Tulisan ini diikutkan ke dalam lomba ‘Novel Always With Me by Hyun Go Wun’.
“Hei! Lemak berjalan!”
Suara itu kontan membuat sekeliling terdengar riuh. Tak terkecuali aku. Aku memang seringkali dibuatnya malu, tanpa tanggung-tanggung.
Aku menatap sebal ke arahnya dengan kedua tangan digeramkan. Ia hanya tersenyum puas melihat responku yang pasti diinginkannya. Telingaku semakin panas ketika mengetahui ia kembali mengejekku bersama dengan teman-temannya.
Kali ini aku sudah tak tahan lagi. Sudah lama sekali aku bersabar dengan sifatnya tersebut.
Dengan langkah besar dan sedikit mengguncang lemak yang bersarang di tubuhku, aku menghampirinya dengan tatapan membunuh. Kedua tanganku masih menggeram sampai dibuat memutih.
Teman-temannya langsung terdiam ketika aku menghampiri mereka. Dan Romeo—seharusnya nama itu memang tak pantas diberikan untuknya—yang masih tertawa, akhirnya disenggol temannya untuk menghentikan tawanya. Memberitahu kalau aku sudah berada di hadapannya.
Ia tak menampangkan wajah kagetnya. Justru ia terlihat bergembira seperti baru saja mendapatkan mainan baru.
“Aaaand.. This is our BIG Cinderella!” lantangnya hingga membuat teman-temannya kembali tertawa sekaligus was-was karena aku sudah berada di hadapan mereka. Romeo menekankan kata “BIG” yang tentu saja ia pasti sedang menyindirku.
Romeo langsung beranjak dari tempat duduknya dan kemudian berdiri tepat di hadapanku.
“Ada masalah, tuan putri? Apa lo kehilangan salah satu sepatu lo lagi?” Telingaku semakin memanas. “Oh, I mean, one of your BIG shoes,” tambahnya lagi dengan senyuman mengejek yang terbentuk dari bibirnya.
“Oh, iya. Gue kehilangan salah satu sepatu besar gue,” balasku santai yang kemudian ketika ia lengah, aku langsung menginjak salah satu sepatu yang membungkus kakinya dengan geram. “Rasain!” teriakku di depan wajahnya langsung dan kemudian berlalu dari hadapannya ketika ia meringis kesakitan.
Aku kembali menoleh ke arah belakang ketika ia kembali mengatakan sesuatu yang membuat telingaku panas, lagi.
“Untung dia nggak pakai sepatu hak. Hahaha,” sambil meringis pun, ia tertawa.
Suara itu kontan membuat sekeliling terdengar riuh. Tak terkecuali aku. Aku memang seringkali dibuatnya malu, tanpa tanggung-tanggung.
Aku menatap sebal ke arahnya dengan kedua tangan digeramkan. Ia hanya tersenyum puas melihat responku yang pasti diinginkannya. Telingaku semakin panas ketika mengetahui ia kembali mengejekku bersama dengan teman-temannya.
Kali ini aku sudah tak tahan lagi. Sudah lama sekali aku bersabar dengan sifatnya tersebut.
Dengan langkah besar dan sedikit mengguncang lemak yang bersarang di tubuhku, aku menghampirinya dengan tatapan membunuh. Kedua tanganku masih menggeram sampai dibuat memutih.
Teman-temannya langsung terdiam ketika aku menghampiri mereka. Dan Romeo—seharusnya nama itu memang tak pantas diberikan untuknya—yang masih tertawa, akhirnya disenggol temannya untuk menghentikan tawanya. Memberitahu kalau aku sudah berada di hadapannya.
Ia tak menampangkan wajah kagetnya. Justru ia terlihat bergembira seperti baru saja mendapatkan mainan baru.
“Aaaand.. This is our BIG Cinderella!” lantangnya hingga membuat teman-temannya kembali tertawa sekaligus was-was karena aku sudah berada di hadapan mereka. Romeo menekankan kata “BIG” yang tentu saja ia pasti sedang menyindirku.
Romeo langsung beranjak dari tempat duduknya dan kemudian berdiri tepat di hadapanku.
“Ada masalah, tuan putri? Apa lo kehilangan salah satu sepatu lo lagi?” Telingaku semakin memanas. “Oh, I mean, one of your BIG shoes,” tambahnya lagi dengan senyuman mengejek yang terbentuk dari bibirnya.
“Oh, iya. Gue kehilangan salah satu sepatu besar gue,” balasku santai yang kemudian ketika ia lengah, aku langsung menginjak salah satu sepatu yang membungkus kakinya dengan geram. “Rasain!” teriakku di depan wajahnya langsung dan kemudian berlalu dari hadapannya ketika ia meringis kesakitan.
Aku kembali menoleh ke arah belakang ketika ia kembali mengatakan sesuatu yang membuat telingaku panas, lagi.
“Untung dia nggak pakai sepatu hak. Hahaha,” sambil meringis pun, ia tertawa.
***
Ya, kemarin aku memang sempat kehilangan salah satu sepatuku. Tentu saja aku harus menahan malu ketika mencari salah satu sepatuku yang hilang dengan hanya menggunakan satu sepatu di kakiku. Dan tak perlu dipungkiri lagi, pelakunya memang Romeo. Anak kurang ajar itu memang tak pernah berhenti untuk mengerjaiku.
“Rom, sepatu gue lo ke manain?!” pekikku ketika melihat Romeo berada di pandanganku. Aku tak peduli banyak pasang mata yang menoleh ke arahku.
“Ram, Rom, Ram, Rom. Emangnya lo kira gue compact disk apa?”
“Lo sendiri juga panggil gue Big Cinderella. Jelas-jelas nama gue Putri,” balasku tak kalah sengit.
“Lho? Putri Cinderella kan juga bagus, Big Cinderella juga bagus, sih. Biar lo kelihatan anggun di antara lemak-lemak lo ini,” ucapnya sembari tersenyum mengejek.
“Rom. Lo nggak tega apa gue pulang cuma pakai satu sepatu? Ngotak dikit kenapa sih kalau mau ngerjain gue.”
Romeo langsung mengubah air wajahnya. “Gue nggak tahu.” Dan kemudian ia langsung berlalu dari hadapanku.
Dan hari ini, aku terpaksa menggunakan sepatu adikku yang jelas-jelas ukurannya lebih kecil dibandingkan sepatu yang kugunakan kemarin. Aku benar-benar harus menanggung malu ketika pulang sekolah. Itu pun aku juga menunggu sekolah sepi akan penghuni.
“Eh, lo dipanggil Pak Uswan ke ruang olahraga tuh,” ucap Rini ketika ia lewat di hadapanku.
Ruang olahraga? Ah, sudah tahu aku memang tak suka dengan olahraga. Kenapa aku harus berkutat dengan pakarnya? Sepertinya, ia akan mengomeliku karena minggu-minggu terakhir aku sering absen di pelajarannya.
Ketika aku memasuki ruang olahraga, terlihat kosong, tak ada penghuninya sama sekali. Apa jangan-jangan Pak Usman berada di luar ruangan?
Aku kembali berjalan memasuki ruangan, memastikan Pak Usman memang berada di dalam.
“Pak Usman,” panggilku. “Pak Usman?”
Tak ada jawaban. Namun, tiba-tiba saja ada satu tangan yang hinggap di bahuku. Sudahlah, aku pasrah kalau telingaku harus panas mendengar omelan Pak Usman.
“Eh, Bapak,” ucapku sembari menoleh ke arah belakang. Namun yang kudapati bukan Pak Usman, melainkan si anak kurang ajar itu, Romeo. “Ngapain lo ke sini?” sungutku langsung sinis.
“Happy birthday,” ucapnya yang kemudian langsung mengeluarkan sebuah kotak yang ia umpatkan di belakang punggungnya. Aku langsung mengernyit. Apa anak ini sudah kehabisan akal? Apa dia pikir aku bodoh kalau di dalam kotak tersebut memang terdapat banyak hewan menjijikan?
“Gue lagi nggak mau main-main, pergi sana,” balasku sinis sambil menepis kotak tersebut.
“Lo nggak ingat hari ini ulang tahun lo?”
Sedetik kemudian aku mulai teringat. Astaga. This is my day!
“Dan lo nggak mau terima hadiah dari gue?”
Aku langsung menatap ke arahnya. Aku tak bisa membaca raut wajahnya yang ingin mengerjaiku atau memang sedang bersungguh-sungguh.
“Kalau isinya hewan menjijikan, gue janji bakal ngelempar ini ke muka lo!”
“Kalau begitu, gue langsung kabur,” balasnya santai ditambah dengan senyumannya.
Perlahan, aku mengambil kotak dari tangannya dan membuka kotak tersebut dengan hati-hati. Mungkin saja isi kotak ini adalah hewan yang menjijikan. Namun yang kulihat benar-benar di luar kepala.
“Ini... buat gue?”
Romeo membalas tersenyum. “Happy birthday. Dan sori untuk sepatu lo. Gue sengaja ngambil, soalnya gue nggak tahu ukuran sepatu lo.”
Aku langsung mengambil salah satu sepatu dalam kotak tersebut, dan menusukkan ujung runcing sepatu ke arah pinggang Romeo. “Dasar anak kurang ajar.”
Views: