!"
"Maaf, kenapa kak?"
"Dek, dengerin gue ya. Andreas itu udah meninggal sebulan yang lalu! Dan itu juga gara-gara gue. Dia ngejar gue buat minta maaf, dan akhirnya, dia ketabrak mobil sampe meninggal."
Aku menutup mulut. "Ta-tapi.. Saya sama dia.. Masih ngobrol biasa."
"Lo gila? Dia udah nggak ada!"
"Nggak mungkin. Nggak! Nggak mungkin. Kak, saya-saya..." Aku masih tercengang. Jadi selama ini.. Aku menemukan jawaban dari keanehan itu. Andreas tak pernah membayar angkutan kopaja karena memang ia tak terlihat oleh siapapun. Ia juga pernah bilang, "Mungkin mereka kesepian nggak ada gue." Itu karena ia memang orang yang termasuk ramah dan banyak orang yang rindu akan ada nya.
Dia merogoh sesuatu di kantung baju nya. Handphone. "Kalo lo nggak percaya, ini foto terakhir Andreas yang gue ambil."
Aku melihat wajah Andreas yang penuh luka. Wajah nya yang kaku pucat, sudah terbaluti dengan kain kafan. Innalillahi wainnailaihi rajiun..
"Tapi kak, demi Allah! Saya.. selama ini, temenan sama dia. Duduk di taman, pulang bareng."
"Dia emang suka ke taman belakang sekolah. Spot favoritnya." Aku mulai mengeluarkan air mata.
"Kak.. please percaya sama gue.." suara ku mulai merintih.
"Oke. Gue percaya sama lo. Mungkin dia kepengin minta maaf sama gue tapi lewat elo, karena buat ngelakuin sendiri, dia nggak akan bisa." Ia terdiam sejenak. "Mungkin dia nggak tau, kalo gue udah maafin dia. Tapi sekarang, gue udah maafin dia sepenuhnya. Dan temen-temen gue, udah ngeikhlasin dia. Walaupun terkadang, kita semua kangen jenakanya dia."
"Kak, nanti pulang sekolah bisa nganterin ke kuburannya nggak?"
Ia langsung menatap ku. "Iya. Gue kepengen minta maaf, tapi dia ngejauh terus. Please.." Ia menggenggam tangan ku. "Tolongin gue, kalo kayak gini, gue nggak akan bisa tenang."
"Emangnya lo punya salah apa sama dia?"
"Gue..." Ia tak melanjutkan omongannya.
"Yaudah kalo nggak mau cerita. Gue nggak mau sampein minta maaf lo." Aku melepas genggaman tangannya.
"Oke-oke. Jadi, selama ini itu cuma salah paham. Gue ngajak jalan ceweknya dia.."
"Nah udah tau itu ceweknya dia, lo malah ngajak jalan."
"Dengerin gue dulu, Jasmine." Ia menghela napas. "Gue ajak jalan ya karena itu temen deket gue. Nggak salah dong gue?" Aku menggeleng pelan.
"Terus?"
"Ya namanya temen deket, gue ngerangkul pundaknya dia, ya tapi bukan karena itu juga, dia udah gue anggep kayak adek gue karena dia adek kelas gue."
"Temen lo, si Trista tau kalo lo temen deket cewek lo?"
Andreas menggeleng. "Gue mau ngejelasin, tapi nggak akan bisa, percuma."
Aku menghela napas sejenak. "Tapi kenapa harus gue?"
"Karena gue yakin, lo bisa ngebuat dia maafin gue." Kemudian ia berdiri, lalu berjalan meninggalkan ku.
*****
Sudah 3 hari ini, aku tak bertemu dengan Andreas. Sampai hari ini juga, aku belum menepati janji nya. Apa aku harus melakukannya? Baiklah, aku akan melakukannya.Aku langsung menuju kelasnya. Walaupun agak sedikit kesal karena banyak mata yang memandangi ku. Karena aku tak tahu paras wajah temannya itu, aku bertanya kepada salah satu orang di kelas tersebut.
"Kak, maaf, mau numpang nanya. Yang namanya kak Trista yang mana ya?"
"Trista? Itu-tuh.." Ia langsung menunjuk sudut kelas. "Yang lagi galau orangnya."
"Oh itu, makasih ya kak."
Aku langsung masuk ke dalam kelas tersebut dan menuju bangku Trista. "Misi kak.."
Ia langsung bangun dari lamunannya. "Lo siapa?"
"Maaf kak, lancang. Aku dari kelas 10, pindahan."
"Oh, mau ada urusan apa lo ke sini?"
"Gini kak. Saya mau nyampein minta maaf dari temen kakak. Selama ini, kaka cuma salah paham sama dia."
"Temen gue? Siapa?"
"Kak Andreas." Pendekku.
"Andreas?"
Aku mengangguk. "Dia cerita semuanya. Katanya kakak salah paham. Dia itu cuma sahabat karib pacar kakak, nggak lebih."
Ia langsung berdiri, kemudian menuju lemari kelas. Tak lama ia kembali. Ia menunjukkan sesuatu kepadaku. Sebuah foto.
"Andreas yang ini orang nya kan?"
Aku mengangguk. "Iya, ini dia orang nya."
Dia agak sedikit tersontak. "Di-dia ngomong sama lo?" Aku mengangguk. "Di-dia ngomong apa?"
"Dia bilang dia mau minta maaf, dia sama pacar kakak itu cuma sebatas temen nggak lebih. Waktu dia mau ngejelasin semua, kakak malah ngehindar."
"Lo gila ya? Kapan lo tau Andreas? Anak baru kan lo?"
Aku menunduk. berani-berani nya ia mengatakan seperti itu. "Maaf kak. Tapi, ini semua emang dari Andreas. Dia yang minta saya buat ngelakuin ini."
"Sekarang gue tanya. Andreas nya mana?"
"Saya sih udah nggak ketemu sama dia 3 hari ini."
"Astaghfirullahaladzim.. Ya Allah Ya tuhan!!"
"Maaf, kenapa kak?"
"Dek, dengerin gue ya. Andreas itu udah meninggal sebulan yang lalu! Dan itu juga gara-gara gue. Dia ngejar gue buat minta maaf, dan akhirnya, dia ketabrak mobil sampe meninggal."
Aku menutup mulut. "Ta-tapi.. Saya sama dia.. Masih ngobrol biasa."
"Lo gila? Dia udah nggak ada!"
"Nggak mungkin. Nggak! Nggak mungkin. Kak, saya-saya..." Aku masih tercengang. Jadi selama ini.. Aku menemukan jawaban dari keanehan itu. Andreas tak pernah membayar angkutan kopaja karena memang ia tak terlihat oleh siapapun. Ia juga pernah bilang, "Mungkin mereka kesepian nggak ada gue." Itu karena ia memang orang yang termasuk ramah dan banyak orang yang rindu akan ada nya.
Dia merogoh sesuatu di kantung baju nya. Handphone. "Kalo lo nggak percaya, ini foto terakhir Andreas yang gue ambil."
Aku melihat wajah Andreas yang penuh luka. Wajah nya yang kaku pucat, sudah terbaluti dengan kain kafan. Innalillahi wainnailaihi rajiun..
"Tapi kak, demi Allah! Saya.. selama ini, temenan sama dia. Duduk di taman, pulang bareng."
"Dia emang suka ke taman belakang sekolah. Spot favoritnya." Aku mulai mengeluarkan air mata.
"Kak.. please percaya sama gue.." suara ku mulai merintih.
"Oke. Gue percaya sama lo. Mungkin dia kepengin minta maaf sama gue tapi lewat elo, karena buat ngelakuin sendiri, dia nggak akan bisa." Ia terdiam sejenak. "Mungkin dia nggak tau, kalo gue udah maafin dia. Tapi sekarang, gue udah maafin dia sepenuhnya. Dan temen-temen gue, udah ngeikhlasin dia. Walaupun terkadang, kita semua kangen jenakanya dia."
"Kak, nanti pulang sekolah bisa nganterin ke kuburannya nggak?"
*****
"Dek, gue tinggal ya? Gue nggak bisa lama-lama. Ndre, gue balik dulu ya. Semoga tenang di alam sana." Kemudian, ia melambaikan tangannya dan pergi. Aku menatap pusarannya.
"Ndre, kok lo jahat sih? Nggak bilang dari awal? Datang tanpa permisi. Pulang main seenaknya aja nggak pamitan." Aku tersenyum sendiri. "Gue tuh seneng, punya temen kayak lo. You're my best friend ya, walaupun nggak ada sebulan kita temenan. Hmm.. aduh kenapa sih gue pake nangis segala. Gara-gara lo nih! Hmm.. semoga tenang ya disana. Gue udah menuhin janji lo kan? Sekarang lo bisa pergi dengan bebas. Jangan lupain gue. Awas lo kalo lupain gue."
"Gue nggak akan ngelupain lo kok."
"Masa.. Andreas?" Aku menengok ke belakang. Itu memang benar Andreas. Ia tersenyum kepada ku.
"Makasih ya, Jasmine. Maaf, gue cuma bisa ganggu hidup lo." Aku mengusap air mata ku. "Ini pertemuan terakhir kita. Tenang aja, gue nggak akan ngelupain lo kok. Jaket gue yang sama lo, buat lo aja, sebagai kenang-kenangan. Oke?"
Aku tersenyum. "Semoga tenang ya disana. Semoga lo selalu disisi-Nya." Ia ikut tersenyum. Dan seketika itu juga ia menghilang. Andreas, aku sayang kamu.
Views: