“Apaan sih tuh cewek?” gumam salah satu dari mereka.
“Lebay banget deh jadi orang,” timpal yang lain.
“Bukan lebay, tapi kelewat centil jadi begitu!”
Mika sebenarnya mendengar, tapi dia pura-pura nggak mendengarnya dengan terus berjalan menuju gerbang sekolahnya. Dia terus menampangkan senyum manisnya.
“Pagi Mikaaa...” sapa seorang cowok dengan hangatnya, namun dengan nada menggoda. Mika membalas senyum kakak kelasnya tersebut, Bimo.
“Pagi juga, Kak!” balas Mika dengan semangat.
“Kamu udah sarapan? Pasti belom, kan? Kalo gitu aku traktir deh!” tawarnya. Yah, tuh cowok memang suka berlebihan tanya ini-itu seperti layaknya pacar. Padahal Bimo dan Mika nggak ada hubungan sama sekali.
Sebenarnya Mika berminat, tapi yah—sebentar lagi bel masuk sekolah. Dengan cara halus dia menolaknya.
“Makasih, Kak. Kapan-kapan aja, ya? Aku masuk ke kelas dulu ya!” Mika langsung pamit dari hadapan kakak kelasnya. Bimo sedikit menghela napasnya. Lagi-lagi dia gagal mengajak Mika untuk makan bersamanya walaupun sekedar sarapan.
Mika berjalan di lorong. Sekarang, dia memang menjadi pusat perhatian. Sebagian cewek menatapnya dengan rendah, yang lain hanya ingin tahu saja. Dan yang cowok tentu saja langsung tertarik dengan kehadiran Mika. Tapi Mika berpura-pura nggak tahu kalau ada banyak orang yang memerhatikannya.
Ketika dia ingin berbelok ke arah tangga, seseorang menabraknya. Karena badan Mika kecil, dia memang gampang banget jatuh.
“Tuh, gue bilang juga apa? Tuh cewek emang caper!” ucap seseorang yang Mika nggak tahu siapa orangnya.
“Dia tuh sengaja! Biasa cewek kayak gitu mah!” timpal yang lainnya.
Tiba-tiba tangan seseorang terulur. Mika menoleh dan mendapati Leo berada di hadapannya. Mika langsung tersenyum dan menerima uluran tangan itu. Kemudian dia berdiri dengan dibantu Leo.
“Thanks, Yo,” ucap Mika sambil membersihkan debu yang menempel di rok bagian belakang.
“Mau gue bantuin bersihin juga nggak rok lo?”
Mika langsung menempeleng kepala Leo. “Bukannya minta maaf udah ngebuat gue jatoh, malah cari-cari kesempatan lagi!” Lalu Mika tertawa, Leo hanya nyengir kuda.
“Kan lo udah bilang ‘thanks’, masa gue bilang sori? Basi, Ka.”
Mika hanya tersenyum dan mengedikkan bahunya.
“Gimana dengan hari ini?” Leo bertanya.
“Mmh?” Mia nggak tertarik menoleh ke arah Leo walaupun sebenarnya dia tahu apa yang dimaksud oleh Leo.
“Oh, I know!” seru Leo tiba-tiba.
“Tau apaan lo emangnya?”
Leo mendecakkan lidahnya. “Lo pikir lo temenan sama gue berapa lama sih?”
Mika hanya nyengir kuda. Namun semakin lama, senyumannya menghilang.
“Yeah, as usual,” Mika mendesah. “But, I don’t care! I love it!” Mika langsung bersenandung lagu milik Icona Pop.
“Yakin?” Leo menuduh tajam. Dia tahu sekarang Mika sedang berpura-pura.
Mika langsung merangkul Leo. “Lo kebanyakan taunya, deh!”
***
Mika memang cantik. Okelah, itu bagian plus dari dia. Dia manis? Baiklah. Itu dua bagian plus dari Mika. Dia ramah? Ya ampun, dia memang ramah banget. Dia ceria? Jangan ditanya lagi. Dia nyaris sempurna untuk ukuran cewek, kecuali tinggi badannya. Tapi satu hal itu yang membuat Mika semakin imut.
Tapi, itu untuk cowok. Dia memang ramah banget ke cowok, nggak pernah merasa risi jika ada cowok di sekelilingnya. Nggak heran jika banyak anak cowok yang mendekatinya, bahkan kakak kelas pun juga ikut kecantol.
Tapi, ENGGAK untuk cewek. Bukannya dia nggak pernah bersikap ramah ke cewek yang berada di sekelilingnya, terutama di lingkungan sekolahnya. Dia bahkan nggak pernah membedakan sikap ramahnya terhadap cowok mau pun cewek.
Tapi, timbal baliknya yang dia dapatkan itu berbeda jauh dari cewek dan cowok.
Untuk cowok, okelah, mereka masih berbaik hati mau menyapa Mika.
Tapi sekali lagi, ENGGAK untuk cewek. Mereka bahkan kepengin Mika enyah dari pandangan mereka.
Walaupun begitu, Mika nggak mau membalas apa pun yang terdengar jahat. Yang penting, ‘kasih senyum aja’, begitu kata Leo. Mika pun menerapkannya. Tapi justru itulah yang membuat cewek-cewek di lingkungan sekolahnya menjadi semakin benci dengannya.
Kecuali Fida. Dia satu-satunya teman cewek Mika di sekolah tersebut. Fida nggak peduli tentang ucapan orang lain ke Mika. Toh Mika orangnya baik, baik banget malah. Fida nggak pernah tuh merasa terbebani berteman dengan Mika.
“Ka, beli bakso yuk. Laper nih gue,” pinta Fida sambil memeluk lengan Mika.
“Ayo. Gue juga laper nih.”
Mika dan Fida langsung ambil spot di ujung kantin, karena bagian depan dan tengah sudah diisi lautan manusia. Mika memesan minuman, sedangkan Fida makanannya. Ketika Mika menuju meja makannya, Fida belum di sana. Mungkin Fida masih memesan.
Nggak lama, Fida datang dengan membawa dua mangkuk bakso.
“Duh! Duh! Panas! Misi! Misi! Air panas nih! Air panas!”
Mika langsung berdiri dan membantu Fida membawa mangkuk baksonya. Setelah duduk di mejanya, Fida langsung menaruh beberapa sendok sambal ke mangkuknya.
Tiba-tiba saja Leo datang dan langsung duduk di samping Fida. Untung saja Fida lagi nggak memasukkan bakso ke dalam mulutnya. Kalau iya, mungkin bakso yang berada di mulutnya akan meluncur ke meja seberang.
“Et! Si Lele! Ganggu aja sih lo!” damprat Fida. Leo hanya cekikikan.
“Makan, Yo,” tawar Mika.
“Nggak, Ka, makasih. Gue lagi nggak laper.” Walaupun begitu, dia langsung menyambar minuman milik Fida. Tuh cowok memang suka usil banget ke Fida.
“Ya elah, Le! Beli aja kenapa sih! Lo nggak modal banget dah jadi orang!”
“Minta doang Fid, sedikit. Pelit amat sih lu.”
“Aduh, jangan pacaran di depan gue dong,” Kali ini Mika angkat suara.
Leo langsung tertawa, Fida justru menganga idiot. Pacaran katanya? No way!
“Kalo lo ngomong kayak gitu sekali lagi, gue cocolin sambel nih, Ka!” ancam Fida.
“Huuu... takut...” Mika justru memancing, hal itu membuat Mika dan Leo semakin tertawa.
“Eh, Lang, ternyata lo di sini toh?”
Mereka bertiga langsung menengok dan mendapatkan Breta bersama teman satu gengnya berdiri di depan meja mereka.
“Lo salah meja ya, Bret? Di sini nggak ada yang namanya Gilang, Galang, cakalang, alang-alang atau lang-lang lainnya,” Fida langsung menyahut.
Breta menggeram. Dia paling nggak suka dipanggil dengan sebutan ‘Bret’. Padahal, namanya sudah bagus Breta, malah dipanggil Bret. Tapi kali ini dia lagi nggak mau berurusan dengan Fida.
“Maksud gue Jalang. Ya nggak, Lang?” Breta tersenyum jahat ke arah Mika. Mika hanya melirik, dia hanya tersenyum samar.
Yang terbawa emosi justru Fida dan Leo. “Nggak usah cari ribut di sini deh, Bret,” Leo memang nggak suka dengan Breta.
“Lo nggak malu apa diliatin anak-anak?” Gantian Fida yang bersuara.
Breta langsung menampangkan wajah kagetnya. “Lho? Kenapa gue mesti malu? Gue kan masih punya muka. Lah dia? Nggak punya muka tapi masih berani nampangin diri di sekolah.”
“Emang sekolah ini punya nenek moyang lo apa?” sembur Fida. “Mata lo buta ya, Bret? Udah tau mukanya dia mulus begitu, emangnya elo yang jerawatan?”
Fida berdiri, dibarengi dengan Leo. “Lo laper nggak Bret? Tuh masih ada sisa bakso di mangkok. Kali aja lo suka makanan sisa.” Hal ini membuat Breta semakin geram. Leo dan Mika langsung tertawa dalam hati. Kemudian Fida menarik tangan Mika agar segera pergi dari meja tersebut.
Setelah menjauh dari Breta dan gengnya, Fida langsung berdiri di hadapan Mika dan menghentikan langkah cewek itu.
“Lo kenapa sih, Ka?” Nada bicara Fida kali ini serius. Leo hanya berdiri di belakang mereka, biar mereka yang menyelesaikannya terlebih dahulu.
“Kenapa apanya, Fida sayang?”
Fida berdecak sebal. “Mereka tuh ngatain lo! Lo kenapa sih sok pura-pura baik-baik aja? Gue tuh tau kalo lo sakit hati! Tapi kenapa lo nggak mau ngelak pernyataan itu sih?” Fida memang orang yang blak-blak-an. Dia paling nggak suka sama orang yang suka pasang senyum palsu.
“I’m very well, tengkyuuuu,” Mika justru membalas dengan nada canda. “Gue ke toilet dulu ya,” Mika menepuk-nepuk pipi Fida, kemudian berjalan menuju toilet.
Fida menoleh ke arah Leo. “Tuh cewek kenapa sih? Heran gue sama dia.”
Leo menghampiri Fida dan merangkulnya. “Dia tuh cuma pura-pura kuat doang, Fid.”
Leo dan Fida menghela napas bersamaan. Fida baru sadar kalau tangan Leo sudah tersampir di bahunya. Dia langsung melepas tangan Leo. “Cari kesempatan aja sih lo!”
Leo hanya nyengir kuda.
Sebenarnya Mika juga nggak ada hasrat buat buang air kecil. Dia cuma mau ngehindarin omelannya Fida yang bakal panjang lebar. Setelah mencuci tangannya, Mika segera keluar dari toilet.
Ketika lagi di lorong sekolah, dia baru sadar ternyata tali sepatunya lepas. Dia menyempatkan untuk memasangnya terlebih dahulu. Setelah itu Mika kembali ber—
BRUGH!!! Lagi-lagi tertabrak oleh seseorang. Tapi kali ini bukan Leo.
“Shit!” gumam cowok itu.
Mika melirik ke arah orang yang menabraknya. Itu Gio, teman sekelas Mika yang pada sampai hari ini pun mereka nggak pernah bertegur sapa. Dia memang dingin banget. Dan sekarang, cowok itu justru ingin berlalu dari hadapan Mika tanpa minta maaf atau pun membantunya berdiri.
Sebelum tuh cowok menjauh dari Mika, Mika sempat menggumam, “Lo... nggak mau bantuin gue berdiri?”
Gio hanya menolehkan kepalanya, menatap Mika dengan rendah.
“Lho? Yang nabrak siapa emangnya? Lo pikir mentang-mentang lo cewek, gue jadi respek ke elo terus gue jadi ngerasa bersalah, gitu? Makan tuh respek.”
Gio kembali berjalan meninggalkan Mika yang masih terduduk di lantai. Keningnya berkerut. Kenapa sih tuh cowok? Jelas-jelas memang dia yang salah. Kenapa jadi Mika yang kena omel?
***
“Eh, Jalang! Kita belom selesai!” Breta and the geng langsung mendamprat Mika. Mika mengkeret tersudut di antara mereka.
“Dibayar berapa lo sama Bimo?” Breta langsung to the point.
“Gue nggak ada urusan sama dia, oke?”
Mika yang hendak keluar dari perkumpulan itu langsung didorong kembali oleh Breta. Percuma ngelawan Breta. Badan Mika nggak sebanding dengan badannya Breta.
“Lo pikir gue nggak tau apa? Lo boleh ngambil cowok orang lain, tapi nggak buat Bimo!”
Mika sedikit tertawa. Memangnya dia pikir dia siapa?
“Kenapa lo ketawa?” Breta merasa tersinggung.
“Gue nggak ngerebut Bimo dari lo, ngerti?”
“Lo kira gue bego?! Lo jadi cewek jangan sok cakep deh!”
“Lho? Gue emang cakep. Emangnya lo mau apa?” Breta menggeramkan tangannya. “Seharusnya lo mikir, kenapa si Bimo mutusin elo. Gue sih nggak nyoba buat ngedeketin Bimo, tapi dia sendiri yang ngedeketin gue.”
“Elo—” Breta mengangkat tangannya yang terkepal di udara. Namun sebelum sempat mengenai bagian wajah Mika, tangan Mika langsung ditarik seseorang dan keluarlah dia dari pergumulan tersebut.
Breta and the geng langsung membalikkan badannya.
“Udah cukup buat diskusinya? Gue punya urusan sama nih cewek,” Gio menarik keras tangan Mika dan menyuruhnya untuk menaiki motornya. Dalam sekejap, dia langsung menghilang di depan sekolah.
“DASAR JALANG!!!”
Selama di motor, Mika hanya terdiam. Gio juga nggak ngomong sama sekali. Setelah menikmati perjalanan yang kosong, mereka berdua sampai di sebuah rumah yang tampak sepi. Mika turun dari motor Gio.
“Ini... rumah lo?”
Gio hanya diam, dia mendorong motornya ke dalam garasinya. Yah, sepertinya ini memang rumahnya.
“Masuk,” Akhirnya Gio angkat suara. Sebenarnya Mika hendak menolak, tapi karena merasa nggak enak hati, akhirnya dia masuk ke dalam rumah Gio.
Rumah Gio cukup sepi. Mika duduk di sofa ruang tamu. Gio berjalan menuju dapur, mengambil sesuatu di sana. Nggak lama, dia kembali membawa minuman dan beberapa snack. Kenapa nih cowok? Mika mulai merasa aneh.
“Kenapa lo?” Gio melirik ke arah Mika, ikut heran. Kayaknya dia bisa baca pikirannya Mika deh.
Mika hanya geleng-geleng. Yang tadinya Gio ikut duduk di sofa, kini Gio berdiri menuju pintu rumahnya dan... menutupnya, lalu dia menguncinya. Makin gelaplah rumahnya sekarang.
“Kok pintunya ditutup?” Mika mulai gusar.
Gio membalikkan badannya. Alisnya terangkat. “Kenapa emangnya? Bukannya lo suka suasana yang remang-remang kayak gini?”
Gio melangkah perlahan. Dia juga membuka dasinya. Tapi pandangannya nggak lepas dari Mika yang mulai ketakutan. Mika juga ikut menggeser posisi duduknya hingga dia terpojokkan.
“Lo mau ngapain, Gi?”
Gio membuat raut wajah kaget. “Nggak usah takut gitu dong,” Mika nggak ngerti nada ucapan Gio barusan. Yang jelas, ucapannya itu sama sekali tidak menenangkan Mika. “Masa lo nggak tau sih kalo gue mau ngapain?” Gio tersenyum aneh.
Gio semakin mendekat. Bahkan dia sudah berada di sofa, mendekati Mika yang semakin terpojok.
“Lo lagi butuh duit berapa? Gue bakal kasih lo uang, asalkan...” Kini Gio benar-benar berada di hadapan Mika. Mika sudah nggak bisa mundur lagi. Bahkan wajah mereka pun hanya berjarak dua senti.
“Gua nggak butuh duit lo!” Mika langsung menendang perut Gio. Sontak Gio langsung mundur ke belakang. Mika segera menjauh dari Gio. “Gue mau pulang! Cepet bukain pintunya!” Mika semakin histeris.
“Mau lo teriak sekenceng apa pun, nggak ada orang yang bakal denger lo,” Gio mencoba berdiri. Ternyata sakit juga tendangan dari Mika.
“Lo mau ngapain?!” pekik Mika lagi ketika Gio mencoba mendekatinya.
“Mikaaa... nggak usah pake malu-malu gitu deh. Kenapa sih lo? Giliran sama cowok lain, lo mau-mau aja. Tapi kenapa gue enggak?”
“Apa maksud lo?!”
“Mika, lo lebih ngerti dibanding gue.”
Mika menggeleng keras. “Gue nggak pernah ngelakuin apa pun! Apalagi yang ada di pikiran lo itu! Lo pikir gue cewek apaan?!”
Gio sedikit kaget. “Lho? Bukannya rumor itu emang bener?”
“NGGAK! GUE NGGAK PERNAH BERBUAT HAL KOTOR KAYAK YANG LO PIKIRIN!”
Gio tertawa sumbang. “Lo pikir gue percaya? Berapa sih duit yang lo mau? Sejuta? Dua juta? Atau sepuluh juta? Gue jabanin.”
Mika menggeleng-geleng. Yang dia mau sekarang adalah keluar dari rumah ini dan pulang!
“Kenapa sih Mika sayang?” Terdengar nada mengancam dari Gio. “Gue bakal ngelakuinnya secara perlahan kok.”
Tiba-tiba kaki Mika bergetar. Dia sudah nggak bisa untuk melangkah mundur, Gio juga semakin dekat menuju ke arahnya.
Dan hanya yang bisa Mika lakukan adalah terjongkok dan kemudian menangis. Dia nggak tahu lagi apa yang harus dia lakukan selain menangis.
Dia pikir Gio akan tetap menyuruhnya melakukan hal yang tidak-tidak. Namun tiba-tiba saja dia merasakan pundaknya yang ditepuk-tepuk halus.
“Ya, ya. Nangis sepuas lo, biar lo lebih lega.”
Mika mendongak takut-takut. Dia mendapati Gio sudah terduduk di hadapannya, menatapnya iba. Tiba-tiba dia merasa takut, dia langsung menjauh dari Gio.
“Udah puas nangisnya?” Gio bertanya dengan datar.
Mika menatap Gio dengan matanya yang merah. Wajahnya juga ikut memerah dan basah. Rambutnya sedikit kusut.
“Kenapa... lo...”
Gio menatap langit-langit rumahnya. “Ternyata itu cuma gosip. Kenapa lo nggak mau nyangkal?”
Mika masih bengong. Dia nggak mengerti dengan kondisi yang sekarang. Dia bahkan nggak mengerti ucapan Gio barusan.
Gio berdiri, berjalan mendekati Mika. Kemudian tangannya terulur. “Masih syok?” Mika menatap tangan Gio, kemudian wajahnya. “Gue cuma ngerjain lo.”
Muka Mika terlihat dua kali lebih syok. Jadi... daritadi dia dikerjai?
“Apa maksud lo ngerjain gue?” Suara Mika sedikit serak.
Gio sedikit tertawa. “Ya gue seneng aja ngerjain orang,” kata Gio dengan santainya.
“LO PIKIR CANDAAN LO LUCU?!” Mika benar-benar nggak suka dengan cara bercandanya Gio.
Gio menatap Mika tajam dan serius. “Dan sekarang lo nggak mau berterimakasih sama gue karena gue udah nyelametin elo dari gengnya Breta?”
Mika langsung tertohok. Jadi...
“Kenapa lo diem? Acara teriak-teriakannya selesai?”
“Sori Gi... gue...” Mika nggak tahu harus ngomong apa lagi. “Tapi kenapa lo mau bantuin gue?”
Gio sedikit menyeringai. “Lo pikir gue simpatik sama lo?” Mika hanya menatap Gio. “Lagian gue ngerjain lo karena gue emang punya alasan tertentu, itu pun karena gue kepengin ngebales perbuatan lo.”
Kening Mika mengerut. Kemudian Gio menunjukkan seragamnya yang bernodakan kemerahan. Mika semakin nggak mengerti.
“Lo masih belom tau juga siapa yang ngelakuin ini?” Mika menggeleng. “Itu elo.”
Mika langsung kaget. “Gue? Emangnya gue ngapain?”
Gio mendecakkan lidahnya. “Lo nggak alzheimer, kan? Di lorong sekolah, lo sempet nabrak gue yang lagi bawa fanta, dan akhirnya tuh minuman kena ke seragam gue.”
“Tapi gue...”
“Lo emang nggak ngeliat, makanya gue langsung jalan terus. Lo pikir gue nggak malu?”
“So—sori, Gi, gue...”
“Ah, kebanyakan minta maaf lo! Emangnya lebaran?”
Mika langsung mengkeret. Ternyata Gio galak juga.
“Yang sekarang gue nggak ngerti, kenapa ada rumor ‘itu’?” Gio langsung to the point. “Gue pikir tadi lo bakal mau terima tawaran dari gue.”
“Kalo gue terima, gimana?” Gio sedikit kaget.
“Lo pikir gue beneran bisa bayar? Ongkos aja masih minta sama nyokap.”
Mika langsung terdiam, kemudian dia menundukkan kepalanya. “Mau gue ngomong apa pun, mereka juga nggak bakal percaya sama gue.”
“Tapi kalo deket sama cowok...”
“Kalo itu emang bener, gue lebih suka deket sama cowok dibanding sama cewek. Bukannya gue keganjenan, gue merasa lebih free kalo deket atau temenan sama cowok. Dan bukan berarti gue jalang yang kayak disebutin sama Breta tadi,” Mika menunduk sedih.
“Tapi kenyataannya lo keliatan kayak gitu,” Mika langsung tertohok, dia mengangkat kepalanya.
“Apa maksud lo?”
“Mika, temenan itu ada batesnya. Gue tau lo lebih nyaman sama cowok, tapi gue ingetin sekali lagi, ada batesnya. Mereka—cowok—lebih free dibandingkan cewek yang terkadang jadi korban. Buktinya elo.”
Mika menaikkan alisnya. “Tapi... gue nggak pernah dimainin sama mereka! Maksud gue...” Mika menghentikan kata-katanya. “Lo ngerti apa maksud gue.”
Gio menghela napasnya. “Gue tau, Ka. Gue juga cowok. Lo emang nyaman temenan sama cowok, tapi apa timbal baliknya di cewek yang ada di lingkungan lo? Mereka seneng? Enggak. Lo malah kayak keliatan—maaf—jablay di mata mereka.”
Cukup lama Mika terdiam. Benar juga perkataan dari Gio. Akhirnya dia mendongakkan kepalanya.
“Thanks, Gi. Lo motivator banget.”
Gio hanya mengedikkan bahunya.
“Gue pikir elo gay, Gi.”
“WHAT?!”
“Ya abis lo jarang banget ngobrol sama cewek, sama gue juga, galak banget lagi.”
“Terus kalo gue galak, gue gay gitu?”
Kini giliran Mika yang mengedikkan bahunya. Kemudian Mika tersenyum. “Sekali lagi thanks banget, Gi.”
“Nggak usah banyak bilang makasih deh. Nggak butuh gue.”
Mika hanya nyengir kuda. Gio galaknya berlebihan, kata Mika dalam hati.
“Terus, menurut lo gue harus gimana?” Mika kembali ke persoalannya.
“Lo udah punya pacar?” Mika menggeleng pelan. “Kenapa lo nggak coba buat cari pacar biar lo nggak disebut-sebut lagi jadi jalang?”
“Tapi nggak ada yang mau sama gue.”
“Mata lo buta ya?” Gio langsung menyela. “Lo itu peka nggak sih? Cowok yang ada di sekeliling lo tuh selalu flirt sama lo. Masa iya lo nggak ngerti keadaan?”
Mika hanya mengedikkan bahunya. “Ck. Ternyata lo cuma pake paras doang, tapi otak enggak.”
Mika langsung melotot. “Kok lo ngatain gue sih? Untuk masalah peka atau enggak kan itu pake perasaan. Emangnya cowok yang kalo ngapa-ngapain selalu pake otak? Nggak ada perasaan sama sekali.”
“Maksud lo, lo ngatain gue nggak berperasaan, gitu?”
“Sekarang gini deh. Lo udah punya pacar belom?” Gio hanya terdiam. “Itu berarti lo nggak punya perasaan karena sampe hari ini lo belom punya pacar.”
“Emangnya gue udah ngejawab punya pacar atau enggak? Jangan sok tau deh.”
“Keliatan dari mata lo.”
Gio terdiam lagi. Yah, ketahuan deh.
Mika mendesah pelan. “Gimana... kalo elo yang jadi pacar gue?”
Dengan cekatan Gio menatap Mika. Kemudian dia tertawa lebar. “HAHAHAHA! Jangan mimpi lo!”
Dahi Mika mengernyit. “Gue nggak mimpi, emangnya gue keliatan lagi tidur?”
Gio mengatupkan rahangnya. “Nggak. Gue nggak mau.” Mata Mika menyiratkan ‘Kenapa?’ dengan polosnya. “Kenapa lo nggak pacarin temen lo itu?”
“Maksud lo Leo?”
“Ya ya itu.”
“Haha. Mana mungkinlah, dia temen SD gue. Nggak mungkin dia gue jadiin pacar gue.”
“Jadi... lo nembak gue?”
“Oh... lo mau ditembak sama gue?” Gio mengerutkan keningnya. “Ya udah. Gio, lo mau jadi pacar gue, kan? Oke. Lo pasti fix mau.”
Gio langsung mengernyit jijik ke arah Mika. Tuh cewek memang benar-benar kelewat sarap.
***
“Giooooo!!!” Sebuah tangan sudah melingkari lengannya. Gio langsung menoleh ke pemilik tangan tersebut. Begitu mengetahui Mika yang melingkari lengannya, Gio langsung melepaskannya.
“Apa-apaan sih lo?” Gio langsung berkata ketus.
“Ih, Gio. Kita kan udah jadian kemaren. Masa lupa?” Mika mengerlingkan sebelah matanya, membuat Gio semakin jijik.
“Itu cuma pura-pura, ngerti?” Gio mengingatkan.
“Iya deh, iya,” Mika tersenyum tipis.
Mika berjalan di belakang Gio. Gio juga nggak mau menyejajarkan langkahnya dengan Mika. Tiba-tiba saja bahu Mika tertarik ke arah belakang.
“Sekarang lo nggak bisa kabur lagi,” Breta muncul lagi bersama gengnya. “Belom lama lo sama Bimo, kemaren sama Gio. Lo tuh miskin duit ya sampe ngejual tubuh lo ke orang lain?”
Mata Mika memanas. Kedua tangannya menggeram. “Jangan asal ngomong...” Mika bersuara kecil.
“Apa? Hahaha. Lo pikir emangnya gue nggak tau?”
“Lo semua tuh apa-apaan sih?” Sebuah suara mengagetkan mereka, termasuk Mika. Gio benar-benar menampangkan wajah masamnya. “Lo tuh pada nggak ngerti keadaan ya? Lo pikir ini sinetron yang suka main labrak-labrakan?”
Gio menarik tangan Mika keluar dari kerumunan geng Breta. Breta juga sedikit ketakutan dengan Gio. Tanpa berkata lagi, Gio dan Mika berjalan meninggalkan Breta and the geng.
“Liat aja lo jalang! Kali ini lo masih bisa selamet!”
Gio menghentikan langkahnya, kemudian membalikkan badannya dan melepas tangan Mika. Dia kembali berjalan menuju Breta. Breta langsung mati kutu ketika wajah Gio hanya sedekat lima senti dari mukanya. Dia memang benar-benar bisa membuat orang jadi ciut.
“Apa lo bilang tadi?”
Breta terdiam sejenak. Tapi dia nggak harus takut sama Gio. “Ja...jalang. Kenapa emangnya?”
“Coba bilang sekali lagi,” pinta Gio dengan nada tajam.
“Jalang. Tuh cewek emang jalang.” Kali ini Breta benar-benar berani.
Gio mengangkat sudut bibirnya. “Kali ini lo masih bisa selamet. Tapi kalo sekali lagi gue denger elo nyebut pacar gue ‘jalang’,” Gio tersenyum tipis, namun menakutkan. “Lo yang nggak bakalan selamet.”
Gio langsung membalikkan badan dan berjalan menuju Mika. Dia kembali menggenggam tangan Mika dan berjalan menjauh dari tempat tersebut.
***
Dan berita itu pun dengan cepat meluas. Tapi hal itu justru membuat nama Mika semakin kotor. Dia justru selalu ditatap rendah oleh orang lain karena—katanya—selalu gonta-ganti cowok. Dan Gio pun sekarang juga semakin terkenal karena hal itu.
“Kayaknya percuma Gi lo jadi pacar boongan gue,” kata Mika ketika sudah tiga hari mereka berpura-pura pacaran. Gio hanya menatap Mika, nggak menjawab. “Kita udahin aja, Gi. Percuma. Gue malah ngotorin nama lo juga.”
“Kita baru nyoba 3 hari, belom ada seminggu. Lo mau nyerah gitu aja?”
Mika menatap Gio. “Bukannya lo seneng kalo hal ini kita udahin?” Gio menghindari tatapan Mika. “Gi. Jangan bilang elo...”
“Ya.”
“Gue pikir elo...”
“Kalo lo mikir gue kayak gitu, dari awal gue pasti nolak permintaan lo itu.” Mika menghela napasnya. “Gue mohon ke elo buat batalin yang tadi.”
“Jadi lo beneran mau pacaran sama gue?” Gio hanya terdiam. Mika tersenyum. Kalau Gio diam, berarti jawabannya iya. “Tapi lo bakal ngebela gue di depan orang-orang kan?”
Gio tersenyum. “Jangan ditanya, gue bakal ngebela elo.”
0 comments:
Post a Comment