Kita berdua sampai di 21 paling akhir. Gue dan Titi maksudnya. Tanpa banyak ngomong lagi, kita langsung masuk ke teater dan kedapatan bangku baris kedua dari atas bagian tengah. Untuk masalah tempat duduk... Amel duduk menjauh dari dua manusia roman itu. Titi yang tadinya diajak Vina untuk duduk di sampingnya, tempat duduknya langsung gue serobot. Jadinya, Titi duduk di antara gue dan Amel. Dan gue yang bakal jadi nyamuknya.
Sumpah. Gue ngerasa awkward banget dalam posisi yang kayak gini. Gue benar-benar nggak bisa konsen dengan film yang terputar di depan gue. Sesekali, gue ngelirik ke arah Vina yang sepertinya memang kurang nyaman dengan posisi duduknya, entah karena gue duduk di samping dia atau karena alasan lainnya.
Ketika gue ngelirik sekali lagi ke arah Vina, dia menoleh ke arah gue. Entah kenapa gue nggak langsung mengalihkan perhatian gue dari dia, tapi gue terus memandang dia, dan begitu pun Vina.
Setelah cukup lama saling menatap, gue berdeham, kemudian berdiri dan keluar dari teater. Entah kenapa rasanya di dalam sini pengap banget. Padahal AC masih jalan. Yaa mungkin karena dua manusia roman itu.
Gue keluar dari teater dengan berdalih ke toilet. Yah, itu sih salah satu alasan yang paling logis buat keluar sementara dari teater ini. Padahal, gue hanya mencoba berhenti sebentar untuk melihat dua manusia roman picisan itu.
"Lo ngapain, Don?" Tiba-tiba Titi memergoki gue di luar teater. "Lagi nabok lo ya?"
"Nabok?" tanya gue bingung.
"Nahan boker," jawabnya yang langsung duduk di samping gue. Gue sendiri juga bingung kenapa dia keluar dari teater. "Jangan tanya gue kenapa gue keluar dari teater." Belum sempat bertanya pun, gue sudah digituin. "Kenapa Vina milih film tentang cinta-cintaan coba? Emangnya hidupnya nggak penuh tentang romans apa? Sampe enek gue ngeliatnya."
Gue hanya bisa mendengarkan celotehan Titi. Gue mau menghentikan dia, tapi dia bakal nerusin unek-uneknya.
Tiba-tiba Titi menatap gue dengan mata yang merah. Dia habis nangis? Gue yang bingung langsung kelabakan. Untung saja di sini nggak ada orang.
"Eh? Ti, Ti? Lo kenapa? Jangan nangis gitu, dong!"
"Gue capek, Don..." Titi langsung menaruh kepalanya di pundak gue, dan dia terisak. Gue yang bingung harus melakukan apa, hanya bisa membiarkan dia menangis sepuasnya di pundak gue. "Lo ke mana aja sih selama ini? Gue capek tau nggak nanggung sendiri!"
"Ini... tentang mereka berdua?"
Titi langsung mengangkat kepalanya dan menatap gue dengan kesal. "Gue lagi ngomongin monyet lahiran! Ya iyalah! Lo pikir siapa lagi?" Titi kembali menaruh kepalanya di pundak gue.
Di antara kita berempat, Titi memang suka banget curhat sama gue. Padahal, gue pikir gue nggak pernah kasih solusi yang bagus buat dia, tapi dia terus-terusan curhat sama gue. Entah masalah kecil atau masalah percintaan kayak gini.
Dengan perlahan, gue menepuk-nepuk punggung Titi, yang justru membuat dia semakin histeris. "Gue capek Don harus pura-pura baik di depan mereka, gue muka dua banget..." Gue menghela napas dengan berat. Ternyata rasa sakit hati gue nggak sesakit seperti apa yang dirasakan oleh Titi. "Tapi gue nggak mau ngerusak persahabatan ini. Sumpah, lo semua udah gue anggep kayak keluarga gue."
Gue semakin miris mendengarkan ucapan Titi. Keluarga? Tapi dalam persahabatan ini terlalu banyak yang terluka, terlalu banyak yang menjadi korban.
"Terus lo maunya gimana, Ti?" Gue akhirnya bersuara. Gue juga nggak tahu harus kasih solusi apa, karena gue sendiri terlibat dalam hal ini, tanpa mereka ketahui. Gue saja nggak bisa memberikan solusi untuk gue sendiri, gimana untuk orang lain?
"Gue mau balik jadi anak kecil, di mana gue ngerasa everything will be okay."
"Kan lo udah kecil, Ti. Masa lo mau jadi anak kecil lagi?"
"Sialan lo!" Titi langsung menabok lengan gue. Walaupun begitu, dia sedikit tersenyum.
Gue menghela napas dengan berat. Jadi anak kecil itu memang enak. Nggak punya masalah. Kerjaannya cuma makan, tidur, main, ketawa, nangis, ketawa lagi. Siklusnya selalu begitu. Beda dengan kita yang sekarang mau beranjak kepala dua. Kalau punya masalah, harus diselesaikan sendiri, dan harus menanggung akibat dari permasalahan tersebut.
"Ti, sekarang gue mau nanya sama lo." Setelah sekian lama, sekarang gue berbicara serius dengan Titi, apalagi dalam hal ini. "Lo milih perasaan atau sahabat? Mana yang lo prioritaskan?"
Titi terdiam sebentar, bahkan isakannya pun sudah nggak terasa lagi di pundak gue. "Gue milih... atau."
"Ti," gue mendesak dia.
"Berisik!" sarkas Titi yang membuat gue tersentak. Walaupun Titi yang terlihat paling lemah di antara kami berlima, tapi kalau sekalinya dia marah, dialah yang paling menyeramkan. "Orang gue lagi nangis juga, diganggu mulu, sih!"
Gue menabok pundaknya. "Jangan nangis di sini, bego! Nanti gue yang dijadiin terdakwanya!"
"Ah! Bego banget sih, lo! Orang gue udah terlanjur nangis, malah dilarang," balas Titi nggak kalah sengitnya. Ini mah nggak ada drama-dramanya sama sekali. "Bodo amat. Lagian ini kan jalan keluar dari teater, mana mungkin ada orang yang lalu lalang di sini kecuali petugasnya. Kapan sih otak lu jadi encer?"
Wah, sialan. Dia malah ngatain gue lagi. Seharusnya gue tinggal saja anak ini sendirian, bodo amat deh dia nangis kalau ujung-ujungnya malah ngatain gue.
"Anaknya siapa sih lo? Punya mulut kayak cocor bebek, heran gue."
"Anaknya Pak Romli sama Mpok Ati."
Gue langsung menoyor kepala Titi. "Eh, malah ngejawab lagi nih anak." Titi justru menyengir nggak jelas. Bagus, deh. Daripada dia tersedu terus-terusan. "Udahan belom nangisnya?"
"Bentar," Titi menyeka kedua ujung matanya. "Mata gue merah, nggak?"
"Kagak. Tapi berubah jadi ijo, kayak mata siluman uler. Hahaha."
Titi mau menoyor kepala gue. Tapi karena gue ketinggian dan dia nggak sampai, akhirnya dia cuma bisa menoyor pipi gue. "Serius nih gue! Ah! Lo kenapa tinggi banget, sih?"
"Gen gue mah berkualitas semua. Emangnya kayak elo. Udah sana ke kamar mandi, cuci muka. Muka lo kusut banget."
"Iye, iye." Titi mengucek-ngucek matanya, kemudian berbalik menuju kamar mandi.
Sebenarnya gue juga sudah mau masuk kembali ke dalam teater. Tetapi, tiba-tiba saja gue melihat Vina keluar dari teater. Gue pikir dia bakal dibuntuti oleh pacar kesayangannya. Tetapi ternyata dia cuma sendirian.
"Lho? Ngapain keluar, Vin?" tanya gue agak sedikit kaget.
"Gue khawatir sama lo berdua, takut ada apa-apa, soalnya kalian lama banget di luar. Abis ngapain, sih?" kepo Vina.
Gue hendak menjawab, tetapi tiba-tiba saja Titi sudah keluar dari kamar mandi. Dia juga kelihatan kaget begitu melihat Vina keluar dari teater. Vina mengamati raut wajah Titi yang agak sedikit kacau. Namun Titi langsung menutupinya dengan candaannya.
"Eh, sumpah! Kamar mandi ada bau beol ampe bikin air mata gue keluar! Anjir, anjir! Nggak mau lagi gue masuk ke kamar mandi itu!" Titi berlagak mengipas-ngipaskan tangannya dan menutupi lubang hidungnya. "Gue masuk dulu ya, nggak tahan gue sama baunya, masih terngiang-ngiang di lubang hidung gue."
Gue sama Vina pun ngakak dengan cerita Titi barusan, padahal gue tahu Titi sedang berbohong besar. Kemudian dia masuk ke dalam teater, meninggalkan gue sama Vina berdua.
Karena gue nggak punya alasan berlama-lama di luar, akhirnya gue memutuskan untuk masuk kembali ke dalam. "Gue masuk ke dalem, ya?"
Ketika gue belum beranjak sesenti pun dari tempat gue berdiri, Vina menahan lengan gue, tapi dia nggak menatap ke arah gue. "Gue mau ngomong sama elo, Don. Bentar aja."
Karena gue nggak bisa menolak ajakan cewek, apalagi makhluk yang bernama Vina ini, pada akhirnya gue menurut dengannya dan ikut berjalan jauh dari toilet--nggak jauh banget sih karena kita berdua masih berada di depan toilet, hanya saja sekarang kita berdua bersandar miring di tembok depan toilet.
Vina menghentikan langkah dan memutar tubuh menghadap gue. Dari wajahnya terlihat gelisah, dia ingin mengucapkan sesuatu, tetapi yang dia lakukan hanyalah tergagap.
"Tarik napas, buang napas," gue menyuruhnya untuk mengontrol emosi. "Mau ngomongin apa?"
Vina mengikuti ucapan gue, lalu menatap netra heran gue. "Gue mau minta saran lo."
Sebelah alis gue sukses terangkat, merasa heran sekaligus kepo. "Saran? Apa?"
Vina menggigit bibir bawahnya, masih ragu dengan 'saran' yang ingin diminta olehnya ke gue.
"Tapi, ketika gue udah ngomong 'hal ini' ke elo, lo harus bantuin gue, Don. Gue nggak mau tau."
"Iya. Apa?" Akhirnya gue juga geregetan dengan sikapnya. Tapi tanpa sadar, gue membuat perjanjian dengannya tanpa mengetahui hal apa yang bakal terjadi ke depan jika ternyata 'hal' tersebut bisa berdampak buruk ke gue.
"Ini tentang Jaka."
Sebenarnya gue agak nggak heran kalau ujung-ujungnya Vina bakal mengucapkan nama orang itu. Dan setelah mendengar namanya diucapkan oleh gadis pelaku cinta monyet gue ini, rasa penasaran gue langsung luluh lantak ke bumi.
"Ya. Ada apa dengan Jaka-Lo itu?"
Gue agak tersentak mendengar ucapan gue sendiri. Itu refleks, karena memang pada dasarnya gue kurang suka kalau Vina membicarakan tentang Jaka, di hadapan gue. Ya, ya. Sebut saja jealous.
Dan Vina pun juga terlihat kaget ketika gue mengucapkan hal kepemilikannya, dan sebenarnya gue memang sengaja mengeraskan kata 'Jaka-Lo' seakan-akan dia benar-benar pemiliknya.
Vina menghela napas sejenak sambil menutup matanya, kemudian mengatakan, "Gue mau putus sama Jaka." Gue terkesiap, hendak memotong ucapannya namun dia membuat gerakan untuk membuat gue tidak berbicara dahulu. "Gue harus gimana, Don?"
Pengin rasanya gue ngomong, 'Ya udah, lo putus aja, dan kita pacaran'. Kelar, kan? Tapi gue nggak mau sejahat itu. Mau gimana pun, Jaka teman gue, sahabat gue. Masa gue menyarankan Vina untuk putus dengan Jaka? Titel sahabat macam apa gue? Sahabat(ai)?
"Apa alasan lo buat putus sama Jaka?"
Setidaknya, gue harus tahu kenapa Vina mau putus dengan Jaka--walau rasanya setan di hati terus berteriak menyuruh Vina putus. Gue bahkan nggak tahu perasaan gue sekarang kayak apa. Senang enggak, sedih apalagi. Flat, nggak ada rasa.
Vina menggigit bibirnya, gelisah. Lihat, bahkan dia mengucapkan kalimat tadi dengan spontanitas--yang gue juga nggak ngerti apa tujuannya. Dia nggak punya alasan, Jaka itu terlalu flawless, susah untuk menemukan alasan putus dengan Jaka. Bahkan, kalau gue jadi cewek pun, putus gue jadikan kalimat haram di kamus halaman pertama gue.
"Lo kenapa sih, Vin?" tanya gue lagi.
"Ini semua salah lo, Don," dahi gue mengernyit, membentuk gurat kebingungan. "Lo datang di saat yang sangat nggak tepat."
Oke, ini mulai terasa drama. Apa maksudnya? Kenapa gue nggak ngerti dengan ucapannya? Kenapa hati gue nggak peka? Kenapa dia ngomong kayak gitu? Dan kenapa gue masih mau meladeni Vina di sini?
Belum sempat untuk menanggapi ucapan Vina, dia memajukan tubuh, menghampiri daerah wajah gue dengan gerakan kaku. Setan, memang. Tempat ini penuh setan karena Vina dengan beraninya mengecup bibir gue, singkat.
Kecupannya memang nggak begitu terasa, tapi aliran darah gue langsung berjalan bersamaan ke jantung, terpompa kembali ke daerah lain dan menciptakan detak tak beraturan. Sialan, Vina.
"Sekarang, lo ngerti? Paham, kan?"
Gue nggak paham--bukan nggak paham dengan kelakuannya tadi--, Vina yang terlalu agresif, apa memang hati gue yang nggak peka-peka jadi harus distimulasi dengan praktik macam tadi?
"Karena elo, Don. Puas lo udah ngebuat gue malu di depan lo?"
"Gue nggak minta, Vin," bela gue.
"Gue juga nggak minta untuk suka sama lo."
Telak. Dia suka gue, dan gue masih suka sama dia. Apa susahnya untuk saling menyayangi, sih?
Ya susah, karena ada tembok Cina di hadapan lo, goblok, bisik setan penghuni kamar mandi.
Setengah sadar, gue menurunkan kepala, mendekati wajah khususnya bibir ranumnya itu. Mata gue refleks tertutup ketika bibir kami saling mengecup. Kedua tangan gue merangkum sisi wajah Vina, sedangkan tangan Vina menaik ke arah pinggang gue.
Vina kooperatif, dia sedikit membuka bibir. Namun, gue hanya berani menyesap bibirnya lembut. Frenchkiss sangatlah tidak elit dilakukan sekarang, terlalu riskan.
Sekitar 3 menit hanya saling menyesap, gue melepaskan tautan bibir, menatap manik matanya yang tampak masih terlena dengan kelakuan setan gue tadi.
"Kita backstreet, ya?"
Ucapan gue mendapat anggukan mantap dari Vina, ditambah dengan lengkung senyumnya yang membuat gue kembali mengecup bibirnya, hanya beberapa detik. Vina terkekeh setelah gue melakukan hal itu. Vina menautkan jarinya di sela jemari gue. Gue meremasnya karena baru ingat akan sesuatu.
"Tapi lo nggak boleh putus sama Jaka, Vin."
Raut wajah Vina berubah sendu, gue pun juga begitu ketika mengucapkan kalimat tersebut.
"Kenapa?"
"Nggak sekarang, Vina. Jaka bisa curiga, apalagi lo nggak punya alasan yang logis untuk putus dari Jaka, kan? Dia bakal mikir kalau kedatangan gue membuat hubungan kalian berantakan--walaupun itu memang benar." Gue menghela napas, merapikan anak rambut Vina yang mencuat di dekat telinganya. "Bisa, kan?"
Vina terdiam sejenak, kemudian pada akhirnya mengangguk. Mungkin dia baru mengerti bahwa inilah satu-satunya jalan untuk gue dan dirinya. Gue pun malas untuk bermunafik ria kalau gue nggak suka sama Vina. Rasa itu masih sama, degup yang datang tanpa diminta juga kembali terasa.
"Good girl," gue mengacak pelan rambutnya dengan sayang. "Sekarang, lo balik ke teater duluan. Bilang aja gue lagi kebelet boker, biar kalau ditanya, alasannya sama."
Vina tertawa, kembali mengangguk. "Cium dulu sini," Vina menarik leher gue dan mencium sudut bibir gue.
Gue ber-wow ria. "Anaknya Bapak Dulloh ternyata seagresif ini, ya."
Vina tersenyum malu. "Gue ke dalam dulu. Bokernya jangan lama-lama."
"Yee! Orang gue cuma boker bohongan!"
Gue mendesah ketika melihat punggung Vina semakin mengecil di penglihatan gue. Yah, mulai saat ini, sepertinya gue bakal membuka pabrik kebohongan di depan teman-teman gue sendiri.
Apa ini karena efek di depan kamar mandi?
0 comments:
Post a Comment