Astaghiri

  • Home
  • CERPEN
  • CERBUNG
  • CAKES!
  • Trip
Cerbung

Make Up

Sunday, August 18, 2013 By astaghiri 0 Comments
“Karin!” teriak seseorang yang membuat kepala Karin langsung mencari sumber suara tersebut. “Sini!” seorang lelaki tengah melambaikan tangannya ke arah Karin. Menyuruhnya untuk segera menghampirinya. Lelaki itu bernama Gerald, teman satu kelas Karin pada saat kelas X.

“Kenapa?” tanya Karin heran.

Sebenarnya, Karin agak setengah kesal karena harus masuk di hari sabtu seperti ini. Tetapi, sebenarnya bukan dirinya saja yang diharuskan masuk sekolah pada hari sabtu. Hari ini adalah peringatan upacara 17 Agustus. Maka dari itu, seluruh penghuni sekolah tersebut diharuskan menghadiri upacara 17 Agustus.

“Elo pernah make up anak-anak pentas seni waktu itu, kan? Yang nari itu lho,” Gerald mencoba mengingakan bayangan Karin.

Karin memutar bola matanya, mengingat hari di mana ia yang me-make up para penari di saat yang seharusnya me-make up-kan anak-anak pentas seni tersebut  justru belum memunculkan batang hidungnya. Entahlah, apa yang berada dipikiran seorang penanggung jawab pada saat itu. Mungkin, terlintas pikiran bahwa Karin adalah adik seorang ‘make up artis’, bisa saja keahlian kakaknya turun kepada Karin. Toh, memang hasilnya cukup memuaskan.

Perlahan, Karin mengangguk. Matanya masih memicing ke arah Gerald, ingin mengetahui apa yang diinginkan oleh lelaki tersebut.

“Oke, ikut gue,” ajak Gerald yang kemudian langsung membalikkan badannya.

Karin menatapnya dengan heran. Namun tanpa ragu, ia mengikuti langkah Gerald menuju suatu kelas yang terletak di lantai satu. Sepertinya, kelas itu sudah cukup ramai dihuni beberapa orang. Padahal, lingkungan sekolah masih cukup terlihat sepi.

“Tolong make up mereka,” pinta Gerald dengan seenaknya ketika mereka berdua telah mencapai kelas tersebut yang ternyata isi kelas tersebut adalah anak-anak Paskibra. Oh my God. Bagaimana ini?

Karin mencoba mengatur napasnya, menahan detak jantungnya yang mulai berdetak tak beratur. Tolong dengarkan aku, jantung. Tolong.

“Emangnya lo nggak panggil tukang make up? Kenapa harus gue?”

“Ada masalah kecil, dan kebetulan yang gue lihat pagi ini adalah elo. Kebetulan juga lo perempuan, pasti lo bisa make up-in mereka, dong?”

Karin melihat sekeliling. Ia melihat beberapa perempuan yang sedang menyibukkan diri masing-masing. Kemudian, ia mengernyitkan dahinya. Di kelas ini banyak jumlah perempuan, mengapa harus menggunakan jasanya?

“Ger, tapi di sini banyak anak perempuannya. Kenapa harus gue? Mereka juga udah pada pakai make up, kan?” Karin mencoba membela diri, sebenarnya hanya ingin cepat menyingkirkan dirinya dari hadapan Gerald.

“Ya anak perempuan emang udah bisa make up sendiri. Tapi lihat dong anak laki-lakinya. Yang perempuan juga udah pakai saputangannya masing-masing,” Gerald mencoba mencari alasan yang logis walaupun sebenarnya kurang masuk akal bagi Karin. “Ayolah, nanti gue traktir deh. Anak laki-lakinya cuma tiga, kok. Lo mau, kan?”

Karin mendengus kesal. Akhirnya, ia menyetujui permintaan Gerald. Ia memulai me-make up laki-laki yang lebih dikenalnya terdahulu. Mungkin untuk meregangkan otot tegang pada tangannya. Bisa saja tangannya tiba-tiba kaku tepat di wajah lelaki itu, kan?

Sebenarnya, Karin memiliki alasan tertentu mengapa ia sempat mengelak permintaan dari Gerald. Pertama, ah lelaki itu. Lelaki yang telah setahun lebih telah memikat mata Karin, bahkan mungkin hatinya juga ikut terpikat. Namun, ia lebih memilih untuk bungkam, bahkan tidak melakukan sesuatu hal untuk menarik perhatian lelaki tersebut.

“Huh, kalau kayak gini mending gue datang agak siangan,” gumam Karin pelan ketika ia sedang me-make up teman lelakinya, Tio.

“Jangan banyak gerutu, Rin,” balas Tio yang sedang memejamkan matanya. “Seharusnya gue yang banyak gerutu. Nggak tahu gue ngantuk, apa?”

Karin langsung mengernyitkan dahinya. Memangnya itu urusanku?

“Lo datang jam berapa emangnya?”

“Tiga.”

Hampir saja Karin tersentak kaget. Kalau saja ia tak bisa menahannya, pasti tatapannya sudah tersita menuju ke arahnya. Karin langsung menepuk-nepuk bahu Tio dengan perasaan iba. Namun, lelaki itu belum mau membuka kelopak matanya.

“Nggak apa-apa. Perjuangan buat Indonesia. Jadi paskibraka kan artinya sama aja berjuang untuk Indonesia. Jadi—”

“Cerewet,” tepis Tio langsung yang mulai merasa sebal. Karin langsung merengut. Kemudian, ia menekan-nekan dahi Tio menggunakan spon bedak dengan cukup keras. Sebagai pelampiasannya karena telah memutuskan perkataannya. Tio hanya bisa menggerutu sambil melanjutkan memejamkan matanya.

Dan sekarang giliran lelaki itu. Tangan Karin mulai merasa kaku ketika membereskan alat make up tersebut. Karin memanjangkan lehernya. Melirik ke arah lelaki tersebut di pojok kelas yang sedang tertidur dengan meletakkan kepalanya di atas meja. Perlahan, ia mulai melangkah ke arah lelaki tersebut. Setelah ia mengatur napasnya, ia mencoba membangunkan lelaki tersebut.

“Rin—” Karin hampir memanggil lelaki itu. Ah, sial. Seharusnya ia tak memanggil nama lelaki itu karena mereka berdua belum saling mengenal. Kalau Karin memanggil nama lelaki itu, dan ternyata lelaki itu menyahut, nanti ia bisa dibilang sebagai orang yang sok kenal sok dekat. Ah, pura-pura tidak kenal saja.

“Eh,” panggil Karin sambil menyembulkan kepalanya sedikit ke arah Rino. Rino belum sedikit pun bergerak karena panggilan Karin. Akhirnya, Karin memberanikan diri untuk menyentuh bahu Rino.

Sambil menusuk-nusuk pelan ke arah bahu Rino, ia juga menyerukan ‘eh’ pada Rino agar ia terbangun. Tak lama, Rino mengangkat kepalanya yang mungkin terasa berat. Ia menatap samar ke arah Karin. Tatapan seolah mengatakan ‘ada apa?’.

“Eh, ini, gue disuruh make up anak paskibra,” Karin merasa sedikit gugup melihat wajah Rino yang terus saja menatapnya datar. “Eh, lo masih ngantuk ya?” Karin bertambah gugup. Rino sama sekali belum memberikan respon untuknya. “Eh, tidur dulu aja deh. Sori deh kalau ganggu.”

Karin langsung membalikkan badannya sambil memegang dadanya yang terasa ingin robek karena jantung yang berada di dalamnya ingin mencelos keluar. Ada apa sih dengan dirinya kali ini?

“Eh? Sori,” seru Rino yang membuat langkah Karin berhenti. “Nyawa gue belum terlalu ngumpul jadi kayak gini. Yaudah, make up-in gue aja, tapi jangan terlalu tebal.”

Perlahan, Karin membalikkan kembali badannya ke arah Rino dengan kikuk. Kemudian, berjalan menghampirinya. Menarik bangku lain dan duduk berhadapan dengan Rino. Namun saat itu, ia mulai merasakan posisi duduknya kurang terlalu enak. Padahal, sama saja ketika ia me-make up Tio dan temannya yang satu lagi.

“Kenapa?” tanya Rino heran sambil melipat kedua tangannya di depan dadanya. Kemudian, sesekali ia menguap. Sepertinya anak ini memang benar-benar mengantuk.

Seperti sedang tertangkap basah karena melakukan suatu hal, Karin langsung menyengir kikuk sambil menggeleng. Perlahan, ia duduk tepat di hadapan Rino.

Karin mulai kembali mengeluar alat make up, tanpa disadari Rino memerhatikan tangan Karin yang sibuk mengeluarkan alat-alat make up tersebut dengan tatapan datar. Entahlah, sepertinya tak ada yang menarik selain melihat tangan Karin yang terus saja sibuk mengeluarkan alat make up tersebut.

Karin juga baru menyadari bahwa sedari tadi Rino menatapnya dengan tatapan jenuh—pikirannya berkata seperti itu.

“Eh, kalau lo mau tidur, tidur aja. Gue tetap bisa me-make up orang yang lagi tidur kok,” seru Karin tanpa menatap ke arah Rino sedikit pun. Namun, ia sedikit melirik ke arah Rino. Tanpa harus membalas perkataannya, Rino langsung menutup kelopak matanya dan berusaha tetap menegakkan kepalanya dengan lurus.

Dengan kaku, jari Karin mulai mengoleskan pelembab pada wajah Rino agar bedak yang setelah ini dioleskan pada wajahnya tidak terlalu menyerap pada kulitnya. Dengan hati-hati, Karin meratakan pelembab tersebut ke area wajah Rino. Tangannya gemetar ketika menyentuh area wajah lelaki tersebut.

“Lo kenapa?” seru Rino tiba-tiba tanpa membuka kelopak matanya. “Gemetar gitu tangannya. Belum makan?”

Wajah Karin langsung memerah. Ia sempat memberhentikan mengoleskan pelembab pada wajah Rino. Untung saja kelopak mata Rino sedang tertutup. Jadi, ia tak bisa melihat wajah Karin yang sedang bersemu merah seperti ini.

“Ah, iya,” jawab Karin gugup sambil kembali meneruskan meratakan pelembab pada area wajah Rino. Rino seperti terlihat pasrah diperlakukan seperti itu oleh Karin.

“Terus, kenapa lo datang sepagi ini?”

“Intuisi mungkin,” jawab Karin sesingkat-singkatnya dan tanpa sadar ia berceletuk seperti itu. Ah, masa bodoh. Yang penting, ia berharap lelaki ini tak membuka kelopak matanya agar ia bisa terus menatap wajah lelaki tersebut dari arah dekat.

“Intuisi apa?” Rino bertanya dengan nada heran.

“Jadi tukang make up kayak gini mungkin,” jawab Karin dengan nada pasrah yang sebenarnya ia sedang menahan napasnya gara Rino tak bisa merasakan embusan napasnya.

Bibir Rino sedikit tergerak, membuat Karin sedikit tersentak kemudian menjauhkan jemarinya dari area wajah Rino. Apa lelaki ini sedang mengigau? Mana mungkin mengigau di saat percakapannya menyambung seperti ini.

“Lo nggak alergi make up, kan?” tanya Karin memastikan namun dengan ragu-ragu.

Rino langsung menggeleng. “Gue belum pernah pakai make up.”

Karin mengangguk pelan, kemudian mengambil alas bedak untuk wajah Rino. Lelaki ini meminta untuk make up yang tidak terlalu berlebihan. Memakai alas bedak saja sepertinya juga cukup karena faktor wajah Rino yang memang sudah putih.

“Oh ya, lo Karin, kan?”

Tangan Karin langsung berhenti ketika sedang menekankan spon bedak pada bagian hidung Rino. Seketika itu juga, kelopak mata Rino terbuka. Kini, mereka berdua saling betukar pandangan satu sama lain.

Rino mengenalku? Dia tahu namaku?

“Lo dulu anak kelas X-4 kan, ya?” timpal Rino lagi dengan wajah datarnya. Perlahan, Karin mengangguk kikuk sambil kembali melanjutkan pekerjaannya. Ia mencoba tak bersikap tegang dan tetap fokus pada pekerjaannya tersebut. Aduh, tangan ini. Bisa untuk tidak bersifat kaku untuk sebentar saja tidak, sih?

Rino sedikit tersenyum. Tetapi Karin tak mengerti apa maksud dari senyuman Rino tersebut. Seperti sedang menang sebuah undian?

Tiba-tiba, hati Karin mulai melambung tinggi. Rino mengenal Karin. Kalau begitu, Karin tak perlu merasa sok tak kenal dengan Rino lagi, kan?

“Untung gue udah tahu semua nama teman seangkatan gue,” tambah Rino yang kemudian kembali menutup kelopak matanya. Dan tiba-tiba saja, hati Karin yang tengah melambung tinggi, menabrak roket yang sedang terbang dan jatuh ke arah bumi dengan tamparan angin yang begitu keras.

Setelah itu, Karin tak mau lagi mengajak ngobrol Rino. Biarkan saja ia tertidur, dan Karin bisa menatap wajahnya dengan puas. Dengan begitu, ia tak perlu menggantungkan kalimatnya tersebut yang menyebabkan hati Karin terlanjur mencelos keluar. Huh, menyebalkan.

“Duh, pelan-pelan dong make up-in-nya,” protes Rino ketika spon bedak itu terus saja menimpa tulang pipinya. Spontan, ia langsung membuka kedua matanya, menatap ke arah Karin yang nampak terlihat panik.

“Eh, sori, Rin. Sori,” seru Karin sambil menjauhkan spon bedak tersebut. Rino masih menatap lurus ke arah Karin. Kemudian, ia sedikit memiringkan kepalanya.

“Lo sadar nggak?” seruan Rino membuat Karin terperanjat. Apa aku melakukan kesalahan hingga membuatnya marah seperti ini?

“Eh, maaf Rin. Maaf banget, gue nggak sengaja. Emang sakit banget, ya?” Karin sedikit memajukan wajahnya, hendak melihat ke arah pipi Rino. Tak ada bekas lebam sedikit pun. “Nggak terbekas luka, kok,” tambah Karin dengan nada khawatir.

To be continued.
Continue reading
Share:
Views:
Cerpen

Untukmu

Wednesday, August 14, 2013 By astaghiri 0 Comments
Rendra terus saja mendongakkan kepalanya menatap ke arah bendera merah putih yang berkibar pada tiang yang menjulang ke arah langit. Sinar matahari yang terik menerpa wajahnya sebagian, mulai membuat buliran keringat pada dahi. Dalam hati, Rendra terus saja menggerutu ‘Kapan aku selesai dihukum seperti ini?’.

Hari ini, Rendra terlambat datang ke sekolah. Terpaksa, ia dihukum oleh gurunya untuk terus hormat pada kibaran bendera merah putih tersebut.

Kakinya mulai bergetar, tak kuat sudah berjam-jam berdiri, mendongakkan kepala, dan terkena sengatan sinar matahari. Belum lagi, beberapa penghuni sekolah yang terus menatapnya dengan tatapan mengejek.

“Kamu sudah tak kuat lagi, Rendra?” tanya gurunya yang tiba-tiba saja datang menghampirinya. Ingin menjawab ‘tidak’, namun ia takut kalau hukumannya akan ditambahkan lagi untuknya. “Ini untukmu, membuatmu untuk bersikap lebih disiplin. Di samping itu, kamu juga lebih menghormati bendera yang sedang berkibar, bukannya bendera sedang menjulang ke arah langit, tapi kamu baru datang ke sekolah.”

“Iya, Bu,” jawab Rendra dengan nada takut-takut.

#FF2in1
Tema kedua : Bendera - Cokelat
Continue reading
Share:
Views:
Cerpen

Deal

By astaghiri 0 Comments
“Maaf,” lelaki itu terus saja menggumamkan kata tersebut di hadapanku, tak bosan-bosannya hingga telingaku mulai menebal. Aku masih enggan menaikkan kelopak mataku untuk menatapnya. Percuma, hanya membuatku lemah di hadapannya dengan menjatuhkan air mata yang sengaja kuseka.

Lelaki itu semakin kuat menggenggam tanganku. Memaksaku untuk menatap ke arahnya.

“Apakah aku tak pantas mendapatkan permintaan maaf darimu?”

Kata-kata itu membuat kelopak mataku sontak menaik. Melihatnya samar karena sekaan air mata yang menumpuk pada kelopak mataku. Mulai terjatuh membentuk aliran pada pipiku.

“Kau kira, kau pantas mendapatkan maaf dariku?”

Ia menyeka peluh di dahi. Melihatku dengan cemas. Ingin membalas perkataanku, namun takut. Ia terus menatapku seperti menghujamkan kata ‘maaf’.

“Aku yang salah,” ucapku tiba-tiba yang kemudian langsung menundukkan kepalaku. Sepertinya aku bisa mengetahui raut apa yang dikeluarkan oleh lelaki yang berada di hadapanku ini. “Maaf. Aku egois.”

Aku memberanikan diri untuk mendongakkan kepalaku. Secercah senyuman sudah menyambutku dengan hangat.

“Kita makhluk yang bernama manusia. Wajar memiliki rasa egois sepertimu, atau memiliki kesalahan sepertiku. Jadi, kita deal?”

Ia mengacungkan jari kelingkingnya, aku ikut mengacungkan jari kelingkingku dan mengaitkan kedua jari kami. Menyudahi semua beban hati yang sedari tadi kutahan—mungkin bukan hanya aku, tapi kami.

Continue reading
Share:
Views:
Cerpen

Good-Bye

Monday, August 12, 2013 By astaghiri 0 Comments
Taburan bintang menghiasi langit malam yang cerah. Satu per satu, kerlap kerlipnya memanjakan mata, tetap tak mau beranjak dari satu objek ciptaan Tuhan yang begitu indahnya.

Gadis itu menyenderkan tubuhnya pada tanah yang dilapisi dengan rumput tebal berwarna hijau. Tak peduli dengan gaunnya yang mungkin kini sudah terkena bercak cokelat karena tanah, atau pun terkena tetesan embun yang kotor pada sela-sela rumput yang menyentuh seluruh bagian belakang gaunnya.

Tiba-tiba saja, seorang lelaki ikut mengempaskan tubuhnya pelan tepat di samping gadis tersebut. Gadis itu hanya menoleh, kemudian kembali menatap ke arah langit, memuja para bintang yang menggantung di langit.

“Kamu menggangguku,” ucap gadis itu tiba-tiba tanpa menoleh ke arah lelaki tersebut. Lelaki itu hanya menampangkan senyum pada bibirnya. Ia ikut memandangi langit yang begitu terpampang luas di hadapannya. “Kamu nggak ikut memeriahkan promnight? Hari ini hari terakhir kita ketemuan lho,” tambah gadis itu.

“Kamu sendiri? Masih mau menikmati langit malam seperti ini?” lelaki itu justru berbalik tanya.

“Jawablah dulu pertanyaanku,” tepis langsung gadis itu.

“Jawabanku mungkin sama seperti jawabanmu.” Terdengar suara helaan napas yang begitu panjang.

Gadis itu hanya bisa tertawa pelan. “Bagaimana dengan Gita? Kamu masih menyukainya, kan?”

Pertanyaan itu membuat punggung lelaki tersebut langsung beranjak dari atas rumput. Lalu menatap lurus ke arah mata gadis tersebut. Gadis itu langsung mengalihkan pandangannya menuju cakrawala.

“Aku harus bilang berapa kali?”

Gadis itu hanya tersenyum. “Tenang saja, aku hanya mencoba menggodaimu.” Kemudian, tercipta keheningan malam yang hanya diisi dengan terpaan angin yang melewati sisi kulit mereka. “Bagaimana ya, kalau aku sudah tak bisa menggodaimu lagi? Bahkan sepertinya aku memang sudah tak bisa,” gumam gadis itu tiba-tiba.

“Apa maksudmu?” tanya lelaki itu heran.

“Bagaimana ya, kalau kita sudah tak bisa bertemu lagi?”

Lelaki itu tertawa pelan. “Aku pasti akan terus mengejarmu. Dan aku pasti akan menemukanmu.”

“Jangan gila,” tepis gadis itu langsung. Lelaki itu tetap tak mau mengalihkan pandangannya pada gadis yang berada di sampingnya. “Aku mohon padamu, tolong jangan pernah pandangi langit malam yang seperti ini lagi,” pinta gadis itu. “Aku nggak mau kamu terluka.”

“Kamu kira malam seperti ini hanya terjadi setahun sekali?” lelaki itu langsung mengalihkan pandangannya, menengadahkan kepalanya ke arah langit. Gadis itu tak menjawab. “Baiklah. Tapi, bisakah kamu mengucapkan selamat tinggal kepadaku?”

Lelaki itu kembali menatap ke arah samping. Kosong. Tak ada bekas sedikit pun jejak gadis itu. Lelaki itu mendesah berat. Memejamkan matanya sambil menekuk kedua lututnya. Meratapi kepergian gadis itu, yang bahkan memang sudah pergi untuk selamanya. Mungkin, malam ini ia memang datang untuk mengucapkan selamat tinggal pada lelaki itu.

Kemudian, lelaki itu menengadahkan wajahnya ke arah langit. Menunggu alam memberikan respon untuknya, dan juga menunggu gadis itu mengucapkan selamat tinggal untuknya. Lelaki itu hanya bisa mendengar lirih angin yang melewati telinganya.

Mungkin, aku akan membuat malammu akan terus nyenyak karena aku tak mau kamu meratapi langit malam berbintang dan terus mengingat akan diriku yang sudah tak lagi mungkin bisa berada di sampingmu. Selamat tinggal.
Continue reading
Share:
Views:
Cerpen

Bukan Waktu Untuk Menyesal

By astaghiri 0 Comments
Aktifitas yang menurut kami tidak melelahkan dalam fisik, namun sangat melelahkan dalam hati adalah ‘Selama tiga tahun kami hanya bisa saling lirik satu sama lain, tanpa harus mengutarakan hati masing-masing’. Ya, tanpa harus mengutarakan hati masing-masing.

Semburat merah menghiasi langit sore kali ini. Hembusan angin sore yang menyejukkan melewati sela-sela rambut panjangku. Sisa cahaya matahari pada sore hari menerpa sebagian wajahku, juga sebagian wajahnya. Dari arah samping, aku menatap garis wajahnya yang terlihat keras.

“Kau menyesal?” tanyanya yang langsung menolehkan kepalanya ke arahku.

Kami saling bertukar pandangan. Tiga detik. Lima detik. Bahkan sepuluh detik pun aku belum menjawab pertanyaannya.

Aku langsung mengalihkan pandanganku ke arah lain, membiarkan angin menampar pipiku sepuasnya.

“Kurasa tidak,” jawabku datar sambil menekuk kedua lututku, lalu kupeluk.

“Namun, aku menyesal,” balasnya dengan cepat yang menyebabkan kepalaku langsung menoleh ke arahnya lagi dan lagi. Kini, lelaki itu sedang tak menatap ke arahku. Aku bisa melihat air wajahnya yang menampakkan rasa menyesal. “Seharusnya, di masa itu aku memberanikan diri untuk menyatakan cinta padamu. Cih, bahkan sepertinya aku tak bisa melakukan hal itu kepadamu karena aku takut kau menolakku.”

Aku hanya bisa tersenyum kecut dan terus memandanginya dengan perasaan penuh iba. Aku pun juga merasa kasihan terhadap hatiku untuk sekarang ini. Namun, apakah memangnya aku bisa mengembalikan waktu ke sepuluh tahun yang lalu? Bisakah aku melakukan hal itu?

“Mama!” seru seorang anak dari arah belakang punggung kami. Sontak, kami berdua menolehkan kepala ke arah belakang punggung kami. Seorang anak tengah berlari menuju kami berdua. Anakku.

“Sini, nak,” sahutku sambil melambaikan salah satu tanganku. Tak lama, anakku sudah sampai pada pangkuanku. “Kenalkan, ini Om Galuh. Teman Mama waktu SMA.”

Aku memperkenalkan lelaki yang berada di hadapanku kepada anakku. Kemudian, aku kembali menatap ke arah Galuh. Ia hanya membalas tatapanku dengan tatapan kosong. Tak lama, ia memasang senyum palsunya ke arah anakku. Aku sungguh sangat bisa membedakan mana senyum ikhlasnya yang terdahulu.

“Wah, mirip kamu ya, Ren,” Galuh mencoba menyapa hangat anakku. Tapi aku tahu, ia hanya sedang ingin menghibur dirinya sendiri. Bahkan sepertinya, itu bukan merupakan hiburan untuk dirinya, apalagi diriku.

Continue reading
Share:
Views:
Newer Posts Older Posts Home
Subscribe to: Posts ( Atom )

Hi, you!

Hi, you!

Blog Archive

  • ►  2017 (3)
    • ►  September (1)
    • ►  July (2)
  • ►  2016 (5)
    • ►  September (1)
    • ►  June (3)
    • ►  February (1)
  • ►  2015 (3)
    • ►  July (2)
    • ►  June (1)
  • ►  2014 (10)
    • ►  December (1)
    • ►  July (1)
    • ►  June (2)
    • ►  April (3)
    • ►  March (3)
  • ▼  2013 (24)
    • ►  December (1)
    • ►  October (1)
    • ►  September (1)
    • ▼  August (5)
      • Make Up
      • Untukmu
      • Deal
      • Good-Bye
      • Bukan Waktu Untuk Menyesal
    • ►  July (6)
    • ►  May (1)
    • ►  April (5)
    • ►  January (4)

Labels

CAKES! Cerbung Cerpen Imajinasi Travel Trip

Wanna be my mate?

© 2016 Astaghiri | All rights reserved
Created By Responsive Blogger Templates | Distributed By Gooyaabi Templates