Astaghiri

  • Home
  • CERPEN
  • CERBUNG
  • CAKES!
  • Trip
Cerpen

Barbie

Tuesday, December 31, 2013 By astaghiri 0 Comments
“Mom! Aku mau boneka yang itu!” Claris menunjuk ke arah etalase di mana di dalamnya terdapat boneka barbie yang khas dengan kaki jenjangnya.

Siapa yang tak suka dengan boneka ini? Bagi anak perempuan seperti Claris, Barbie seperti barang yang harus dan memang wajib untuk dimiliki.

“Kamu nggak mau boneka teddy bear aja, sayang?” tawar ibunya mencoba memberi pilihan yang lain.

Yah, setidaknya teddy bear lebih awet dibandingkan boneka barbie yang bagian tubuhnya terkadang gampang putus. Kecuali memang boneka barbie itu mahal. Jaminan untuk awet dalam jangkauan bulan mungkin bisa. Namun, Claris termasuk pemilik mainan yang dalam jangkauan minggu dengan mudahnya dapat rusak.

Claris langsung merengut. Ia menggigit bibir bawahnya. Ia tetap menunjuk ke arah boneka barbie yang menggunakan gaun pendek berwarna putih itu. Bukan hanya gaunnya, Claris cukup menyukai gaya model rambut panjang ikal yang dimiliki boneka barbie itu. Selain itu, sepertinya boneka barbie yang ditunjuknya itu juga terlihat lebih menarik hati dibandingkan boneka barbie yang lain.

“Oke-oke. Kamu mau berapa boneka barbie, sayang?” tanya ibunya sambil berjalan memasuki toko boneka tersebut. Claris membuntuti dari belakang. Matanya hanya terpaku pada boneka barbie tersebut.

“Yang itu aja, Mom, yang aku tunjuk.” Claris masih bersikukuh hanya ingin memiliki boneka barbie tersebut.

Ibunya langsung menoleh ke arah Claris. Tak biasanya gadis kecilnya tersebut hanya menginginkan satu mainan baru. Bahkan sepertinya Claris memang benar-benar terpukau hanya pada boneka barbie yang akan menjadi miliknya tersebut.

Ah, tapi sepertinya itu hal yang biasa. Boneka barbie kan memang cantik. Gadis kecil seperti Claris pasti mengagumi boneka barbie. Dan mungkin Claris memang agak sedikit bosan dengan membali banyak-banyak mainan yang baru.

“Ya sudah.” Pandangan ibunya langsung beralih pada milik toko. “Mbak, boneka barbie yang gaun putih itu satu ya.”

“Mom, aku mau boneka barbie langsung aku bawa, nggak usah dimasukin ke kotak lagi,” pinta Claris tak sabaran.

Yah, namanya juga anak semata wayang. Apa pun permintaan gadis kecilnya, pasti dituruti.

Sang pemiliki toko langsung mengeluarkan boneka barbie tersebut dari dalam etalase dan memberikannya kepada Claris. Dengan riang Claris menerimanya. Ibunya mulai tersenyum karena bisa  melihat anak semata wayangnya kembali riang. Sudah akhir-akhir bulan ini, gadis kecilnya selalu merengut dengan alasan yang tak jelas.

“Mom,” Claris menarik ujung pakaian yang dikenakan oleh ibunya. “Ayo pulang, nanti keburu Papi pulang kerja. Aku mau nunjukin boneka barbie aku yang baru.”

Ibunya langsung membayar boneka barbie yang sudah berpindah ke tangan Claris tersebut.

*

Dentang jam di tengah malam menggerayapi seluruh ruangan di rumah itu. Rumah itu memang besar. Namun cukup terlalu besar untuk hanya ditempati oleh Claris dan kedua orangtuanya. Dan juga mungkin pembantunya yang bahkan tinggal di pekarangan belakang rumah.

Claris terbangun oleh suara-suara kecil yang seperti sedang memanggilnya. Namun sepertinya itu hanya angin yang mengempas ke arah jendela kamarnya. Namun, akhirnya ia terbangun juga karena hasrat ingin buang air kecil yang sudah tak bisa ia tahan lagi.

Claris hanya tinggal sendiri di lantai dua. Di mana, di lantai dua memang hanya terdapat dunianya sendiri. Di lantai dua dipenuhi berbagai macam mainannya.

Claris berjalan gontai menuju pintu kamarnya. Lalu ia berjalan menuju kamar mandi yang hanya berjarak lima langkah dari pintu kamarnya. Namun ketika ia ingin membuka pintu, terdengar samar-samar suara seorang wanita dari dalam kamar mandi.

“Mom?” desis Claris pelan sambil mengucek matanya. Mungkin, ibunya memang berada di kamar mandi lantai dua. Tetapi, bukankah di lantai bawah juga terdapat kamar mandi? Bahkan di kamar ibunya pun terdapat kamar mandi khusus.

Claris sedikit membelalakkan matanya. Ia heran sekaligus takjub dengan apa yang kini dilihatnya. Tunggu, ini bukan kamar mandinya. Melainkan, sebuah ruangan?

Terdengar suara lenguhan yang memburu. Hasrat Claris yang tadinya ingin buang air kecil langsung menghilang karena melihat keanehan di depan matanya. Namun, ia cukup penasaran dengan kamar mandinya yang tiba-tiba saja berubah menjadi sebuah ruangan seperti ini.

Claris mencoba masuk lebih dalam, mungkin saja itu memang ibunya.

Dan kaget bukan main, Claris melihat sesuatu yang seharusnya tak ia lihat di usianya yang masih seumur jagung—walaupun hanya sekedar french kiss. Claris tidak langsung berteriak, namun ia langsung menutup wajahnya menggunakan kedua tangannya.

Itu pasti ibu dan ayahnya. Ia kenal sekali dengan postur ayah dan ibunya. Apalagi, ia juga mengenali gelang emas yang seringkali digunakan oleh ibunya di tangan kiri. Tetapi, buat apa mereka... melakukan hal itu... di sini?

Dengan niat nakal, Claris mengintip dari jemari tangannya. Matanya justru semakin membelalak ketika ia melihat sebilah pisau berukuran besar berada di tangan kiri ibunya. Bersiap untuk menancap... ke arah tubuh ayahnya!

“Ayah!” pekik Claris cukup keras.

Namun terlambat, pisau berukuran besar itu sudah mengoyak bagian belakang tubuh ayahnya. Tubuh ayahnya langsung menghantam jatuh ke lantai. Setelah itu, ibunya menarik pisau tersebut dari punggung belakang ayahnya dan kembali menusuk ke arah perut suaminya sendiri. Pisau itu perlahan ditarik ke perut bagian atas, kemudian menuju dada bagian kiri. Jantung.

Claris merasakan dadanya sesak. Ia ingin sekali menjerit, namun tertahan karena melihat kejadian tragis tersebut. Kenapa ibunya dengan tega membunuh ayahnya?

“Jangan coba-coba kabur, sayang.” Suara itu cukup mengagetkan Claris yang kini hanya bisa menangis dan menutup mulutnya agar ia tak bersuara. “Atau, dengan tega aku juga akan membunuhmu.”

“Mom..”

Claris langsung membalikkan tubuhnya. Namun sayang sekali, sebuah pisau justru ikut menancap di tubuhnya. Membuat tubuh kecil itu hanya meninggalkan sebuah napas yang bahkan tak tertolong.

*

“Non? Non Claris?! Non?!” Sebuah suara sedikit membangunkan Claris yang kini setengah sadar. “Nyonya! Non Claris! Non Claris...”

“Kamu kenapa teriak sih, Na?” sahut Monica yang berada di lantai satu. Monica memang menyuruh Una—pembantu rumahnya—untuk membangunkan Claris.

“Non Claris, nyonya...”

Monica langsung beranjak berdiri dan berlari ke arah tangga. Pasti ada yang tidak beres dengan Claris.

Setelah mencapai lantai dua, Monica berlari ke arah kamar mandi. Ia mendapatkan putri kecilnya berada di pangkuan Una. Claris sangat terlihat lemas, bahkan wajahnya pun ikut pucat. Tarikan napasnya cukup lambat.

“Claris?!” pekik Monica yang langsung mengambil alih Claris menuju pangkuannya. Perlahan Monica menepuk-nepuk pipi gadis kecilnya tersebut. Terdengar napas tertahan dari Claris. Ia mulai tak sabaran dan semakin terpancar aura gelisah takut anak semata wayangnya akan ‘lewat’.

Perlahan, Claris membuka kelopak matanya. Ia langsung berteriak melihat apa yang di depan matanya. Ia langsung menjauh dari ibunya dan memeluk apa yang berada di tangannya—boneka barbienya. Kemudian, ia langsung berlindung di belakang Una.

“Claris? Kamu kenapa, nak?” tanya ibunya sedikit lirih.

“Pergi!”

Monica cukup kaget mendengar anaknya sendiri mengusir dirinya.

“Ini Mami nak... kamu kenapa sayang?”

Claris mengintip dari celah lengan Una. Tatapan ibunya kini benar-benar nanar. Kini, Claris menoleh ke arah belakang. Tak ada perubahan sedikit pun pada kamar mandi tersebut. Sepertinya, tadi malam ia hanya bermimpi. Mimpi buruk.

Claris keluar dari balik punggung Una. Kini ia tengah berjalan menuju ibunya dan memeluknya dengan erat.

“Maaf, Mom. Claris... Claris mimpi buruk semalem...” kata Claris yang kembali terisak. Monica langsung mengelus punggung Claris dan mengecup puncak kepalanya.

“Ya sudah, jangan dipikirkan, itu cuma mimpi buruk. Ayo, kita ke kamar,” ajak Monica yang kemudian langsung membawa Claris menuju ke dalam kamarnya. Claris hanya menurut sambil menundukkan kepalanya.

Claris menatap heran di tangannya. Kenapa di tangannya terdapat boneka barbie itu?

*

“Clarisnya ada, Bi?” tanya Bella yang tiba-tiba saja mendatangi rumah Claris. Gadis kecil itu adalah teman baru Claris. Mereka baru bertemu di saat kemarin Claris bermain di taman dekat rumahnya. Tak sengaja, ia bertemu dengan Bella yang juga sedang membawa boneka barbienya.

“Ada kok,” jawab Una sambil tersenyum. “Mau main sama Non Claris ya?”

Bella mengangguk riang, membuat ujung-ujung rambut ikut bergerak. Una semakin mengembangkan senyumnya. Kemudian, ia menyentuh bahu Bella.

“Ayo Bibi anterin. Non Clarisnya ada di atas.”

Una mengantar Bella menuju lantai dua. Di sana, terdapat Claris yang sedang memainkan boneka barbienya. Tadi pagi, ia mendapatkan kejutan dari ayahnya. Ia dibelikan sebuah rumah-rumahan khusus untuk boneka barbienya. Senang bukan main, seharian Claris terus bermain dengan boneka barbienya.

“Non Claris, ada Non Bella main ke rumah nih,” kata Una yang sedikit mengganggu jam bermain Claris. Claris menoleh, ia langsung tersenyum ketika melihat Bella bermain ke rumahnya dan juga membawa boneka barbienya.

“Bella! Ayo main sama aku! Sini-sini!” ajak Claris girang sambil mengibas-ngibaskan tangannya.

Bella langsung menghampiri Claris. “Wah, rumah-rumahan buat barbie ya?” Bella ikut antusias melihat rumah-rumahan baru milik Claris. Claris langsung mengangguk.

Una ikut tersenyum melihat anak majikannya bertemu dengan teman barunya. Ia langsung turun meninggalkan dua gadis kecil tersebut untuk menyiapkan makanan ringan. Yah, namanya juga anak kecil. Setidaknya sedikit kudapan dibutuhkan untuk mereka.

“Kamu dibeliin ya sama ayahmu?” tanya Bella sambil membenarkan gaun boneka barbienya sendiri.

Claris mengangguk. “Tadi pagi baru dibeliin. Ayahku baik, kan?”

“Iya, Ayah kamu baik, nggak kayak Ayah aku,” Suara Bella sedikit melemah. Sorot matanya juga ikut meredup ketika Claris mengungkit-ungkit tentang ‘ayah’.

“Ayah kamu emangnya kenapa?”

Bella terdiam sebentar, kemudian menatap nanar ke arah Claris. Claris agak tersentak menerima tatapan tersebut.

“Yah, keliatannya sih baik di depan, tapi orang-orang pasti nggak bakal nyangka bagaimana sifat aslinya. Belum lagi...” Bella langsung mengibaskan tangannya. “Aduh! Aku ini ngomong apa sih! Kita main barbie aja yuk! Eh, kamu punya gaun barbie yang lain nggak?”

Claris langsung menghilangkan lamunannya. “Yah, waktu itu aku lupa minta. Abis aku kepengin cepet-cepet punya boneka barbie ini sih, takut udah dibeli sama orang. Hehe,” kekeh Claris. Bella juga ikut tersenyum.

Tiba-tiba saja, datang Una dari belakang mereka, membawakan kudapan kecil beserta minumannya.

“Ini, snack-nya dimakan dulu. Lumayan, buat ganjil perut,” kata Una yang menghampiri mereka.  Claris langsung menyambar minumannya. Berbeda dengan Bella yang agak malu-malu ingin mengambil minumannya.

“Makasih ya, Bi. Mom belum pulang ya?”

Una menggeleng. “Belum tuh, Non. Kata ibu Non kayaknya ibu pulang agak malam, ada urusan di luar kota. Emangnya ibu nggak pamit sama Non?”

“Pamit sih, tapi tadi aku lagi main barbie. Hehehe.”

Una sedikit tersenyum. “Ya udah, lanjutin mainnya. Bibi mau masak dulu, nanti kalian makan ya.”

Una langsung beranjak dan kembali meninggalkan mereka berdua. Claris mulai menyantap kudapan yang dibawakan pembantunya. Namun, tiba-tiba saja Bella kembali terdiam.

“Kamu kenapa, Bel?” tanya Claris heran.

Bella langsung menoleh. “Enggak, kok. Eh, aku pulang dulu ya. Aku belum bilang ke Mama kalau aku main ke rumah kamu.”

“Yah, kamu nggak mau makan dulu di sini?”

Bella menggeleng. “Penginnya sih gitu. Tapi aku takut nanti Mama ngomel-ngomel.” Claris hanya mengangguk kecil. Kemudian Bella berdiri. “Oh iya, kamu beli boneka barbie itu di mana, Ris?”

Claris langsung menunjukkan boneka barbienya. “Ini? Oh, di mall.. apa ya namanya? Kenapa emangnya? Kamu mau beli lagi ya?”

“Kayaknya. Abis, barbie kamu bagus banget. Aku jadi kepengin beli lagi.” Claris hanya tersenyum. “Boneka itu jangan sampe hilang ya, kamu bawa aja terus ke mana-mana. Sayang banget kalo hilang.”

Claris hanya mengangguk, kemudian Bella berpamitan untuk pulang ke rumahnya.

*

“Mom belum pulang ya?” gumam Claris sambil mengucek-ngucek matanya. Tiba-tiba saja ia terbangun dan ingin mencari ibunya.

Perlahan, Claris beranjak dari ranjangnya. Tak lupa, ia mengambil boneka barbie yang ia letakkan di sisi ranjang. Kemudian ia keluar dari  kamarnya, menuju tangga. Mungkin saja ibunya sudah pulang. Malam ini, ia kurang nyenyak dalam tidurnya. Ia ingin tidur dengan ibu dan ayahnya.

Keadaan di lantai bawah tak terlalu terang. Sepertinya ibunya belum pulang.

Mata Claris menoleh ke arah ruangan dengan pintunya yang sedikit terbuka. Mengeluarkan cahaya yang lebih terang dibandingkan cahaya di luar ruangan tersebut. Ruang kerja ayahnya. Sepertinya, ayahnya belum terlelap malam ini.

Claris melanjutkan langkahnya menuju ruangan ayahnya.

“Non Claris? Non belum tidur? Atau kebangun?”

Claris membalikkan tubuhnya. Una sudah memakai baju piyamanya. Yah, setidaknya ia memakainya hanya jika ingin tertidur.

“Mom belum balik, Bi?”

Una langsung menepuk nyamuk yang menghinggap di tangan kanannya. Kemudian ia menggeleng. “Belum tuh Non. Ibu juga belum nelepon Bibi.”

Claris langsung terdiam menatap tangan kiri Una. Gelang emas itu...

Claris langsung berlari ke arah ruang kerja ayahnya dan mendorong pintu dengan keras. Kaget bukan main, tubuh ayahnya kini tergeletak di lantai dengan tubuh penuh dengan darah. Bahkan, lantainya juga menggenangi darah yang mengucur dari tubuh ayahnya.

“Ayah!!!” Claris teriak histeris. Kemudian, ia langsung membalikkan tubuhnya. Ia sudah tak mendapati Una di sana. Ia harus... ia harus...

Claris langsung keluar dari ruang kerja ayahnya. Namun, langkahnya langsung limbung ketika Una meloncat ke arahnya dengan membawa pisau di tangannya. Senyum penuh ketulusan itu sudah tak terlihat lagi, berganti dengan senyum penuh kebengisan. Alisnya berubah menaik, mengeluarkan mimik kejahatan. Rahangnya agak mengetat, siap menerjang Claris kapan pun.

Claris memundurkan langkahnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Air matanya langsung mengalir di pipinya. Ternyata mimpi buruk itu benar-benar terjadi, hari ini.

“Apa salah ayah, Bi?! Kenapa Bibi bunuh Ayah?!”

“Kamu nuduh Bibi?”

Claris menatap Una heran. “Oh, jadi kamu udah tau saya yang bunuh Papi kamu? Bagus-bagus. Kamu mengambil kesimpulan yang bagus. Lagi pula, siapa juga yang membunuhnya selain saya yang berada di rumah ini? Pembunuhnya nggak mungkin kamu kan? Kamu kan masih kecil, pegang pisau aja nggak becus.”

Pandangan Claris berpindah pada pisau yang dipegang oleh Una.

“Bi... pisau itu untuk apa Bi...”

Una juga ikut menoleh ke arah pisau yang dipegangnya. “Ini pisau daging, ya untuk memotong dan mengiris daging tentunya.” Una kembali tersenyum sinis. “Dan terutama juga untuk membungkam anak kecil, seperti kamu.”

“Bi... Bibi...”

“Mau tau kenapa saya melakukan hal ini? Papi kamu itu bejat, sayang. Sama wanita mana aja dia mau, terutama saya. Yah, saya akuin saya emang cukup cantik. Beda tipis sama Mami kamu karena saya lebih muda dibandingkan Mami kamu. Dan tau apa yang terjadi selanjutnya?” Claris meneguk ludahnya, terasa sakit.

“Aduh, saya lupa kalo kamu itu masih kecil. Jadi, nggak bakalan tau dan ngerti apa yang saya ceritain ini. Jadi, daripada saya buang-buang waktu, kamu ada kata-kata terakhir nggak? Satu atau dua kata gitu?”

Leher Claris terasa tercekik. Ia tak menyangka, seseorang yang dekat dengannya bahkan bisa melakukan hal seperti itu.

Karena tak sabaran dengan Claris yang tak berkata-kata, Una kembali melangkah untuk menerjang Claris. Namun tiba-tiba saja, sebuah tangan langsung menepis tangan kanan Una dengan kasar. Bahkan Una sempat berteriak histeris saking sakitnya.

“Bella?!”

Bella sedikit menoleh ke arah Claris yang berada di belakangnya. “Nanti aja ya, Ris. Aku mau ngomong sama pembantu kamu dulu.” Bella kembali memandangi Una. “Gimana? Sakit?”

“Kenapa kamu bisa masuk rumah ini?! Siapa kamu sebenarnya?!”

Una yang hendak ingin mengambil pisau yang sempat terlempar tadi, ia kembali menjerit di saat tangannya diinjak oleh Bella. Sakit bukan main, tenaganya berbeda dengan anak kecil sepertinya.

“Buat apa kamu ambil pisau itu? Mau coba ngebunuh aku?” Una menatap Bella penuh amarah. Perlahan, Bella mengangkat kakinya, kemudian, pisau tersebut langsung ia tendang menjauh dari jangkauan Una.

“Anak kecil seperti kamu...” Una langsung meloncat menerjang Bella dan menyekik leher gadis kecil itu. “Harus mati!” Namun, Bella terlihat santai dengan menatap tajam ke arah Una.

“Kamu yang harus mati,” balas Bella yang kemudian langsung menendang perut Una. Una jatuh terjengkang ke belakang.

“Kamu bukan manusia! Pasti kamu... iblis!”

“Aku manusia, tapi itu dulu.”

Bulu kuduk Claris langsung meremang. Jadi, yang kemarin bermain bersama dengannya adalah...

“Siapa kamu?! Kenapa kamu ganggu saya?!”

“Ganggu? Hahaha. Bibi ini lucu banget sih. Aku cuma mau nyelametin Claris kok dari tangan kotor kamu. Karena...” Sorot mata Bella langsung berubah. “Claris adalah adik aku.”

Mata Una langsung membelalak. Selama tiga tahun bekerja di rumah ini, ia tak pernah mendengar rumor tentang Claris yang mempunyai kakak. Tetapi, apa ini?

“Dan aku juga mau nyelametin Mom yang mungkin... akan kamu bunuh nanti.”

“Kakak? Hahaha. Jangan ngaco, Claris nggak pernah punya kakak, dan si Monica emang cuma punya anak satu, Claris.”

Bella sedikit memiringkan kepalanya. “Buat apa kamu tau? Claris aja yang sebagai adik kandungku nggak pernah dikasih tau, bagaimana kamu yang di sini cuma kerja sebagai pembantu?”

Una kembali membelalakkan matanya. Tak perlu basa-basi lagi, ia kembali beranjak berdiri untuk menerjang Bella. Tidak, Bella tidak akan bisa mati karena ia sudah mati. Una ingin langsung membunuh Claris menggunakan tangannya sendiri.

“Claris, kamu harus menghadap ke belakang,” perintah Bella.

Namun tiba-tiba saja, sebuah pisau menancap di area leher Una yang hendak menerjang Claris. Una langsung bermuntahkan darah. Dengan sekejap, Una langsung terjatuh ke lantai. Matanya membelalak menatap ke arah Bella. Napasnya yang tinggal satu-satu, kini tak bersisa.

Bella langsung menghampiri Claris. Ia menggapai tangan adiknya.

“Kalo kamu penasaran sama aku, kamu bisa tanya Mom. Setelah kejadian ini, mungkin Mom mau mengatakan segalanya tentang aku. Kamu jangan takut, aku ke sini hanya untuk menolong kamu sama Mom. Sekali lagi,” Bella menatap boneka barbie yang digenggam keras oleh Claris. “Jaga boneka ini baik-baik ya. Kakak senang bisa main boneka barbie sama kamu.”

Bella langsung berlalu dari hadapan Claris. Dan... menghilang.

Tiba-tiba saja, Claris ambruk jatuh ke lantai.

*

Setelah kejadian itu, Claris langsung dibawa menuju rumah sakit. Ibunya menangis sejadi-jadinya, tak menyangka hal ini bisa terjadi kepadanya. Setelah Claris tersadar dari pingsannya, perlahan ia mengatakan seluruhnya kepada ibunya. Ibunya hanya bisa terdiam, tak melakukan pergerakan apa pun.

“Mom?” panggil Claris untuk menyadarkan ibunya.

Ibunya langsung menoleh ke arah Claris. “Kamu... memang punya kakak, sayang. Namanya Bella. Dia meninggal pada kecelakaan mobil di saat dia pulang sekolah. Maaf Mom nggak pernah kasih tau hal ini ke kamu.”

Diketahui, ayahnya memang sudah berselingkuh dengan pembantunya akhir-akhir tahun ini. Hal itu juga tak memuaskan Una hanya karena ia terus berada di balik istrinya. Akhirnya dengan nekat, Una juga ingin memiliki kekayaan keluarga tersebut dengan membunuh satu per satu keluarga yang selama tiga tahun ini menjadi tempat teduhnya.

Dan setelah kejadian itu juga, Claris lebih bungkam. Ia menjadi penyendiri dan terus saja bermain dengan boneka barbienya.

Siapa yang tahu kalau boneka barbie bisa menjadi petunjuk dalam kejadian seperti ini?

Dan, bagaimana keadaan boneka barbiemu di rumah?
Continue reading
Share:
Views:
Cerpen

My Big Shoes

Tuesday, October 15, 2013 By astaghiri 0 Comments
Tulisan ini diikutkan ke dalam lomba ‘Novel Always With Me by Hyun Go Wun’.



“Hei! Lemak berjalan!”

Suara itu kontan membuat sekeliling terdengar riuh. Tak terkecuali aku. Aku memang seringkali dibuatnya malu, tanpa tanggung-tanggung.

Aku menatap sebal ke arahnya dengan kedua tangan digeramkan. Ia hanya tersenyum puas melihat responku yang pasti diinginkannya. Telingaku semakin panas ketika mengetahui ia kembali mengejekku bersama dengan teman-temannya.

Kali ini aku sudah tak tahan lagi. Sudah lama sekali aku bersabar dengan sifatnya tersebut.

Dengan langkah besar dan sedikit mengguncang lemak yang bersarang di tubuhku, aku menghampirinya dengan tatapan membunuh. Kedua tanganku masih menggeram sampai dibuat memutih.

Teman-temannya langsung terdiam ketika aku menghampiri mereka. Dan Romeo—seharusnya nama itu memang tak pantas diberikan untuknya—yang masih tertawa, akhirnya disenggol temannya untuk menghentikan tawanya. Memberitahu kalau aku sudah berada di hadapannya.

Ia tak menampangkan wajah kagetnya. Justru ia terlihat bergembira seperti baru saja mendapatkan mainan baru.

“Aaaand.. This is our BIG Cinderella!” lantangnya hingga membuat teman-temannya kembali tertawa sekaligus was-was karena aku sudah berada di hadapan mereka. Romeo menekankan kata “BIG” yang tentu saja ia pasti sedang menyindirku.

Romeo langsung beranjak dari tempat duduknya dan kemudian berdiri tepat di hadapanku.

“Ada masalah, tuan putri? Apa lo kehilangan salah satu sepatu lo lagi?” Telingaku semakin memanas. “Oh, I mean, one of your BIG shoes,” tambahnya lagi dengan senyuman mengejek yang terbentuk dari bibirnya.

“Oh, iya. Gue kehilangan salah satu sepatu besar gue,” balasku santai yang kemudian ketika ia lengah, aku langsung menginjak salah satu sepatu yang membungkus kakinya dengan geram. “Rasain!” teriakku di depan wajahnya langsung dan kemudian berlalu dari hadapannya ketika ia meringis kesakitan.

Aku kembali menoleh ke arah belakang ketika ia kembali mengatakan sesuatu yang membuat telingaku panas, lagi.

“Untung dia nggak pakai sepatu hak. Hahaha,” sambil meringis pun, ia tertawa.
***

Ya, kemarin aku memang sempat kehilangan salah satu sepatuku. Tentu saja aku harus menahan malu ketika mencari salah satu sepatuku yang hilang dengan hanya menggunakan satu sepatu di kakiku. Dan tak perlu dipungkiri lagi, pelakunya memang Romeo. Anak kurang ajar itu memang tak pernah berhenti untuk mengerjaiku.

“Rom, sepatu gue lo ke manain?!” pekikku ketika melihat Romeo berada di pandanganku. Aku tak peduli banyak pasang mata yang menoleh ke arahku.

“Ram, Rom, Ram, Rom. Emangnya lo kira gue compact disk apa?”

“Lo sendiri juga panggil gue Big Cinderella. Jelas-jelas nama gue Putri,” balasku tak kalah sengit.

“Lho? Putri Cinderella kan juga bagus, Big Cinderella juga bagus, sih. Biar lo kelihatan anggun di antara lemak-lemak lo ini,” ucapnya sembari tersenyum mengejek.

“Rom. Lo nggak tega apa gue pulang cuma pakai satu sepatu? Ngotak dikit kenapa sih kalau mau ngerjain gue.”

Romeo langsung mengubah air wajahnya. “Gue nggak tahu.” Dan kemudian ia langsung berlalu dari hadapanku.

Dan hari ini, aku terpaksa menggunakan sepatu adikku yang jelas-jelas ukurannya lebih kecil dibandingkan sepatu yang kugunakan kemarin. Aku benar-benar harus menanggung malu ketika pulang sekolah. Itu pun aku juga menunggu sekolah sepi akan penghuni.

“Eh, lo dipanggil Pak Uswan ke ruang olahraga tuh,” ucap Rini ketika ia lewat di hadapanku.

Ruang olahraga? Ah, sudah tahu aku memang tak suka dengan olahraga. Kenapa aku harus berkutat dengan pakarnya? Sepertinya, ia akan mengomeliku karena minggu-minggu terakhir aku sering absen di pelajarannya.

Ketika aku memasuki ruang olahraga, terlihat kosong, tak ada penghuninya sama sekali. Apa jangan-jangan Pak Usman berada di luar ruangan?

Aku kembali berjalan memasuki ruangan, memastikan Pak Usman memang berada di dalam.

“Pak Usman,” panggilku. “Pak Usman?”

Tak ada jawaban. Namun, tiba-tiba saja ada satu tangan yang hinggap di bahuku. Sudahlah, aku pasrah kalau telingaku harus panas mendengar omelan Pak Usman.

“Eh, Bapak,” ucapku sembari menoleh ke arah belakang. Namun yang kudapati bukan Pak Usman, melainkan si anak kurang ajar itu, Romeo. “Ngapain lo ke sini?” sungutku langsung sinis.

“Happy birthday,” ucapnya yang kemudian langsung mengeluarkan sebuah kotak yang ia umpatkan di belakang punggungnya. Aku langsung mengernyit. Apa anak ini sudah kehabisan akal? Apa dia pikir aku bodoh kalau di dalam kotak tersebut memang terdapat banyak hewan menjijikan?

“Gue lagi nggak mau main-main, pergi sana,” balasku sinis sambil menepis kotak tersebut.

“Lo nggak ingat hari ini ulang tahun lo?”

Sedetik kemudian aku mulai teringat. Astaga. This is my day!

“Dan lo nggak mau terima hadiah dari gue?”

Aku langsung menatap ke arahnya. Aku tak bisa membaca raut wajahnya yang ingin mengerjaiku atau memang sedang bersungguh-sungguh.

“Kalau isinya hewan menjijikan, gue janji bakal ngelempar ini ke muka lo!”

“Kalau begitu, gue langsung kabur,” balasnya santai ditambah dengan senyumannya.

Perlahan, aku mengambil kotak dari tangannya dan membuka kotak tersebut dengan hati-hati. Mungkin saja isi kotak ini adalah hewan yang menjijikan. Namun yang kulihat benar-benar di luar kepala.

“Ini... buat gue?”

Romeo membalas tersenyum. “Happy birthday. Dan sori untuk sepatu lo. Gue sengaja ngambil, soalnya gue nggak tahu ukuran sepatu lo.”

Aku langsung mengambil salah satu sepatu dalam kotak tersebut, dan menusukkan ujung runcing sepatu ke arah pinggang Romeo. “Dasar anak kurang ajar.”
Continue reading
Share:
Views:
Cerbung

Make Up 2

Saturday, September 14, 2013 By astaghiri 0 Comments
“Lo itu kenapa, sih?” pertanyaan Rino membuat Karin bingung. Ia juga ikut mengernyitkan dahinya. Baru kali ini ia berani membalas tatapan Rino. Tak lama, Rino memberhentikan tawanya yang semakin lama terasa semakin canggung di hadapan Karin. Padahal, sebenarnya Karin cukup senang dapat melihat tawa Rino dalam jarak yang dekat. Namun, ia tak mampu menampakkan ekspresi senangnya yang jutsru kini nampak aneh di mata Rino.

“Ada yang aneh, ya?” Karin memberanikan diri untuk bertanya sambil menggigit bibir bagian bawahnya. Rino sedikit tersenyum melihat kelakuan Karin tersebut.

Tak lama, Rino tertawa lagi. Membuat Karin semakin menampakkan wajah bingungnya. Apa jangan-jangan di wajahnya terdapat sesuatu hingga membuat Rino tertawa seperti itu?

Karin langsung mengambil kaca di dalam tas make up dan segera memeriksa wajahnya. Tak ada yang aneh. Hanya saja , mata Karin terlihat kuyu. Mungkin, karena akhir-akhir ini ia sering tidur terlalu malam.

“Iya, lo aneh. Haha.”

Karin mengerucutkan bibirnya. Kemudian, tiba-tiba saja Gerald yang berada di depan kelas langsung memanggil Karin. Menyebabkan Karin langsung menolehkan kepalanya ke arah Gerald, Rino mengikuti.

“Nggak ada acara ngobrol, Rin!” bentak Gerald. Karin langsung merengut. Huh, kalau seperti ini aku takkan mau membantunya. Memangnya siapa dia? Berani sekali membentakku.

“Lo lagi bentak gue apa Karin?” Rino langsung menyahut. Karin langsung menoleh ke arah Rino. Tak mengerti dengan apa yang baru saja dikatakan olehnya. “Nama gue sama nama Karin ada ‘Rin’-nya. Jadi, lo lagi ngebentak siapa?”

Karin ber-oh ria sambil mengangguk-angguk pelan. Kemudian, ia kembali menoleh ke arah Gerald sambil memandang sebal.

“Oh.. jadi lo berdua mau dipanggil Duo ‘Rin’?” Karin dan Rino langsung mengernyitkan dahinya. Kemudian, mereka berdua langsung saling bertukar pandangan. Karin yang salah tingkah langsung membuang tatapannya, kembali menatap kesal ke arah Gerald. Kini, mukanya kembali bersemu merah.

“Apaan sih lo, Ger,” Karin memicingkan matanya ke arah Gerald.

“Profesional dikit, dong. Dikit lagi mau upacara,” Gerald kembali membentak sambil menunjuk-nunjukkan ke arah jam tangan yang melingkar di tangannya.

Profesional? Profesional apanya? Aku di sini pun hanya sebagai pesuruh merias laki-laki paskibraka ini. Profesional katanya? Profesional nenekmu.

Karin langsung merengut sebal dan kembali mengambil alat riasnya. Kemudian, ia kembali menatap ke arah Rino yang kini sedang menatapnya datar. Lagi-lagi, Karin dibuat kikuk oleh Rino. Tanpa harus berbicara lagi, Karin melanjutkan merias wajah Rino. Rino masih terlihat pasrah diperlakukan seperti itu. Duo Rin? Lucu juga.

Setelah selesai merias Rino, dengan gerakan kaku Karin membereskan alat rias tersebut dan terburu-buru pergi dari hadapan Rino. Namun, tak berselang waktu lama, Rino memanggilnya.

“Eh, Rin,” Karin langsung memberhentikan langkahnya dan menoleh kikuk ke arah Rino yang kini sedang mengaduk-aduk tasnya. Kemudian ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya tersebut. Sebuah tempat makan berisikan sandwich.

“Lo belum makan, kan? Nih, makan aja. Gue udah kenyang.”

“Eh, nggak usah,” Karin langsung mengibaskan kedua tangannya. “Nggak perlu, kok. Gue nggak lapar,” Karin tertawa canggung. Rino langsung mengernyitkan dahinya.

“Bukannya tadi lo bilang belum sarapan?” Rino langsung menghampiri Karin dan mengulurkan tangan Karin. “Makan aja. Sandwich buatan nyokap gue enak, kok. Sebagai upah tambahan aja udah jadi tukang make up dadakan,” Rino tersenyum mengejek. Karin menerimanya dengan gerakan kaku sambil memundurkan langkahnya. Kemudian, ia langsung berlari dari hadapan Rino.

Rino hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

***

Karin hanya bisa terus tersenyum sambil mengunyah sandwich milik Rino. Kalau seperti ini sih, durian jatuh namanya. Coba saja tak ada Gerald, pasti momen-momennya tak akan rusak sedikit pun. Tetapi, kalau pun tak ada Gerald, pasti ia tak memberikan julukan Duo Rin. Lucu juga julukan itu.

Tak lama, bel berbunyi dengan khasnya mengiringi usainya Karin yang sedang memakan sandwich tersebut. Kotak makan tersebut ia tutup rapat dengan baik, bahkan sempat ia bersihkan menggunakan tisu basah. Entahlah mengapa ia berbuat seperti itu. Kembali berbuat baik kepada orang lain boleh-boleh saja, kan?

Lorong-lorong kelas segera kosong, rata-rata penghuni sekolah sudah berkumpul di lapangan. Karin terus saja memanjangkan lehernya, mencari sosok Rino yang belum kelihatan batang hidungnya. Apa ia karena ia bertubuh pendek, jadi ia tak bisa menjangkau sosok Rino? Huh.

Ah, setidaknya ia bisa bertatap muka kembali dengan Rino karena ingin mengembalikan tempat makannya. Setidaknya, ada sedikit harapan Karin bisa mengobrol lagi dengan Rino. Bisa saja terjadi, kan?

Upacara dimulai dengan khidmat. Suara para penghuni sekolah yang berada di lapangan seakan-akan sedang diredam sesaat. Kepala Karin terus saja melenggak-lenggok, mencari keberadaan Rino.

“Ah, entar juga kelihatan, kok,” Karin begumam sendiri dan kembali meluruskan kepalanya ke arah depan.

Setelah satu jam dengan khidmat menjalankan upacara, Karin segera kembali menuju kelasnya, mengambil tasnya dan juga tempat makan milik Rino. Sepertinya, lebih cepat lebih baik jika dikembalikan kepada pemiliknya, walaupun sebenarnya ia masih ingin bertatap muka dengan Rino di lain waktu.

Karin kembali turun menuju lantai satu. Koridor mulai menyepi oleh siswa. Rata-rata dari mereka sudah kembali ke rumahnya masing-masing. Kecuali petugas upacara,  para guru, dan beberapa siswa yang masih berkeliaran di lingkungan sekolah. Itu dia Rino!

Perlahan namun mantap, Karin melangkahkan kakinya mendekat ke arah Rino. Rino memang belum melihatnya. Namun Karin tetap ingin menghampirinya.

“Rino,” sapa Karin dengan berdiri di hadapan Rino. Namun, raut wajah Karin berubah ketika Rino menyapanya kembali hanya dengan mengembangkan senyumannya. Tanpa aba-aba, Karin langsung menarik tangan Rino, dan membawa lelaki itu ke belakang sekolah.

“Ada apa, sih?” Rino sedikit memberatkan langkahnya karena ia tak mengetahui apa yang ingin dilakukan oleh Karin. Karin terus menarik tangannya hingga mereka berhenti tepat di belakang sekolah. Karin langsung menghadap ke arah Rino.

“Itu...”

Rino mengenyitkan dahinya. Matanya tajam menatap ke arah Karin. Karin justru terlihat gugup dengan menggigit bibir bagian bawahnya.

“Kenapa? Mau bilang kalau sandwich buatan nyokap gue enak? Kan gue udah bilang. Sandwich buatan nyokap gue emang enak,” ujar Rino dengan bangganya. Karin justru semakin dibuatnya bingung.

“Itu...” Karin menunjuk ke arah pipi Rino. Refleks, bola mata Rino langsung menatap ke arah telunjuk Karin. Rino semakin mengernyitkan dahinya. Tak mengerti apa yang sedang dilakukan oleh gadis tersebut.

Karin langsung menurunkan telunjuknya. Seperti baru saja melakukan suatu kesalahan, dan ia baru mendapatkan penyesalannya.

“Kayaknya lo alergi deh,” ucap Karin dengan pasrah sambil menatap Rino lewat sudut matanya. Takut dengan reaksi yang akan dikeluarkan oleh Rino.

“What?!” seru Rino yang membuat Karin sedikit menjauh dari hadapannya. Rino mengetahui kekagetan Karin akibat seruannya tersebut. “Maaf. Tapi, punya cermin?”

Dengan cepat, Karin langsung mengeluarkan cermin kecil dari dalam tasnya. Kemudian, ia memberikannya pada Rino. Dengan cepat juga, Rino mengambil cermin milik Karin dari tangannya. Karin mulai cemas lagi dengan respon yang dikeluarkan oleh Rino nantinya. Ia takut kalau ia yang akan disalahkan akibat dari alergi tersebut.

Rino terlihat pasrah ketika ia menurunkan cermin dari hadapan wajahnya. Menatap ke arah Karin dengan sedikit perasaan kesal. Namun, ia tak boleh seperti itu karena ini bukanlah kesalahan Karin. Mungkin saja ia memang alergi dengan alat make up. Lagi pula, dari awal Karin memang sudah menanyakan kepadanya apakah ia memiliki alergi terhadap make up atau tidak.

Rino mengembuskan napasnya tidak rela.

“Bintik-bintik merah kayak gini nggak bisa hilang?” tanya Rino sambil menunjuk ke arah pipinya. Bukan hanya bintik-bintik merah. Sebagian pipinya seperti baru saja menerima sebuah tamparan yang cukup keras. Terlihat bagian yang memerah.

“Bi—bisa kok, bisa,” jawab Karin dengan tergagap. “A—aduh, sori banget ya Rin. Gue nggak tahu kalau kejadiannya bakal kayak gini.” Karin hampir saja ingin menyentuh pipi Rino. Namun dengan gerakan cepat, tangannya kembali turun.

Rino menggeleng. Namun, tatapannya yang ia berikan pada Karin seperti tatapan yang kesal terhadapnya.

Karin mengetuk-ngetuk bibirnya. Walaupun Rino tak menyalahkannya, Karin merasa bersalah terhadapnya. Ya walaupun memang bukan sebuah kesengajaan. Walaupun begitu, ia tetap mau bertanggung-jawab.

“Lo tunggu di sini, nanti gue balik lagi,” seru Karin tiba-tiba yang kemudian langsung berlalu dari hadapan Rino. Rino menatap punggung Karin yang semakin lama semakin mengecil di penglihatannya.

Tak lama, Karin kembali dengan membawa botol berukuran sedang di tangannya. Sambil berlari, ia menghampiri Rino yang ternyata sedang terduduk di sebuah bangku kayu panjang. Rino menatap Karin yang semakin lama semakin mendekat ke arahnya.

“Pakai ini,” Karin menyerahkan botol pembersih wajah. Rino langsung mengernyitkan dahinya.

Dan dengan polosnya ia berkata, “Ini dibasuh ke muka?”

To be continued.
Continue reading
Share:
Views:
Cerbung

Make Up

Sunday, August 18, 2013 By astaghiri 0 Comments
“Karin!” teriak seseorang yang membuat kepala Karin langsung mencari sumber suara tersebut. “Sini!” seorang lelaki tengah melambaikan tangannya ke arah Karin. Menyuruhnya untuk segera menghampirinya. Lelaki itu bernama Gerald, teman satu kelas Karin pada saat kelas X.

“Kenapa?” tanya Karin heran.

Sebenarnya, Karin agak setengah kesal karena harus masuk di hari sabtu seperti ini. Tetapi, sebenarnya bukan dirinya saja yang diharuskan masuk sekolah pada hari sabtu. Hari ini adalah peringatan upacara 17 Agustus. Maka dari itu, seluruh penghuni sekolah tersebut diharuskan menghadiri upacara 17 Agustus.

“Elo pernah make up anak-anak pentas seni waktu itu, kan? Yang nari itu lho,” Gerald mencoba mengingakan bayangan Karin.

Karin memutar bola matanya, mengingat hari di mana ia yang me-make up para penari di saat yang seharusnya me-make up-kan anak-anak pentas seni tersebut  justru belum memunculkan batang hidungnya. Entahlah, apa yang berada dipikiran seorang penanggung jawab pada saat itu. Mungkin, terlintas pikiran bahwa Karin adalah adik seorang ‘make up artis’, bisa saja keahlian kakaknya turun kepada Karin. Toh, memang hasilnya cukup memuaskan.

Perlahan, Karin mengangguk. Matanya masih memicing ke arah Gerald, ingin mengetahui apa yang diinginkan oleh lelaki tersebut.

“Oke, ikut gue,” ajak Gerald yang kemudian langsung membalikkan badannya.

Karin menatapnya dengan heran. Namun tanpa ragu, ia mengikuti langkah Gerald menuju suatu kelas yang terletak di lantai satu. Sepertinya, kelas itu sudah cukup ramai dihuni beberapa orang. Padahal, lingkungan sekolah masih cukup terlihat sepi.

“Tolong make up mereka,” pinta Gerald dengan seenaknya ketika mereka berdua telah mencapai kelas tersebut yang ternyata isi kelas tersebut adalah anak-anak Paskibra. Oh my God. Bagaimana ini?

Karin mencoba mengatur napasnya, menahan detak jantungnya yang mulai berdetak tak beratur. Tolong dengarkan aku, jantung. Tolong.

“Emangnya lo nggak panggil tukang make up? Kenapa harus gue?”

“Ada masalah kecil, dan kebetulan yang gue lihat pagi ini adalah elo. Kebetulan juga lo perempuan, pasti lo bisa make up-in mereka, dong?”

Karin melihat sekeliling. Ia melihat beberapa perempuan yang sedang menyibukkan diri masing-masing. Kemudian, ia mengernyitkan dahinya. Di kelas ini banyak jumlah perempuan, mengapa harus menggunakan jasanya?

“Ger, tapi di sini banyak anak perempuannya. Kenapa harus gue? Mereka juga udah pada pakai make up, kan?” Karin mencoba membela diri, sebenarnya hanya ingin cepat menyingkirkan dirinya dari hadapan Gerald.

“Ya anak perempuan emang udah bisa make up sendiri. Tapi lihat dong anak laki-lakinya. Yang perempuan juga udah pakai saputangannya masing-masing,” Gerald mencoba mencari alasan yang logis walaupun sebenarnya kurang masuk akal bagi Karin. “Ayolah, nanti gue traktir deh. Anak laki-lakinya cuma tiga, kok. Lo mau, kan?”

Karin mendengus kesal. Akhirnya, ia menyetujui permintaan Gerald. Ia memulai me-make up laki-laki yang lebih dikenalnya terdahulu. Mungkin untuk meregangkan otot tegang pada tangannya. Bisa saja tangannya tiba-tiba kaku tepat di wajah lelaki itu, kan?

Sebenarnya, Karin memiliki alasan tertentu mengapa ia sempat mengelak permintaan dari Gerald. Pertama, ah lelaki itu. Lelaki yang telah setahun lebih telah memikat mata Karin, bahkan mungkin hatinya juga ikut terpikat. Namun, ia lebih memilih untuk bungkam, bahkan tidak melakukan sesuatu hal untuk menarik perhatian lelaki tersebut.

“Huh, kalau kayak gini mending gue datang agak siangan,” gumam Karin pelan ketika ia sedang me-make up teman lelakinya, Tio.

“Jangan banyak gerutu, Rin,” balas Tio yang sedang memejamkan matanya. “Seharusnya gue yang banyak gerutu. Nggak tahu gue ngantuk, apa?”

Karin langsung mengernyitkan dahinya. Memangnya itu urusanku?

“Lo datang jam berapa emangnya?”

“Tiga.”

Hampir saja Karin tersentak kaget. Kalau saja ia tak bisa menahannya, pasti tatapannya sudah tersita menuju ke arahnya. Karin langsung menepuk-nepuk bahu Tio dengan perasaan iba. Namun, lelaki itu belum mau membuka kelopak matanya.

“Nggak apa-apa. Perjuangan buat Indonesia. Jadi paskibraka kan artinya sama aja berjuang untuk Indonesia. Jadi—”

“Cerewet,” tepis Tio langsung yang mulai merasa sebal. Karin langsung merengut. Kemudian, ia menekan-nekan dahi Tio menggunakan spon bedak dengan cukup keras. Sebagai pelampiasannya karena telah memutuskan perkataannya. Tio hanya bisa menggerutu sambil melanjutkan memejamkan matanya.

Dan sekarang giliran lelaki itu. Tangan Karin mulai merasa kaku ketika membereskan alat make up tersebut. Karin memanjangkan lehernya. Melirik ke arah lelaki tersebut di pojok kelas yang sedang tertidur dengan meletakkan kepalanya di atas meja. Perlahan, ia mulai melangkah ke arah lelaki tersebut. Setelah ia mengatur napasnya, ia mencoba membangunkan lelaki tersebut.

“Rin—” Karin hampir memanggil lelaki itu. Ah, sial. Seharusnya ia tak memanggil nama lelaki itu karena mereka berdua belum saling mengenal. Kalau Karin memanggil nama lelaki itu, dan ternyata lelaki itu menyahut, nanti ia bisa dibilang sebagai orang yang sok kenal sok dekat. Ah, pura-pura tidak kenal saja.

“Eh,” panggil Karin sambil menyembulkan kepalanya sedikit ke arah Rino. Rino belum sedikit pun bergerak karena panggilan Karin. Akhirnya, Karin memberanikan diri untuk menyentuh bahu Rino.

Sambil menusuk-nusuk pelan ke arah bahu Rino, ia juga menyerukan ‘eh’ pada Rino agar ia terbangun. Tak lama, Rino mengangkat kepalanya yang mungkin terasa berat. Ia menatap samar ke arah Karin. Tatapan seolah mengatakan ‘ada apa?’.

“Eh, ini, gue disuruh make up anak paskibra,” Karin merasa sedikit gugup melihat wajah Rino yang terus saja menatapnya datar. “Eh, lo masih ngantuk ya?” Karin bertambah gugup. Rino sama sekali belum memberikan respon untuknya. “Eh, tidur dulu aja deh. Sori deh kalau ganggu.”

Karin langsung membalikkan badannya sambil memegang dadanya yang terasa ingin robek karena jantung yang berada di dalamnya ingin mencelos keluar. Ada apa sih dengan dirinya kali ini?

“Eh? Sori,” seru Rino yang membuat langkah Karin berhenti. “Nyawa gue belum terlalu ngumpul jadi kayak gini. Yaudah, make up-in gue aja, tapi jangan terlalu tebal.”

Perlahan, Karin membalikkan kembali badannya ke arah Rino dengan kikuk. Kemudian, berjalan menghampirinya. Menarik bangku lain dan duduk berhadapan dengan Rino. Namun saat itu, ia mulai merasakan posisi duduknya kurang terlalu enak. Padahal, sama saja ketika ia me-make up Tio dan temannya yang satu lagi.

“Kenapa?” tanya Rino heran sambil melipat kedua tangannya di depan dadanya. Kemudian, sesekali ia menguap. Sepertinya anak ini memang benar-benar mengantuk.

Seperti sedang tertangkap basah karena melakukan suatu hal, Karin langsung menyengir kikuk sambil menggeleng. Perlahan, ia duduk tepat di hadapan Rino.

Karin mulai kembali mengeluar alat make up, tanpa disadari Rino memerhatikan tangan Karin yang sibuk mengeluarkan alat-alat make up tersebut dengan tatapan datar. Entahlah, sepertinya tak ada yang menarik selain melihat tangan Karin yang terus saja sibuk mengeluarkan alat make up tersebut.

Karin juga baru menyadari bahwa sedari tadi Rino menatapnya dengan tatapan jenuh—pikirannya berkata seperti itu.

“Eh, kalau lo mau tidur, tidur aja. Gue tetap bisa me-make up orang yang lagi tidur kok,” seru Karin tanpa menatap ke arah Rino sedikit pun. Namun, ia sedikit melirik ke arah Rino. Tanpa harus membalas perkataannya, Rino langsung menutup kelopak matanya dan berusaha tetap menegakkan kepalanya dengan lurus.

Dengan kaku, jari Karin mulai mengoleskan pelembab pada wajah Rino agar bedak yang setelah ini dioleskan pada wajahnya tidak terlalu menyerap pada kulitnya. Dengan hati-hati, Karin meratakan pelembab tersebut ke area wajah Rino. Tangannya gemetar ketika menyentuh area wajah lelaki tersebut.

“Lo kenapa?” seru Rino tiba-tiba tanpa membuka kelopak matanya. “Gemetar gitu tangannya. Belum makan?”

Wajah Karin langsung memerah. Ia sempat memberhentikan mengoleskan pelembab pada wajah Rino. Untung saja kelopak mata Rino sedang tertutup. Jadi, ia tak bisa melihat wajah Karin yang sedang bersemu merah seperti ini.

“Ah, iya,” jawab Karin gugup sambil kembali meneruskan meratakan pelembab pada area wajah Rino. Rino seperti terlihat pasrah diperlakukan seperti itu oleh Karin.

“Terus, kenapa lo datang sepagi ini?”

“Intuisi mungkin,” jawab Karin sesingkat-singkatnya dan tanpa sadar ia berceletuk seperti itu. Ah, masa bodoh. Yang penting, ia berharap lelaki ini tak membuka kelopak matanya agar ia bisa terus menatap wajah lelaki tersebut dari arah dekat.

“Intuisi apa?” Rino bertanya dengan nada heran.

“Jadi tukang make up kayak gini mungkin,” jawab Karin dengan nada pasrah yang sebenarnya ia sedang menahan napasnya gara Rino tak bisa merasakan embusan napasnya.

Bibir Rino sedikit tergerak, membuat Karin sedikit tersentak kemudian menjauhkan jemarinya dari area wajah Rino. Apa lelaki ini sedang mengigau? Mana mungkin mengigau di saat percakapannya menyambung seperti ini.

“Lo nggak alergi make up, kan?” tanya Karin memastikan namun dengan ragu-ragu.

Rino langsung menggeleng. “Gue belum pernah pakai make up.”

Karin mengangguk pelan, kemudian mengambil alas bedak untuk wajah Rino. Lelaki ini meminta untuk make up yang tidak terlalu berlebihan. Memakai alas bedak saja sepertinya juga cukup karena faktor wajah Rino yang memang sudah putih.

“Oh ya, lo Karin, kan?”

Tangan Karin langsung berhenti ketika sedang menekankan spon bedak pada bagian hidung Rino. Seketika itu juga, kelopak mata Rino terbuka. Kini, mereka berdua saling betukar pandangan satu sama lain.

Rino mengenalku? Dia tahu namaku?

“Lo dulu anak kelas X-4 kan, ya?” timpal Rino lagi dengan wajah datarnya. Perlahan, Karin mengangguk kikuk sambil kembali melanjutkan pekerjaannya. Ia mencoba tak bersikap tegang dan tetap fokus pada pekerjaannya tersebut. Aduh, tangan ini. Bisa untuk tidak bersifat kaku untuk sebentar saja tidak, sih?

Rino sedikit tersenyum. Tetapi Karin tak mengerti apa maksud dari senyuman Rino tersebut. Seperti sedang menang sebuah undian?

Tiba-tiba, hati Karin mulai melambung tinggi. Rino mengenal Karin. Kalau begitu, Karin tak perlu merasa sok tak kenal dengan Rino lagi, kan?

“Untung gue udah tahu semua nama teman seangkatan gue,” tambah Rino yang kemudian kembali menutup kelopak matanya. Dan tiba-tiba saja, hati Karin yang tengah melambung tinggi, menabrak roket yang sedang terbang dan jatuh ke arah bumi dengan tamparan angin yang begitu keras.

Setelah itu, Karin tak mau lagi mengajak ngobrol Rino. Biarkan saja ia tertidur, dan Karin bisa menatap wajahnya dengan puas. Dengan begitu, ia tak perlu menggantungkan kalimatnya tersebut yang menyebabkan hati Karin terlanjur mencelos keluar. Huh, menyebalkan.

“Duh, pelan-pelan dong make up-in-nya,” protes Rino ketika spon bedak itu terus saja menimpa tulang pipinya. Spontan, ia langsung membuka kedua matanya, menatap ke arah Karin yang nampak terlihat panik.

“Eh, sori, Rin. Sori,” seru Karin sambil menjauhkan spon bedak tersebut. Rino masih menatap lurus ke arah Karin. Kemudian, ia sedikit memiringkan kepalanya.

“Lo sadar nggak?” seruan Rino membuat Karin terperanjat. Apa aku melakukan kesalahan hingga membuatnya marah seperti ini?

“Eh, maaf Rin. Maaf banget, gue nggak sengaja. Emang sakit banget, ya?” Karin sedikit memajukan wajahnya, hendak melihat ke arah pipi Rino. Tak ada bekas lebam sedikit pun. “Nggak terbekas luka, kok,” tambah Karin dengan nada khawatir.

To be continued.
Continue reading
Share:
Views:
Cerpen

Untukmu

Wednesday, August 14, 2013 By astaghiri 0 Comments
Rendra terus saja mendongakkan kepalanya menatap ke arah bendera merah putih yang berkibar pada tiang yang menjulang ke arah langit. Sinar matahari yang terik menerpa wajahnya sebagian, mulai membuat buliran keringat pada dahi. Dalam hati, Rendra terus saja menggerutu ‘Kapan aku selesai dihukum seperti ini?’.

Hari ini, Rendra terlambat datang ke sekolah. Terpaksa, ia dihukum oleh gurunya untuk terus hormat pada kibaran bendera merah putih tersebut.

Kakinya mulai bergetar, tak kuat sudah berjam-jam berdiri, mendongakkan kepala, dan terkena sengatan sinar matahari. Belum lagi, beberapa penghuni sekolah yang terus menatapnya dengan tatapan mengejek.

“Kamu sudah tak kuat lagi, Rendra?” tanya gurunya yang tiba-tiba saja datang menghampirinya. Ingin menjawab ‘tidak’, namun ia takut kalau hukumannya akan ditambahkan lagi untuknya. “Ini untukmu, membuatmu untuk bersikap lebih disiplin. Di samping itu, kamu juga lebih menghormati bendera yang sedang berkibar, bukannya bendera sedang menjulang ke arah langit, tapi kamu baru datang ke sekolah.”

“Iya, Bu,” jawab Rendra dengan nada takut-takut.

#FF2in1
Tema kedua : Bendera - Cokelat
Continue reading
Share:
Views:
Cerpen

Deal

By astaghiri 0 Comments
“Maaf,” lelaki itu terus saja menggumamkan kata tersebut di hadapanku, tak bosan-bosannya hingga telingaku mulai menebal. Aku masih enggan menaikkan kelopak mataku untuk menatapnya. Percuma, hanya membuatku lemah di hadapannya dengan menjatuhkan air mata yang sengaja kuseka.

Lelaki itu semakin kuat menggenggam tanganku. Memaksaku untuk menatap ke arahnya.

“Apakah aku tak pantas mendapatkan permintaan maaf darimu?”

Kata-kata itu membuat kelopak mataku sontak menaik. Melihatnya samar karena sekaan air mata yang menumpuk pada kelopak mataku. Mulai terjatuh membentuk aliran pada pipiku.

“Kau kira, kau pantas mendapatkan maaf dariku?”

Ia menyeka peluh di dahi. Melihatku dengan cemas. Ingin membalas perkataanku, namun takut. Ia terus menatapku seperti menghujamkan kata ‘maaf’.

“Aku yang salah,” ucapku tiba-tiba yang kemudian langsung menundukkan kepalaku. Sepertinya aku bisa mengetahui raut apa yang dikeluarkan oleh lelaki yang berada di hadapanku ini. “Maaf. Aku egois.”

Aku memberanikan diri untuk mendongakkan kepalaku. Secercah senyuman sudah menyambutku dengan hangat.

“Kita makhluk yang bernama manusia. Wajar memiliki rasa egois sepertimu, atau memiliki kesalahan sepertiku. Jadi, kita deal?”

Ia mengacungkan jari kelingkingnya, aku ikut mengacungkan jari kelingkingku dan mengaitkan kedua jari kami. Menyudahi semua beban hati yang sedari tadi kutahan—mungkin bukan hanya aku, tapi kami.

Continue reading
Share:
Views:
Cerpen

Good-Bye

Monday, August 12, 2013 By astaghiri 0 Comments
Taburan bintang menghiasi langit malam yang cerah. Satu per satu, kerlap kerlipnya memanjakan mata, tetap tak mau beranjak dari satu objek ciptaan Tuhan yang begitu indahnya.

Gadis itu menyenderkan tubuhnya pada tanah yang dilapisi dengan rumput tebal berwarna hijau. Tak peduli dengan gaunnya yang mungkin kini sudah terkena bercak cokelat karena tanah, atau pun terkena tetesan embun yang kotor pada sela-sela rumput yang menyentuh seluruh bagian belakang gaunnya.

Tiba-tiba saja, seorang lelaki ikut mengempaskan tubuhnya pelan tepat di samping gadis tersebut. Gadis itu hanya menoleh, kemudian kembali menatap ke arah langit, memuja para bintang yang menggantung di langit.

“Kamu menggangguku,” ucap gadis itu tiba-tiba tanpa menoleh ke arah lelaki tersebut. Lelaki itu hanya menampangkan senyum pada bibirnya. Ia ikut memandangi langit yang begitu terpampang luas di hadapannya. “Kamu nggak ikut memeriahkan promnight? Hari ini hari terakhir kita ketemuan lho,” tambah gadis itu.

“Kamu sendiri? Masih mau menikmati langit malam seperti ini?” lelaki itu justru berbalik tanya.

“Jawablah dulu pertanyaanku,” tepis langsung gadis itu.

“Jawabanku mungkin sama seperti jawabanmu.” Terdengar suara helaan napas yang begitu panjang.

Gadis itu hanya bisa tertawa pelan. “Bagaimana dengan Gita? Kamu masih menyukainya, kan?”

Pertanyaan itu membuat punggung lelaki tersebut langsung beranjak dari atas rumput. Lalu menatap lurus ke arah mata gadis tersebut. Gadis itu langsung mengalihkan pandangannya menuju cakrawala.

“Aku harus bilang berapa kali?”

Gadis itu hanya tersenyum. “Tenang saja, aku hanya mencoba menggodaimu.” Kemudian, tercipta keheningan malam yang hanya diisi dengan terpaan angin yang melewati sisi kulit mereka. “Bagaimana ya, kalau aku sudah tak bisa menggodaimu lagi? Bahkan sepertinya aku memang sudah tak bisa,” gumam gadis itu tiba-tiba.

“Apa maksudmu?” tanya lelaki itu heran.

“Bagaimana ya, kalau kita sudah tak bisa bertemu lagi?”

Lelaki itu tertawa pelan. “Aku pasti akan terus mengejarmu. Dan aku pasti akan menemukanmu.”

“Jangan gila,” tepis gadis itu langsung. Lelaki itu tetap tak mau mengalihkan pandangannya pada gadis yang berada di sampingnya. “Aku mohon padamu, tolong jangan pernah pandangi langit malam yang seperti ini lagi,” pinta gadis itu. “Aku nggak mau kamu terluka.”

“Kamu kira malam seperti ini hanya terjadi setahun sekali?” lelaki itu langsung mengalihkan pandangannya, menengadahkan kepalanya ke arah langit. Gadis itu tak menjawab. “Baiklah. Tapi, bisakah kamu mengucapkan selamat tinggal kepadaku?”

Lelaki itu kembali menatap ke arah samping. Kosong. Tak ada bekas sedikit pun jejak gadis itu. Lelaki itu mendesah berat. Memejamkan matanya sambil menekuk kedua lututnya. Meratapi kepergian gadis itu, yang bahkan memang sudah pergi untuk selamanya. Mungkin, malam ini ia memang datang untuk mengucapkan selamat tinggal pada lelaki itu.

Kemudian, lelaki itu menengadahkan wajahnya ke arah langit. Menunggu alam memberikan respon untuknya, dan juga menunggu gadis itu mengucapkan selamat tinggal untuknya. Lelaki itu hanya bisa mendengar lirih angin yang melewati telinganya.

Mungkin, aku akan membuat malammu akan terus nyenyak karena aku tak mau kamu meratapi langit malam berbintang dan terus mengingat akan diriku yang sudah tak lagi mungkin bisa berada di sampingmu. Selamat tinggal.
Continue reading
Share:
Views:
Cerpen

Bukan Waktu Untuk Menyesal

By astaghiri 0 Comments
Aktifitas yang menurut kami tidak melelahkan dalam fisik, namun sangat melelahkan dalam hati adalah ‘Selama tiga tahun kami hanya bisa saling lirik satu sama lain, tanpa harus mengutarakan hati masing-masing’. Ya, tanpa harus mengutarakan hati masing-masing.

Semburat merah menghiasi langit sore kali ini. Hembusan angin sore yang menyejukkan melewati sela-sela rambut panjangku. Sisa cahaya matahari pada sore hari menerpa sebagian wajahku, juga sebagian wajahnya. Dari arah samping, aku menatap garis wajahnya yang terlihat keras.

“Kau menyesal?” tanyanya yang langsung menolehkan kepalanya ke arahku.

Kami saling bertukar pandangan. Tiga detik. Lima detik. Bahkan sepuluh detik pun aku belum menjawab pertanyaannya.

Aku langsung mengalihkan pandanganku ke arah lain, membiarkan angin menampar pipiku sepuasnya.

“Kurasa tidak,” jawabku datar sambil menekuk kedua lututku, lalu kupeluk.

“Namun, aku menyesal,” balasnya dengan cepat yang menyebabkan kepalaku langsung menoleh ke arahnya lagi dan lagi. Kini, lelaki itu sedang tak menatap ke arahku. Aku bisa melihat air wajahnya yang menampakkan rasa menyesal. “Seharusnya, di masa itu aku memberanikan diri untuk menyatakan cinta padamu. Cih, bahkan sepertinya aku tak bisa melakukan hal itu kepadamu karena aku takut kau menolakku.”

Aku hanya bisa tersenyum kecut dan terus memandanginya dengan perasaan penuh iba. Aku pun juga merasa kasihan terhadap hatiku untuk sekarang ini. Namun, apakah memangnya aku bisa mengembalikan waktu ke sepuluh tahun yang lalu? Bisakah aku melakukan hal itu?

“Mama!” seru seorang anak dari arah belakang punggung kami. Sontak, kami berdua menolehkan kepala ke arah belakang punggung kami. Seorang anak tengah berlari menuju kami berdua. Anakku.

“Sini, nak,” sahutku sambil melambaikan salah satu tanganku. Tak lama, anakku sudah sampai pada pangkuanku. “Kenalkan, ini Om Galuh. Teman Mama waktu SMA.”

Aku memperkenalkan lelaki yang berada di hadapanku kepada anakku. Kemudian, aku kembali menatap ke arah Galuh. Ia hanya membalas tatapanku dengan tatapan kosong. Tak lama, ia memasang senyum palsunya ke arah anakku. Aku sungguh sangat bisa membedakan mana senyum ikhlasnya yang terdahulu.

“Wah, mirip kamu ya, Ren,” Galuh mencoba menyapa hangat anakku. Tapi aku tahu, ia hanya sedang ingin menghibur dirinya sendiri. Bahkan sepertinya, itu bukan merupakan hiburan untuk dirinya, apalagi diriku.

Continue reading
Share:
Views:
Cerpen

Ya Allah

Sunday, July 14, 2013 By astaghiri 0 Comments
Pandanganku seketika menggelap. Hitam. Tak ada yang bisa kuterawang jelas dengan mataku. Seakan-akan langit sedang runtuh di atas kepalaku, dan berubah menjadi kelam, gulita, bahkan sepertinya kulitku terlihat menghitam karena tak ada sinar matahari setitik pun. Aku takut hari yang takkan pernah mau kutunggu—bahkan bagi semua umat manusia—akan datang menjemputku. Mengambil nyawaku. Mengambil nyawa semua orang yang berada di permukaan bumi. Apakah hari kiamat sudah tiba saatnya?

Ya Allah—aku benar-benar tidak siap. Masih banyak dosa yang menumpuk di hatiku. Bahkan, sepertinya dosaku seperti bentuk gumpalan hitam yang semakin lama semakin membesar karena kelakuanku sendiri.
Suara gemaan orang-orang yang menyebut nama kebesaranmu, semakin terdengar di telingaku. Aku semakin takut, hari itu benar-benar akan datang mematikan kami semua yang masih hidup di atas permukaan bumi ini.

“Allahu Akbar! Allahu Akbar!” aku ikut berseru sambil berlari tak tertuju. Menabrak orang lain hingga aku pun tersungkur sendiri. Tak ada satu pun yang mau menolongku. Mereka sibuk sendiri dengan menyebut nama Allah sambil berlari tanpa tujuan sama sepertiku.

Aku langsung terbangun dan berlari tak tentu arah. Langkahku yang tak memiliki tujuan ternyata mengantarkanku menuju pantai dekat rumahku. Bodohnya aku. Mengapa aku ingin dijemput oleh maut di daerah ini?

Namun, ombak mulai membesar. Lebih tinggi dibandingkan rumahku. Bahkan, mungkin lebih tinggi dibandingkan masjid dekat rumahku. Aku langsung berlari menjauh dari terjangan ombak. Namun ombak terus saja melahap orang-orang yang menjauhi dirinya. Aku sudah tidak kuat berlari, dan akhirnya aku memasrahkan diri kepada Allah.

“Ash-hadu alla ilaha illallah, wa ash-hadu anna Muhammadan rasulullah,” gumamku sambil berlutut menunggu ajalku. Dan BYUR. Tumpahan air sudah meluluhlantahkan tubuhku entah ke mana.

“Rudi! Bangun!” aku langsung tersentak kaget ketika badanku sudah terguyur oleh air. Apakah ini air laut?

Aku langsung mengecek keadaan sekitar. Di hadapanku, sudah terdapat Ibuku yang membawa gayung berisikan air. “Barusan sudah adzan ashar. Kamu nggak solat? Kalau mau ashar tuh jangan tidur. Kamu kenamimpi buruk ya?”

Aku mengangguk. Tanpa mengeluh lagi, aku langsung berlari menuju kamar mandi dan berwudhu. Terima kasih ya Allah.
Continue reading
Share:
Views:

Present

Saturday, July 13, 2013 By astaghiri 0 Comments

Ini proyek yang cukuuuuuuuuuuuuuup lama gue buat. Karena harus bolak-balik Ctrl + O buat buka foto kalian satu per satu. Maaf kalau ada yang cacat sedikit, manusiawi :-)

Kalau kurang gede, di klik aja dulu.
Continue reading
Share:
Views:
Travel

Last but not Least

Tuesday, July 9, 2013 By astaghiri 2 Comments
Seperti nama mantan blog gue (baca: Last but not Least) yang sekarang udah ganti jadi Capricornus, entah kenapa gue juga nggak tau kenapa gue harus ganti nama blog. Iya, di sini gue mau cerita tentang nggak bsa dibilang yang namanya perpisahan sih, tapi apa ya, pokoknya sebuah cerita yang menurut gue, ya emang bukan biasa karena gue sendiri baru ngalamin.

Ini mungkin cerita kita yang terakhir, tetapi bukan yang paling terakhir. This is Last but not Least.

Mungkin ini berawal dari cerita gue dulu, karena so pasti yang ngalamin si penulis, dong? Tapi, karena panitia sudah susah payah membuat acara ini, gue mungkin akan menceritakan mereka terlebih dahulu.

Berawal dari isu. Gue kira ini juga cuma ya apasih, cuma omong belaka doang. Ternyata enggak. Mereka—Azhari, Alen, Bebil, Vence, Risti, Nur dan maaf gue lupa siapa lagi—siapin semuanya buat sekedar refreshing untuk anak sekelas. How could that be? Mungkin kalo gue jadi panitianya, kemungkinan akan gagal 70% ha-ha. So, proud of them yang udah buat sukses acara ini. Tanpa mereka, tentunya gue nggak nulis cerita ini doung?

Setelah selesai dengan segala macam yang berhubungan dengan bus, villa, konsumsi dan yang lain-lainnya, mulailah masuk ke hari-H, yaitu tanggal 18. Kita semua pergi ke puncak tanggal 18 sampai 19. Tentunya bulan Juni ini.

Jujur aja, gue rada lumayan excited awal pas mau UAS. Kepingin buru-buru liburan ke puncak. Dan entah kenapa, giliran mau hari-H, rasanya males pake banget. Gue males banget ninggalin kamar. Buat packing pun aja gue undur-undur dulu. Gue tinggal nulis, gue tinggal tidur. Dan akhirnya gue baru packing jam 8 malam.

Gue bawa baju cuma tiga plus yang udah dipakai di badan jadi empat, sengaja males banget buat berat-beratin tas. Udah kayak gendong jamu tau nggak. Untungnya kakak gue belum pulang. Kalo pulang pasti diginiin : “Kamu mau ke mana Wir bawa tas segede gitu? Mau pulang kampung seminggu?” Kalo nggak kayak gini : “Pasti nanti baju kamu ada yang nggak kepake, liat aja nanti.”

Iyadeh. Gue tau, dia emang suka banget traveling. Jadi tau apa konsekuensinya dengan isi tas. Dan omongannya emang bener setelah gue pergi ke Bandung waktu itu yang seangkatan-_- Tapi untungnya kemaren dia lagi nggak di rumah deh hehe.

Setelah packing, gue berusaha untuk melakukan suatu hal yang tidak membunuh waktu. Asik dah bahasanya. Iya, gue bikin soal matematika gara-gara remedial. Cuma tinggal nilai tambahan 0,5 aja, pasti gue nggak remedial. Tapi yasudahlah, mungkin Tuhan berkata lain tentang nilai matematikasalah satu hambanya ini.

Oh ya, malemnya padahal gue udah bungkus bolu di tempat makan, terus gue taro kulkas buat dibawa besok. Eh, sengaja gue nggak bawa soalnya menuh-menuhin tas. Padahal, banyak banget lho makanan di rumah gue. Abis ada sunatan nih~ Iya, gue yang sunatan biar gue kaya, banyak duit.

Besok paginya, siap-siap berangkat. Sarapan ala kadarnya karena emang nggak ada yang masak. Nggak mungkin dong pembantu dateng jam enam kurang? Abis itu gue santai-santai dulu karena emang nggak ada kerjaan asli. Tapi gue galau, di antara gue minta anterin atau nggak naik angkot. Masalahnya kalo naik angkot, gue harus naik jam enam kurang, dan waktu itu udah jam enam. Terus, kalo naik angkot itu serba ribet. Jalur satu: gue harus naik 105, terus naik 83, kemudian naik 128. Berhenti di suatu tempat lalu nyebrang di gardu. Resiko kecelakaan lumayan tinggi dong? Karena gue tau sifat pengendara yang lewat daerah itu. Kedua: gue naik 105, terus 83, turun di pasar lenteng. Abis itu nyebrang, abis itu nyebrang lagi, baru naik 02 sampe depan gardu. Oke, itu kejauhan. Gue pernah ngitung dari rumah sampe sekolah pake jalur itu. Dan itu menghabiskan waktu 40 menit. Lebih lama 25 menit kalo gue naik motor.

Akhirnya gue minta anterin. Awalnya gue minta anterin bokap. Eh dia malah asik tidur-tiduran. Katanya capek nggak mau anterin gue. Terus, gue minta sama kakak gue katanya capek juga. Akhirnya, gue minta nyokap, agak kasian juga sih, makanya gue nggak mau minta nyokap. Tapi, sebenernya, gue minta nyokap buat ngebujuk bokap gue biar mau nganterin gue. Eh malah dia yang nganterin gue. Thank you, Mom :-*

Gue sampe gardu jam enam lebih tentunya. Dan itu cuma beberapa orang yang baru dateng, nggak sampe 15 orang pokoknya. Udah abis itu bosen nunggu sampe akhirnya ngumpul semua. Setelah ngumpul semua, barulah kita berangkat. Dan itu di luar dari jam schedule yang awalnya mau berangkat jam setengah tujuh. Kita ngaret hingga setengah jam lebih.

Setelah itu di bis selama kurang lebih dua jam. Sama kayak Jakarta Bandung kalo lagi nggak macet. Masalahnya, pas mau sampe puncak, kita kejebak macet. Biasalah, tapi nggak parah kok. Oh ya, haha. Ada suatu kejadian yang bikin gue kasian banget sumpah. Hati nurani gue emang tinggi banget sih T_T

Gue nggak tau siapa yang beli, yang gue tau, yang sedang  bertransaksi itu Grace dan abang-abang yang jualan di jalan puncak gitu. Tau kan? Yang jenis cangcimen-cangcimen gitu—bukan kacang moci permen ya, Yan. Iya, si Grace beli sesuatu ke abang-abang cangcimen gitu. Eh pas mau beli, bisnya jalan, gue bisa denger abangnya bilang ‘yah yah’ gitu. Terus abangnya tetep ngejar sampe bisnya berenti. Eh pas barang udah di tangan, bisnya jalan lagi, nah duit yang dikasih belum ada kembaliannya. Abangnya terus ngejar bis sambil ngerogoh kantongnya dia gitu buat ambil duit. Tega banget emang abang supirnya. Duh nggak tega kan gue ceritainnya T_T gue masih inget banget gimana ekspresi muka abang cangcimennya itu lho.

Setelah itu, akhirnya kita sampe villa. Gue kira nggak dingin, ya mungkin nggak separah Bandung lah. Ternyata hampir sama. Males banget nginjek lantai, kan dingin. Eh, si Grace ngentut melulu gara-gara duduk di atas lantai. Katanya dia masuk angin ha-ha.

Abis itu acara free. Eh si Fachri diceburin di kolam berenang belakang. Gue sih kepengen berenang, cuma kan rada ribet. Yaudah, gue main billyard aja sama yang lain. gaya banget emang. Ya walau pun bisa masukin beberapa bola, termasuk yang putih haha.


Abis itu ada games deskripsi. Nominasinya kalo nggak salah yang gue inget itu; TER-BACOT, TER-WOW, TER-RUSUH, TER-ALIM, TER-SOULMATE, TER-FANATIC, TER-MIRIP ARTIS, TER-JUTEK, TER-SETIA, dan yang lain-lainnya, gue lupa. Yang jelas, gue dapet TER-JUTEK. Tapi, gini-gini hati gue mudah tersentuh lho *cuih. Kayak kejadian abang cangcimen tadi contohnya. Ye nggak?

Setelah itu, sepertinya acara free lagi. Ada yang lagi masak mie, bikin pop mie, eh nggak taunya delivery tahu dan risol dateng. Sayang banget gue abis makan nasi, jadi kenyang. Terus ada juga yang nonton film horor. Si cewek-cewek berkerudung—gue nggak termasuk, karena gue dateng terakhir—pada berani banget nonton JU-ON ya kalo nggak salah nama DVD-nya. Gue norak soalnya sama DVD horor seperti itu. Ya gue sih emang udah nonton, tapi tetep aja takut. Nonton sambil nutupin muka pake bantal. Ini sih namanya bukan nonton.

Abis itu nonton SAW. Iya. Yang jigsaw itu lho yang kayak gini : “Hai Bobby. Aku mempunyai sebuah permainan untukmu. Bla-bla-bla” udah ah gue merinding. Yang boneka kayu itu lho. Ya pokoknya yang kena permainannya itu orang-orang yang sering boong, ya pokoknya begitulah. Aduh tuh kan merinding-_-

Abis itu pada mandi, siap-siap untuk api unggun. Api unggung ceritanya dimulai jam 8. Sebelumnya, kita nonton video X4 dulu! Created by Azhari. Anak intel banget ini orang. Di videonya juga ada beberapa foto yang dia ambil dari blog gue. Yahaha. Ketauan deh. Tapi nggak papa. Keren kok om editannya.



Setelah nonton, kita api unggun. Kita nyanyi beberapa lagu dengan di-rap oleh Farhan dan diiringi gitar oleh Ifad. Susah bikin suasana haru karena gue duduk di samping Fariz. Ini orang ketawa melulu, ya gue juga ikutan ketawa. Ya pokoknya susahlah untuk haru-haru sejenisnya.

Setelah itu, kita memberikan sebuah hadiah yang—ya nggak usah diberi label apa jenis dan harganya. Ini cuma sebuah simbolik untuk Bu Ati, yang udah SABAR banget ngehadepin anak-anak kelas kayak kita-kita gini. Jujur aja, kalo gue kayak Bu Ati, mungkin gue udah berlaga kayak jenis Pak Tigor. Salut untuk Bu Ati yang udah sabar banget sama kita-kita. Love you Bu:-*

Kita kasih bebeapa mawar buat Bu Ati. Masing-masing dipegang sama Ifad, gue, Bebil, Noval, dan Abiyu. Ifad sebagai ketua kelas. Gue sebagai sekretaris. Noval dan Bebil sebagai anak kelas yang terpinter dan Abiyu sebagai yang paling menonjol di kelas karena kerusuhannya. Abis itu ada sepatah dua patah kata yang diucapin sama Bu Ati. Ya pokoknya gitu lah. Terus, kita semua juga ucapin sepaah dua patah kata apa yang mau kita ucapin.

Setelah itu bakar-bakar!







Ada yang bakar jagung, ada juga yang bakar ayam. Tentu aja gue udah dapet kebagian bakar jagung dan bakar ayam. Padahal gue cuma ngebakar jagungnya, tapi gue malah makan jagung rebusnya haha. Setelah itu, gue lebih tertarik bakar ayam karena asepnya lebih menantang. Dengan dibantu oleh Mamanya Azhari yang dari awal dia yang bakar ayam, dan pada akhirnya diterusin sama gue dan Fachri. Dan, MT kita pun mulai keluar.


Kita milih ayam yang enak terus kita umpetin. Ha-ha. Cuma beberapa kok. Eh si Rira malah ikutan MT. Abis kesel, yang lain pada duduk-duduk tenang, eh tinggal makan. Kita yang kena asep belum makan apa yang kita bakar barusan #curhat

Setelah bakar-bakar, we need to sleep. Dan baju celana gue bau asep semua. Ergh nggak tahan banget sama baunya. Akhirnya gue ganti baju dan segera tidur. Grace, Alfira, Retno, Alen, gue, dan Shofin harus rela berhimpit-himpitan tidur di kasur yang bahkan udah nggak bisa disebut kasur lagi. Tipis banget cuy, udah kayak bedcover. Walau pun rada himpit-himpitan, tapi masih kerasa dingin.

Besoknya, kita bangun lebih pagi. Gue cuma tidur sekitar 3 jam. Itu cuma perasaan gue doang ya, tapi secara fisik nggak tau deh. Bangun-bangun, langsung ngopi terus sholat subuh. Abis itu olahraga subuh-subuh ke air terjun. Lo harus tau gimana dinginnya. Gue sampe make baju double.

Dengan penerangan senter yang segede bagol, kita jalan nanjak senanjak-nanjaknya. Dan satu tanjakan aja udah bikin gue keringetan. Cius.  Jelas, gue make baju double. Tangan gue kedinginan tapi baju dalem lumayan basah.

Sempat bernarsis ria terlebih dahulu. Dan kampretnya, baterai kamera gue abis, dan gue nggak bawa ponsel sama sekali. Dan di saat ada warung, ada sih yang jual baterai ABC. Tapi jelas, baterai itu cuma awet beberapa menit dan beberapa kali jepretan doang. Dan sialnya, gue nggak beli, dan sialnya lagi di saat gue mampir ke toko yang lain yang lebih jauh, nggak ada yang jual baterai. It's so kampret.

foto terakhir yang gue ambil pake kamera gue. Hiks

Setelah sekitar dua jam, hutan mulai menampakkan hijaunya, asek. Kita istirahat dulu. Sebenarnya gue rada aneh, sebelum masuk hutan gitu kayak ada tempat bukan gubuk sih namanya, kayaknya villa juga tapi kosong, tapi bagus. Kayaknya emang belum ada yang nempatin. Tempatnya emang lumayan jauh juga sih, bus aja emang nggak bisa masuk. Mobil kayaknya bisa cuma yang kecil. Tapi mobil apaan ya yang kecil?-_-

Dan masuk hutan. And, this is my experience that I...

Kita masuk ke wilayah terlarang, gajuga sih, udah kayak dora wilayah terlarang. Tanah mulai licin ketutupan rumput yang basah, karena kayaknya semalem emang abis ujan. Gue nggak ngerti sama jiwa petualangannya Farhan. Mungkin dia menggunakan kemampuan pendengarannya untuk mengetahui di mana letak air terjun. Tapi, kuping gue sama sekali nggak denger di mana ada air terjun. Dan di sinilah di mulai.

Gue baru inget, karena gue penggemar nonton dunia binatang, ya gue tau beberapa binatang yang emang ada di hutan. Gue baru inget pacet kan. Tau pacet nggak? Sejenis lintah cuma pacet ini ukurannya kecil. Dan dia akan gigit kulit, nggak bakal mau lepas kalo dia udah kenyang dan gemuk, kalo nggak disiram pake air tembakau.

“ITU DI CELANA COIR GERAK-GERAK!” si Alfira teriak-teriak kayak begitu, bukan teriak sih kalo ternyata dia ngomong aja udah kayak gumam sendiri. Pokoknya dia ngomong kayak gitu sambil nunjuk-nunjuk ke arah celana olahraga gue.

Dan yang memalukan..

“AH! MAMA! LEPASIN! AH! ITU! ITU! LEPASIN! AH!” *serius ini gue yang lagi nulis lagi nahan ketawa* Dan yang memalukan, gue mulai nangis sambil jerit-jerit. “AH ITU DI CELANA GUE! AH LEPASIN PACETNYA! MAMA! MAMA! AH BANTUIN LEPASIN PACETNYA! HWAA!”

Akhirnya, si Yasser mukul-mukul celana gue pokoknya gitu deh sampe pacetnya nggak keliatan. Demi apa pun, gue nangis. Sampe kacamata gue aja basah. Terus gue ngambek.

“Udah ah, gue nggak mau lagi ke hutan. Gue mau balik aja,” sambil masih isak-isakan sendirian dan ngelap air mata yang kena di kacamata gue.  Yang ngeliat emang cuma beberapa, dan sampe sekarang gue diejek sama Fathur gara-gara itu-_-

Udah, setelah itu gue balik ke arah yang tadi. Cuma gue, Grace, Retno, Shofin, Ezy, Yasser, dan Alfira nyusul. Terus, dari mereka yang masih di hutan teriakin kita buat balik lagi untuk ambil jalur yang pendek, dan lewat hutan lagi. Tentu gue nggak mau, mending gue lewat jalan jauh tapi nggak lewat hutan. Dan KYA! Ada yang lagi ikutan Indonesia mencari Idol di hutan. Si Fathur kena pacet~ hahahaha. Lagian, so sexy banget pake hotpans ke hutan. Gue aja yang pake celana olahraga udah kaya begitu.

Setelah berjalan, akhirnya kita nemu warung. Udah deh tuh pada jajan, eh nggak taunya si Fariz kena pacet di punggung kakinya. Padahal dia make sepatu. Dan dia sedikit tepar ketika sampe villa hahaha.

Setelah itu, kita balik ke villa, dan entah kenapa gue tiba-tiba sendiri nggak ada rombongan. Ya gue emang lebih suka sendiri sih, ya tapi nggak enak juga diliatin sama orang sana, tapi sebodoamatlah. Eh kampretnya...

“DAH COIR...” manusia-manusia kampret lewat naik truk sambil dadah-dadah nggak jelas ke gue. Anjrit, sumpah gue kesel banget di sini. Nggak mungkin juga gua naik truk itu karena dikit lagi udah sampe. Ternyata, ini efek dari kesendirian. Fyuh.

Steelah itu sarapan pagi pake nasi goreng, dan main games. Gue sendiri nggak begitu konek dengan games yang mereka maksud. Kata mereka sih namanya games zonk. Yang salah masuk kotak, itu disiram pake air sama tepung. Dan gue kena. Setelah itu, team gue kalah, dan nggak main lagi. Lebih asoy begitu nggak kena tepung untuk yang kedua kalinya.

Setelah itu, main games yang menurut gue hampir sama kayak di running man. Nemuin barang dengan kata kunci. Yang gue inget kalo nggak salah, SEXY, WOMAN, sama apa gitu gue lupa. Karena team gue udah nggak semangat main, mungkin efek kecapean naik gunung, akhirnya kita nyeburrrr. Dinginnya nggak pake nawar.

Karena naluri gue terhadap air tinggi, ya gue renangrenang muter-muterin kolam renang sampe puas. Padahal, kerudung gue udah alay banget nutupin mata gue pas gue lagi nyelem. Setelah itu selesai agak siangan karena mandinya berebutan. Abis itu pada mandi soalnya pada kecapean. Dan makan siang~ serius gue kayak kambing ngambilin selada terus.

Abis itu balik deh ke tempat awal kita ngumpul pas mau berangkat. Sedih juga sih, mana macet tapi nggak papa. Semakin lama waktu terakhirnya. Akhirnya, kita nyanyi-nyanyi sampe puas dan sampe bis nurunin kita di tempat tujuan.













So, that is our last trip. Not least yaa..

READY FOR NEXT TRIP?! Ayo dong panitia adain lagi *ditimpuk panitia*

Sisa foto lain ada di facebook gue atau nggak klik ini.

Salam hangat dari mantan sekretasis Kamseupat :-)
Continue reading
Share:
Views:
Newer Posts Older Posts Home
Subscribe to: Posts ( Atom )

Hi, you!

Hi, you!

Blog Archive

  • ►  2017 (3)
    • ►  September (1)
    • ►  July (2)
  • ►  2016 (5)
    • ►  September (1)
    • ►  June (3)
    • ►  February (1)
  • ►  2015 (3)
    • ►  July (2)
    • ►  June (1)
  • ►  2014 (10)
    • ►  December (1)
    • ►  July (1)
    • ►  June (2)
    • ►  April (3)
    • ►  March (3)
  • ▼  2013 (24)
    • ▼  December (1)
      • Barbie
    • ►  October (1)
      • My Big Shoes
    • ►  September (1)
      • Make Up 2
    • ►  August (5)
      • Make Up
      • Untukmu
      • Deal
      • Good-Bye
      • Bukan Waktu Untuk Menyesal
    • ►  July (6)
      • Ya Allah
      • Present
      • Last but not Least
    • ►  May (1)
    • ►  April (5)
    • ►  January (4)

Labels

CAKES! Cerbung Cerpen Imajinasi Travel Trip

Wanna be my mate?

© 2016 Astaghiri | All rights reserved
Created By Responsive Blogger Templates | Distributed By Gooyaabi Templates