“Lo itu kenapa, sih?” pertanyaan Rino membuat Karin bingung. Ia juga ikut mengernyitkan dahinya. Baru kali ini ia berani membalas tatapan Rino. Tak lama, Rino memberhentikan tawanya yang semakin lama terasa semakin canggung di hadapan Karin. Padahal, sebenarnya Karin cukup senang dapat melihat tawa Rino dalam jarak yang dekat. Namun, ia tak mampu menampakkan ekspresi senangnya yang jutsru kini nampak aneh di mata Rino.
“Ada yang aneh, ya?” Karin memberanikan diri untuk bertanya sambil menggigit bibir bagian bawahnya. Rino sedikit tersenyum melihat kelakuan Karin tersebut.
Tak lama, Rino tertawa lagi. Membuat Karin semakin menampakkan wajah bingungnya. Apa jangan-jangan di wajahnya terdapat sesuatu hingga membuat Rino tertawa seperti itu?
Karin langsung mengambil kaca di dalam tas make up dan segera memeriksa wajahnya. Tak ada yang aneh. Hanya saja , mata Karin terlihat kuyu. Mungkin, karena akhir-akhir ini ia sering tidur terlalu malam.
“Iya, lo aneh. Haha.”
Karin mengerucutkan bibirnya. Kemudian, tiba-tiba saja Gerald yang berada di depan kelas langsung memanggil Karin. Menyebabkan Karin langsung menolehkan kepalanya ke arah Gerald, Rino mengikuti.
“Nggak ada acara ngobrol, Rin!” bentak Gerald. Karin langsung merengut. Huh, kalau seperti ini aku takkan mau membantunya. Memangnya siapa dia? Berani sekali membentakku.
“Lo lagi bentak gue apa Karin?” Rino langsung menyahut. Karin langsung menoleh ke arah Rino. Tak mengerti dengan apa yang baru saja dikatakan olehnya. “Nama gue sama nama Karin ada ‘Rin’-nya. Jadi, lo lagi ngebentak siapa?”
Karin ber-oh ria sambil mengangguk-angguk pelan. Kemudian, ia kembali menoleh ke arah Gerald sambil memandang sebal.
“Oh.. jadi lo berdua mau dipanggil Duo ‘Rin’?” Karin dan Rino langsung mengernyitkan dahinya. Kemudian, mereka berdua langsung saling bertukar pandangan. Karin yang salah tingkah langsung membuang tatapannya, kembali menatap kesal ke arah Gerald. Kini, mukanya kembali bersemu merah.
“Apaan sih lo, Ger,” Karin memicingkan matanya ke arah Gerald.
“Profesional dikit, dong. Dikit lagi mau upacara,” Gerald kembali membentak sambil menunjuk-nunjukkan ke arah jam tangan yang melingkar di tangannya.
Profesional? Profesional apanya? Aku di sini pun hanya sebagai pesuruh merias laki-laki paskibraka ini. Profesional katanya? Profesional nenekmu.
Karin langsung merengut sebal dan kembali mengambil alat riasnya. Kemudian, ia kembali menatap ke arah Rino yang kini sedang menatapnya datar. Lagi-lagi, Karin dibuat kikuk oleh Rino. Tanpa harus berbicara lagi, Karin melanjutkan merias wajah Rino. Rino masih terlihat pasrah diperlakukan seperti itu. Duo Rin? Lucu juga.
Setelah selesai merias Rino, dengan gerakan kaku Karin membereskan alat rias tersebut dan terburu-buru pergi dari hadapan Rino. Namun, tak berselang waktu lama, Rino memanggilnya.
“Eh, Rin,” Karin langsung memberhentikan langkahnya dan menoleh kikuk ke arah Rino yang kini sedang mengaduk-aduk tasnya. Kemudian ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya tersebut. Sebuah tempat makan berisikan sandwich.
“Lo belum makan, kan? Nih, makan aja. Gue udah kenyang.”
“Eh, nggak usah,” Karin langsung mengibaskan kedua tangannya. “Nggak perlu, kok. Gue nggak lapar,” Karin tertawa canggung. Rino langsung mengernyitkan dahinya.
“Bukannya tadi lo bilang belum sarapan?” Rino langsung menghampiri Karin dan mengulurkan tangan Karin. “Makan aja. Sandwich buatan nyokap gue enak, kok. Sebagai upah tambahan aja udah jadi tukang make up dadakan,” Rino tersenyum mengejek. Karin menerimanya dengan gerakan kaku sambil memundurkan langkahnya. Kemudian, ia langsung berlari dari hadapan Rino.
Rino hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
***
Karin hanya bisa terus tersenyum sambil mengunyah sandwich milik Rino. Kalau seperti ini sih, durian jatuh namanya. Coba saja tak ada Gerald, pasti momen-momennya tak akan rusak sedikit pun. Tetapi, kalau pun tak ada Gerald, pasti ia tak memberikan julukan Duo Rin. Lucu juga julukan itu.
Tak lama, bel berbunyi dengan khasnya mengiringi usainya Karin yang sedang memakan sandwich tersebut. Kotak makan tersebut ia tutup rapat dengan baik, bahkan sempat ia bersihkan menggunakan tisu basah. Entahlah mengapa ia berbuat seperti itu. Kembali berbuat baik kepada orang lain boleh-boleh saja, kan?
Lorong-lorong kelas segera kosong, rata-rata penghuni sekolah sudah berkumpul di lapangan. Karin terus saja memanjangkan lehernya, mencari sosok Rino yang belum kelihatan batang hidungnya. Apa ia karena ia bertubuh pendek, jadi ia tak bisa menjangkau sosok Rino? Huh.
Ah, setidaknya ia bisa bertatap muka kembali dengan Rino karena ingin mengembalikan tempat makannya. Setidaknya, ada sedikit harapan Karin bisa mengobrol lagi dengan Rino. Bisa saja terjadi, kan?
Upacara dimulai dengan khidmat. Suara para penghuni sekolah yang berada di lapangan seakan-akan sedang diredam sesaat. Kepala Karin terus saja melenggak-lenggok, mencari keberadaan Rino.
“Ah, entar juga kelihatan, kok,” Karin begumam sendiri dan kembali meluruskan kepalanya ke arah depan.
Setelah satu jam dengan khidmat menjalankan upacara, Karin segera kembali menuju kelasnya, mengambil tasnya dan juga tempat makan milik Rino. Sepertinya, lebih cepat lebih baik jika dikembalikan kepada pemiliknya, walaupun sebenarnya ia masih ingin bertatap muka dengan Rino di lain waktu.
Karin kembali turun menuju lantai satu. Koridor mulai menyepi oleh siswa. Rata-rata dari mereka sudah kembali ke rumahnya masing-masing. Kecuali petugas upacara, para guru, dan beberapa siswa yang masih berkeliaran di lingkungan sekolah. Itu dia Rino!
Perlahan namun mantap, Karin melangkahkan kakinya mendekat ke arah Rino. Rino memang belum melihatnya. Namun Karin tetap ingin menghampirinya.
“Rino,” sapa Karin dengan berdiri di hadapan Rino. Namun, raut wajah Karin berubah ketika Rino menyapanya kembali hanya dengan mengembangkan senyumannya. Tanpa aba-aba, Karin langsung menarik tangan Rino, dan membawa lelaki itu ke belakang sekolah.
“Ada apa, sih?” Rino sedikit memberatkan langkahnya karena ia tak mengetahui apa yang ingin dilakukan oleh Karin. Karin terus menarik tangannya hingga mereka berhenti tepat di belakang sekolah. Karin langsung menghadap ke arah Rino.
“Itu...”
Rino mengenyitkan dahinya. Matanya tajam menatap ke arah Karin. Karin justru terlihat gugup dengan menggigit bibir bagian bawahnya.
“Kenapa? Mau bilang kalau sandwich buatan nyokap gue enak? Kan gue udah bilang. Sandwich buatan nyokap gue emang enak,” ujar Rino dengan bangganya. Karin justru semakin dibuatnya bingung.
“Itu...” Karin menunjuk ke arah pipi Rino. Refleks, bola mata Rino langsung menatap ke arah telunjuk Karin. Rino semakin mengernyitkan dahinya. Tak mengerti apa yang sedang dilakukan oleh gadis tersebut.
Karin langsung menurunkan telunjuknya. Seperti baru saja melakukan suatu kesalahan, dan ia baru mendapatkan penyesalannya.
“Kayaknya lo alergi deh,” ucap Karin dengan pasrah sambil menatap Rino lewat sudut matanya. Takut dengan reaksi yang akan dikeluarkan oleh Rino.
“What?!” seru Rino yang membuat Karin sedikit menjauh dari hadapannya. Rino mengetahui kekagetan Karin akibat seruannya tersebut. “Maaf. Tapi, punya cermin?”
Dengan cepat, Karin langsung mengeluarkan cermin kecil dari dalam tasnya. Kemudian, ia memberikannya pada Rino. Dengan cepat juga, Rino mengambil cermin milik Karin dari tangannya. Karin mulai cemas lagi dengan respon yang dikeluarkan oleh Rino nantinya. Ia takut kalau ia yang akan disalahkan akibat dari alergi tersebut.
Rino terlihat pasrah ketika ia menurunkan cermin dari hadapan wajahnya. Menatap ke arah Karin dengan sedikit perasaan kesal. Namun, ia tak boleh seperti itu karena ini bukanlah kesalahan Karin. Mungkin saja ia memang alergi dengan alat make up. Lagi pula, dari awal Karin memang sudah menanyakan kepadanya apakah ia memiliki alergi terhadap make up atau tidak.
Rino mengembuskan napasnya tidak rela.
“Bintik-bintik merah kayak gini nggak bisa hilang?” tanya Rino sambil menunjuk ke arah pipinya. Bukan hanya bintik-bintik merah. Sebagian pipinya seperti baru saja menerima sebuah tamparan yang cukup keras. Terlihat bagian yang memerah.
“Bi—bisa kok, bisa,” jawab Karin dengan tergagap. “A—aduh, sori banget ya Rin. Gue nggak tahu kalau kejadiannya bakal kayak gini.” Karin hampir saja ingin menyentuh pipi Rino. Namun dengan gerakan cepat, tangannya kembali turun.
Rino menggeleng. Namun, tatapannya yang ia berikan pada Karin seperti tatapan yang kesal terhadapnya.
Karin mengetuk-ngetuk bibirnya. Walaupun Rino tak menyalahkannya, Karin merasa bersalah terhadapnya. Ya walaupun memang bukan sebuah kesengajaan. Walaupun begitu, ia tetap mau bertanggung-jawab.
“Lo tunggu di sini, nanti gue balik lagi,” seru Karin tiba-tiba yang kemudian langsung berlalu dari hadapan Rino. Rino menatap punggung Karin yang semakin lama semakin mengecil di penglihatannya.
Tak lama, Karin kembali dengan membawa botol berukuran sedang di tangannya. Sambil berlari, ia menghampiri Rino yang ternyata sedang terduduk di sebuah bangku kayu panjang. Rino menatap Karin yang semakin lama semakin mendekat ke arahnya.
“Pakai ini,” Karin menyerahkan botol pembersih wajah. Rino langsung mengernyitkan dahinya.
Dan dengan polosnya ia berkata, “Ini dibasuh ke muka?”
To be continued.
Views: