Aktifitas yang menurut kami tidak melelahkan dalam fisik, namun sangat melelahkan dalam hati adalah ‘Selama tiga tahun kami hanya bisa saling lirik satu sama lain, tanpa harus mengutarakan hati masing-masing’. Ya, tanpa harus mengutarakan hati masing-masing.
Semburat merah menghiasi langit sore kali ini. Hembusan angin sore yang menyejukkan melewati sela-sela rambut panjangku. Sisa cahaya matahari pada sore hari menerpa sebagian wajahku, juga sebagian wajahnya. Dari arah samping, aku menatap garis wajahnya yang terlihat keras.
“Kau menyesal?” tanyanya yang langsung menolehkan kepalanya ke arahku.
Kami saling bertukar pandangan. Tiga detik. Lima detik. Bahkan sepuluh detik pun aku belum menjawab pertanyaannya.
Aku langsung mengalihkan pandanganku ke arah lain, membiarkan angin menampar pipiku sepuasnya.
“Kurasa tidak,” jawabku datar sambil menekuk kedua lututku, lalu kupeluk.
“Namun, aku menyesal,” balasnya dengan cepat yang menyebabkan kepalaku langsung menoleh ke arahnya lagi dan lagi. Kini, lelaki itu sedang tak menatap ke arahku. Aku bisa melihat air wajahnya yang menampakkan rasa menyesal. “Seharusnya, di masa itu aku memberanikan diri untuk menyatakan cinta padamu. Cih, bahkan sepertinya aku tak bisa melakukan hal itu kepadamu karena aku takut kau menolakku.”
Aku hanya bisa tersenyum kecut dan terus memandanginya dengan perasaan penuh iba. Aku pun juga merasa kasihan terhadap hatiku untuk sekarang ini. Namun, apakah memangnya aku bisa mengembalikan waktu ke sepuluh tahun yang lalu? Bisakah aku melakukan hal itu?
“Mama!” seru seorang anak dari arah belakang punggung kami. Sontak, kami berdua menolehkan kepala ke arah belakang punggung kami. Seorang anak tengah berlari menuju kami berdua. Anakku.
“Sini, nak,” sahutku sambil melambaikan salah satu tanganku. Tak lama, anakku sudah sampai pada pangkuanku. “Kenalkan, ini Om Galuh. Teman Mama waktu SMA.”
Aku memperkenalkan lelaki yang berada di hadapanku kepada anakku. Kemudian, aku kembali menatap ke arah Galuh. Ia hanya membalas tatapanku dengan tatapan kosong. Tak lama, ia memasang senyum palsunya ke arah anakku. Aku sungguh sangat bisa membedakan mana senyum ikhlasnya yang terdahulu.
“Wah, mirip kamu ya, Ren,” Galuh mencoba menyapa hangat anakku. Tapi aku tahu, ia hanya sedang ingin menghibur dirinya sendiri. Bahkan sepertinya, itu bukan merupakan hiburan untuk dirinya, apalagi diriku.
0 comments:
Post a Comment