Astaghiri

  • Home
  • CERPEN
  • CERBUNG
  • CAKES!
  • Trip
Cerpen

Rasa Bersyukur

Wednesday, April 30, 2014 By astaghiri 0 Comments
“Gue mau cabut!”

Anka langsung mengambil kunci motor dan helmnya. Dia nggak peduli dengan Wina yang terus saja berteriak di belakangnya. Anka mengambil langkah lebar untuk keluar dari rumah kontrakan itu.

“Anka! Kamu mau ke mana?!” teriak Wina yang menghampiri Anka, mencoba mencegah adiknya itu untuk pergi. Dia langsung mencengkram tangan Anka. “Kita belom selesai ngomong, Ka!”

Anka sedikit menaikkan sudut bibirnya. Dia melirik ke arah Wina. “Tapi menurut gue ini semua udah selesai. Lo boleh ikut mereka, tapi gue enggak!”

Anka langsung melepaskan cengkraman Wina dan segera pergi dari rumah kontrakan itu. Kali ini Wina nggak mengejarnya lagi. Dia tahu Anka pasti marah banget. Tapi ini dilakukannya untuk kepentingan mereka berdua.

Wina merasa ada yang lepas setelah melihat Anka mengendarai motornya menjauh dari rumah kontrakan itu.

Anka melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Dia nggak peduli dengan teriakan orang-orang akibat cara mengemudi motornya yang kelewat asal. Dia berharap rasa sakit hatinya sekarang ikut terlewat dengan arus jalanan. Anka menghela napas dan sejenak menutup mata.

Dan tabrakan itu pun terjadi.

***

Wina setengah berlari menuju ruang UGD. Tangannya cukup gemetar memegang ponsel. Ponselnya itu digenggam terus ketika seseorang mengabarkan bahwa adik perempuannya itu mengalami kecelakaan.

Wina hendak menghambur masuk ke dalam ruang UGD sebelum seorang perawat keluar dari ruangan tersebut.

“Sus, adik saya... adik saya di mana?!” Terdengar nada gemetar dari suara Wina. Perawat itu mencoba menenangkan Wina.

“Maaf, adik anda siapa ya?”

“Adik saya yang baru aja kecelakaan motor! Adik saya di mana, Sus?!” Wina masih histeris karena hatinya cukup nggak tenang.

“Mari saya antarkan. Mbak tenang dulu ya, adik mbak ada di dalam,” kata perawat itu sambil mengantarkan Wina ke dalam ruang UGD.

Wina menemukan Anka dengan tubuh penuh balutan perban. Ada darah yang merembes dalam perban itu. Adiknya benar-benar kelihatan nggak berdaya.

“Alhamdulillah nggak ada yang terlalu serius dari luka adik mbak. Walaupun ada beberapa bagian tulang yang retak. Nggak disangka struktur tulang saudari ini cukup kuat, padahal tadi dia sempat terpental setelah tertabrak mobil pikap,” jelas perawat tersebut. “Untuk pemulihannya, adik mbak butuh dirawat di sini,” lanjutnya.

Wina menoleh ke arah perawat tersebut. “Berapa lama buat di rawat di sini?”

“Tergantung seberapa cepat pulihnya adik mbak.”

Wina menghela napas. “Tolong urus semuanya.”

***

Anka terbangun dan merasakan seluruh tubuhnya seperti habis dijotosi berkali-kali, bahkan lebih parah. Kepalanya terasa pening ketika pertama kali membuka mata dan melihat cahaya lampu di langit-langit kamar. Dia juga merasakan kerongkongannya yang kering.

Ketika Anka menoleh ke arah samping, dia mendapati Wina dengan kepalanya yang tersandar di atas ranjang. Tiba-tiba kejadian yang hampir merenggut nyawanya tadi terlintas di otaknya. Kenapa gue nggak mati aja sih?

Anka melupakan hasrat hausnya dan langsung menolehkan kepalanya ke arah samping kiri. Sepertinya dia berada di ruangan dengan tiga bilik karena terdapat hordeng yang menutupi ranjangnya.

Anka dikagetkan dengan kedua mata di balik hordeng! Dia ingin berteriak, namun percuma, pita suaranya sedang habis. Akhirnya dia hanya menutup mata dan mencoba tidak mengingat apa yang dia lihat barusan.

Akhirnya Anka kembali tertidur dengan rasa lelah yang luar biasa di tubuhnya.

***

Karena keberisikan yang dilakukan oleh Wina, akhirnya Anka terbangun dari tidurnya. Wina terperanjat ketika mengetahui akhirnya adiknya bangun juga dari pingsannya. Padahal semalam dia sudah siuman.

“Alhamdulillah akhirnya kamu bangun juga,” Wina langsung menggenggam tangan Anka. “Kakak nggak tau harus ngapain kalo kamu sampe lewat, Ka.”

Oh? Dia ngedoain gue lewat? Fine.

Anka hanya menghela napas. Kemudian dia melirik ke arah botol mineral yang ada di atas meja. Wina langsung tahu apa yang diinginkan oleh adiknya tersebut.

“Sebentar, sebentar,” Wina berjalan memutari ranjang menuju meja tersebut, kemudian membuka botol. Nggak lupa dia menyiapkan sedotan juga.

Anka dibantu Wina untuk sedikit terduduk, kemudian membantunya untuk meminum air mineral tersebut. Setelah itu, Anka kembali ke posisi tidur.

“Mau kakak panggilin dokter?”

Anka hanya menggeleng, menjauhkan tatapannya ke arah lain.

Tiba-tiba Anka merasakan tangannya digenggam lagi. Tapi Anka enggan menoleh.

“Anka, kakak mau kamu lebih hati-hati setelah kejadian ini. Kakak nggak mau kamu kenapa-napa. Tolong balik ke sifat kamu yang dulu, Ka. Kakak kangen sama kamu yang dulu,” Terdengar nada sedih dari suara Wina.

“Kakak balik aja ke rumah. Gue bisa di sini sendirian,” kata Anka dengan begitu nggak pedulinya. “Oh ya kalo mau ke sini lagi, tolong bawain hp gue yang satunya lagi, sama charger.”

Wina menghela napasnya. Baiklah, kali ini dia akan menuruti permintaan Anka. Lagi pula semua ini bisa terjadi karena dirinya yang nggak mau mencegah kepergian Anka.

Wina mengambil ponsel beserta dompetnya di atas meja. Kemudian dia berpamitan dengan Anka.

“Ya udah, kakak pulang dulu. Kalo ada apa-apa, pencet bel di dinding belakang ranjang kamu ya. Nanti kakak balik lagi.”

Wina menghilang di balik pintu. Dan kini ruangan itu kembali menyepi. Padahal sekarang sudah tepat jam delapan pagi. Tiba-tiba Anka teringat dengan mata yang muncul di balik hordeng tadi malam.

Anka langsung mengambil remot tv di atas meja dengan susah payah. Akhirnya dia menyalakannya dengan sengaja memperbesar volumenya agar pikirannya tentang tadi bisa menghilang.

“Bisa ngecilin volume suaranya nggak sih?”

Anka menoleh dan mendapat seseorang yang bermata sama dengan semalam yang dia lihat muncul setengah badan di balik hordeng. Entah Anka dapat tenaga dari mana ketika remot tv yang digenggamnya tadi sudah terlempar ke arah kepala orang itu.

Orang itu meringis, Anka juga setengah berteriak.

“Nggak ada benda yang lebih empuk buat ditimpuk ke gue apa?”

Anka terdiam sejenak dan memandangi cowok yang kini sudah benar-benar sempurna bentuknya—nggak setengah badan lagi ketika badan bagian bawahnya tertutup hordeng tadi.

“Lo... manusia?”

“Emang badan gue keliatan ijo kayak buto ijo atau hulk?”

Anka langsung merasa lebih tenang. Ternyata dia manusia. “Lo lebih mirip si buta dari goa hantu.” Anka menatap pergelangan tangan cowok itu yang juga diinfus sama sepertinya. “Balikin remotnya.”

“Kenapa si buta dari goa hantu?” Cowok itu mengambil remot yang berada di lantai. Tapi dia nggak segera memberikannya pada Anka.

Anka menoleh malas. Kemudian dia hanya menengadahkan tangannya untuk meminta remot itu kembali. Tapi cowok itu justru diam saja.

Kali ini Anka menoleh ke arah cowok itu yang masih menatapnya datar. Matanya menyiratkan cepetan-balikin-remot-gue.

“Jawab dulu pertanyaan gue.”

Anka memutar bola matanya. Memangnya itu penting?

Dia mencoba membalikkan badannya membelakangi cowok itu dengan susah payah. Dia sedikit meringis ketika badannya tiba-tiba digerakkan seperti itu.

“Gue Andre.”

Terus gue peduli?

Anka nggak kembali membalikkan tubuhnya. Untuk menggeser badannya sekidit pun dia merasa kesakitan.

“Oke. Tanpa nama. Kenapa lo bisa ada di rumah sakit ini?”

Bawel.

“Masih nggak mau ngomong juga?”

Ya terus?

“Gue denger pembicaraan lo sama kakak lo,” Andre mencoba untuk memancing.

“Itu namanya lo nguping,” cela Anka.

“Aha! Akhirnya lo ngomong juga,” Andre mengangguk-angguk puas di belakang Anka. Anka hanya menghela napasnya. Dasar cowok gila.

“Eh, jawab dong pertanyaan gue,” desak Andre.

“Jangan ganggu gue.”

“Lah, ini kan kamar gue juga, gue duluan lagi yang nempatin ruangan ini.”

Karena sudah nggak sabar lagi, akhirnya Anka memaksa untuk membalikkan tubuhnya ke arah cowok itu. Tapi celaka! Kini dia merasa lebih kesakitan dibanding yang tadi.

“Shit!” gumam Anka mencoba memegang sesuatu agar bisa meredakan sakitnya.

Andre sedikit kelabakan melihat teman seruangannya itu. Dia berjalan cepat menuju sisi ranjang Anka dan menekan bel di dinding. Kini, dia dapat melihat dengan jelas wajah meringis Anka.

Nggak lama, seorang perawat datang ke kamar mereka.

“Ada apa?”

“Itu sus... itu...”

Perawat itu langsung menghampiri Anka.

“Kenapa bisa jadi begini?”

Anka masih memejamkan matanya, menahan sakit. Andre sendiri juga nggak kunjung menjawab.

“Tunggu sebentar, saya panggilkan dokter.”

Perawat itu keluar dari ruangan. Andre masih menatap Anka sedikit ngeri.

“So...sori...”

Kali ini Anka membuka kelopak matanya, matanya sedikit memerah.

“Sekali lagi lo ngomong, gue gampar mulut lo.”

Walaupun nggak ada penekanan dalam kalimatnya, Andre tahu kata-kata itu cukup menakutkan. Setelah mendapat ancaman dari Anka, Andre kembali menuju ranjangnya.

Nggak lama, datang dokter dengan perawat yang sama. Dia langsung memeriksa Anka. Andre nggak terlalu memerhatikan karena hordeng bilik Anka sempat ditutup oleh perawat tadi. Setelah dokter itu selesai dengan pemeriksaan Anka, Anka jauh lebih tenang dibandingkan tadi. Sepertinya dia dibius.

“Orangtuanya ke mana?” tanya si dokter.

“Kemarin sih cuma kakaknya aja yang dateng, dok.”

“Hmm kalo kamu ketemu sama kakaknya, pesan saya suruh adiknya untuk nggak banyak bergerak untuk mempercepat pemulihannya.”

“Baik, dok.”

***

Pintu ruangan terbuka. Seseorang yang dikenal Andre dengan panggilan bang Jeki masuk ke dalam membawakan sarapan. Dia memang sudah kenal betul dengan Andre.

“Weits! Punya temen sekamar juga nih akhirnya,” goda bang Jeki sambil menaruh piring bubur beserta lauk pauknya di atas meja. “Mana cewek lagi.”

Andre langsung mencoba memperingatkan.

“Jangan berisik! Saya nanti yang kena!”

“Wih, galak nih ceritanya?”

Bang Jeki kembali menuju troli makanan dan mengambil menu sarapan milik Anka. Dia kembali masuk dan menaruh makanan milik Anka di atas mejanya.

“Selamat sarapan, Mas!”

Andre hanya manggut-manggut. Kemudian bang Jeki keluar dari ruangan tersebut. Andre menoleh ke arah hordeng yang membatasi wilayahnya dengan wilayah Anka. Lalu dia beranjak dari ranjangnya dan sedikit mengintip di balik hordeng. Anka masih tertidur pulas akibat suntikan bius dokter tadi.

Padahal kan niatnya cuma ingin mencari teman mengobrol, eh ujung-ujungnya dia yang kena damprat.

Andre kembali menutup hordeng dan terduduk di ranjangnya. Dia mengambil menu makanannya. Sebenarnya dia bosan bahkan lumayan enek memakan menu itu. Tapi mau bagaimana lagi? Biar dia cepat sembuh.

Nggak beberapa lama Andre menyuap beberapa sendok makanan, pintu ruangan kembali terbuka. Nggak ada suara apa pun kecuali bunyi hordeng yang dibuka, dari bilik ranjang Anka.

“Ya Allah Anka...” Terdengar isakan wanita dari bilik sebelah. Sebenarnya Andre nggak mau menguping, tapi telinganya sendiri sudah stand by daritadi. “Dia belum siuman, Win?”

“Udah kok, Ma. Kayaknya dia cuma tidur.”

“Maafin Mama baru jenguk kamu, Ka. Mama ke sini bareng Papa buat nemenin kamu, nak.”

Tiba-tiba Andre merasa tersedak. Suasana yang menurut Andre sedikit mengharukan itu langsung terhenti. Andre langsung menyambar air mineral di atas meja.

“Ruangan ini ada orang selain Anka?” Kali ini suara seorang pria.

“Ada, Pa.”

Tiba-tiba alis Anka tergerak. Dia membuka kelopak matanya dan mendapatkan orangtuanya bersama kakaknya di hadapannya.

“Anka...” Mama mencoba untuk memegang tangan Anka.

Anka menghela napasnya. “Semuanya keluar. Anka mau istirahat.”

“Anka...”

“Tolong.”

Papa langsung merangkul bahu mama dan menggiringnya keluar dari ruangan. Wina juga mengikuti dari belakang.

Suasana kembali sepi. Andre masih sibuk dengan makanannya dari biliknya. Tiba-tiba Anka merasa haus lagi. Anka melirik ke arah meja sambil berdeham untuk menghilangkan rasa dahaganya.

Tapi tiba-tiba Andre muncul dari balik hordeng. Dia pikir barusan Anka bermaksud memanggilnya dengan berdeham.

“Lo manggil gue?”

Anka menghela napasnya lagi. Dia lupa bahwa ruangan ini bukan hanya dirinya yang menempatinya.

Lagi-lagi Anka melirik ke arah botol mineral di atas meja, kemudian dia mendesah lagi. Mending dia lanjut tidur dibandingkan minta tolong sama teman sekamarnya itu.

“Tinggal bilang tolong ke gue apa susahnya.” Anka menoleh dan telah mendapati Andre sudah berdiri di samping ranjangnya sambil memegang botol minuman. “Mau gue bantu?”

Anka mengerutkan keningnya. Siapa lo siapa gue?
“Nggak usah malu-malu,” Andre membuka tutup botol dan menyodorkan sedotan ke arah mulut Anka. Mau nggak mau akhirnya Anka minum juga dengan bantuan Andre. Setengah botol air langsung tersedot ke tubuh Anka.

“Lo nggak laper?” tanya Andre setelah menutup kembali botol minuman.

Apaan sih nih cowok? Kepo banget jadi orang.

Anka menoleh ke arah pintu, nggak menjawab pertanyaan Andre. “Bisa tolong kunciin pintu kamar nggak?” Akhirnya Anka bersuara.

Kali ini gantian alis Andre yang mengerut. “Buat apaan?”

Anka menoleh ke arah Andre dengan tatapan nggak-usah-banyak-tanya-deh. Hal itu membuat Andre bergegas menuju pintu sambil mendorong tiang infusnya, kemudian mengunci pintu ruangan.

Setelah terkunci, Anka ingin mengambil menu makanannya, tapi tenaganya belum pulih banget.

“Eh, kata dokter lo belom boleh banyak gerak,” cegah Andre sambil kembali menuju sisi ranjang Anka.

Ini gara-gara lo, bego.
Andre mendorong meja khusus makan ke ranjang Anka. Kemudian dia menaruh menu makanannya di meja tersebut. Anka mengernyit ke arah makanannya. Nggak ada nasi padang atau gorengan apa?

Tanpa berbicara lagi, Anka memakan sarapannya. Sebenarnya dia nggak suka dengan makanan seperti ini. Tapi karena dia belum makan dari kemarin, yah mau bagaimana lagi?

“Tadi itu... keluarga lo?” tanya Andre di sela-sela Anka menyuap makanannya. Dia sudah terduduk di ranjangnya sendiri.

Anka mulai nggak berselera. Dia sedikit memainkan makanannya. “Lo udah gue peringatin.”

Andre pindah ke posisi tidur. “Gue nggak mau nilai, tapi kayaknya lo nggak suka sama keluarga lo ya? Kenapa?”

Kali ini Anka menghentikan acara makannya. Dia menatap lurus ke arah Andre. “Lo bukan siapa-siapa gue. Jangan pernah ikut campur.”

“Sori, bukannya mau ikut campur,” Andre membalas tatapan Anka. Sudut bibirnya tersenyum. “Gue cuma iri aja sama lo.”

Iri? Apa coba yang ngebuat orang iri sama gue?
“Lo masih punya keluarga di sekeliling lo. Sedangkan gue, boro-boro. Sodara aja gue nggak punya, bahkan orangtua pun gue juga nggak punya.”

Anka langsung berpikir lebih baik dirinya yang seperti itu dibanding dia menerima keluarganya.

“Gue nggak peduli.”

“Terserah. Gue cuma mau bilang kalo lo harus bersyukur masih punya keluarga. Dan yang gue sempet denger tadi, mereka peduli sama lo.”

“Peduli? Cih. Kalo peduli, kenapa mereka nggak langsung ke rumah sakit aja sebelum gue diopname?”

“Kalo mereka tau lo kecelakaan dan langsung ke sini, lo mau berubah pikiran tentang keluarga lo?”

Anka tertohok. “Lo nggak ngerti.”

“Gue ngerti,” Andre nggak mau mengalah.

“Nggak usah sok jadi Mario Teguh. Gue nggak butuh nasehat.”

“Apa yang ngebuat lo sampe benci kayak gitu?”

“Masa kecil gue kayak nggak punya orangtua! Mereka sibuk masing-masing! Pada akhirnya mereka nyalahin satu sama lain karena nggak becus ngurus gue! Dan setelah itu mereka cerai!”

Andre hanya menatap datar Anka, menunggu cewek itu untuk berargumen lagi.

“Setelah bertahun-tahun sampe sekarang, mereka mau rajuk lagi. Ngapain mereka rajuk? Mau ngerusak masa remaja gue juga? Toh mereka ujung-ujungnya bakal sibuk sendiri. Itu drama keluarga gue. Puas lo?”

“Seenggaknya mereka masih hidup dan mau balikan lagi, nyatuin keluarga lo,” Andre membalas dengan nada tenang.

Hati Anka langsung memberontak. Baiklah, dia tahu. Keadaan dirinya dengan keadaan Andre memang berbeda. Tapi... argh! Andre nggak pernah merasakan menjadi dirinya.

“Apa sih mau lo? Mau ngorek-ngorek tentang keluarga gue?”

“Lo masih sebut mereka ‘keluarga’? Padahal kayaknya lo benci banget sama mereka.”

Lagi-lagi Andre membuat Anka tertohok.

Anka nggak tahu apa yang harus dia katakan lagi. Dia mengalihkan tatapannya ke sarapan paginya. Andre hanya tersenyum ketika Anka sudah kehabisan kata-kata.

“Dari lahir, gue nggak tau siapa sodara gue, apalagi orangtua. Sori aja ya, kehidupan gue juga drama banget. Tapi toh ini kenyataannya. Sampe sekarang nggak ada orang yang ngakuin gue sebagai anak.”

Anka melirik pedas ke arah Andre. Apaan sih nih orang? Curhat ke gue?

“Oke. Kayaknya lo nggak mau denger lika-liku kehidupan gue. Tapi sekali lagi, gue iri banget sama lo. Seharusnya lo seneng kalo orangtua lo mau balikan lagi. Itu berarti mereka mau memperbaiki keluarga lo. Ya emang sih gue nggak ngerti tentang keluarga, toh sampe sekarang gue nggak pernah punya keluarga. Tapi satu hal yang sampe saat ini gue pertahanin, rasa bersyukur. Gue bersyukur masih dikasih hidup sama Allah, mungkin aja suatu saat nanti gue bakal ketemu sama orangtua gue. Siapa tau, kan?”

Tiba-tiba pintu ruangan terketuk. Andre dan Anka berbarengan menoleh.

“Anka? Kok pintunya dikunci, nak?”

Anka mengalihkan tatapannya ke arah Andre. Dia hanya diam saja. Tapi pada akhirnya Andre membuka kunci pintu kamar tersebut.

***

Sudah berhari-hari Andre dan Anka berada di satu ruangan. Cowok itu juga nggak menampakkan dirinya lagi setelah berbicara panjang lebar dengan Anka waktu itu. Anka juga tampak lebih diam setelah Andre menasihatinya.

Dan untuk hari ini, waktunya kepulangan bagi Andre. Dia sudah merasa cukup bugar walaupun dia nggak tahu harus pergi ke mana. Orang yang sempat menyelakakannya bertemu dengannya di ruangan itu untuk meminta maaf sekian kalinya akibat kecerobohannya. Andre hanya mengangguk. Walaupun badannya masih terasa sedikit remuk, asalkan orang yang menyelakakannya bertanggungjawab, nggak akan jadi masalah.

Setelah itu, Andre hendak langsung pergi. Tapi dia teringat dengan teman sekamarnya.

Awalnya dia mau berpamitan, tapi rasanya kurang enak karena di biliknya sedang terdapat keluarganya. Akhirnya Andre melengos pergi keluar dari ruangan.

Namun sebelum Andre sempat keluar dari ruangan, Anka sempat melihat Andre yang sudah berpakaian rapi.

“Eh, Andre! Lo mau ke mana?”

Andre menghentikan langkahnya. Dia terdiam sebentar. “Gue mau balik nih, udah sembuh ceritanya,” Andre sedikit mengulaskan senyumannya.

Sekarang Andre bisa melihat kedua orangtua Anka, plus kakaknya. Dia jadi semakin iri.

“Gue pulang ya, semoga cepet sembuh deh.”

“Sebentar,” kata Anka sebelum Andre melanjutkan langkahnya. “Ini... bokap nyokap gue, itu kakak gue.”

“Oh?” Andre agak sedikit tersentak. Setelah itu, dia segera bersalaman dengan keluarga Anka. Dari raut wajahnya sih, Anka cukup berbeda dengan hari-hari kemarin.

“Andre?”

Andre menatap ke seorang pria yang disebut Anka sebagai ‘bokap’nya. Andre sedikit tersentak. Dia sendiri daritadi nggak terlalu memerhatikan wajah pria itu.

“Bapak?”

“Astaga, kamu sakit?”

Andre hanya menggarukkan kepala belakangnya. “Saya sempet kecelakaan, Pak. Untungnya orang yang nyelakain saya mau tanggung jawab.”

“Saya pikir kamu udah nggak kerja lagi di kantin kantor.”

“Papa... kenal?”

Ayah Anka menoleh ke arah Anka. “Dia kerja di kantin kantor Papa.” Kemudian ayah Anka beranjak dari tepat duduknya, menggiring Andre keluar dari ruangan tersebut.

“Andre, saya mau berterimakasih sama kamu,” kata ayah Anka ketika mereka berdua sudah berada di lorong.

“Terimakasih buat apa ya, Pak?”

“Aduh, kamu jangan pura-pura lupa gitu deh, kamu kan belum tua kayak saya,” candanya. “Jadi gini, Anka sempat bungkam seharian, nggak mau ngomong sama saya, sama mamanya, apalagi sama kakaknya semenjak kamu ngunci ruangan itu. Entah ada angin apa, tiba-tiba Anka minta disuapin sama mamanya, saya pikir itu perubahan yang cukup drastis karena selama ini dia jarang mau berkontak sama mamanya, apalagi saya. Setelah itu, dia baru cerita ke mamanya tentang nasehat yang kamu kasih. Saya pikir dari situ Anka mulai berubah. Itu gara-gara kamu, Ndre. Saya berterimakasih sekali ke kamu karena bisa sedikit merubah sikap anak saya.”

“Ah, bapak. Enggak kok, Pak, biasa aja. Itu karena emang dari diri Anka sendiri yang nggak akan bisa jauh dari keluarga, cuma mulutnya aja yang emang suka nyangkal.”

Ayah Anka sedikit tersenyum. “Untuk itu, kamu mau tinggal di rumah saya? Saya dan istri saya dengan senang hati nerima kamu di keluarga kami. Kamu mau?”

Untuk pertama kalinya dalam seumur hidup ada perasaan lebih dari kata senang dalam diri Andre.

“Beneran, Pak?”

Ayah Anka mengangguk.

Tiba-tiba, Anka beserta mama dan kakaknya keluar dari ruangan. Dia dipapah oleh mama dan kakaknya. Anka memancarkan senyum yang baru pertama kali dilihat oleh Andre.

“Lo mau gue panggil mas, abang, atau kakak?”

Andre nggak bisa lagi menahan senyumnya yang semakin melengkung terlukis di bibirnya. Walaupun dia cowok, ternyata ada juga air mata kebahagiaan di pelupuk matanya.
Continue reading
Share:
Views:
Cerpen

Mika

Sunday, April 20, 2014 By astaghiri 0 Comments
Hop! Mika melompati genangan air dengan lincah. Pagi ini, hujan sempat mengguyur tempat kelahirannya, Jakarta. Pagi ini dia cukup bersemangat. Namun tidak untuk teman-teman sebayanya yang berada di sekelilingnya. Mereka justru mengernyit jijik kepadanya.

“Apaan sih tuh cewek?” gumam salah satu dari mereka.

“Lebay banget deh jadi orang,” timpal yang lain.

“Bukan lebay, tapi kelewat centil jadi begitu!”

Mika sebenarnya mendengar, tapi dia pura-pura nggak mendengarnya dengan terus berjalan menuju gerbang sekolahnya. Dia terus menampangkan senyum manisnya.

“Pagi Mikaaa...” sapa seorang cowok dengan hangatnya, namun dengan nada menggoda. Mika membalas senyum kakak kelasnya tersebut, Bimo.

“Pagi juga, Kak!” balas Mika dengan semangat.

“Kamu udah sarapan? Pasti belom, kan? Kalo gitu aku traktir deh!” tawarnya. Yah, tuh cowok memang suka berlebihan tanya ini-itu seperti layaknya pacar. Padahal Bimo dan Mika nggak ada hubungan sama sekali.

Sebenarnya Mika berminat, tapi yah—sebentar lagi bel masuk sekolah. Dengan cara halus dia menolaknya.

“Makasih, Kak. Kapan-kapan aja, ya? Aku masuk ke kelas dulu ya!” Mika langsung pamit dari hadapan kakak kelasnya. Bimo sedikit menghela napasnya. Lagi-lagi dia gagal mengajak Mika untuk makan bersamanya walaupun sekedar sarapan.

Mika berjalan di lorong. Sekarang, dia memang menjadi pusat perhatian. Sebagian cewek menatapnya dengan rendah, yang lain hanya ingin tahu saja. Dan yang cowok tentu saja langsung tertarik dengan kehadiran Mika. Tapi Mika berpura-pura nggak tahu kalau ada banyak orang yang memerhatikannya.

Ketika dia ingin berbelok ke arah tangga, seseorang menabraknya. Karena badan Mika kecil, dia memang gampang banget jatuh.

“Tuh, gue bilang juga apa? Tuh cewek emang caper!” ucap seseorang yang Mika nggak tahu siapa orangnya.

“Dia tuh sengaja! Biasa cewek kayak gitu mah!” timpal yang lainnya.

Tiba-tiba tangan seseorang terulur. Mika menoleh dan mendapati Leo berada di hadapannya. Mika langsung tersenyum dan menerima uluran tangan itu. Kemudian dia berdiri dengan dibantu Leo.

“Thanks, Yo,” ucap Mika sambil membersihkan debu yang menempel di rok bagian belakang.

“Mau gue bantuin bersihin juga nggak rok lo?”

Mika langsung menempeleng kepala Leo. “Bukannya minta maaf udah ngebuat gue jatoh, malah cari-cari kesempatan lagi!” Lalu Mika tertawa, Leo hanya nyengir kuda.

“Kan lo udah bilang ‘thanks’, masa gue bilang sori? Basi, Ka.”

Mika hanya tersenyum dan mengedikkan bahunya.

“Gimana dengan hari ini?” Leo bertanya.

“Mmh?” Mia nggak tertarik menoleh ke arah Leo walaupun sebenarnya dia tahu apa yang dimaksud oleh Leo.

“Oh, I know!” seru Leo tiba-tiba.

“Tau apaan lo emangnya?”

Leo mendecakkan lidahnya. “Lo pikir lo temenan sama gue berapa lama sih?”

Mika hanya nyengir kuda. Namun semakin lama, senyumannya menghilang.

“Yeah, as usual,” Mika mendesah. “But, I don’t care! I love it!” Mika langsung bersenandung lagu milik Icona Pop.

“Yakin?” Leo menuduh tajam. Dia tahu sekarang Mika sedang berpura-pura.

Mika langsung merangkul Leo. “Lo kebanyakan taunya, deh!”

***

Mika memang cantik. Okelah, itu bagian plus dari dia. Dia manis? Baiklah. Itu dua bagian plus dari Mika. Dia ramah? Ya ampun, dia memang ramah banget. Dia ceria? Jangan ditanya lagi. Dia nyaris sempurna untuk ukuran cewek, kecuali tinggi badannya. Tapi satu hal itu yang membuat Mika semakin imut.

Tapi, itu untuk cowok. Dia memang ramah banget ke cowok, nggak pernah merasa risi jika ada cowok di sekelilingnya. Nggak heran jika banyak anak cowok yang mendekatinya, bahkan kakak kelas pun juga ikut kecantol.

Tapi, ENGGAK untuk cewek. Bukannya dia nggak pernah bersikap ramah ke cewek yang berada di sekelilingnya, terutama di lingkungan sekolahnya. Dia bahkan nggak pernah membedakan sikap ramahnya terhadap cowok mau pun cewek.

Tapi, timbal baliknya yang dia dapatkan itu berbeda jauh dari cewek dan cowok.

Untuk cowok, okelah, mereka masih berbaik hati mau menyapa Mika.

Tapi sekali lagi, ENGGAK untuk cewek. Mereka bahkan kepengin Mika enyah dari pandangan mereka.

Walaupun begitu, Mika nggak mau membalas apa pun yang terdengar jahat. Yang penting, ‘kasih senyum aja’, begitu kata Leo. Mika pun menerapkannya. Tapi justru itulah yang membuat cewek-cewek di lingkungan sekolahnya menjadi semakin benci dengannya.

Kecuali Fida. Dia satu-satunya teman cewek Mika di sekolah tersebut. Fida nggak peduli tentang ucapan orang lain ke Mika. Toh Mika orangnya baik, baik banget malah. Fida nggak pernah tuh merasa terbebani berteman dengan Mika.

“Ka, beli bakso yuk. Laper nih gue,” pinta Fida sambil memeluk lengan Mika.

“Ayo. Gue juga laper nih.”

Mika dan Fida langsung ambil spot di ujung kantin, karena bagian depan dan tengah sudah diisi lautan manusia. Mika memesan minuman, sedangkan Fida makanannya. Ketika Mika menuju meja makannya, Fida belum di sana. Mungkin Fida masih memesan.

Nggak lama, Fida datang dengan membawa dua mangkuk bakso.

“Duh! Duh! Panas! Misi! Misi! Air panas nih! Air panas!”

Mika langsung berdiri dan membantu Fida membawa mangkuk baksonya. Setelah duduk di mejanya, Fida langsung menaruh beberapa sendok sambal ke mangkuknya.

Tiba-tiba saja Leo datang dan langsung duduk di samping Fida. Untung saja Fida lagi nggak memasukkan bakso ke dalam mulutnya. Kalau iya, mungkin bakso yang berada di mulutnya akan meluncur ke meja seberang.

“Et! Si Lele! Ganggu aja sih lo!” damprat Fida. Leo hanya cekikikan.

“Makan, Yo,” tawar Mika.

“Nggak, Ka, makasih. Gue lagi nggak laper.” Walaupun begitu, dia langsung menyambar minuman milik Fida. Tuh cowok memang suka usil banget ke Fida.

“Ya elah, Le! Beli aja kenapa sih! Lo nggak modal banget dah jadi orang!”

“Minta doang Fid, sedikit. Pelit amat sih lu.”

“Aduh, jangan pacaran di depan gue dong,” Kali ini Mika angkat suara.

Leo langsung tertawa, Fida justru menganga idiot. Pacaran katanya? No way!

“Kalo lo ngomong kayak gitu sekali lagi, gue cocolin sambel nih, Ka!” ancam Fida.

“Huuu... takut...” Mika justru memancing, hal itu membuat Mika dan Leo semakin tertawa.

“Eh, Lang, ternyata lo di sini toh?”

Mereka bertiga langsung menengok dan mendapatkan Breta bersama teman satu gengnya berdiri di depan meja mereka.

“Lo salah meja ya, Bret? Di sini nggak ada yang namanya Gilang, Galang, cakalang, alang-alang atau lang-lang lainnya,” Fida langsung menyahut.

Breta menggeram. Dia paling nggak suka dipanggil dengan sebutan ‘Bret’. Padahal, namanya sudah bagus Breta, malah dipanggil Bret. Tapi kali ini dia lagi nggak mau berurusan dengan Fida.

“Maksud gue Jalang. Ya nggak, Lang?” Breta tersenyum jahat ke arah Mika. Mika hanya melirik, dia hanya tersenyum samar.

Yang terbawa emosi justru Fida dan Leo. “Nggak usah cari ribut di sini deh, Bret,” Leo memang nggak suka dengan Breta.

“Lo nggak malu apa diliatin anak-anak?” Gantian Fida yang bersuara.

Breta langsung menampangkan wajah kagetnya. “Lho? Kenapa gue mesti malu? Gue kan masih punya muka. Lah dia? Nggak punya muka tapi masih berani nampangin diri di sekolah.”

“Emang sekolah ini punya nenek moyang lo apa?” sembur Fida. “Mata lo buta ya, Bret? Udah tau mukanya dia mulus begitu, emangnya elo yang jerawatan?”

Fida berdiri, dibarengi dengan Leo. “Lo laper nggak Bret? Tuh masih ada sisa bakso di mangkok. Kali aja lo suka makanan sisa.” Hal ini membuat Breta semakin geram. Leo dan Mika langsung tertawa dalam hati. Kemudian Fida menarik tangan Mika agar segera pergi dari meja tersebut.

Setelah menjauh dari Breta dan gengnya, Fida langsung berdiri di hadapan Mika dan menghentikan langkah cewek itu.

“Lo kenapa sih, Ka?” Nada bicara Fida kali ini serius. Leo hanya berdiri di belakang mereka, biar mereka yang menyelesaikannya terlebih dahulu.

“Kenapa apanya, Fida sayang?”

Fida berdecak sebal. “Mereka tuh ngatain lo! Lo kenapa sih sok pura-pura baik-baik aja? Gue tuh tau kalo lo sakit hati! Tapi kenapa lo nggak mau ngelak pernyataan itu sih?” Fida memang orang yang blak-blak-an. Dia paling nggak suka sama orang yang suka pasang senyum palsu.

“I’m very well, tengkyuuuu,” Mika justru membalas dengan nada canda. “Gue ke toilet dulu ya,” Mika menepuk-nepuk pipi Fida, kemudian berjalan menuju toilet.

Fida menoleh ke arah Leo. “Tuh cewek kenapa sih? Heran gue sama dia.”

Leo menghampiri Fida dan merangkulnya. “Dia tuh cuma pura-pura kuat doang, Fid.”

Leo dan Fida menghela napas bersamaan. Fida baru sadar kalau tangan Leo sudah tersampir di bahunya. Dia langsung melepas tangan Leo. “Cari kesempatan aja sih lo!”

Leo hanya nyengir kuda.

Sebenarnya Mika juga nggak ada hasrat buat buang air kecil. Dia cuma mau ngehindarin omelannya Fida yang bakal panjang lebar. Setelah mencuci tangannya, Mika segera keluar dari toilet.

Ketika lagi di lorong sekolah, dia baru sadar ternyata tali sepatunya lepas. Dia menyempatkan untuk memasangnya terlebih dahulu. Setelah itu Mika kembali ber—

BRUGH!!! Lagi-lagi tertabrak oleh seseorang. Tapi kali ini bukan Leo.

“Shit!” gumam cowok itu.

Mika melirik ke arah orang yang menabraknya. Itu Gio, teman sekelas Mika yang pada sampai hari ini pun mereka nggak pernah bertegur sapa. Dia memang dingin banget. Dan sekarang, cowok itu justru ingin berlalu dari hadapan Mika tanpa minta maaf atau pun membantunya berdiri.

Sebelum tuh cowok menjauh dari Mika, Mika sempat menggumam, “Lo... nggak mau bantuin gue berdiri?”

Gio hanya menolehkan kepalanya, menatap Mika dengan rendah.

“Lho? Yang nabrak siapa emangnya? Lo pikir mentang-mentang lo cewek, gue jadi respek ke elo terus gue jadi ngerasa bersalah, gitu? Makan tuh respek.”

Gio kembali berjalan meninggalkan Mika yang masih terduduk di lantai. Keningnya berkerut. Kenapa sih tuh cowok? Jelas-jelas memang dia yang salah. Kenapa jadi Mika yang kena omel?

***

“Eh, Jalang! Kita belom selesai!” Breta and the geng langsung mendamprat Mika. Mika mengkeret tersudut di antara mereka.

“Dibayar berapa lo sama Bimo?” Breta langsung to the point.

“Gue nggak ada urusan sama dia, oke?”

Mika yang hendak keluar dari perkumpulan itu langsung didorong kembali oleh Breta. Percuma ngelawan Breta. Badan Mika nggak sebanding dengan badannya Breta.

“Lo pikir gue nggak tau apa? Lo boleh ngambil cowok orang lain, tapi nggak buat Bimo!”

Mika sedikit tertawa. Memangnya dia pikir dia siapa?

“Kenapa lo ketawa?” Breta merasa tersinggung.

“Gue nggak ngerebut Bimo dari lo, ngerti?”

“Lo kira gue bego?! Lo jadi cewek jangan sok cakep deh!”

“Lho? Gue emang cakep. Emangnya lo mau apa?” Breta menggeramkan tangannya. “Seharusnya lo mikir, kenapa si Bimo mutusin elo. Gue sih nggak nyoba buat ngedeketin Bimo, tapi dia sendiri yang ngedeketin gue.”

“Elo—” Breta mengangkat tangannya yang terkepal di udara. Namun sebelum sempat mengenai bagian wajah Mika, tangan Mika langsung ditarik seseorang dan keluarlah dia dari pergumulan tersebut.

Breta and the geng langsung membalikkan badannya.

“Udah cukup buat diskusinya? Gue punya urusan sama nih cewek,” Gio menarik keras tangan Mika dan menyuruhnya untuk menaiki motornya. Dalam sekejap, dia langsung menghilang di depan sekolah.

“DASAR JALANG!!!”

Selama di motor, Mika hanya terdiam. Gio juga nggak ngomong sama sekali. Setelah menikmati perjalanan yang kosong, mereka berdua sampai di sebuah rumah yang tampak sepi. Mika turun dari motor Gio.

“Ini... rumah lo?”

Gio hanya diam, dia mendorong motornya ke dalam garasinya. Yah, sepertinya ini memang rumahnya.

“Masuk,” Akhirnya Gio angkat suara. Sebenarnya Mika hendak menolak, tapi karena merasa nggak enak hati, akhirnya dia masuk ke dalam rumah Gio.

Rumah Gio cukup sepi. Mika duduk di sofa ruang tamu. Gio berjalan menuju dapur, mengambil sesuatu di sana. Nggak lama, dia kembali membawa minuman dan beberapa snack. Kenapa nih cowok? Mika mulai merasa aneh.

“Kenapa lo?” Gio melirik ke arah Mika, ikut heran. Kayaknya dia bisa baca pikirannya Mika deh.

Mika hanya geleng-geleng. Yang tadinya Gio ikut duduk di sofa, kini Gio berdiri menuju pintu rumahnya dan... menutupnya, lalu dia menguncinya. Makin gelaplah rumahnya sekarang.

“Kok pintunya ditutup?” Mika mulai gusar.

Gio membalikkan badannya. Alisnya terangkat. “Kenapa emangnya? Bukannya lo suka suasana yang remang-remang kayak gini?”

Gio melangkah perlahan. Dia juga membuka dasinya. Tapi pandangannya nggak lepas dari Mika yang mulai ketakutan. Mika juga ikut menggeser posisi duduknya hingga dia terpojokkan.

“Lo mau ngapain, Gi?”

Gio membuat raut wajah kaget. “Nggak usah takut gitu dong,” Mika nggak ngerti nada ucapan Gio barusan. Yang jelas, ucapannya itu sama sekali tidak menenangkan Mika. “Masa lo nggak tau sih kalo gue mau ngapain?” Gio tersenyum aneh.

Gio semakin mendekat. Bahkan dia sudah berada di sofa, mendekati Mika yang semakin terpojok.

“Lo lagi butuh duit berapa? Gue bakal kasih lo uang, asalkan...” Kini Gio benar-benar berada di hadapan Mika. Mika sudah nggak bisa mundur lagi. Bahkan wajah mereka pun hanya berjarak dua senti.

“Gua nggak butuh duit lo!” Mika langsung menendang perut Gio. Sontak Gio langsung mundur ke belakang. Mika segera menjauh dari Gio. “Gue mau pulang! Cepet bukain pintunya!” Mika semakin histeris.

“Mau lo teriak sekenceng apa pun, nggak ada orang yang bakal denger lo,” Gio mencoba berdiri. Ternyata sakit juga tendangan dari Mika.

“Lo mau ngapain?!” pekik Mika lagi ketika Gio mencoba mendekatinya.

“Mikaaa... nggak usah pake malu-malu gitu deh. Kenapa sih lo? Giliran sama cowok lain, lo mau-mau aja. Tapi kenapa gue enggak?”

“Apa maksud lo?!”

“Mika, lo lebih ngerti dibanding gue.”

Mika menggeleng keras. “Gue nggak pernah ngelakuin apa pun! Apalagi yang ada di pikiran lo itu! Lo pikir gue cewek apaan?!”

Gio sedikit kaget. “Lho? Bukannya rumor itu emang bener?”

“NGGAK! GUE NGGAK PERNAH BERBUAT HAL KOTOR KAYAK YANG LO PIKIRIN!”

Gio tertawa sumbang. “Lo pikir gue percaya? Berapa sih duit yang lo mau? Sejuta? Dua juta? Atau sepuluh juta? Gue jabanin.”

Mika menggeleng-geleng. Yang dia mau sekarang adalah keluar dari rumah ini dan pulang!

“Kenapa sih Mika sayang?” Terdengar nada mengancam dari Gio. “Gue bakal ngelakuinnya secara perlahan kok.”

Tiba-tiba kaki Mika bergetar. Dia sudah nggak bisa untuk melangkah mundur, Gio juga semakin dekat menuju ke arahnya.

Dan hanya yang bisa Mika lakukan adalah terjongkok dan kemudian menangis. Dia nggak tahu lagi apa yang harus dia lakukan selain menangis.

Dia pikir Gio akan tetap menyuruhnya melakukan hal yang tidak-tidak. Namun tiba-tiba saja dia merasakan pundaknya yang ditepuk-tepuk halus.

“Ya, ya. Nangis sepuas lo, biar lo lebih lega.”

Mika mendongak takut-takut. Dia mendapati Gio sudah terduduk di hadapannya, menatapnya iba. Tiba-tiba dia merasa takut, dia langsung menjauh dari Gio.

“Udah puas nangisnya?” Gio bertanya dengan datar.

Mika menatap Gio dengan matanya yang merah. Wajahnya juga ikut memerah dan basah. Rambutnya sedikit kusut.

“Kenapa... lo...”

Gio menatap langit-langit rumahnya. “Ternyata itu cuma gosip. Kenapa lo nggak mau nyangkal?”

Mika masih bengong. Dia nggak mengerti dengan kondisi yang sekarang. Dia bahkan nggak mengerti ucapan Gio barusan.

Gio berdiri, berjalan mendekati Mika. Kemudian tangannya terulur. “Masih syok?” Mika menatap tangan Gio, kemudian wajahnya. “Gue cuma ngerjain lo.”

Muka Mika terlihat dua kali lebih syok. Jadi... daritadi dia dikerjai?

“Apa maksud lo ngerjain gue?” Suara Mika sedikit serak.

Gio sedikit tertawa. “Ya gue seneng aja ngerjain orang,” kata Gio dengan santainya.

“LO PIKIR CANDAAN LO LUCU?!” Mika benar-benar nggak suka dengan cara bercandanya Gio.

Gio menatap Mika tajam dan serius. “Dan sekarang lo nggak mau berterimakasih sama gue karena gue udah nyelametin elo dari gengnya Breta?”

Mika langsung tertohok. Jadi...

“Kenapa lo diem? Acara teriak-teriakannya selesai?”

“Sori Gi... gue...” Mika nggak tahu harus ngomong apa lagi. “Tapi kenapa lo mau bantuin gue?”

Gio sedikit menyeringai. “Lo pikir gue simpatik sama lo?” Mika hanya menatap Gio. “Lagian gue ngerjain lo karena gue emang punya alasan tertentu, itu pun karena gue kepengin ngebales perbuatan lo.”

Kening Mika mengerut. Kemudian Gio menunjukkan seragamnya yang bernodakan kemerahan. Mika semakin nggak mengerti.

“Lo masih belom tau juga siapa yang ngelakuin ini?” Mika menggeleng. “Itu elo.”

Mika langsung kaget. “Gue? Emangnya gue ngapain?”

Gio mendecakkan lidahnya. “Lo nggak alzheimer, kan? Di lorong sekolah, lo sempet nabrak gue yang lagi bawa fanta, dan akhirnya tuh minuman kena ke seragam gue.”

“Tapi gue...”

“Lo emang nggak ngeliat, makanya gue langsung jalan terus. Lo pikir gue nggak malu?”

“So—sori, Gi, gue...”

“Ah, kebanyakan minta maaf lo! Emangnya lebaran?”

Mika langsung mengkeret. Ternyata Gio galak juga.

“Yang sekarang gue nggak ngerti, kenapa ada rumor ‘itu’?” Gio langsung to the point. “Gue pikir tadi lo bakal mau terima tawaran dari gue.”

“Kalo gue terima, gimana?” Gio sedikit kaget.

“Lo pikir gue beneran bisa bayar? Ongkos aja masih minta sama nyokap.”

Mika langsung terdiam, kemudian dia menundukkan kepalanya. “Mau gue ngomong apa pun, mereka juga nggak bakal percaya sama gue.”

“Tapi kalo deket sama cowok...”

“Kalo itu emang bener, gue lebih suka deket sama cowok dibanding sama cewek. Bukannya gue keganjenan, gue merasa lebih free kalo deket atau temenan sama cowok. Dan bukan berarti gue jalang yang kayak disebutin sama Breta tadi,” Mika menunduk sedih.

“Tapi kenyataannya lo keliatan kayak gitu,” Mika langsung tertohok, dia mengangkat kepalanya.

“Apa maksud lo?”

“Mika, temenan itu ada batesnya. Gue tau lo lebih nyaman sama cowok, tapi gue ingetin sekali lagi, ada batesnya. Mereka—cowok—lebih free dibandingkan cewek yang terkadang jadi korban. Buktinya elo.”

Mika menaikkan alisnya. “Tapi... gue nggak pernah dimainin sama mereka! Maksud gue...” Mika menghentikan kata-katanya. “Lo ngerti apa maksud gue.”

Gio menghela napasnya. “Gue tau, Ka. Gue juga cowok. Lo emang nyaman temenan sama cowok, tapi apa timbal baliknya di cewek yang ada di lingkungan lo? Mereka seneng? Enggak. Lo malah kayak keliatan—maaf—jablay di mata mereka.”

Cukup lama Mika terdiam. Benar juga perkataan dari Gio. Akhirnya dia mendongakkan kepalanya.

“Thanks, Gi. Lo motivator banget.”

Gio hanya mengedikkan bahunya.

“Gue pikir elo gay, Gi.”

“WHAT?!”

“Ya abis lo jarang banget ngobrol sama cewek, sama gue juga, galak banget lagi.”

“Terus kalo gue galak, gue gay gitu?”

Kini giliran Mika yang mengedikkan bahunya. Kemudian Mika tersenyum. “Sekali lagi thanks banget, Gi.”

“Nggak usah banyak bilang makasih deh. Nggak butuh gue.”

Mika hanya nyengir kuda. Gio galaknya berlebihan, kata Mika dalam hati.

“Terus, menurut lo gue harus gimana?” Mika kembali ke persoalannya.

“Lo udah punya pacar?” Mika menggeleng pelan. “Kenapa lo nggak coba buat cari pacar biar lo nggak disebut-sebut lagi jadi jalang?”

“Tapi nggak ada yang mau sama gue.”

“Mata lo buta ya?” Gio langsung menyela. “Lo itu peka nggak sih? Cowok yang ada di sekeliling lo tuh selalu flirt sama lo. Masa iya lo nggak ngerti keadaan?”

Mika hanya mengedikkan bahunya. “Ck. Ternyata lo cuma pake paras doang, tapi otak enggak.”

Mika langsung melotot. “Kok lo ngatain gue sih? Untuk masalah peka atau enggak kan itu pake perasaan. Emangnya cowok yang kalo ngapa-ngapain selalu pake otak? Nggak ada perasaan sama sekali.”

“Maksud lo, lo ngatain gue nggak berperasaan, gitu?”

“Sekarang gini deh. Lo udah punya pacar belom?” Gio hanya terdiam. “Itu berarti lo nggak punya perasaan karena sampe hari ini lo belom punya pacar.”

“Emangnya gue udah ngejawab punya pacar atau enggak? Jangan sok tau deh.”

“Keliatan dari mata lo.”

Gio terdiam lagi. Yah, ketahuan deh.

Mika mendesah pelan. “Gimana... kalo elo yang jadi pacar gue?”

Dengan cekatan Gio menatap Mika. Kemudian dia tertawa lebar. “HAHAHAHA! Jangan mimpi lo!”

Dahi Mika mengernyit. “Gue nggak mimpi, emangnya gue keliatan lagi tidur?”

Gio mengatupkan rahangnya. “Nggak. Gue nggak mau.” Mata Mika menyiratkan ‘Kenapa?’ dengan polosnya. “Kenapa lo nggak pacarin temen lo itu?”

“Maksud lo Leo?”

“Ya ya itu.”

“Haha. Mana mungkinlah, dia temen SD gue. Nggak mungkin dia gue jadiin pacar gue.”

“Jadi... lo nembak gue?”

“Oh... lo mau ditembak sama gue?” Gio mengerutkan keningnya. “Ya udah. Gio, lo mau jadi pacar gue, kan? Oke. Lo pasti fix mau.”

Gio langsung mengernyit jijik ke arah Mika. Tuh cewek memang benar-benar kelewat sarap.

***

“Giooooo!!!” Sebuah tangan sudah melingkari lengannya. Gio langsung menoleh ke pemilik tangan tersebut. Begitu mengetahui Mika yang melingkari lengannya, Gio langsung melepaskannya.

“Apa-apaan sih lo?” Gio langsung berkata ketus.

“Ih, Gio. Kita kan udah jadian kemaren. Masa lupa?” Mika mengerlingkan sebelah matanya, membuat Gio semakin jijik.

“Itu cuma pura-pura, ngerti?” Gio mengingatkan.

“Iya deh, iya,” Mika tersenyum tipis.

Mika berjalan di belakang Gio. Gio juga nggak mau menyejajarkan langkahnya dengan Mika. Tiba-tiba saja bahu Mika tertarik ke arah belakang.

“Sekarang lo nggak bisa kabur lagi,” Breta muncul lagi bersama gengnya. “Belom lama lo sama Bimo, kemaren sama Gio. Lo tuh miskin duit ya sampe ngejual tubuh lo ke orang lain?”

Mata Mika memanas. Kedua tangannya menggeram. “Jangan asal ngomong...” Mika bersuara kecil.

“Apa? Hahaha. Lo pikir emangnya gue nggak tau?”

“Lo semua tuh apa-apaan sih?” Sebuah suara mengagetkan mereka, termasuk Mika. Gio benar-benar menampangkan wajah masamnya. “Lo tuh pada nggak ngerti keadaan ya? Lo pikir ini sinetron yang suka main labrak-labrakan?”

Gio menarik tangan Mika keluar dari kerumunan geng Breta. Breta juga sedikit ketakutan dengan Gio. Tanpa berkata lagi, Gio dan Mika berjalan meninggalkan Breta and the geng.

“Liat aja lo jalang! Kali ini lo masih bisa selamet!”

Gio menghentikan langkahnya, kemudian membalikkan badannya dan melepas tangan Mika. Dia kembali berjalan menuju Breta. Breta langsung mati kutu ketika wajah Gio hanya sedekat lima senti dari mukanya. Dia memang benar-benar bisa membuat orang jadi ciut.

“Apa lo bilang tadi?”

Breta terdiam sejenak. Tapi dia nggak harus takut sama Gio. “Ja...jalang. Kenapa emangnya?”

“Coba bilang sekali lagi,” pinta Gio dengan nada tajam.

“Jalang. Tuh cewek emang jalang.” Kali ini Breta benar-benar berani.

Gio mengangkat sudut bibirnya. “Kali ini lo masih bisa selamet. Tapi kalo sekali lagi gue denger elo nyebut pacar gue ‘jalang’,” Gio tersenyum tipis, namun menakutkan. “Lo yang nggak bakalan selamet.”

Gio langsung membalikkan badan dan berjalan menuju Mika. Dia kembali menggenggam tangan Mika dan berjalan menjauh dari tempat tersebut.

***

Dan berita itu pun dengan cepat meluas. Tapi hal itu justru membuat nama Mika semakin kotor. Dia justru selalu ditatap rendah oleh orang lain karena—katanya—selalu gonta-ganti cowok. Dan Gio pun sekarang juga semakin terkenal karena hal itu.

“Kayaknya percuma Gi lo jadi pacar boongan gue,” kata Mika ketika sudah tiga hari mereka berpura-pura pacaran. Gio hanya menatap Mika, nggak menjawab. “Kita udahin aja, Gi. Percuma. Gue malah ngotorin nama lo juga.”

“Kita baru nyoba 3 hari, belom ada seminggu. Lo mau nyerah gitu aja?”

Mika menatap Gio. “Bukannya lo seneng kalo hal ini kita udahin?” Gio menghindari tatapan Mika. “Gi. Jangan bilang elo...”

“Ya.”

“Gue pikir elo...”

“Kalo lo mikir gue kayak gitu, dari awal gue pasti nolak permintaan lo itu.” Mika menghela napasnya. “Gue mohon ke elo buat batalin yang tadi.”

“Jadi lo beneran mau pacaran sama gue?” Gio hanya terdiam. Mika tersenyum. Kalau Gio diam, berarti jawabannya iya. “Tapi lo bakal ngebela gue di depan orang-orang kan?”

Gio tersenyum. “Jangan ditanya, gue bakal ngebela elo.”
Continue reading
Share:
Views:
Cerpen

Splash!

Sunday, April 13, 2014 By astaghiri 0 Comments
Haha. Aneh ya judulnya? Sebenernya gue juga bingung sih mau ngasih judul apa. Tapi dari tuh judul, dua tokoh utama gue bisa saling bertemu. And, enjoy it!

*******************

“Bu, Dika berangkat!”

Gue paling benci bangun pagi. Okelah, kalau untuk sholat, gue nggak bakal meninggalkan kewajiban itu. Secara, gue anak yang beriman dan bertakwa sama Tuhan gue. Tapi yang sebenarnya bikin gue benci bangun pagi adalah mandi. Yaelah, nggak usah pada ngeles deh. Gue tahu kelakuan lo semua yang nggak jauh beda dari gue.

Apalagi pas hari sekolah, otomatis bangun harus lebih pagi dan mandi dalam keadaan suhu yang abnormal. Yah, di rumah gue nggak punya pemanas air dan gue malas buat nungguin air panas di kompor.

Mesin motor gue panasin sebentar. Setelah itu baru caw ke sekolah. Masih masalah pagi, gue paling malas kena angin pagi yang dinginnya naudzubillah. Ya iya sih memang pakai jaket, so? Okelah lebay dikit juga boleh.

Karena sekolah gue jauhnya dari sabang sampai merauke, gue harus berangkat cukup pagi. Pagi ini jalanan agak becek karena pas sebelum shubuh tadi sempat hujan. Yah tadinya sih gue kepengin bolos. Tapi nyokap langsung nyembur ke kamar gue dan blablabla, akhirnya gue sekolah juga ujung-ujungnya.

Seperti biasa, gue melajukan motor dengan kecepatan sedang karena lagi malas kebut-kebutan sama orang kantoran yang suka nyetir nggak ngotak.

Gue sendiri juga bingung. Apa gunanya pemerintah memberikan peraturan buat anak sekolah yang harus masuk jam setengah tujuh kalau para orang kantoran saja sudah pada kebut-kebutan di jalan jam segitu?

Dan—JRENG! Bukan, ini bukan suara gitar. Gue bingung buat memvisualisasikannya tapi shit! Barusan ada motor matic warna hitam yang main lewat di samping gue. Gue nggak ngerti tuh orang sengaja atau nggak nyipratin becekan ke celana putih gue. Yang jelas sekarang banyak noda polkadot di celana gue.

“Woy! Kampret lo!” teriak gue yang sempat memelankan laju motor gue. Setelah itu gue langsung ngejar tuh motor. Sialnya, dewi fortuna lagi nggak mau gue pangku.

Tapi pas gue sampai di sekolah, dewi fortuna justru dengan sukarela naik ke punggung gue. Ternyata orang yang nyipratin becekan gue adalah anak sekolah ini. Hah, kena lo.

“Woy!” teriak seseorang dari belakang gue ketika gue berada di lapangan parkir. Gue langsung menoleh. Yaelah. Tuh orang lagi.

Feri ngelihat gue dari atas sampai bawah terus tiba-tiba dia ketawa. Sumpah, ketawanya dia itu benar-benar ngejek gue.

“Ngapa lo, Dik? Abis guling-gulingan di aspal?” ejek Feri sambil menghampiri gue. Ya beginilah kalau lagi ketiban sial.

“Berisik lo.”

“Hahaha. Lagian lo kenapa dah bisa sampe kayak begitu?”

“Lo pikir?” Gue kebawa sewot.

“Et, orang gue nanya baik-baik juga.”

Gue melirik ke arah motor matic warna hitam itu. “Lo tau pemilik tuh motor nggak?”

Feri menoleh ke motor yang sama. Dia sok berpikir keras. Itu sih memang dianya yang suka begitu.

“Kagak.”

Yah pada akhirnya gue juga tahu apa jawabannya. Tuh anak memang suka sok-sok-an tahu tentang apa pun. Gue kembali berjalan menuju lorong sekolah.

“Emang kenapa dah sama tuh motor?” Feri masih kepo.

“Tuh pemilik motor yang ngebuat seragam gue jadi kayak badut gini, polkadot semua,” keluh gue sambil menepuk-nepuk bagian yang terkena cipratan. Sumpah, gue masih dongkol sampai sekarang.

“Terus, kalo lo tau siapa yang punya tuh motor, emangnya lo mau ngapain?”

“Minta pertanggungjawabanlah,” kata gue sok diplomatis.

“Pertanggungjawaban? Lo kata hamil?”

Gue langsung menempeleng kepala Feri. “Ya emang yang harus dipertanggungjawabkan itu selalu cewek yang hamil? Hal yang kayak begini jugalah,” kata gue nggak mau kalah.

Memangnya dia kira gampang cuci seragam yang kena cipratan kayak gini? Ya yang nyuci sih memang bukan gue. Tetapi secara teori, ini merugikan nyokap gue karena nguras double tenaganya buat ngilangin nih noda, belum lagi pasti ujung-ujungnya gue yang kena omelan.

“Yah, yaudah dah, terserah elo.”

***

Bel pulang sekolah, gue langsung ngacir keluar dari kelas menuju lapangan parkir. Yah, gue mau ngelabrak tuh pemilik motor. Seingat gue sih tuh pemilik motor adalah cewek. Tapi gue nggak peduli.

Sudah lima belas menit gue nunggu, tapi tuh cewek nggak datang-datang juga. Banyak juga siswa yang ngambil motornya dan langsung pulang. Ah elah, ke mana sih nih orang?

“Gue duluan ya!” Terdengar teriakan nggak jauh dari gue. Dan bingo! Akhirnya tuh pemilik motor datang juga. Mumpung sepi, gue langsung ngehampirin tuh orang.

“Eh!” labrak gue dengan gaya kakak kelas. Jelas, gue sekarang kelas tiga di sini, jadi gue nggak perlu takut salah kalau dia adik kelas gue atau bukan.

Tapi kalau dilihat dari tampangnya sih dia bukan anak angkatan gue. Sooo, hahaha. Gue bisa ngerendahin tuh anak abis-abisan sesuka gue.

“Lo yang tadi pagi ngebut-ngebutan di jalan, kan?”

Dia mengerutkan keningnya. Hah. Dia pikir gue bisa kena dengan muka polosnya?

“Nggak usah pura-pura nggak tau deh lo,” tambah gue lagi.

“Ng... gue emang ngebut-ngebutan di jalan. Tapi emangnya kenapa? Emangnya jalanan yang gue lewatin punya nenek moyang lo?”

Buset nih cewek. Berani banget sama gue. Nggak tahu kalau gue kakak kelasnya apa?

Oke, baiklah. Tuh jalan memang bukan punya nenek moyang gue. Tapi hal yang dia lakuin itu merugikan gue, terutama seragam gue.

“Terus lo nggak merasa bersalah, gitu?” kata gue nggak mau kalah. Gue juga mencoba menunjukkan bagian-bagian seragam gue yang kena cipratan.

“Emang udah fix gue yang ngebuat seragam lo kotor?”

Seandainya nih orang bukan cewek...

“Lo pikir mata gue rabun? Orang gue liat sendiri elo yang nyiprat gue.”

“Lah? Motor ginian kan banyak di jalanan,” katanya sambil menepuk-nepuk jok motornya.

“Pokoknya gue yang ngeliat elo nyiprat gue.”

“Apa buktinya?”

Sumpah. Nih cewek batu banget.

“Ya ini seragam gue, pinteeeeer! Mata lo rabun nggak sih?”

“Rabun.” Dengan polosnya sekaligus ngeselin dia berkata seperti itu. Kemudian dia ngudek-ngudek tasnya sendiri. “Nih kacamata gue.”

“Ngapain lo ngeluarin kacamata lo?” Gue kebawa emosi.

“Lah? Kan tadi lo nanya, gue rabun atau enggak.”

“Lo pura-pura bego atau emang kelewat polos sih?” tanya gue makin nggak sabaran.

Cewek itu menaikkan alisnya. “Kok lo jadi ngatain gue?”

Gue berdeham sebentar. Semakin lama obrolan ini malah nggak menentu arahnya. Gue balik ke titik awal biar dia tahu siapa gue.

“Lo baru kelas X aja belagu banget sih,” cela gue.

“Lah? Lo bukannya emang kelas X juga?”

Rasanya gue kepengin ketawa selebar-lebarnya di depan muka tuh cewek.

Sori saja ya. Gue tahu kok kalau muka gue memang baby face, jadi banyak orang yang nganggep gue masih muda.

“Seminggu lagi gue ikut UN, non,” kata gue dengan tenangnya, namun bisa buat cewek itu sedikit terperanjat. “Kenapa lo? Baru sadar?”

Dia menggeleng. “Bagus deh,” katanya sambil memasukan kunci ke kontak motor. “Good luck buat UN-nya.” Setelah itu dia langsung menghidupkan mesin motornya.

Tapi gue tetap nggak mau kalah. Dia pikir dengan berkata seperti itu bisa dianggap permohonan maaf ke gue? Impas? Hah. Sori ye.

“Lo pikir lo bisa pergi?” ancam gue sambil menahan rem belakangnya.

“Lah kan daritadi udah bel pulang sekolah. Masa iya nggak boleh pulang?”

SUMPAH NIH CEWEK!!!

“Jangan mentang-mentang lo cewek, gue—”

Karena gue sedikit lengah, dia langsung tancap gas dan berlalu dari hadapan gue.

“Mending banyak-banyak berdoa buat UN deh Kak daripada kurang kerjaan ngeladenin gue!” teriaknya dengan membias di spion.

Gue cuma bisa nganga idiot sambil ngeliatin tuh motor yang terlihat semakin kecil di mata gue. SIALAN!!!

Gue doain tuh motor mogok di tengah jalan.

***

Yah sudah bisa ditebak, pulang sekolah gue langsung kena omel nyokap. Ibu-ibu kalau sekalinya cerewet, cerewet banget kayak lagi ikutan arisan RT.

Keesokan harinya, alhamdulillah pagi-paginya nggak hujan. Alhasil nyokap bakal absen ngomel kali ini gara-gara soal seragam yang kena cipratan.

Gue berangkat seperti biasa. Kebut-kebutan bareng orang kantoran dan—tunggu sebentar. Itu bukannya cewek yang kemarin adu bacot sama gue ya?

Tadi sih dia sempat ngelihat gue gitu, tapi gue nggak peduliin dia. Kayaknya motornya lagi mogok deh. Dan kebetulan di daerah jalan yang gue lewatin ini nggak ada angkutan umum. Ojek juga jauh banget dari tempat dia menaruh motornya yang mogok.

Hahaha. Mamam tuh motor. Doa orang yang terlanjur teraniaya itu memang manjur.

Tiba-tiba otak gue yang brilian ini punya sebuah ide.

Gue langsung balik haluan menuju tuh cewek. Sambil masang wajah ngejek, gue sedikit tertawa ketika sampai di depan dia.

“Ngapa lo? Nggak kebut-kebutan lagi?”

Gue tahu dia kesal, tapi gue nggak peduli. Siapa suruh nyipratin seragam gue? Sudah gitu nggak ngaku lagi.

“Hellow? Gue ngomong sama patung kali ya?” Gue coba buat mancing tuh cewek. Tapi dia nggak kunjung ngomong. “Ck. Ngapain juga gue ke sini? Buang-buang waktu aja,” kata gue yang mencoba menghidupkan mesin motor gue.

“Eh, Kak!” panggilnya sebelum gue menarik gas. Haha. Kena lo. “Gue... boleh numpang nggak sama lo?”

Cih. Buat balik ke sini saja sebenarnya gue ogah banget, gimana buat kasih tumpangan. Tapi okelah. Dari sinilah rencana mulai gue muluskan.

“Ah? Apaan? Lo bilang apa tadi?” Gue pura-pura budek.

“Gue... nebeng ya ke sekolah?”

Gue menyeringai. “Apa? Beng-beng? Lo kata gue orang kantin apa yang jualan beng-beng?” Dalam hati gue ketawa puas.

“Nih orang budi amat sih,” gumamnya. Dia pikir memangnya gue nggak dengar apa? Kuping gue tuh kuping kelelawar.

“Budi?” Gue masih akting budek. “Nama gue Dika. Jangan sok-sok-an ngasih gue nama Budi deh. Bilang aja mau kenalan sama gue.”

Dia mengepalkan tangannya. Hahaha. Rasain.

“KAK GUE MAU NEBENG SAMA LO KE SEKOLAH, OKE?” Kali ini dia mengeraskan suaranya.

“Oh, bilang dong daritadi.” Gue menyalakan mesin motor gue. Tapi dianya malah main diam-diaman.

Dia menatap gue. “Ngapa lo? Nggak mau? Ya udah. Itu sih terserah lo aja,” kata gue yang hendak menarik gas. Tapi dia langsung mengambil helmnya dan naik di belakang gue.

“Nggak kok, Kak. Gue cuma mau ngambil helm.”

Gue tahu banget dia pasti sudah geregetan dari tadi. Biarlah. Misi pertama clear.

Misi kedua gue kepengin bikin nih cewek panik.

Sebenarnya, hari ini gue nggak ada pelajaran sama sekali. Jadi mau masuk atau enggak, ya terserah. Orang UN tinggal beberapa hari, tinggal nyiapin mental doang.

Setiap berangkat sekolah, biasanya gue selalu lawan arah karena arah yang benar-benar nggak melanggar peraturan lalu lintas itu jauhnya minta ampun. Gue sih masih sayang sama bensin gue.

“Kak, bisa cepetan nggak? Lima menit lagi bel masuk sekolah.”

Dih. Dia kira gue tukang ojeknya apa?

Tapi dari sini gue tahu dia mulai panik. Yeah, take it slowly.

But shit! Ternyata dari arah lawan arus dijaga sama polisi. Gue langsung ngerem mendadak. Dan hal itu membuat kepala si cewek yang kebungkus helm langsung nyundul punggung gue. Sakitnya nggak kira-kira, sumpah.

“Lo kalo nyundul kira-kira dong!” omel gue sambil meraba-raba yang sakit. “Tulang rusuk gue tuh berharga buat calon istri gue!”

“Kok nyalahin gue sih?” Kayaknya dia nggak mau kalah. “Kan lo sendiri yang ngerem mendadak, ya terima jugalah akibatnya.”

“Lo pikir gue peramal yang bisa tau ada polisi di sini?”

“Lah lagian lewat sini! Orang udah disediain jalan yang bener malah sesat kayak gini!”

“Kok lo nggak tau berterimakasih banget sih?”

Lama-lama nih cewek congkak juga.

Tapi bukannya dia diam karena kena skak mat dari gue, dia malah nyerocos terus. “Gue bakal berterimakasih kalo udah nyampe di sekolah!”

Like hell I will! Gue bakal buat dia bolos hari ini haha.

“Gue tau jalan pintas,” kata gue ketika sudah berhaluan arah.

“Nggak-nggak!” Dia langsung menepisnya. “Lewat jalan yang biasa aja! Yang satu arah! Nggak pake lawan arah!”

“Kalo jalan biasa kita bisa telat, bego!” Gue membalas sambil menyengir. Mau lewat jalan pintas pun juga nggak bakal sampai tepat waktu ke sekolah, gimana jalan yang biasa?

Selama ngelewatin jalan pintas yang jelas-jelas merupakan daerah perumahan, dia cuma bisa diam doang. Gue ngelirik ke arah spion. Kayaknya tuh cewek takjub banget sama nih jalan. Berasa lewat lorong waktu kali sampai takjub kayak begitu, ejek gue.

Brrrmmm...

Tiba-tiba motor gue mengeluarkan bunyi yang aneh dan kampret! Motor gue mati pas di turunan jalanan!

“Eh! Eh! Eh! Kenapa nih?!” Kayaknya tuh cewek panik. Iya sih, gue memang berhasil buat tuh cewek jadi panik. Tapi sekarang gue juga ikutan panik!

Gue berusaha buat nggak ngedengarin cerocosan tuh cewek dengan mencoba menghidupkan motor gue. Tapi nihil, akhirnya gue cuma bisa ngerem sampai di ujung turunan. Dan akhirnya motor gue berhenti.

Tuh cewek turun dari motor gue, terus dia ngelepas helmnya. Kemudian dia melihat jam tangannya.

“Gara-gara lo gue jadi telat masuk sekolah!”

Gue ngelirik dia tajam. Baiklah, misi gue memang berhasil; ngebuat dia bolos dari sekolah. Tapi gue nggak pernah kepikiran bakal kayak gini jadinya.

Gue sebenarnya juga kepengin nyembur dia, tapi gue harus fokus sama motor yang mogok tiba-tiba kayak gini.

Daritadi gue sudah coba buat stater depan, tapi mesinnya nggak mau nyala. Akhirnya gue stater belakang, tapi nggak mau nyala juga.

Gue menatap menyerah. Setelah itu menatap ke arah sekeliling. Aaaaaaaand yang cuma gue lihat adalah rumah dan rumah. Hell ya.

“Kita cari bengkel,” kata gue sok laki. Dia nggak ngejawab, tumben. Dia cuma ngikutin gue dari belakang.

Gue berasa narik dua motor jadinya, soalnya tuh cewek diam saja daritadi, nggak ngomong sama sekali, bikin gue jadi rada gimanaaa gitu. Beda pas motor gue mogok dan gue lagi dalam keadaan sendiri.

“Nama lo siapa?” tanya gue mengisi kekosongan. Gue nggak menoleh karena masih fokus ngedorong motor.

Tapi tuh cewek nggak ngejawab-jawab, jadi keki gue.

“Woy, lo punya kuping nggak sih?”

“Lina,” jawabnya dengan nada kesal.

Gue melirik ke arah spion. Gue nangkap raut tuh cewek agak semrawut. Tiba-tiba gue ngerasa bersalah. Duh, kenapa gue bisa berubah pikiran secepat ini sih?

“Ah, tuh dia bengkelnya.”

Gue mempercepat langkah. Si Lina cuma ngikutin gue di belakang.

Dia duduk lebih dulu di bangku yang disediain sama bengkel, sedangkan gue ngomongin tentang mogoknya motor gue sama si pemilik bengkel. Setelah itu, gue nggak langsung duduk, melainkan jalan ke warung sebelah dan beli dua teh botol. Gue kenapa jadi baik begini sih?

Ah, tapi gue memang baik kok sebenarnya. HAHAHA.

“Tuh minum,” ucap gue sambil ngasih botol salah satunya.

“Gue bawa minum sendiri,” balasnya sedikit ketus.

Astajim. Gue sudah baik-baikin malah kayak begitu. Tuh cewek memang nggak pantas banget dikasih hati.

“Ya udah,” kata gue ikutan ketus. “Gue bisa minum dua-duanya.”

Tapi sebelum gue nyedot tuh dua minuman, Lina ngerebut salah satu botolnya dari gue.

“Nggak. Gue pengin minum juga.” Ya elah. Plin plan amat jadi cewek.

Sebentar-sebentar gue ngelirik ke arah tuh cewek. Mukanya masih semrawut kayak tadi. Gue jadi keingat misi gue.

“Lo kenapa sih? Bolos sehari doang berasa bolos setahun.”

Lina ngelirik gue sinis. “Selama ini gue nggak pernah bolos.”

Untungnya sekarang gue lagi nggak nyedot teh botol. Kalau iya, mungkin cipratan teh botol dari mulut gue bakal jadi corak di bajunya Lina.

“Jangan bilang lo anak yang patuh banget sama peraturan?”

Lina mengedikkan bahunya. “Why not? Hidup gue tentram-tentram aja tuh. Dan baru pertama kali ini gue diajak ngelanggar peraturan, dan untuk pertama kalinya gue ngerasa sial.”

Gue agak tersinggung. Terus dia nyalahin gue gitu? Dih. Sori ya, ini semua berawal dari kelakuan tuh cewek.

“Hidup lo terlalu flat, coy. Nggak ada yang asyik.” Mata Lina menyipit. “Peraturan dibuat untuk dilanggar. Lo bakal ngerasain apa yang belom lo rasain. Lo bakal ditilang polisilah, bakal dihukum gurulah, dan lain-lainnya. Dan dari situ—,”

“Itu sih hidup lo.”

“—lo dapet kenangan tersendiri.”

Lina terdiam. Yah, gue sendiri juga nggak tahu mau ngomong apa lagi. Dan waktu dihabisin cuma buat diam nungguin motor gue sembuh. Lina sempat ngomong setelah motor gue pulih.

“Boleh minta tolong anterin gue ke tempat motor gue mogok nggak?”

Gue mengangkat alis. “Lo nggak kepengin ke sekolah?”

“Menurut loooo?” Lina memperlihatkan jam tangannya. “Lo pikir jam sekarang masih bisa masuk?”

“Bisa aja,” cela gue.

Lina mendesah. “Tapi gue maunya ke tempat motor gue.”

Gue tersenyum ngejek. Hah. Baru diceramahin tadi, sekarang langsung kena ilhamnya.

Karena gue juga malas buat sekolah, akhirnya gue nganterin Lina ke tempat yang tadi. Gue mau nganterin dia karena arah itu juga menuju ke rumah gue, bukan karena alasan yang lain.

Setelah sampai di sana, Lina langsung mencoba men-stater motornya, tapi nggak mau nyala-nyala. Dan sebagai cowok, akhirnya dengan terpaksa gue ngebantu dia walaupun sebenarnya gue ogah. Kayaknya nih motor mogok juga gara-gara doa gue kemarin.

Gue masukin kunci ke kontak, lalu turunin cuk dan nunggu selama kurang lebih sepuluh menit. And finally, tuh motor mau nyala juga.

Muka Lina langsung sumringah. “Makasih, Kak!”

Hah. Baru sekarang lo bilang terimakasihnya?

“Biasa-biasa, biasa aja,” kata gue sok merendahkan diri.

Setelah itu, gue kembali ke motor gue. Namun sebelum gue caw dari tempat, si Lina sempat ngeberhentiin gue sebentar. Dia ngudek-ngudek tasnya dan mengeluarkan satu saset... bayclin?

Kening gue mengerut.

“Ng... gue minta maaf Kak soal kemaren,” ucapnya sambil melirik ke arah lain. “Pagi itu... emang gue yang nyipratin elo.”

HAH. BENER KAN DIA YANG NYIPRATIN GUE?

“Terus, kenapa lo nggak ngaku?”

Dia cuma diam, terus nunduk.

“Terus, tuh bayclin buat apaan?”

Dia mulai dongak lagi. “Ya buat nyuci seragam lo lah. Masa buat mutihin muka lo.”

Het. Malah ngelonjak lagi.

Gue ngambil tuh sasetan bayclin dengan agak sedikit kasar. Gue sih sudah nggak begitu kesal lagi, soalnya dia juga sudah ngaku, dan sebenarnya gue juga sedikit merasa bersalah sama kejadian tadi pagi. Jadi kita impas.

“Kalo lo bukan cewek, udah gue damprat lo!”

Lina cuma nyengir. Gue langsung terdiam. Dan gue baru sadar ternyata... Lina manis banget!

Shit! Kenapa nggak dari kemarin-kemarin sih gue nyadarnya?
Continue reading
Share:
Views:
Newer Posts Older Posts Home
Subscribe to: Posts ( Atom )

Hi, you!

Hi, you!

Blog Archive

  • ►  2017 (3)
    • ►  September (1)
    • ►  July (2)
  • ►  2016 (5)
    • ►  September (1)
    • ►  June (3)
    • ►  February (1)
  • ►  2015 (3)
    • ►  July (2)
    • ►  June (1)
  • ▼  2014 (10)
    • ►  December (1)
    • ►  July (1)
    • ►  June (2)
    • ▼  April (3)
      • Rasa Bersyukur
      • Mika
      • Splash!
    • ►  March (3)
  • ►  2013 (24)
    • ►  December (1)
    • ►  October (1)
    • ►  September (1)
    • ►  August (5)
    • ►  July (6)
    • ►  May (1)
    • ►  April (5)
    • ►  January (4)

Labels

CAKES! Cerbung Cerpen Imajinasi Travel Trip

Wanna be my mate?

© 2016 Astaghiri | All rights reserved
Created By Responsive Blogger Templates | Distributed By Gooyaabi Templates