“Mom! Aku mau boneka yang itu!” Claris menunjuk ke arah etalase di mana di dalamnya terdapat boneka barbie yang khas dengan kaki jenjangnya.
Siapa yang tak suka dengan boneka ini? Bagi anak perempuan seperti Claris, Barbie seperti barang yang harus dan memang wajib untuk dimiliki.
“Kamu nggak mau boneka teddy bear aja, sayang?” tawar ibunya mencoba memberi pilihan yang lain.
Yah, setidaknya teddy bear lebih awet dibandingkan boneka barbie yang bagian tubuhnya terkadang gampang putus. Kecuali memang boneka barbie itu mahal. Jaminan untuk awet dalam jangkauan bulan mungkin bisa. Namun, Claris termasuk pemilik mainan yang dalam jangkauan minggu dengan mudahnya dapat rusak.
Claris langsung merengut. Ia menggigit bibir bawahnya. Ia tetap menunjuk ke arah boneka barbie yang menggunakan gaun pendek berwarna putih itu. Bukan hanya gaunnya, Claris cukup menyukai gaya model rambut panjang ikal yang dimiliki boneka barbie itu. Selain itu, sepertinya boneka barbie yang ditunjuknya itu juga terlihat lebih menarik hati dibandingkan boneka barbie yang lain.
“Oke-oke. Kamu mau berapa boneka barbie, sayang?” tanya ibunya sambil berjalan memasuki toko boneka tersebut. Claris membuntuti dari belakang. Matanya hanya terpaku pada boneka barbie tersebut.
“Yang itu aja, Mom, yang aku tunjuk.” Claris masih bersikukuh hanya ingin memiliki boneka barbie tersebut.
Ibunya langsung menoleh ke arah Claris. Tak biasanya gadis kecilnya tersebut hanya menginginkan satu mainan baru. Bahkan sepertinya Claris memang benar-benar terpukau hanya pada boneka barbie yang akan menjadi miliknya tersebut.
Ah, tapi sepertinya itu hal yang biasa. Boneka barbie kan memang cantik. Gadis kecil seperti Claris pasti mengagumi boneka barbie. Dan mungkin Claris memang agak sedikit bosan dengan membali banyak-banyak mainan yang baru.
“Ya sudah.” Pandangan ibunya langsung beralih pada milik toko. “Mbak, boneka barbie yang gaun putih itu satu ya.”
“Mom, aku mau boneka barbie langsung aku bawa, nggak usah dimasukin ke kotak lagi,” pinta Claris tak sabaran.
Yah, namanya juga anak semata wayang. Apa pun permintaan gadis kecilnya, pasti dituruti.
Sang pemiliki toko langsung mengeluarkan boneka barbie tersebut dari dalam etalase dan memberikannya kepada Claris. Dengan riang Claris menerimanya. Ibunya mulai tersenyum karena bisa melihat anak semata wayangnya kembali riang. Sudah akhir-akhir bulan ini, gadis kecilnya selalu merengut dengan alasan yang tak jelas.
“Mom,” Claris menarik ujung pakaian yang dikenakan oleh ibunya. “Ayo pulang, nanti keburu Papi pulang kerja. Aku mau nunjukin boneka barbie aku yang baru.”
Ibunya langsung membayar boneka barbie yang sudah berpindah ke tangan Claris tersebut.
Dentang jam di tengah malam menggerayapi seluruh ruangan di rumah itu. Rumah itu memang besar. Namun cukup terlalu besar untuk hanya ditempati oleh Claris dan kedua orangtuanya. Dan juga mungkin pembantunya yang bahkan tinggal di pekarangan belakang rumah.
Claris terbangun oleh suara-suara kecil yang seperti sedang memanggilnya. Namun sepertinya itu hanya angin yang mengempas ke arah jendela kamarnya. Namun, akhirnya ia terbangun juga karena hasrat ingin buang air kecil yang sudah tak bisa ia tahan lagi.
Claris hanya tinggal sendiri di lantai dua. Di mana, di lantai dua memang hanya terdapat dunianya sendiri. Di lantai dua dipenuhi berbagai macam mainannya.
Claris berjalan gontai menuju pintu kamarnya. Lalu ia berjalan menuju kamar mandi yang hanya berjarak lima langkah dari pintu kamarnya. Namun ketika ia ingin membuka pintu, terdengar samar-samar suara seorang wanita dari dalam kamar mandi.
“Mom?” desis Claris pelan sambil mengucek matanya. Mungkin, ibunya memang berada di kamar mandi lantai dua. Tetapi, bukankah di lantai bawah juga terdapat kamar mandi? Bahkan di kamar ibunya pun terdapat kamar mandi khusus.
Claris sedikit membelalakkan matanya. Ia heran sekaligus takjub dengan apa yang kini dilihatnya. Tunggu, ini bukan kamar mandinya. Melainkan, sebuah ruangan?
Terdengar suara lenguhan yang memburu. Hasrat Claris yang tadinya ingin buang air kecil langsung menghilang karena melihat keanehan di depan matanya. Namun, ia cukup penasaran dengan kamar mandinya yang tiba-tiba saja berubah menjadi sebuah ruangan seperti ini.
Claris mencoba masuk lebih dalam, mungkin saja itu memang ibunya.
Dan kaget bukan main, Claris melihat sesuatu yang seharusnya tak ia lihat di usianya yang masih seumur jagung—walaupun hanya sekedar french kiss. Claris tidak langsung berteriak, namun ia langsung menutup wajahnya menggunakan kedua tangannya.
Itu pasti ibu dan ayahnya. Ia kenal sekali dengan postur ayah dan ibunya. Apalagi, ia juga mengenali gelang emas yang seringkali digunakan oleh ibunya di tangan kiri. Tetapi, buat apa mereka... melakukan hal itu... di sini?
Dengan niat nakal, Claris mengintip dari jemari tangannya. Matanya justru semakin membelalak ketika ia melihat sebilah pisau berukuran besar berada di tangan kiri ibunya. Bersiap untuk menancap... ke arah tubuh ayahnya!
“Ayah!” pekik Claris cukup keras.
Namun terlambat, pisau berukuran besar itu sudah mengoyak bagian belakang tubuh ayahnya. Tubuh ayahnya langsung menghantam jatuh ke lantai. Setelah itu, ibunya menarik pisau tersebut dari punggung belakang ayahnya dan kembali menusuk ke arah perut suaminya sendiri. Pisau itu perlahan ditarik ke perut bagian atas, kemudian menuju dada bagian kiri. Jantung.
Claris merasakan dadanya sesak. Ia ingin sekali menjerit, namun tertahan karena melihat kejadian tragis tersebut. Kenapa ibunya dengan tega membunuh ayahnya?
“Jangan coba-coba kabur, sayang.” Suara itu cukup mengagetkan Claris yang kini hanya bisa menangis dan menutup mulutnya agar ia tak bersuara. “Atau, dengan tega aku juga akan membunuhmu.”
“Mom..”
Claris langsung membalikkan tubuhnya. Namun sayang sekali, sebuah pisau justru ikut menancap di tubuhnya. Membuat tubuh kecil itu hanya meninggalkan sebuah napas yang bahkan tak tertolong.
“Non? Non Claris?! Non?!” Sebuah suara sedikit membangunkan Claris yang kini setengah sadar. “Nyonya! Non Claris! Non Claris...”
“Kamu kenapa teriak sih, Na?” sahut Monica yang berada di lantai satu. Monica memang menyuruh Una—pembantu rumahnya—untuk membangunkan Claris.
“Non Claris, nyonya...”
Monica langsung beranjak berdiri dan berlari ke arah tangga. Pasti ada yang tidak beres dengan Claris.
Setelah mencapai lantai dua, Monica berlari ke arah kamar mandi. Ia mendapatkan putri kecilnya berada di pangkuan Una. Claris sangat terlihat lemas, bahkan wajahnya pun ikut pucat. Tarikan napasnya cukup lambat.
“Claris?!” pekik Monica yang langsung mengambil alih Claris menuju pangkuannya. Perlahan Monica menepuk-nepuk pipi gadis kecilnya tersebut. Terdengar napas tertahan dari Claris. Ia mulai tak sabaran dan semakin terpancar aura gelisah takut anak semata wayangnya akan ‘lewat’.
Perlahan, Claris membuka kelopak matanya. Ia langsung berteriak melihat apa yang di depan matanya. Ia langsung menjauh dari ibunya dan memeluk apa yang berada di tangannya—boneka barbienya. Kemudian, ia langsung berlindung di belakang Una.
“Claris? Kamu kenapa, nak?” tanya ibunya sedikit lirih.
“Pergi!”
Monica cukup kaget mendengar anaknya sendiri mengusir dirinya.
“Ini Mami nak... kamu kenapa sayang?”
Claris mengintip dari celah lengan Una. Tatapan ibunya kini benar-benar nanar. Kini, Claris menoleh ke arah belakang. Tak ada perubahan sedikit pun pada kamar mandi tersebut. Sepertinya, tadi malam ia hanya bermimpi. Mimpi buruk.
Claris keluar dari balik punggung Una. Kini ia tengah berjalan menuju ibunya dan memeluknya dengan erat.
“Maaf, Mom. Claris... Claris mimpi buruk semalem...” kata Claris yang kembali terisak. Monica langsung mengelus punggung Claris dan mengecup puncak kepalanya.
“Ya sudah, jangan dipikirkan, itu cuma mimpi buruk. Ayo, kita ke kamar,” ajak Monica yang kemudian langsung membawa Claris menuju ke dalam kamarnya. Claris hanya menurut sambil menundukkan kepalanya.
Claris menatap heran di tangannya. Kenapa di tangannya terdapat boneka barbie itu?
“Clarisnya ada, Bi?” tanya Bella yang tiba-tiba saja mendatangi rumah Claris. Gadis kecil itu adalah teman baru Claris. Mereka baru bertemu di saat kemarin Claris bermain di taman dekat rumahnya. Tak sengaja, ia bertemu dengan Bella yang juga sedang membawa boneka barbienya.
“Ada kok,” jawab Una sambil tersenyum. “Mau main sama Non Claris ya?”
Bella mengangguk riang, membuat ujung-ujung rambut ikut bergerak. Una semakin mengembangkan senyumnya. Kemudian, ia menyentuh bahu Bella.
“Ayo Bibi anterin. Non Clarisnya ada di atas.”
Una mengantar Bella menuju lantai dua. Di sana, terdapat Claris yang sedang memainkan boneka barbienya. Tadi pagi, ia mendapatkan kejutan dari ayahnya. Ia dibelikan sebuah rumah-rumahan khusus untuk boneka barbienya. Senang bukan main, seharian Claris terus bermain dengan boneka barbienya.
“Non Claris, ada Non Bella main ke rumah nih,” kata Una yang sedikit mengganggu jam bermain Claris. Claris menoleh, ia langsung tersenyum ketika melihat Bella bermain ke rumahnya dan juga membawa boneka barbienya.
“Bella! Ayo main sama aku! Sini-sini!” ajak Claris girang sambil mengibas-ngibaskan tangannya.
Bella langsung menghampiri Claris. “Wah, rumah-rumahan buat barbie ya?” Bella ikut antusias melihat rumah-rumahan baru milik Claris. Claris langsung mengangguk.
Una ikut tersenyum melihat anak majikannya bertemu dengan teman barunya. Ia langsung turun meninggalkan dua gadis kecil tersebut untuk menyiapkan makanan ringan. Yah, namanya juga anak kecil. Setidaknya sedikit kudapan dibutuhkan untuk mereka.
“Kamu dibeliin ya sama ayahmu?” tanya Bella sambil membenarkan gaun boneka barbienya sendiri.
Claris mengangguk. “Tadi pagi baru dibeliin. Ayahku baik, kan?”
“Iya, Ayah kamu baik, nggak kayak Ayah aku,” Suara Bella sedikit melemah. Sorot matanya juga ikut meredup ketika Claris mengungkit-ungkit tentang ‘ayah’.
“Ayah kamu emangnya kenapa?”
Bella terdiam sebentar, kemudian menatap nanar ke arah Claris. Claris agak tersentak menerima tatapan tersebut.
“Yah, keliatannya sih baik di depan, tapi orang-orang pasti nggak bakal nyangka bagaimana sifat aslinya. Belum lagi...” Bella langsung mengibaskan tangannya. “Aduh! Aku ini ngomong apa sih! Kita main barbie aja yuk! Eh, kamu punya gaun barbie yang lain nggak?”
Claris langsung menghilangkan lamunannya. “Yah, waktu itu aku lupa minta. Abis aku kepengin cepet-cepet punya boneka barbie ini sih, takut udah dibeli sama orang. Hehe,” kekeh Claris. Bella juga ikut tersenyum.
Tiba-tiba saja, datang Una dari belakang mereka, membawakan kudapan kecil beserta minumannya.
“Ini, snack-nya dimakan dulu. Lumayan, buat ganjil perut,” kata Una yang menghampiri mereka. Claris langsung menyambar minumannya. Berbeda dengan Bella yang agak malu-malu ingin mengambil minumannya.
“Makasih ya, Bi. Mom belum pulang ya?”
Una menggeleng. “Belum tuh, Non. Kata ibu Non kayaknya ibu pulang agak malam, ada urusan di luar kota. Emangnya ibu nggak pamit sama Non?”
“Pamit sih, tapi tadi aku lagi main barbie. Hehehe.”
Una sedikit tersenyum. “Ya udah, lanjutin mainnya. Bibi mau masak dulu, nanti kalian makan ya.”
Una langsung beranjak dan kembali meninggalkan mereka berdua. Claris mulai menyantap kudapan yang dibawakan pembantunya. Namun, tiba-tiba saja Bella kembali terdiam.
“Kamu kenapa, Bel?” tanya Claris heran.
Bella langsung menoleh. “Enggak, kok. Eh, aku pulang dulu ya. Aku belum bilang ke Mama kalau aku main ke rumah kamu.”
“Yah, kamu nggak mau makan dulu di sini?”
Bella menggeleng. “Penginnya sih gitu. Tapi aku takut nanti Mama ngomel-ngomel.” Claris hanya mengangguk kecil. Kemudian Bella berdiri. “Oh iya, kamu beli boneka barbie itu di mana, Ris?”
Claris langsung menunjukkan boneka barbienya. “Ini? Oh, di mall.. apa ya namanya? Kenapa emangnya? Kamu mau beli lagi ya?”
“Kayaknya. Abis, barbie kamu bagus banget. Aku jadi kepengin beli lagi.” Claris hanya tersenyum. “Boneka itu jangan sampe hilang ya, kamu bawa aja terus ke mana-mana. Sayang banget kalo hilang.”
Claris hanya mengangguk, kemudian Bella berpamitan untuk pulang ke rumahnya.
“Mom belum pulang ya?” gumam Claris sambil mengucek-ngucek matanya. Tiba-tiba saja ia terbangun dan ingin mencari ibunya.
Perlahan, Claris beranjak dari ranjangnya. Tak lupa, ia mengambil boneka barbie yang ia letakkan di sisi ranjang. Kemudian ia keluar dari kamarnya, menuju tangga. Mungkin saja ibunya sudah pulang. Malam ini, ia kurang nyenyak dalam tidurnya. Ia ingin tidur dengan ibu dan ayahnya.
Keadaan di lantai bawah tak terlalu terang. Sepertinya ibunya belum pulang.
Mata Claris menoleh ke arah ruangan dengan pintunya yang sedikit terbuka. Mengeluarkan cahaya yang lebih terang dibandingkan cahaya di luar ruangan tersebut. Ruang kerja ayahnya. Sepertinya, ayahnya belum terlelap malam ini.
Claris melanjutkan langkahnya menuju ruangan ayahnya.
“Non Claris? Non belum tidur? Atau kebangun?”
Claris membalikkan tubuhnya. Una sudah memakai baju piyamanya. Yah, setidaknya ia memakainya hanya jika ingin tertidur.
“Mom belum balik, Bi?”
Una langsung menepuk nyamuk yang menghinggap di tangan kanannya. Kemudian ia menggeleng. “Belum tuh Non. Ibu juga belum nelepon Bibi.”
Claris langsung terdiam menatap tangan kiri Una. Gelang emas itu...
Claris langsung berlari ke arah ruang kerja ayahnya dan mendorong pintu dengan keras. Kaget bukan main, tubuh ayahnya kini tergeletak di lantai dengan tubuh penuh dengan darah. Bahkan, lantainya juga menggenangi darah yang mengucur dari tubuh ayahnya.
“Ayah!!!” Claris teriak histeris. Kemudian, ia langsung membalikkan tubuhnya. Ia sudah tak mendapati Una di sana. Ia harus... ia harus...
Claris langsung keluar dari ruang kerja ayahnya. Namun, langkahnya langsung limbung ketika Una meloncat ke arahnya dengan membawa pisau di tangannya. Senyum penuh ketulusan itu sudah tak terlihat lagi, berganti dengan senyum penuh kebengisan. Alisnya berubah menaik, mengeluarkan mimik kejahatan. Rahangnya agak mengetat, siap menerjang Claris kapan pun.
Claris memundurkan langkahnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Air matanya langsung mengalir di pipinya. Ternyata mimpi buruk itu benar-benar terjadi, hari ini.
“Apa salah ayah, Bi?! Kenapa Bibi bunuh Ayah?!”
“Kamu nuduh Bibi?”
Claris menatap Una heran. “Oh, jadi kamu udah tau saya yang bunuh Papi kamu? Bagus-bagus. Kamu mengambil kesimpulan yang bagus. Lagi pula, siapa juga yang membunuhnya selain saya yang berada di rumah ini? Pembunuhnya nggak mungkin kamu kan? Kamu kan masih kecil, pegang pisau aja nggak becus.”
Pandangan Claris berpindah pada pisau yang dipegang oleh Una.
“Bi... pisau itu untuk apa Bi...”
Una juga ikut menoleh ke arah pisau yang dipegangnya. “Ini pisau daging, ya untuk memotong dan mengiris daging tentunya.” Una kembali tersenyum sinis. “Dan terutama juga untuk membungkam anak kecil, seperti kamu.”
“Bi... Bibi...”
“Mau tau kenapa saya melakukan hal ini? Papi kamu itu bejat, sayang. Sama wanita mana aja dia mau, terutama saya. Yah, saya akuin saya emang cukup cantik. Beda tipis sama Mami kamu karena saya lebih muda dibandingkan Mami kamu. Dan tau apa yang terjadi selanjutnya?” Claris meneguk ludahnya, terasa sakit.
“Aduh, saya lupa kalo kamu itu masih kecil. Jadi, nggak bakalan tau dan ngerti apa yang saya ceritain ini. Jadi, daripada saya buang-buang waktu, kamu ada kata-kata terakhir nggak? Satu atau dua kata gitu?”
Leher Claris terasa tercekik. Ia tak menyangka, seseorang yang dekat dengannya bahkan bisa melakukan hal seperti itu.
Karena tak sabaran dengan Claris yang tak berkata-kata, Una kembali melangkah untuk menerjang Claris. Namun tiba-tiba saja, sebuah tangan langsung menepis tangan kanan Una dengan kasar. Bahkan Una sempat berteriak histeris saking sakitnya.
“Bella?!”
Bella sedikit menoleh ke arah Claris yang berada di belakangnya. “Nanti aja ya, Ris. Aku mau ngomong sama pembantu kamu dulu.” Bella kembali memandangi Una. “Gimana? Sakit?”
“Kenapa kamu bisa masuk rumah ini?! Siapa kamu sebenarnya?!”
Una yang hendak ingin mengambil pisau yang sempat terlempar tadi, ia kembali menjerit di saat tangannya diinjak oleh Bella. Sakit bukan main, tenaganya berbeda dengan anak kecil sepertinya.
“Buat apa kamu ambil pisau itu? Mau coba ngebunuh aku?” Una menatap Bella penuh amarah. Perlahan, Bella mengangkat kakinya, kemudian, pisau tersebut langsung ia tendang menjauh dari jangkauan Una.
“Anak kecil seperti kamu...” Una langsung meloncat menerjang Bella dan menyekik leher gadis kecil itu. “Harus mati!” Namun, Bella terlihat santai dengan menatap tajam ke arah Una.
“Kamu yang harus mati,” balas Bella yang kemudian langsung menendang perut Una. Una jatuh terjengkang ke belakang.
“Kamu bukan manusia! Pasti kamu... iblis!”
“Aku manusia, tapi itu dulu.”
Bulu kuduk Claris langsung meremang. Jadi, yang kemarin bermain bersama dengannya adalah...
“Siapa kamu?! Kenapa kamu ganggu saya?!”
“Ganggu? Hahaha. Bibi ini lucu banget sih. Aku cuma mau nyelametin Claris kok dari tangan kotor kamu. Karena...” Sorot mata Bella langsung berubah. “Claris adalah adik aku.”
Mata Una langsung membelalak. Selama tiga tahun bekerja di rumah ini, ia tak pernah mendengar rumor tentang Claris yang mempunyai kakak. Tetapi, apa ini?
“Dan aku juga mau nyelametin Mom yang mungkin... akan kamu bunuh nanti.”
“Kakak? Hahaha. Jangan ngaco, Claris nggak pernah punya kakak, dan si Monica emang cuma punya anak satu, Claris.”
Bella sedikit memiringkan kepalanya. “Buat apa kamu tau? Claris aja yang sebagai adik kandungku nggak pernah dikasih tau, bagaimana kamu yang di sini cuma kerja sebagai pembantu?”
Una kembali membelalakkan matanya. Tak perlu basa-basi lagi, ia kembali beranjak berdiri untuk menerjang Bella. Tidak, Bella tidak akan bisa mati karena ia sudah mati. Una ingin langsung membunuh Claris menggunakan tangannya sendiri.
“Claris, kamu harus menghadap ke belakang,” perintah Bella.
Namun tiba-tiba saja, sebuah pisau menancap di area leher Una yang hendak menerjang Claris. Una langsung bermuntahkan darah. Dengan sekejap, Una langsung terjatuh ke lantai. Matanya membelalak menatap ke arah Bella. Napasnya yang tinggal satu-satu, kini tak bersisa.
Bella langsung menghampiri Claris. Ia menggapai tangan adiknya.
“Kalo kamu penasaran sama aku, kamu bisa tanya Mom. Setelah kejadian ini, mungkin Mom mau mengatakan segalanya tentang aku. Kamu jangan takut, aku ke sini hanya untuk menolong kamu sama Mom. Sekali lagi,” Bella menatap boneka barbie yang digenggam keras oleh Claris. “Jaga boneka ini baik-baik ya. Kakak senang bisa main boneka barbie sama kamu.”
Bella langsung berlalu dari hadapan Claris. Dan... menghilang.
Tiba-tiba saja, Claris ambruk jatuh ke lantai.
Setelah kejadian itu, Claris langsung dibawa menuju rumah sakit. Ibunya menangis sejadi-jadinya, tak menyangka hal ini bisa terjadi kepadanya. Setelah Claris tersadar dari pingsannya, perlahan ia mengatakan seluruhnya kepada ibunya. Ibunya hanya bisa terdiam, tak melakukan pergerakan apa pun.
“Mom?” panggil Claris untuk menyadarkan ibunya.
Ibunya langsung menoleh ke arah Claris. “Kamu... memang punya kakak, sayang. Namanya Bella. Dia meninggal pada kecelakaan mobil di saat dia pulang sekolah. Maaf Mom nggak pernah kasih tau hal ini ke kamu.”
Diketahui, ayahnya memang sudah berselingkuh dengan pembantunya akhir-akhir tahun ini. Hal itu juga tak memuaskan Una hanya karena ia terus berada di balik istrinya. Akhirnya dengan nekat, Una juga ingin memiliki kekayaan keluarga tersebut dengan membunuh satu per satu keluarga yang selama tiga tahun ini menjadi tempat teduhnya.
Dan setelah kejadian itu juga, Claris lebih bungkam. Ia menjadi penyendiri dan terus saja bermain dengan boneka barbienya.
Siapa yang tahu kalau boneka barbie bisa menjadi petunjuk dalam kejadian seperti ini?
Dan, bagaimana keadaan boneka barbiemu di rumah?
Siapa yang tak suka dengan boneka ini? Bagi anak perempuan seperti Claris, Barbie seperti barang yang harus dan memang wajib untuk dimiliki.
“Kamu nggak mau boneka teddy bear aja, sayang?” tawar ibunya mencoba memberi pilihan yang lain.
Yah, setidaknya teddy bear lebih awet dibandingkan boneka barbie yang bagian tubuhnya terkadang gampang putus. Kecuali memang boneka barbie itu mahal. Jaminan untuk awet dalam jangkauan bulan mungkin bisa. Namun, Claris termasuk pemilik mainan yang dalam jangkauan minggu dengan mudahnya dapat rusak.
Claris langsung merengut. Ia menggigit bibir bawahnya. Ia tetap menunjuk ke arah boneka barbie yang menggunakan gaun pendek berwarna putih itu. Bukan hanya gaunnya, Claris cukup menyukai gaya model rambut panjang ikal yang dimiliki boneka barbie itu. Selain itu, sepertinya boneka barbie yang ditunjuknya itu juga terlihat lebih menarik hati dibandingkan boneka barbie yang lain.
“Oke-oke. Kamu mau berapa boneka barbie, sayang?” tanya ibunya sambil berjalan memasuki toko boneka tersebut. Claris membuntuti dari belakang. Matanya hanya terpaku pada boneka barbie tersebut.
“Yang itu aja, Mom, yang aku tunjuk.” Claris masih bersikukuh hanya ingin memiliki boneka barbie tersebut.
Ibunya langsung menoleh ke arah Claris. Tak biasanya gadis kecilnya tersebut hanya menginginkan satu mainan baru. Bahkan sepertinya Claris memang benar-benar terpukau hanya pada boneka barbie yang akan menjadi miliknya tersebut.
Ah, tapi sepertinya itu hal yang biasa. Boneka barbie kan memang cantik. Gadis kecil seperti Claris pasti mengagumi boneka barbie. Dan mungkin Claris memang agak sedikit bosan dengan membali banyak-banyak mainan yang baru.
“Ya sudah.” Pandangan ibunya langsung beralih pada milik toko. “Mbak, boneka barbie yang gaun putih itu satu ya.”
“Mom, aku mau boneka barbie langsung aku bawa, nggak usah dimasukin ke kotak lagi,” pinta Claris tak sabaran.
Yah, namanya juga anak semata wayang. Apa pun permintaan gadis kecilnya, pasti dituruti.
Sang pemiliki toko langsung mengeluarkan boneka barbie tersebut dari dalam etalase dan memberikannya kepada Claris. Dengan riang Claris menerimanya. Ibunya mulai tersenyum karena bisa melihat anak semata wayangnya kembali riang. Sudah akhir-akhir bulan ini, gadis kecilnya selalu merengut dengan alasan yang tak jelas.
“Mom,” Claris menarik ujung pakaian yang dikenakan oleh ibunya. “Ayo pulang, nanti keburu Papi pulang kerja. Aku mau nunjukin boneka barbie aku yang baru.”
Ibunya langsung membayar boneka barbie yang sudah berpindah ke tangan Claris tersebut.
*
Dentang jam di tengah malam menggerayapi seluruh ruangan di rumah itu. Rumah itu memang besar. Namun cukup terlalu besar untuk hanya ditempati oleh Claris dan kedua orangtuanya. Dan juga mungkin pembantunya yang bahkan tinggal di pekarangan belakang rumah.
Claris terbangun oleh suara-suara kecil yang seperti sedang memanggilnya. Namun sepertinya itu hanya angin yang mengempas ke arah jendela kamarnya. Namun, akhirnya ia terbangun juga karena hasrat ingin buang air kecil yang sudah tak bisa ia tahan lagi.
Claris hanya tinggal sendiri di lantai dua. Di mana, di lantai dua memang hanya terdapat dunianya sendiri. Di lantai dua dipenuhi berbagai macam mainannya.
Claris berjalan gontai menuju pintu kamarnya. Lalu ia berjalan menuju kamar mandi yang hanya berjarak lima langkah dari pintu kamarnya. Namun ketika ia ingin membuka pintu, terdengar samar-samar suara seorang wanita dari dalam kamar mandi.
“Mom?” desis Claris pelan sambil mengucek matanya. Mungkin, ibunya memang berada di kamar mandi lantai dua. Tetapi, bukankah di lantai bawah juga terdapat kamar mandi? Bahkan di kamar ibunya pun terdapat kamar mandi khusus.
Claris sedikit membelalakkan matanya. Ia heran sekaligus takjub dengan apa yang kini dilihatnya. Tunggu, ini bukan kamar mandinya. Melainkan, sebuah ruangan?
Terdengar suara lenguhan yang memburu. Hasrat Claris yang tadinya ingin buang air kecil langsung menghilang karena melihat keanehan di depan matanya. Namun, ia cukup penasaran dengan kamar mandinya yang tiba-tiba saja berubah menjadi sebuah ruangan seperti ini.
Claris mencoba masuk lebih dalam, mungkin saja itu memang ibunya.
Dan kaget bukan main, Claris melihat sesuatu yang seharusnya tak ia lihat di usianya yang masih seumur jagung—walaupun hanya sekedar french kiss. Claris tidak langsung berteriak, namun ia langsung menutup wajahnya menggunakan kedua tangannya.
Itu pasti ibu dan ayahnya. Ia kenal sekali dengan postur ayah dan ibunya. Apalagi, ia juga mengenali gelang emas yang seringkali digunakan oleh ibunya di tangan kiri. Tetapi, buat apa mereka... melakukan hal itu... di sini?
Dengan niat nakal, Claris mengintip dari jemari tangannya. Matanya justru semakin membelalak ketika ia melihat sebilah pisau berukuran besar berada di tangan kiri ibunya. Bersiap untuk menancap... ke arah tubuh ayahnya!
“Ayah!” pekik Claris cukup keras.
Namun terlambat, pisau berukuran besar itu sudah mengoyak bagian belakang tubuh ayahnya. Tubuh ayahnya langsung menghantam jatuh ke lantai. Setelah itu, ibunya menarik pisau tersebut dari punggung belakang ayahnya dan kembali menusuk ke arah perut suaminya sendiri. Pisau itu perlahan ditarik ke perut bagian atas, kemudian menuju dada bagian kiri. Jantung.
Claris merasakan dadanya sesak. Ia ingin sekali menjerit, namun tertahan karena melihat kejadian tragis tersebut. Kenapa ibunya dengan tega membunuh ayahnya?
“Jangan coba-coba kabur, sayang.” Suara itu cukup mengagetkan Claris yang kini hanya bisa menangis dan menutup mulutnya agar ia tak bersuara. “Atau, dengan tega aku juga akan membunuhmu.”
“Mom..”
Claris langsung membalikkan tubuhnya. Namun sayang sekali, sebuah pisau justru ikut menancap di tubuhnya. Membuat tubuh kecil itu hanya meninggalkan sebuah napas yang bahkan tak tertolong.
*
“Non? Non Claris?! Non?!” Sebuah suara sedikit membangunkan Claris yang kini setengah sadar. “Nyonya! Non Claris! Non Claris...”
“Kamu kenapa teriak sih, Na?” sahut Monica yang berada di lantai satu. Monica memang menyuruh Una—pembantu rumahnya—untuk membangunkan Claris.
“Non Claris, nyonya...”
Monica langsung beranjak berdiri dan berlari ke arah tangga. Pasti ada yang tidak beres dengan Claris.
Setelah mencapai lantai dua, Monica berlari ke arah kamar mandi. Ia mendapatkan putri kecilnya berada di pangkuan Una. Claris sangat terlihat lemas, bahkan wajahnya pun ikut pucat. Tarikan napasnya cukup lambat.
“Claris?!” pekik Monica yang langsung mengambil alih Claris menuju pangkuannya. Perlahan Monica menepuk-nepuk pipi gadis kecilnya tersebut. Terdengar napas tertahan dari Claris. Ia mulai tak sabaran dan semakin terpancar aura gelisah takut anak semata wayangnya akan ‘lewat’.
Perlahan, Claris membuka kelopak matanya. Ia langsung berteriak melihat apa yang di depan matanya. Ia langsung menjauh dari ibunya dan memeluk apa yang berada di tangannya—boneka barbienya. Kemudian, ia langsung berlindung di belakang Una.
“Claris? Kamu kenapa, nak?” tanya ibunya sedikit lirih.
“Pergi!”
Monica cukup kaget mendengar anaknya sendiri mengusir dirinya.
“Ini Mami nak... kamu kenapa sayang?”
Claris mengintip dari celah lengan Una. Tatapan ibunya kini benar-benar nanar. Kini, Claris menoleh ke arah belakang. Tak ada perubahan sedikit pun pada kamar mandi tersebut. Sepertinya, tadi malam ia hanya bermimpi. Mimpi buruk.
Claris keluar dari balik punggung Una. Kini ia tengah berjalan menuju ibunya dan memeluknya dengan erat.
“Maaf, Mom. Claris... Claris mimpi buruk semalem...” kata Claris yang kembali terisak. Monica langsung mengelus punggung Claris dan mengecup puncak kepalanya.
“Ya sudah, jangan dipikirkan, itu cuma mimpi buruk. Ayo, kita ke kamar,” ajak Monica yang kemudian langsung membawa Claris menuju ke dalam kamarnya. Claris hanya menurut sambil menundukkan kepalanya.
Claris menatap heran di tangannya. Kenapa di tangannya terdapat boneka barbie itu?
*
“Clarisnya ada, Bi?” tanya Bella yang tiba-tiba saja mendatangi rumah Claris. Gadis kecil itu adalah teman baru Claris. Mereka baru bertemu di saat kemarin Claris bermain di taman dekat rumahnya. Tak sengaja, ia bertemu dengan Bella yang juga sedang membawa boneka barbienya.
“Ada kok,” jawab Una sambil tersenyum. “Mau main sama Non Claris ya?”
Bella mengangguk riang, membuat ujung-ujung rambut ikut bergerak. Una semakin mengembangkan senyumnya. Kemudian, ia menyentuh bahu Bella.
“Ayo Bibi anterin. Non Clarisnya ada di atas.”
Una mengantar Bella menuju lantai dua. Di sana, terdapat Claris yang sedang memainkan boneka barbienya. Tadi pagi, ia mendapatkan kejutan dari ayahnya. Ia dibelikan sebuah rumah-rumahan khusus untuk boneka barbienya. Senang bukan main, seharian Claris terus bermain dengan boneka barbienya.
“Non Claris, ada Non Bella main ke rumah nih,” kata Una yang sedikit mengganggu jam bermain Claris. Claris menoleh, ia langsung tersenyum ketika melihat Bella bermain ke rumahnya dan juga membawa boneka barbienya.
“Bella! Ayo main sama aku! Sini-sini!” ajak Claris girang sambil mengibas-ngibaskan tangannya.
Bella langsung menghampiri Claris. “Wah, rumah-rumahan buat barbie ya?” Bella ikut antusias melihat rumah-rumahan baru milik Claris. Claris langsung mengangguk.
Una ikut tersenyum melihat anak majikannya bertemu dengan teman barunya. Ia langsung turun meninggalkan dua gadis kecil tersebut untuk menyiapkan makanan ringan. Yah, namanya juga anak kecil. Setidaknya sedikit kudapan dibutuhkan untuk mereka.
“Kamu dibeliin ya sama ayahmu?” tanya Bella sambil membenarkan gaun boneka barbienya sendiri.
Claris mengangguk. “Tadi pagi baru dibeliin. Ayahku baik, kan?”
“Iya, Ayah kamu baik, nggak kayak Ayah aku,” Suara Bella sedikit melemah. Sorot matanya juga ikut meredup ketika Claris mengungkit-ungkit tentang ‘ayah’.
“Ayah kamu emangnya kenapa?”
Bella terdiam sebentar, kemudian menatap nanar ke arah Claris. Claris agak tersentak menerima tatapan tersebut.
“Yah, keliatannya sih baik di depan, tapi orang-orang pasti nggak bakal nyangka bagaimana sifat aslinya. Belum lagi...” Bella langsung mengibaskan tangannya. “Aduh! Aku ini ngomong apa sih! Kita main barbie aja yuk! Eh, kamu punya gaun barbie yang lain nggak?”
Claris langsung menghilangkan lamunannya. “Yah, waktu itu aku lupa minta. Abis aku kepengin cepet-cepet punya boneka barbie ini sih, takut udah dibeli sama orang. Hehe,” kekeh Claris. Bella juga ikut tersenyum.
Tiba-tiba saja, datang Una dari belakang mereka, membawakan kudapan kecil beserta minumannya.
“Ini, snack-nya dimakan dulu. Lumayan, buat ganjil perut,” kata Una yang menghampiri mereka. Claris langsung menyambar minumannya. Berbeda dengan Bella yang agak malu-malu ingin mengambil minumannya.
“Makasih ya, Bi. Mom belum pulang ya?”
Una menggeleng. “Belum tuh, Non. Kata ibu Non kayaknya ibu pulang agak malam, ada urusan di luar kota. Emangnya ibu nggak pamit sama Non?”
“Pamit sih, tapi tadi aku lagi main barbie. Hehehe.”
Una sedikit tersenyum. “Ya udah, lanjutin mainnya. Bibi mau masak dulu, nanti kalian makan ya.”
Una langsung beranjak dan kembali meninggalkan mereka berdua. Claris mulai menyantap kudapan yang dibawakan pembantunya. Namun, tiba-tiba saja Bella kembali terdiam.
“Kamu kenapa, Bel?” tanya Claris heran.
Bella langsung menoleh. “Enggak, kok. Eh, aku pulang dulu ya. Aku belum bilang ke Mama kalau aku main ke rumah kamu.”
“Yah, kamu nggak mau makan dulu di sini?”
Bella menggeleng. “Penginnya sih gitu. Tapi aku takut nanti Mama ngomel-ngomel.” Claris hanya mengangguk kecil. Kemudian Bella berdiri. “Oh iya, kamu beli boneka barbie itu di mana, Ris?”
Claris langsung menunjukkan boneka barbienya. “Ini? Oh, di mall.. apa ya namanya? Kenapa emangnya? Kamu mau beli lagi ya?”
“Kayaknya. Abis, barbie kamu bagus banget. Aku jadi kepengin beli lagi.” Claris hanya tersenyum. “Boneka itu jangan sampe hilang ya, kamu bawa aja terus ke mana-mana. Sayang banget kalo hilang.”
Claris hanya mengangguk, kemudian Bella berpamitan untuk pulang ke rumahnya.
*
“Mom belum pulang ya?” gumam Claris sambil mengucek-ngucek matanya. Tiba-tiba saja ia terbangun dan ingin mencari ibunya.
Perlahan, Claris beranjak dari ranjangnya. Tak lupa, ia mengambil boneka barbie yang ia letakkan di sisi ranjang. Kemudian ia keluar dari kamarnya, menuju tangga. Mungkin saja ibunya sudah pulang. Malam ini, ia kurang nyenyak dalam tidurnya. Ia ingin tidur dengan ibu dan ayahnya.
Keadaan di lantai bawah tak terlalu terang. Sepertinya ibunya belum pulang.
Mata Claris menoleh ke arah ruangan dengan pintunya yang sedikit terbuka. Mengeluarkan cahaya yang lebih terang dibandingkan cahaya di luar ruangan tersebut. Ruang kerja ayahnya. Sepertinya, ayahnya belum terlelap malam ini.
Claris melanjutkan langkahnya menuju ruangan ayahnya.
“Non Claris? Non belum tidur? Atau kebangun?”
Claris membalikkan tubuhnya. Una sudah memakai baju piyamanya. Yah, setidaknya ia memakainya hanya jika ingin tertidur.
“Mom belum balik, Bi?”
Una langsung menepuk nyamuk yang menghinggap di tangan kanannya. Kemudian ia menggeleng. “Belum tuh Non. Ibu juga belum nelepon Bibi.”
Claris langsung terdiam menatap tangan kiri Una. Gelang emas itu...
Claris langsung berlari ke arah ruang kerja ayahnya dan mendorong pintu dengan keras. Kaget bukan main, tubuh ayahnya kini tergeletak di lantai dengan tubuh penuh dengan darah. Bahkan, lantainya juga menggenangi darah yang mengucur dari tubuh ayahnya.
“Ayah!!!” Claris teriak histeris. Kemudian, ia langsung membalikkan tubuhnya. Ia sudah tak mendapati Una di sana. Ia harus... ia harus...
Claris langsung keluar dari ruang kerja ayahnya. Namun, langkahnya langsung limbung ketika Una meloncat ke arahnya dengan membawa pisau di tangannya. Senyum penuh ketulusan itu sudah tak terlihat lagi, berganti dengan senyum penuh kebengisan. Alisnya berubah menaik, mengeluarkan mimik kejahatan. Rahangnya agak mengetat, siap menerjang Claris kapan pun.
Claris memundurkan langkahnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Air matanya langsung mengalir di pipinya. Ternyata mimpi buruk itu benar-benar terjadi, hari ini.
“Apa salah ayah, Bi?! Kenapa Bibi bunuh Ayah?!”
“Kamu nuduh Bibi?”
Claris menatap Una heran. “Oh, jadi kamu udah tau saya yang bunuh Papi kamu? Bagus-bagus. Kamu mengambil kesimpulan yang bagus. Lagi pula, siapa juga yang membunuhnya selain saya yang berada di rumah ini? Pembunuhnya nggak mungkin kamu kan? Kamu kan masih kecil, pegang pisau aja nggak becus.”
Pandangan Claris berpindah pada pisau yang dipegang oleh Una.
“Bi... pisau itu untuk apa Bi...”
Una juga ikut menoleh ke arah pisau yang dipegangnya. “Ini pisau daging, ya untuk memotong dan mengiris daging tentunya.” Una kembali tersenyum sinis. “Dan terutama juga untuk membungkam anak kecil, seperti kamu.”
“Bi... Bibi...”
“Mau tau kenapa saya melakukan hal ini? Papi kamu itu bejat, sayang. Sama wanita mana aja dia mau, terutama saya. Yah, saya akuin saya emang cukup cantik. Beda tipis sama Mami kamu karena saya lebih muda dibandingkan Mami kamu. Dan tau apa yang terjadi selanjutnya?” Claris meneguk ludahnya, terasa sakit.
“Aduh, saya lupa kalo kamu itu masih kecil. Jadi, nggak bakalan tau dan ngerti apa yang saya ceritain ini. Jadi, daripada saya buang-buang waktu, kamu ada kata-kata terakhir nggak? Satu atau dua kata gitu?”
Leher Claris terasa tercekik. Ia tak menyangka, seseorang yang dekat dengannya bahkan bisa melakukan hal seperti itu.
Karena tak sabaran dengan Claris yang tak berkata-kata, Una kembali melangkah untuk menerjang Claris. Namun tiba-tiba saja, sebuah tangan langsung menepis tangan kanan Una dengan kasar. Bahkan Una sempat berteriak histeris saking sakitnya.
“Bella?!”
Bella sedikit menoleh ke arah Claris yang berada di belakangnya. “Nanti aja ya, Ris. Aku mau ngomong sama pembantu kamu dulu.” Bella kembali memandangi Una. “Gimana? Sakit?”
“Kenapa kamu bisa masuk rumah ini?! Siapa kamu sebenarnya?!”
Una yang hendak ingin mengambil pisau yang sempat terlempar tadi, ia kembali menjerit di saat tangannya diinjak oleh Bella. Sakit bukan main, tenaganya berbeda dengan anak kecil sepertinya.
“Buat apa kamu ambil pisau itu? Mau coba ngebunuh aku?” Una menatap Bella penuh amarah. Perlahan, Bella mengangkat kakinya, kemudian, pisau tersebut langsung ia tendang menjauh dari jangkauan Una.
“Anak kecil seperti kamu...” Una langsung meloncat menerjang Bella dan menyekik leher gadis kecil itu. “Harus mati!” Namun, Bella terlihat santai dengan menatap tajam ke arah Una.
“Kamu yang harus mati,” balas Bella yang kemudian langsung menendang perut Una. Una jatuh terjengkang ke belakang.
“Kamu bukan manusia! Pasti kamu... iblis!”
“Aku manusia, tapi itu dulu.”
Bulu kuduk Claris langsung meremang. Jadi, yang kemarin bermain bersama dengannya adalah...
“Siapa kamu?! Kenapa kamu ganggu saya?!”
“Ganggu? Hahaha. Bibi ini lucu banget sih. Aku cuma mau nyelametin Claris kok dari tangan kotor kamu. Karena...” Sorot mata Bella langsung berubah. “Claris adalah adik aku.”
Mata Una langsung membelalak. Selama tiga tahun bekerja di rumah ini, ia tak pernah mendengar rumor tentang Claris yang mempunyai kakak. Tetapi, apa ini?
“Dan aku juga mau nyelametin Mom yang mungkin... akan kamu bunuh nanti.”
“Kakak? Hahaha. Jangan ngaco, Claris nggak pernah punya kakak, dan si Monica emang cuma punya anak satu, Claris.”
Bella sedikit memiringkan kepalanya. “Buat apa kamu tau? Claris aja yang sebagai adik kandungku nggak pernah dikasih tau, bagaimana kamu yang di sini cuma kerja sebagai pembantu?”
Una kembali membelalakkan matanya. Tak perlu basa-basi lagi, ia kembali beranjak berdiri untuk menerjang Bella. Tidak, Bella tidak akan bisa mati karena ia sudah mati. Una ingin langsung membunuh Claris menggunakan tangannya sendiri.
“Claris, kamu harus menghadap ke belakang,” perintah Bella.
Namun tiba-tiba saja, sebuah pisau menancap di area leher Una yang hendak menerjang Claris. Una langsung bermuntahkan darah. Dengan sekejap, Una langsung terjatuh ke lantai. Matanya membelalak menatap ke arah Bella. Napasnya yang tinggal satu-satu, kini tak bersisa.
Bella langsung menghampiri Claris. Ia menggapai tangan adiknya.
“Kalo kamu penasaran sama aku, kamu bisa tanya Mom. Setelah kejadian ini, mungkin Mom mau mengatakan segalanya tentang aku. Kamu jangan takut, aku ke sini hanya untuk menolong kamu sama Mom. Sekali lagi,” Bella menatap boneka barbie yang digenggam keras oleh Claris. “Jaga boneka ini baik-baik ya. Kakak senang bisa main boneka barbie sama kamu.”
Bella langsung berlalu dari hadapan Claris. Dan... menghilang.
Tiba-tiba saja, Claris ambruk jatuh ke lantai.
*
Setelah kejadian itu, Claris langsung dibawa menuju rumah sakit. Ibunya menangis sejadi-jadinya, tak menyangka hal ini bisa terjadi kepadanya. Setelah Claris tersadar dari pingsannya, perlahan ia mengatakan seluruhnya kepada ibunya. Ibunya hanya bisa terdiam, tak melakukan pergerakan apa pun.
“Mom?” panggil Claris untuk menyadarkan ibunya.
Ibunya langsung menoleh ke arah Claris. “Kamu... memang punya kakak, sayang. Namanya Bella. Dia meninggal pada kecelakaan mobil di saat dia pulang sekolah. Maaf Mom nggak pernah kasih tau hal ini ke kamu.”
Diketahui, ayahnya memang sudah berselingkuh dengan pembantunya akhir-akhir tahun ini. Hal itu juga tak memuaskan Una hanya karena ia terus berada di balik istrinya. Akhirnya dengan nekat, Una juga ingin memiliki kekayaan keluarga tersebut dengan membunuh satu per satu keluarga yang selama tiga tahun ini menjadi tempat teduhnya.
Dan setelah kejadian itu juga, Claris lebih bungkam. Ia menjadi penyendiri dan terus saja bermain dengan boneka barbienya.
Siapa yang tahu kalau boneka barbie bisa menjadi petunjuk dalam kejadian seperti ini?
Dan, bagaimana keadaan boneka barbiemu di rumah?
Views: