Astaghiri

  • Home
  • CERPEN
  • CERBUNG
  • CAKES!
  • Trip
Cerpen

My New Friend

Friday, January 25, 2013 By astaghiri 0 Comments
    Sedih rasanya, aku harus berpindah rumah sekaligus berpindah sekolah hanya karena orang tua ku bekerja di kota yang cukup jauh. Lumayan di sayangkan, karena harus meninggalkan teman-teman sekolah ku yang sudah akrab dengan ku. Walaupun hanya berselang satu tahun.
    Di kelas, aku hanya berdiam duduk sambil memasang headphone di kepala ku. Rasanya pertama kali masuk sekolah baru, agak asing memang. Ya tetapi, disini aku tak terlalu susah untuk bersosialisasi.
    Tiba-tiba, terdengar bel berbunyi. Tetapi...
    "Aduh, ini kenapa kebelet gini sih." Gerutu ku. Aku langsung keluar kelas kemudian menuju kamar mandi yang letaknya di lantai 2.
    Aku langsung berjalan dengan cepat. Seusai membuang air kecil, aku langsung berlari menaiki tangga. Tetapi, aku langsung berjalan lambat. Aku melihat ada seorang laki-laki sedang duduk di tangga. Nampaknya ia sangat sedih. Awalnya, aku tak ingin menganggunya. Tetapi, aku tak bisa melewati tangga.
    "Permisi.." Omongku. Ia tak menoleh ke arah ku. Mungkin ia tak mendengar ku. Aku langsung mendeham. "Maaf, lo nggak masuk ke kelas? Bukannya udah bel?"
    Ia menoleh ke arah ku. "Lo ngomong sama gue?"
    Aku memutar bola mata sambil tersenyum sinis. "Ya emang gue ngomong sama siapa?"
    Ia menengok ke arah kanan dan kiri. "Oh, iya sih."
    "Maaf. Misi dong, gue mau ke atas, ke kelas."
    Ia langsung berdiri kemudian agak minggir sedikit. "Oh iya, maaf."
    Aku tersenyum sedikit. Kemudian langsung berlari menaiki tangga. Tiba-tiba, ia memanggilku.
    "Eh, nama lo siapa?"
    Aku langsung menoleh. "Jasmine." Sambil tersenyum tipis. Kemudian, aku langsung berlari menuju kelas.
*****
    Terlihat dari luar jendela, awan menampakkan kelabu nya. Rintik-rintik hujan sedari tadi membasahi kaca jendela luar. Di kelas, aku tinggal seorang diri. Yang lain, sudah pulang sedari tadi. Entah mengapa, aku lebih menetap di kelas.
    "Dimohon yang masih berada di sekitar lantai 3 dan 2, harap segera turun. Pintu tangga akan segera di kunci. Mohon yang masih berada.." Suara itu tiba-tiba saja mendengungkan telinga ku.
    Aku segera keluar dari kelas kemudian turun menuju lantai satu. Semakin lama, hujan semakin deras. Seperti nya, kalau ke halte depan sekolah pun akan basah kuyup. Aku berjalan menuju pos satpam untuk berteduh sebentar.
    Tiba-tiba ada yang memanggil namaku. "Jasmine?"
    Aku langsung menoleh. Cowok yang berada di tangga tadi pagi. "Elo?"
    Ia tertawa sedikit. "Iya. Oh iya, kenalin," ia mencoba menjabat tangan ku. "Gue Andreas."
    "Oh? Gue Jasmine. Udah nanya kan ya tadi pagi?"
    "Ya tapi lo belum tau nama gue kan?"
    "Emang nya gue harus tau ya?"
    "Ya.. enggak juga sih. Gue cuma mau kenalan aja. Lo anak baru ya?"
    Aku mengangguk. "Pantesan, wajah baru toh.." Aku hanya tersenyum. "Lo nggak mau balik? Ini udah lumayan sore loh."
    "Mau balik sih, tapi.."
    "Hujan? Masa takut sama hujan?"
    "Ya bukan gitu. Nah lo sendiri? Kenapa nggak balik?"
    Ia tertawa kecil. "Gue cuma mau nyari temen bareng. Emang nya lo naik apa?"
    "Katanya nyokap sih naik kopaja."
    "Kopaja? Kok sama? Bareng ya?"
    "Terserah."
    "Eh tapi gue nggak sksd kan?"
    Aku tersenyum kecil. "Enggak. Bertemen masa nggak boleh?"
    Ia ikut tersenyum. "Kayaknya ujannya nggak bakal reda. Mau nerobos aja?"
    "Tapi gue nggak ada payung. Gimana dong?"
    Aku melihatnya ia sedang melepas jaket nya. "Ayo, pake ini bisa kok, halte kan nggak terlalu jauh ini." Ia langsung menarik perlahan tangan ku dan ia membentangkan jaketnya untuk meneduhkan kami berdua.
    Tetap saja, badan kami berdua agak basah. Tapi itu cukup menyenangkan. Aku melihat sekeliling, angkutan umum belum ada yang lewat. Aku melihat wajahnya, agak pasi pucat.
    "Lo sakit?" Tanya ku.
    "Ah, enggak. Khawatir yaaa?"
    Aku tertawa. "Pede banget. Tapi muka lo emang pucet."
    Ia tersenyum. "Ini nggak kenapa-kenapa kok. Mungkin efek dari muka gue yang udah putih." Kami berdua tertawa.
    "Ngomong-ngomong, lo kelas berapa?"
    "Gue? Kelas 12."
    Aku langsung menutup mulut. Ia tersenyum lebar. "Gapapa. Sekali-kali nggak sopan sama senior. Nggak akan gue bullying kok."
    "Gapapa nih, kak, a-aku ngo-ngomong gu-e e-lo?" Omongan ku langsung terbata-bata.
    Ia tertawa lebar. "Loh? Kenapa tiba-tiba terbata-bata gitu? Nggak usah aku kamu. Kesannya kaku banget."
    "Serius?"
    Ia mengangguk. "Eh itu ada kopaja nya. Naik yuk."
*****
    Taman belakang sekolah

    Aku lebih memilih taman untuk jam istirahat kali ini. Sekaligus untuk mencari suasana nyaman. Dan benar saja, taman ini sepi. Sambil membolak-balikkan  lembran novelku, tiba-tiba, ada yangg duduk di sampingku. Aku tak menggubrisnya.
    "Suka kesini? Aih gue lupa. Lo kan anak baru." Aku mengenal suara ini. Andreas.
    "Hmm begitulah. Padahal taman ini bagus, bersih pula, tapi sepi."
    Ia tersenyum kecil. "Gue dari pertama masuk sekolah ini, juga sering kesini kalo jam istirahat atau nggak bolos pelajaran."
    "Bandel amat."
    Ia tertawa kecil. "Namanya juga remaja labil." Ia mendesah. "Dari dulu, emang taman ini selalu sepi. Entah kenapa gue juga nggak tau."
    "Iya deh, yang lebih banyak tau nya."
    "Malahan gue pernah pas jam istirahat terakhir, gue coba tidur sebentar di bangku ini. Nggak tau nya, kebablasan sampe pulang. Parah kan?"
    Aku tertawa kecil. "Serius? Berarti setengah hati lo udah ada disini dong?"
    Ia tersenyum kecil. "Begitulah." Kemudian, sejenak ia terdiam. "Suka novel?" Tanya nya.
    Aku mengangguk. "Tapi khususnya romans sih."
    "Oh, tapi kayaknya seruan komik."
    Aku langsung mengelak. "Tapi, kalo kita baca novel, imajinasi kita bebas kemana-mana."
    "Dewasa amat omongannya. Nggak ke kantin?"
    Aku menggelengkan kepala. "Males. Nggak laper juga."
    "Oh.. Eh.."
    Aku langsung menatapnya. "Ada apa?"
    "Kok lo mau temenan sama gue?" Aku tersenyum kecil. "Emangnya lo nggak risih? Pada baru kenal kemarin."
    Aku tertawa kecil. "Emangnya yang ngajak kenalan siapa?" Ia menggaruk-garuk kepalanya. "Ya gue sih open free aja, asal nggak dimanfaatin."
    Ia menghela napas. "Hmm bagus deh."
    "Gue mau nanya deh. Kok lo nggak gabung sama temen-temen lo? Kenapa malah cari-cari gue?"
    Ia langsung memasang muka yang agak tegang. "Eh? Itu.. Hmm.. Gue lagi males. Abis gue di bully mulu."
    "Bully?" Aku tertawa. "Ada juga adek kelas yang di bully. Tapi, muka lo emang pantes di bully sih haha.."
    "Jahat amat."
    "Nggak-nggak. Gue bercanda. Mungkin mereka seneng nge bully lo karena ya emang lo enak buat jadi bahan candaan. Ya agak keluar batas sih, tapi gapapa lah, amal."
    "Gitu ya? Mungkin mereka kesepian nggak ada gue."
    "Loh? Kan lo sekarang lagi sama gue. Lagian kenapa coba nggak gabung sama mereka?"
    "Eh.. anu.. gapapa sih."
    Aku meneruskan membaca novel yang ku pegang. Tiba-tiba, bel masuk kelas berbunyi. Aku langsung berdiri dari bangku.
    "Ndre, gue balik ke kelas duluan ya."
    "Oh, bareng dong." Ia mengikutiku dari belakang. "Nanti pulang sekolah tungguin gue di gerbang ya. Pulang bareng mau kan?"
    "Yaudah. Tapi jangan lama-lama." Lalu kami berdua berjalan menuju tangga.
    "Eh, gue duluan ya." Ia menuju lantai 2, sedangkan aku, lantai 3. Aku hanya mendeham. Kemudian menaiki tangga menuju lantai 3.
    "Ah, ini dia orangnya." Reny menghampiriku. "Lo kemana aja? Gue cariin daritadi."
    "Abis dari taman. Emang kenapa?"
    "Oh.. gapapa." Ia berbisik pelan. Ia menghela napas.
*****
    Sedari tadi, aku terus melihat jam yang berada di tangan ku. Mengapa orang itu tak kunjung datang juga? Bukan kah aku sudah bilang untuk tak berlama-lama? Keadaan sekolah semakin sepi. Ah, kenapa aku harus menunggunya?
    Aku putuskan, untuk meninggalkannya. Aku langsung berjalan menuju halte. Kopaja yang ku tunggu, belum terlihat dari ujung jalan. Tiba-tiba saja, datang Andreas yang berlari ke arah ku.
    "Sorry, nunggu lama ya?" Aku mendeham keras. "Sorry deh. Tadi tugas banyak banget."
    "Tugas? Sekolah udah sepi kali daritadi. Tugas apaan coba?"
    "Hmm itu, tugas di papan tulis. Tadi gue ketiduran. Eh lupa nyatet. Yaudah, gue nyatet dulu."
    "Oh.."
    "Sorry-sorry." Ia langsung melihat ke arah jalanan. "Eh itu kopaja." Ia mencoba memberhentikannya. "Ayo naik. Ladies first lah." Aku menuruti perkataannya. Kami berdua, duduk di pojok paling belakang.
    "Eh, lo ada recehan nggak?" Tanya ku.
    "Yah nggak ada."
    "Yaudah deh."
    Kenek kopaja ini menghampiri kami berdua. "Baru balik neng?"
    "Ini bang, nungguin temen lama banget."
    "Temen?"
     "Nih, duitnya. Ada kembaliannya nggak?"
    "Ada lah. Sepuluh ribu.. Lima belas ribu.. Delapan belas ribu. Ini neng, kembaliannya."
    "Makasih ya bang." Sepertinya ada yang kurang. Aku langsung menatap Andreas. "Kok lo ngak bayar?"
    "Hm? Gue.. gue kan udah kenal sama kenek ini, jadi gue di gratisin." Ia tertawa kecil.
    "Gratis? Enak amat. Kenapa lo nggak bilang gue di gratisin juga?"
    "Keenakkan elo nya." Ia menyilangkan tangan di depan dadanya.
    "Gapapa lah. Kemarin lo nggak bayar juga kan?"
    "Kopaja yang sering lewat di depan sekolah tuh udah kenal gue. Jadi, gue ya nggak bayar ya gapapa."
    "Ah masa sih? Tapi kenek nya kayak nggak ngegubris lo."
    "Udah lah nggak usah di pikirin. Emang kenek nya mikirin elo?"
    "Ya enggak sih." Tiba-tiba geluduk menyambar. Seketika itu juga, hujan mulai membasahi bumi. "Yah, nggak bawa payung lagi."
    "Mau minjem jaket gue?"
    Aku langsung menatapnya. "Nggak usah. Entar gue nunggu dimana dulu kek buat neduh."
    "Gue temenin ya?"
    Aku menatapnya aneh. "Lo mau ngapain emang? Ngikut-ngikut gue?"
    "Ya abis, di rumah nggak ada orang. Mending gue kemana dulu gitu."
    "Hmm boleh deh. Pas nanti turun dari kopaja, ada kafe kecil. Nyeruput kopi enak kayaknya."
    "Serius? Yaudah deh. Eh lo di kelas ada yang kesusahan nggak? Maksud gue di mata pelajarannya."
    "Emang nya kenapa?"
    "Ya kali aja lo butuh bantuan buat minta ajarin gitu."
    Aku tertawa kecil. "Tapi.. dari tampang lo nggak ada pinter-pinternya deh."
    "Parah banget lo." Ia menepuk-nepuk dada nya. "Gini-gini gue 10 besar terus."
    "10 besar dari urutan terakhir?" Tawa ku semakin membesar.
    "Adek kelas ngocol ye. Gue bully baru tau rasa lo." Seperti nya ia agak sedikit kesal kepadaku.
    "Iya-iya. Sorry bercanda Ndre. Ada sih, gue rada susah sama kimia. Lo mau ngajarin?"
    "Kimia? Hmm bisa dikit-dikit lah."
*****
    "Lo mau pesen apa?" Tanya ku sambil membolak-balik menu.
    "Minuman, tapi samain kayak elo."
    "Okey." Aku menutup buku menu. Aku mencoba memanggil pelayan caffe ini. Tak lama, pelayannya datang.  "Mbak, pesen hot chocolate nya 2."
    "2? Buat pacarnya ya?"
    "Eh? Enggak kok. Dia temen saya."
    "Ooh.. Itu aja?" Aku mengangguk. "Di tunggu ya."
    "Mana? Katanya kimia susah. Sini, gue ajarin, kalo gue bisa ya."
    Aku langsung mengeluarkan buku dari dalam tas ku. "Apa karena efek guru nya kali ya gue nggak ngerti."
    "Guru kimia kelas 11 emang galak. Tapi, gue berusaha buat ngerti yang di ajarin dia."
    "Oke-oke. Ajarin gue tentang mol dong. Gue agak sedikit nggak ngerti."
    "Oooh ini mah nggak begitu susah. Jadi gini..." Ia terus-menerus mengajari ku hingga akhirnya aku mengerti. Tak lama, pelayang datang dengan membawa pesanan ku. Pelayan itu menatap ku aneh. Lalu, ia menaruhnya di atas meja. Kemudian, ia meninggalkan kami berdua.
    "Kenapa sih orang-orang ngeliatin gue begitu banget." Gerutu ku. Andreas hanya tersenyum. "Kenapa lo senyum-senyum?"
    "Udah, minum aja dulu." Kemudian Andreas memeriksa kantong celana nya. Sepertinya ia agak kelihatan panik. Kemudian, ia mengubrak-abrik tas nya.
    "Lo kenapa?"
    "Jas, duh, maaf banget nih, gue nggak bawa dompet."
    Aku memutar bola mata ku. "Yaudah, gue yang bayarin. Kan lo udah ngajarin gue."
    Ia tersenyum kepadaku. "Makasih ya.."
*****
    Begitulah, berminggu-minggu, aku sudah berteman dengannya. Sangat dekat. Entah apa yang membuat ku ingin berteman dengannya. Tetapi selama ini, aku sering mengalami keanehan. Tetapi, itu ku coba untuk ku hindari.
    "Jas? Jasmine?"
    "Hm?"
    "Gue boleh minta tolong nggak? Karena cuma lo doang yang bisa ngelakuin ini."
    "Maksud lo?" Aku langsung menatap Andreas.
    "Iya. Gue minta tolong, tolong sampein minta maaf gue ke temen gue, namanya Trista."
    "Kenapa harus gue? Kenapa nggak lo aja?"
    "Gue.. Gue udah bener-bener jauh sama dia. Udah nggak deket lagi. Jadi gue mohon banget." Ia mengepalkan tangannya.
    "Lo lagi musuhan?"
    Ia langsung menatap ku. "Iya. Gue kepengen minta maaf, tapi dia ngejauh terus. Please.." Ia menggenggam tangan ku. "Tolongin gue, kalo kayak gini, gue nggak akan bisa tenang."
    "Emangnya lo punya salah apa sama dia?"
    "Gue..." Ia tak melanjutkan omongannya.
    "Yaudah kalo nggak mau cerita. Gue nggak mau sampein minta maaf lo." Aku melepas genggaman tangannya.
    "Oke-oke. Jadi, selama ini itu cuma salah paham. Gue ngajak jalan ceweknya dia.."
    "Nah udah tau itu ceweknya dia, lo malah ngajak jalan."
    "Dengerin gue dulu, Jasmine." Ia menghela napas. "Gue ajak jalan ya karena itu temen deket gue. Nggak salah dong gue?" Aku menggeleng pelan.
    "Terus?"
    "Ya namanya temen deket, gue ngerangkul pundaknya dia, ya tapi bukan karena itu juga, dia udah gue anggep kayak adek gue karena dia adek kelas gue."
    "Temen lo, si Trista tau kalo lo temen deket cewek lo?"
    Andreas menggeleng. "Gue mau ngejelasin, tapi nggak akan bisa, percuma."
    Aku menghela napas sejenak. "Tapi kenapa harus gue?"
    "Karena gue yakin, lo bisa ngebuat dia maafin gue." Kemudian ia berdiri, lalu berjalan meninggalkan ku.
*****
    Sudah 3 hari ini, aku tak bertemu dengan Andreas. Sampai hari ini juga, aku belum menepati janji nya. Apa aku harus melakukannya? Baiklah, aku akan melakukannya.
    Aku langsung menuju kelasnya. Walaupun agak sedikit kesal karena banyak mata yang memandangi ku. Karena aku tak tahu paras wajah temannya itu, aku bertanya kepada salah satu orang di kelas tersebut.
    "Kak, maaf, mau numpang nanya. Yang namanya kak Trista yang mana ya?"
    "Trista? Itu-tuh.." Ia langsung menunjuk sudut kelas. "Yang lagi galau orangnya."
    "Oh itu, makasih ya kak."
    Aku langsung masuk ke dalam kelas tersebut dan menuju bangku Trista. "Misi kak.."
    Ia langsung bangun dari lamunannya. "Lo siapa?"
    "Maaf kak, lancang. Aku dari kelas 10, pindahan."
    "Oh, mau ada urusan apa lo ke sini?"
    "Gini kak. Saya mau nyampein minta maaf dari temen kakak. Selama ini, kaka cuma salah paham sama dia."
    "Temen gue? Siapa?"
    "Kak Andreas." Pendekku.
    "Andreas?"
    Aku mengangguk. "Dia cerita semuanya. Katanya kakak salah paham. Dia itu cuma sahabat karib pacar kakak, nggak lebih."
    Ia langsung berdiri, kemudian menuju lemari kelas. Tak lama ia kembali. Ia menunjukkan sesuatu kepadaku. Sebuah foto.
    "Andreas yang ini orang nya kan?"
    Aku mengangguk. "Iya, ini dia orang nya."
    Dia agak sedikit tersontak. "Di-dia ngomong sama lo?" Aku mengangguk. "Di-dia ngomong apa?"
    "Dia bilang dia mau minta maaf, dia sama pacar kakak itu cuma sebatas temen nggak lebih. Waktu dia mau ngejelasin semua, kakak malah ngehindar."
    "Lo gila ya? Kapan lo tau Andreas? Anak baru kan lo?"
    Aku menunduk. berani-berani nya ia mengatakan seperti itu. "Maaf kak. Tapi, ini semua emang dari Andreas. Dia yang minta saya buat ngelakuin ini."
    "Sekarang gue tanya. Andreas nya mana?"
    "Saya sih udah nggak ketemu sama dia 3 hari ini."
    "Astaghfirullahaladzim.. Ya Allah Ya tuhan!!"
    "Maaf, kenapa kak?"
    "Dek, dengerin gue ya. Andreas itu udah meninggal sebulan yang lalu! Dan itu juga gara-gara gue. Dia ngejar gue buat minta maaf, dan akhirnya, dia ketabrak mobil sampe meninggal."
    Aku menutup mulut. "Ta-tapi.. Saya sama dia.. Masih ngobrol biasa."
    "Lo gila? Dia udah nggak ada!"
    "Nggak mungkin. Nggak! Nggak mungkin. Kak, saya-saya..." Aku masih tercengang. Jadi selama ini.. Aku menemukan jawaban dari keanehan itu. Andreas tak pernah membayar angkutan kopaja karena memang ia tak terlihat oleh siapapun. Ia juga pernah bilang, "Mungkin mereka kesepian nggak ada gue." Itu karena ia memang orang yang termasuk ramah dan banyak orang yang rindu akan ada nya.
    Dia merogoh sesuatu di kantung baju nya. Handphone. "Kalo lo nggak percaya, ini foto terakhir Andreas yang gue ambil."
    Aku melihat wajah Andreas yang penuh luka. Wajah nya yang kaku pucat, sudah terbaluti dengan kain kafan. Innalillahi wainnailaihi rajiun..
    "Tapi kak, demi Allah! Saya.. selama ini, temenan sama dia. Duduk di taman, pulang bareng."
    "Dia emang suka ke taman belakang sekolah. Spot favoritnya." Aku mulai mengeluarkan air mata.
    "Kak.. please percaya sama gue.." suara ku mulai merintih.
    "Oke. Gue percaya sama lo. Mungkin dia kepengin minta maaf sama gue tapi lewat elo, karena buat ngelakuin sendiri, dia nggak akan bisa." Ia terdiam sejenak. "Mungkin dia nggak tau, kalo gue udah maafin dia. Tapi sekarang, gue udah maafin dia sepenuhnya. Dan temen-temen gue, udah ngeikhlasin dia. Walaupun terkadang, kita semua kangen jenakanya dia."
    "Kak, nanti pulang sekolah bisa nganterin ke kuburannya nggak?"
*****
    "Dek, gue tinggal ya? Gue nggak bisa lama-lama. Ndre, gue balik dulu ya. Semoga tenang di alam sana." Kemudian, ia melambaikan tangannya dan pergi. Aku menatap pusarannya.
    "Ndre, kok lo jahat sih? Nggak bilang dari awal? Datang tanpa permisi. Pulang main seenaknya aja nggak pamitan." Aku tersenyum sendiri. "Gue tuh seneng, punya temen kayak lo. You're my best friend ya, walaupun nggak ada sebulan kita temenan. Hmm.. aduh kenapa sih gue pake nangis segala. Gara-gara lo nih! Hmm.. semoga tenang ya disana. Gue udah menuhin janji lo kan? Sekarang lo bisa pergi dengan bebas. Jangan lupain gue. Awas lo kalo lupain gue."
    "Gue nggak akan ngelupain lo kok."
    "Masa.. Andreas?" Aku menengok ke belakang. Itu memang benar Andreas. Ia tersenyum kepada ku.
    "Makasih ya, Jasmine. Maaf, gue cuma bisa ganggu hidup lo." Aku mengusap air mata ku. "Ini pertemuan terakhir kita. Tenang aja, gue nggak akan ngelupain lo kok. Jaket gue yang sama lo, buat lo aja, sebagai kenang-kenangan. Oke?"
    Aku tersenyum. "Semoga tenang ya disana. Semoga lo selalu disisi-Nya." Ia ikut tersenyum. Dan seketika itu juga ia menghilang. Andreas, aku sayang kamu.
Continue reading
Share:
Views:
Cerpen

Prom Night

Saturday, January 5, 2013 By astaghiri 0 Comments
    3 tahun sudah melewati masa-masa SMA yang menyenangkan menurut ku. Ya, memang terkadang sangat melelahkan karena harus berjuang mati-matian mengahadapi Ujian Nasional. Dan selama 3 tahun itu juga, aku bersahabat dengan Vicky. Suka? Sepertinya, aku memang menyukainya. Ya, selama setahun terakhir, aku menyukainya. Padahal, awal kita bertemu pun, tak seindah yang ku kira.

    3 tahun yang lalu..

     "Gimana handphone lo? Udah sembuh?" Omong Vhia sambil menertawaiku.
     "Rese lo! Ya lumayan lah." Aku menggenggam terus handphone ku. Rasanya, sebulan tak memakai handphome, hampa. Tak ada yang mengirim pesan, walaupun dari operator sekalipun (baca : jones).
    Aku mendengar suara riuh dari kejauhan. Tapi tak ku perhatikan. Aku hanya memperhatikan layar handphone ku saja. Dan tiba-tiba saja...
    Bruk! Badan ku terdorong ke depan. Handphone ku terpental sekitar 2 meter. Baterai keluar dari handpone ku. Tercecer semua. Muka ku langsung memerah. Aku ingin berdiri, kemudian ada tangan yang ingin membantu ku.
    "Sorry.." Omong cowok tersebut.
    Ia membantuku berdiri. Aku membersihkan debu yang menempel di seragam ku. Aku berancang-ancang untuk memakinya.
    "Eh! Asal lo tau ya! Handphone gue itu baru gue ambil dari tempat servis. Dan lo tau berapa lama gue nggak megang handphone? Sebulan bro!"
    Ia melepas headseat yang bernaung di telinga nya. "Maaf, lo ngomong apa barusan?"
    Aku naik pitam. Vhia memegang bahu ku. "Udah, Ra, tinggalin aja." Mata ku terus menatap nya. Lalu aku berbalik untuk mengambil handphone ku yang tercecer di lantai.
    "Argh!" Aku menghempas bahu nya dengan bahu ku. Kemudian aku meninggalkan nya dan menuruni tangga. Sedari tadi, aku diselimuti rasa kekesalan. Apa ia tak merasa bersalah? Vhia terdiam tak ingin mengganggu ku. Karena ia tahu, itu akan membuat amarah ku membengkak.
    Ketika aku sampai di lantai dasar, bahu ku di pegang seseorang. Aku langsung membalik badan, "apaan sih?!" Orang itu langsung mundur sedikit.
    Aku langsung menutup mulut. "Kalo ngomong, nggak usah pake toak, Avara.." Ia tersenyum sinis kepadaku. Ia guru Geografi ku. "Aduh, kuping Bapak jadi rada budek nih (baca : faktor tua). Kamu nih, di depan orang tua bentak-bentak."
    "Bukan gitu pak, abis saya..."
    "Nilai Geografi kamu bapak kurangin minus 2." Lalu ia langsung pergi dari hadapan ku.
    "Tapi Pak.." Aku langsung menginjak-injak bumi dengan keras. Apa ini hari sial ku?
    Aku langsung berjalan menuju pintu gerbang. Tiba-tiba, ada yang memegang bahu ku lagi. Perlahan, aku menoleh, takut-takut, guru yang memanggil ku.
    Dengan awalan senyum, ternyata..
    "Lo lagi lo lagi! Mau ngapain lagi sih lo? Mau buang handphone gue juga?"
    Ia agak tersentak. "Kan gue udah minta maaf.."
    "Lo kira dengan minta maaf bisa benerin nih handphone?" Aku mengeluarkan handphone ku yang ada di kantung baju ku. Aku belum sempat untuk membetulkannya.
    "Sini," ia langsung mengambil handphone ku.
    "Eh! Mau lo apain ha.."
    "Diem." Ia terus mengutak-atik handphone ku. Tak lama, ia mengembalikannya. "Coba aja idupin."
    Aku menatapnya tajam. Kemudian mencoba menyalakan handphone ku. Tak lama, handphone ku menyala. "Duh, bagus deh."
    "Udah puas kan? Berarti gue udah nggak punya kesalahan kan?"
    "Lo kira gue jatuh nggak sakit?"
    "Ya terus gue harus apa?"
    "Traktir gue! Setuju?" Aku tersenyum sinis.
    "Oke lah. Tapi besok. Gue nggak bisa sekarang. Bye!" Ia pergi dan melambaikan tangannya kepadaku.
    "Eh tapi.."
    Dari kejauhan, ia agak berteriak. "Tenang! Nanti gue ke kelas lo!"
*****
    Ada yang menggerak-gerakkan bahu ku sedari tadi. "Ra? Mau ke kantin nggak? Tidur mulu sih lo." Dari suaranya, aku mengenalnya. Itu Vhia.
    Aku dalam keadaan mengantuk. "Huuaaah.. Lo aja Vhi, gue masih ngantuk. Gue nitip.." Ia langsung kabur dari hadapan ku. Yasudah lah, aku melanjutkan tidur ku. Tak lama, ada yang menepuk-nepuk bahu ku.
    "Apaan sih, Vhi?" Dengan samar, aku melihat rambut Vhia pendek. Ah tak mungkin. Aku mengucek-ucek mata ku. Ternyata itu cowok yang kemarin.
    "Vi? Kok lo tau nama gue? Wah lo suka stalker gue ya?"
    Aku langsung terbangun. "Eh enggak. Gue kira Vhia temen gue."
    "Oh. Kita belum kenalan. Gue Vicky." Ia mencoba untuk menjabat tangan ku. Aku mencoba untuk tidur lagi.
    "Lo mau ngapain disini?"
    "Oh, traktir nya dibatalin? Bagus deh." Aku langsung terbangun.
    "Eh enggak-enggak. Perjanjian tetaplah perjanjian. Ayo buruan." Aku langsung melangkah dengan mantap. Kemudian menuruni tangga menuju kantin di belakang sekolah.
    "Lo mau pesen apaan?" Tanya nya.
    "Ayam goreng pake nasi ya jangan lupa sambel nya." Aku mendengar ia menghela napas. "Oh ya! Es jeruk nya juga jangan lupa."
    Tak lama, ia kembali dengan membawa pesanan makanan ku. Di lihat-lihat, ia manis juga. Ganteng pula. Haduh Avara..
*****
    Perasaan ku mulai berubah semenjak ia sekelas dengan ku. XII IPA III. Ia juga sering berkelompok dengan ku. Ya, aku memang merasa senang. Tapi, kesenangan ku mengiris.
    "Hari ini, mau kerja kelompok dimana?" Tanya Vhia.
    "Rumah lo aja, Vhi. Bisa kan? Nggak terlalu jauh ini." Omong Vicky.
    "Hm? Terserah kalian." Omong ku lemas.
    "Lo kenapa Ra? Sakit?" Tanya Vicky.
    "Enggak. Eh lo kan bawa motor ya, Ky. Bonceng gue dong." Pinta ku.
    "Nggak. Tuan rumah lah yang gue boncengin. Udah sono buruan naik angkot biar nyampe nya bareng."
    Aku mendesah sekaligus kesal. Lalu aku meninggalkan mereka berdua. Aku langsung memberhentikan angkot dan menaiki nya.

    Rumah Vhia

    Ku lihat, motor Vicky sudah berada di depan rumah Vhia. Aku langsung menyelonong masuk. Ku lihat, Vicky dan Vhia sedang mengobrol ria di ruang tamu. Sepertinya mereka memang cocok. Nama mereka, berawalan dengan huruf V. Mereka juga saling melengkapi. Tak akan ada kesempatan untuk ku.
    Aku mendeham. "Jangan pacaran disini." Omong ku ketus. Mereka berdua agak kaget.
    "Lama banget sih lo, kayak siput." Mereka berdua tertawa. Aku tak memperdulikannya. Aku melihat diatas meja terdapat minuman segar. Aku langsung mengambilnya, tetapi di cegat oleh Vicky.
    "Eh! Ini minum gue." Ia langsung mengambil nya dan meminumnya.
    "Ky! Kan ada yang lain! Ish!"
    "Lo aja ngambil yang lain." Aku langsung mengambil nya dan meminumnya dengan cepat. Menyebalkan!
    Agak capek, aku langsung duduk di samping Vhia.
    "Eh," omong Vhia. "Gue mau ke dapur dulu ya, bikin makanan." Vhia langsung berdiri meninggalkan kami berdua. Aku tak ingin mengajak nya mengobrol.
    "Eh, Ra?" Ia memanggil ku. Aku langsung memasang headset ke telinga ku. Kemudian, ia melepas headset.
    "Apa sih?!" Vicky agak sedikit kaget.
    "Galak amat. Lo  kenal sama Vhia sejak kapan?"
    "Kenapa lo tanya-tanya gue? Lo suka sama dia?"
    "Iya." Ia tertawa keras. "Lagipula dia cantik, baik lagi."
    Aku tersenyum sinis. Rasanya ingin pulang dari sini. Harapan ku memang sudah tak ada lagi. Vicky menyukai Vhia. Dan pasti pun, Vhia juga menyukai Vicky.
    "Kan ujian nasional dikit lagi, abis itu ada prom night, kenapa lo nggak nembak dia?"
    "Tapi.."
     "Jangan sekarang. Nanti ganggu dia konsen." Alasan ku.
    "Gitu ya.. Hmm bisa gue pertimbangin. Tapi lo bantuin gue ya?"
    Aku tersenyum. "Pasti." Aku langsung menghindar dari tatapannya. Tak lama, terasa pipi ku basah. Apa maksud arti semua ini?
*****
    Apa aku sudah menceritakannya semua? Menyedihkan bukan? Aku memang bertepuk sebelah tangan. Aku sendiri, harus membantu orang yang ku suka untuk mendapatkan dambaan hati nya. Entah, aku bisa menahan air mata ku atau tidak.
     Ku putuskan, untuk prom night, aku tak akan datang. Aku akan mencari seribu alasan untuk tidak datang ke acara tersebut. Setiap hari melihat mereka berdua, itu sudah membuat ku sakit hati.
     Tiba-tiba, ponselku berdering. Tertera nama Vicky. Untuk apa dia menelepon ku? Dengan agak malas, aku mengangkatnya.

    "Hm?"
    "Lo kenapa Ra? Sakit?"
    "Hm? Hmm iya nih, gue rada sakit." Omong ku bohong. Sakit hati maksud gue.
    "Masa? Ah nggak yakin gue.."
    "Ngapain gue bo.."
    "Itu buktinya bisa teriak-teriak. Nanti gue jemput ya, on time kok tenang aja. Nanti kita bikin surprise buat Vhia. Lo janji kan mau bantuin gue buat nembak dia?"
    "Tapi..."
    "Nggak ada tapi-tapian. Buruan, gue pake mobil kok. Cepetan ya."

    Dengan terpaksa, aku harus mengikuti perkataannya. Aku langsung berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah itu memilih dress di lemari.
    Aku memilih dress gothic classic selutut. Terakhir aku memakainya, ya di prom night SMP. Tiba-tiba, pintu ku terbuka. Mama.
    "Mau ke acara prom night ya nak? Sini, Mama bantu rias." Ia tersenyum kepadaku. Aku menurutinya.
    "Ma, aku cocok nggak kalo pake dress ini?"
    "Cocok kok. Wanita itu kalo pake dress hitam kelihatan anggun nya. Rambut mu Mama bikin ikal ya."
    "Terserah Mama aja."
    Tak lama, selesai di rias dan memakai dress, tak seburuk yang ku duga. Aku hanya tersenyum sendiri. Tiba-tiba, ada yang memencet bel. Mungkin Vicky. Aku langsung berpamitan ke Mama kemudian turun menuju pintu. Dan ternyata benar, itu Vicky. Ia memakai jas hitam dan jeans hitam juga.
    Ia melihat ku agak aneh dan tersenyum. Mungkin ia ingin menertawaiku.
    "Nggak usah ketawa lo."
    "Geer. Siapa yang ngetawain lo. Ayo buruan."
*****
    "Lo panggil Vhia gih, suruh kesini gitu." Omongnya.
    "Kenapa nggak lo aja? Kenapa harus gue?" Omong ku ketus.
    "Katanya lo mau bantuin gue. Ayo lah.." Pinta nya.
    "I-iyaudah." Aku langsung menelpon Vhia.

    "Vhi, lo dimana?... Kesini dong... Ini nggak jauh dari panggung kok... Oke jangan lama-lama."

    "Tuh, udah!" Aku menghela napas.
    "Makasih ya Ra.." Ia tersenyum kepadaku. Aku hanya tersenyum sinis. Aku tak ingin melihat kejadian seterusnya. Aku langsung pergi dari hadapan Vicky. Aku mencari tempat sepi, tak ada orang yang berlalu lalang. Ketika aku pergi, Vicky memanggilku.
    "Ra! Mau kemana?"
    Aku menoleh. "Sukses ya bro!" Sambil mengacungkan jempol ku. Tak lama, bulir air mata ku mengalir.
    Aku berjalan menuju taman. Lumayan untuk menenangkan hati. Di pikiran ku, sudah terbayang-bayang Vicky menembak Vhia dengan romantis dan Vhia pun menerima nya. Dengan gampang, aku bisa menebaknya.
    Tiba-tiba saja, ada seseorang yang duduk di samping ku. Vicky? Buat apa dia datang kesini? Aku langsung memasang muka tegar.
    "Mau ngapain lo disini? Nggak jadi nembak Vhia?"
    "Lo abis nangis? Suara lo agak parau gitu? Kenapa?"
    "Ah? Siapa yang habis nangis? Ngaco lo." Aku mencoba tertawa.
    "Nggak usah boong Ra."
    "Maksud lo? Eh, lo diterima ya sama Vhia? Wah selamat yaa.."
    "Enggak."
     Aku langsung tertegun. Aku bingung aku harus bahagia atau bersedih dengan info ini. "Kok bisa? Setau gue kan Vhia emang suka sama lo."
    "Fake."
    "Maksud lo?"
    "Ini semua fake, Avara." Aku masih bingung dengan omongan Vicky. "Vhia nggak nerima gue, emang karena gue nggak nembak dia."
    "What?"
    "Kenapa? Dan karena emang sebenernya gue bukan mau nembak Vhia. Tapi nembak elo."
    Aku langsung menatap Vicky. "Basi lo. Pake becanda segala."
    "Gue nggak bercanda." Ia langsung berlutut di hadapan ku.
    "Tapi, lo selama ini.."
    "Iya. Ini semua rencana gue. Waktu gue bonceng Vhia, sebenernya, gue kepengen lebih tau elo. Nanya-nanya tentang elo." Ia tertunduk.
    "Gue sengaja, biar lo cemburu. Gue juga tau, kalo lo suka sama gue kan?" Ia tersenyum. Aku langsung menatap ke arah lain.
    "Gue sengaja mau bikin surprise ke elo. Acara gue mau nembak Vhia itu fake. Gue cuma kepengen ngobrol sama lo. Gue bahagia banget, kalo tau lo itu bener-bener cantik. Hati nya juga."
    Ia menggenggam tangan ku. "Ra," ia mengusap air mata ku yang terjatuh. "Nggak usah terharu gitu dong." Aku terdiam. "Lo mau kan jadi pacar gue?"
    Aku bingung. Aku takut, ini hanya permainan nya saja.
    Ia tersenyum tipis. "Tenang aja kok Ra. Kali ini, ini bukan games gue. Tapi ini real. Lo mau kan?"
    Aku tersenyum dan mengangguk. Kelihatannya ia juga senang. Lalu, ia membantu ku berdiri dan memelukku. Prom night kali ini, tak akan pernah ku lupakan.
Continue reading
Share:
Views:
Cerpen

Segores Senyuman

Thursday, January 3, 2013 By astaghiri 0 Comments
Segores Senyuman

     Pagi ini merupakan pagi yang cerah. Langit biru dengan awan putih yang menyebar. Cahaya masuk dari kamar Nessa melalui celah jendela kamar. Kepala nya masih terasa pusing karena semalam ia pingsan.
     Nessa bangun dari tempat tidur nya. Bukan karena siuman, melainkan jam weker nya yang berdering. Ia tahu, hari ini ia harus bersekolah. Dengan malas, ia beranjak ke arah kamar mandinya untuk membersihkan diri.
     Tak lama, ia keluar dengan rambut yang tak terlalu basah. Karena, ia tak mau keramas di pagi hari. Kemudian, ia memakai baju seragam nya. Kemudian, siap bergegas ke bawah untuk sarapan pagi. Terlihat, Ibu nya yang sedang mengoles roti dengan selai strawberry. Kesukaan Nessa.
     “Pagi, Ma.” Nessa memberikan senyum hangat ke Ibu nya.
     “Pagi. Gimana? Kamu masih pusing? Kalo masih, nggak usah sekolah dulu ya?” Ibu nya menuangkan susu ke dalam gelas Nessa.
     “Nggak, Ma. Nessa udah baikan kok. Nessa minta anterin ya? Bang Ben belum kerja kan Ma?” Nessa melahap roti yang di berikan Ibu nya.
     "Belum kok. Nanti Mama bilangin biar abang kamu bisa nganterin.” Nessa tersenyum tipis. Sebenarnya, keadaannya kurang baik. Ia tak mau merepotkan Ibu nya.
     Ibu nya Nessa berdiri dari bangku, kemudian berjalan menuju kamar Ben, kakak Nessa. Tak lama, sampai di depan kamar Ben.
     Di ketuknya pintu kamar Ben. “Ben, bangun Ben. Anterin adik kamu dulu.”
     Ben mendesah. Ia masih dalam keadaan kantuk. Kemudian, ia masuk ke dalam kamar Ben. Terlihat, Ben masih tertidur dengan dibaluti selimut. “Ben, bangun. Anterin adik mu dulu. Kasian.”
     “Iya, Ma.” Jawab Ben agak diseret.
     “Buruan. Mama tunggu dibawah.”
     Ben langsung beranjak ke kamar mandi, kemudian mencuci muka dan menggosok gigi. Lalu, ia mengambil jaket nya yang berada di belakang pintu kamar. Ia bergegas ke bawah.
     “Pake mobil ya, Ben.” Pinta Ibu nya.
     “Iya Ma.” Dengan agak sedikit berteriak.
     “Kamu berangkat gih, nanti telat lagi.”
     “Iya, Ma. Nessa berangkat dulu ya.” Nessa melambaikan tangannya ke Ibu nya. Kemudian, menuju keluar, dan masuk ke dalam mobil.
     “Bang, kenapa nggak make motor aja sih? Nanti Nessa telat.” Sambil menggerutu sendiri.
     “Kamu denger sendiri kan? Abang disuruh nganterin kamu pake apa? Entar abang yang diomelin abis-abisan.”
     “Yaudah buruan. Ngebut ya?”
     “Cerewet!”
*****
     “Disini aja gapapa?”
     “Gapapa bang. Tapi jangan bilang Mama. Ini deket kok sama sekolah.” Nessa melepas seat bealt nya kemudian keluar dari mobil. Ia agak berlari, karena 5 menit lagi, gerbang akan ditutup.
     Napas Nessa mulai terengah-engah. Tapi, ia tetap lanjutkan untuk berlari. Terlihat dari kejauhan, gerbang sedang ingin ditutup. Nessa mulai mengencangkan lari nya. Tetapi percuma pas sampai disana, gerbang sudah di tutup.
     “Yah, Pak? Bukain dong? Kan nggak ada semenit.” Omong Nessa agak memelas.
     “Yah Pak! Kok ditutup sih? Belum jam setengah tujuh kali. Liat aja jam saya!” Nessa melihat orang yang barusan berbicara dengan Pak Satpam.
     “Jam kamu itu, di kurangin. Emang saya nggak tau akal-akalan kamu? Kalo mau masuk, tunggu jam pelajaran kedua! Kalo nggak mau, kalian berdua boleh pulang.”
     “Yaudah deh, mending pulang.”
     Cowok itu berbalik jalan, Nessa agak bingung, kemudian, ia mencoba memanggilnya. “Eh! Elo!” Ia menoleh ke arah Nessa.
     “Ada apa?” Dengan gaya cool nya.
     “Lo— mau balik? Tapi kan kita masih bisa masuk di pelajaran kedua.”
     Ia tertawa kecil. “Gue males. Mending gue tidur di studio gue.”
     “Eh— gue ikut.” Ia tak menggubris perkataan Nessa. Ia hanya tersenyum dan berjalan ke arah studio musik tepat di depan sekolah. Hanya perlu menyeberang sekali.
     Setelah sampai di studio, “kenapa lo ngikutin gue?” Tanya nya.
     Nessa agak tertegun. “Gue nggak ada temen. Masa nggak boleh? Kita seangkatan kan?”
     “Emang nya lo kelas berapa?” Tiba-tiba ada sosok laki-laki berbadan lebih tinggi dari Nessa berjalan menghampiri mereka berdua.
     “Telat lagi lo, dek?”
     "Iya bang. Padahal udah gue akalin tadi.”
     Ia tertawa. “Lo mau tidur? Studio kosong. Pake aja.”
     “Sip.” Cowok itu mengacungkan jempol nya.
     “Cewek lo, dek? Cakep juga.”
     Nessa langsung menunduk. “Bu-bukan. Dia temen SMA gue, seangkatan sama gue.”
     “Oh, telat juga?” Ia menoleh ke arah Nessa. “Kenalin, gue Arman, abang nya Vino.”
     Ia menjabat tangan Nessa. “Nessa..” Ia berkata dengan perlahan.
     Laki-laki itu tersenyum. “Gue tinggal dulu dek, pake aja studio. Gratis.” Kemudian ia meninggalkan Nessa dan Vino.
     “Nama lo Vino?” Tanya Nessa.
     “Iya lah. Lo mau ikut gue ke dalam studio juga? Daripada lo nggak ngapa-ngapain disini. Lumayan, didalem kan dingin.” Ia langsung berjalan ke dalam studio tanpa menunggu jawaban dari Nessa. Nessa langsung mengikutinya.
     Nessa melihat Vino langsung menghempaskan badannya ke sofa yang agak sedang itu. Nessa mencari-cari bangku untuk duduk.
     “Lo kelas 10 berapa?” Tanya nya.
     “10-4. Kalo lo?”
     “10-7.”
     “Kok gue nggak pernah ya ngeliat elo?”
     Ia tersenyum kecil. “Itu karena gue punya jurus menghilang. Gue sering kok ngeliat elo. Elo sering ngelamun di balkon kan?” Omong nya sambil menatap Nessa.
     “Jurus? Kayak naruto aja.” Desus Nessa.
     “Lo suka naruto? Kok sama sih?” Ia tertawa.
     “Oh ya? Ya gue sih nggak terlalu suka amat.”
     Vino langsung bangun dan duduk di sofa. Ia menatap wajah Nessa aneh. “Muka lo pucet, lo sakit?”
     “Hm? Enggak.”
     “Gue ambil minum deh.”
     “Eh, nggak usah.” Ia langsung berdiri, lalu keluar sebentar untuk mengambil minuman. Kepala Nessa terasa pusing. Sebenarnya, ia sedang keringat dingin sesudah berlari menuju sekolah. Tak lama, ia terjatuh dari bangku dan tak sadarkan diri.
     Tak lama Vino datang dengan membawa dua botol minuman. Agak kaget Vino melihat Nessa tergeletak di lantai. Di taruhnya minuman tersebut ke atas meja. Lalu mencoba untuk membangunkan Nessa.
     “Ness? Nessa?” Vino mencoba memegang dahi Nessa. “Astaga. Keringat dingin.” Vino agak panik. Tak mungkin ia akan membiarkan Nessa tergeletak di lantai. Ia langsung membopong badan Nessa yang mungil, ditaruh nya di atas sofa.
     Ia langsung keluar studio untuk mengambil minyak kayu putih. Tak lama, ia kembali ke studio dengan membawa air hangat. Arman juga ikut masuk ke dalam studio.
     “Lo apain sih dek?” Arman menempeleng kepala Vino.
     “Apaan sih bang? Nggak gue apa-apain. Orang gue mau ngambilin minuman tiba-tiba pas gue balik dia udah pingsan.”
     “Lo tau rumahnya dimana?” Tanya nya agak panik.
     “Gue aja baru kenal.”
     Arman mendesah. “Lepas jaket lo! Udah tau dia keringet dingin.”
     “I-iya bang.” Dengan cepat Vino melepas jaket nya dan memakaikannya untuk Nessa untuk menyelimuti tubuh nya. Kemudian, Arman keluar dari studio.
     “Bang! Lo mau kemana?” Kakak nya tak menjawab. Vino tak berani meninggalkan Nessa sendiri. Ia membantu Nessa dengan mengoles kan minyak kayu putih di sekitar hidung nya agar bisa tersadar.
     Tak lama, Nessa terbangun. Vino merasa senang. “Lo kecapean? Kenapa nggak bilang dari awal?”
     Nessa terlihat bingung. “Tenang. Gue bukan orang jahat. Gue Vino. Lo masih inget gue kan?”
*****
     Namanya Vino. Orang nya manis, baik pula. Omong dalam hati Nessa. Seperti nya ia sedang berbunga-bunga.
     “Ness, tadi lo dicariin sama guru BK. Katanya disuruh keruangannya.” Omong teman sebangku nya. Nessa tak menggubris. “Ness? Nessa? Jangan ngelamun.”
     “Oh, ya, ada apa?” Ia langsung menoleh. Tiba-tiba terdengar suara geluduk menggelegar. “Yah mau ujan.”
     “Lo disuruh ke ruang BK.” Omong nya diulang kembali.
     “Oh, iya.” Nessa langsung membereskan buku nya ke dalam tas kemudian bergegas menuruni tangga menuju ruang BK.
     Di ketuknya pintu tersebut. Kemudian, Nessa mencoba masuk. “Sore, bu.”
     “Nessa? Oh ya. Silahkan masuk nak.” Dengan sopan, Nessa masuk kemudian duduk.
     “Ada apa ya bu cari saya?” Tanya nya sopan.
     “Kamu terlambat ya hari ini?”
     Nessa tertawa kecil. “Iya bu.” Nessa menggaruk perlahan kepala nya.
     “Kamu ini kan siswa berprestasi. Harus disiplin dong, nak.”
     “Kan baru sehari doang bu, itu juga telat nggak ada semenit kok bu.” Omong Nessa mencari alasan. Terdengar dari luar, hujan sudah turun membasahi bumi.
     “Yasudah. Tapi lain kali jangan di ulangi ya?”
     “Sip bu. Nessa pamit pulang dulu ya.” Guru BK itu hanya mengangguk. Dengan agak malas, Nessa keluar dari ruangan. Ia tak bisa pulang karena cuaca tak memungkinkan. Ia hanya bisa terduduk di pos satpam. Lumayan sedikit untuk berteduh. Terlihat di pos satpam banyak siswa yang berteduh. Termasuk Vino.
     “Nessa?” Panggil Vino karena ia baru tersadar kalau ternyata ada Nessa.
     “Hm?” Vino ikut duduk di samping Nessa.
     “Belum pulang?”
     “Abis dari BK. Lo sendiri? Oh ya, kenapa cuma gue yang dipanggil? Kan elo juga telat.”
     “Gue males.” Ia melipat tangannya di depan dada nya. “Lo naik apa pulang?”
     “Naik bus kuning.”
     “Sama dong,” ia melihat ke arah hujan. “Kayaknya hujannya bakal awet.”
     “Mau nerobos nggak? Lumayan enak sih main ujan-ujanan.”
     “Tapi..” Nessa langsung berdiri kemudian menggapai tangan Vino. Dengan menyiapkan ancang-ancang, mereka berdua berlari menuju halte. Alhasil, mereka berdua basah kuyup karena kehujanan.
     Nessa tak kuat menahan dinginnya air dan hembusan angin yang kencang. Muka nya mulai pucat. Bibir nya membiru. Kepala nya terasa pening. Akhirnya, ia terjatuh pingsan.
*****
     Vino memegang kuat tangan Nessa. Sepertinya, ia mulai jatuh cinta terhadap Nessa. Betapa bodohnya ia, bisa membuat Nessa jatuh pingsan. Tak lama, Ibu Nessa datang. Terdengar dari pintu yang dibuka agak kasar.
     “Nessa?!” Teriak seorang perempuan agak baya dari depan pintu, Ibu nya Nessa. Ia menghampiri Nessa. “Kenapa kamu bisa gini, nak?” Ia menatap Vino. “Kamu yang nelpon tante? Kenapa dia bisa seperti ini?”
     Vino bercerita panjang lebar. Tak terasa, bulir mata Ibu nya terjatuh. “Maafin, Vino tante.”
     Ia terdiam. “Kamu tau Vino? Kenapa dia sering pingsan? Dia terkena radang otak.”
     Mata Vino langsung terbelalak. Ia tak percaya kalau Nessa mempunyai radang otak. Ia merasa bersalah tak menahan Nessa untuk tidak menerobos hujan.
     “Maka nya tante bener-bener over protektif takut dia kenapa-kenapa.” Tiba-tiba mata Nessa terbuka. Ia tersenyum sedikit melihat ada Vino di samping nya.
     “Kamu udah sadar, nak?” Ibu nya tampak senang.
     Nessa mengangguk perlahan. “Mah, Nessa mau ngomong sebentar sama Vino, boleh?” Pinta Nessa. Ibu nya menyetujui nya, dan meninggalkan mereka berdua.
     “Gue seneng, ada lo di samping gue,” omong Nessa agak lirih.
     “Udah, jangan ngomong dulu. Lo bikin gue sedih tau nggak.”
     Nessa tersenyum. “Walaupun gue baru kenal elo tadi pagi, rasanya kayak udah lama banget. Gue kayak nemu kesenangan baru.”
     “Ness...”
     “Makasih ya, udah mau jadi temen gue. Gue seneng kok main ujan-ujanan. Jangan khawatirin gue.” Nessa tersenyum terus menerus. “Gue—seneng bisa kenal elo.”
     Vino agak kaget. “Gue juga seneng banget kalo ternyata gue bisa kenalan sama elo.”
     Nessa menyimpulkan senyumnya. “Panggilin nyokap gue dong.” Vino memanggil Ibu nya Nessa. Kemudian, mereka masuk ke ruangan.
     “Mah,” Nessa mengenggam tangan Ibu nya. “Nessa nggak mau ngerepotin Mama atau abang lagi. Mama jangan suka omel-omelin abang lagi ya?”
     “Nessa, kamu bicara apa sayang?” Omongan Nessa membuat bulir mata Vino turun.
     “Nessa sedikit lagi mau bebas Mah. Mah peluk Nessa dong Mah.” Ibu nya menuruti perkataan Nessa. Kemudian Ibu nya memeluk Nessa.
     Vino melihat Nessa tersenyum. Ia berkata lirih, “maafin Nessa ya Mah, kalo Nessa punya salah. Bilangin abang juga.”
     Nessa seperti meregangkan pelukannya. Ibu nya panik. Kemudian, ia melepaskan pelukannya. Vino menunduk sambil memegang tangan Nessa. Untuk terakhir kalinya ia menghembus kan nafas. Terlihat, Nessa menggoreskan senyumannya untuk terakhir kalinya.

Intinya? Ya sedih aja, orang yang baru aja kita kenal, bisa bersahabat sama kita, nggak tau nya udah dipanggil sama yang kuasa. Bukan pengalaman pribadi sih, kalau pribadi mah gue emang udah temenan lama sama Mely, pernah gue posting kok. Iya, gue sempet main sama dia seharian sama Bila, Andin, Ido. Dan gue denger kabar buruk 4 hari kemudian, dia udah dipanggil. Ya awalnya gue sempet nggak percaya. Padahal 4 hari yang lalu gue masih main. Ya namanya takdir, nggak bisa di lawan. Orang baik pasti di ambil Tuhan duluan. Semoga baik-baik aja ya Mel lo disana :-)
Continue reading
Share:
Views:
Cerpen

Cinta Tak Menuntut Apapun

By astaghiri 0 Comments
 Cinta Tak Menuntut Apapun

    Entah mengapa, hari ini aku merasakan hari yang bisa dikatakan 'nothing special'. Padahal, hari ini adalah hari yang mungkin remaja katakan hari yang indah. Ya, hari ini adalah hari anniversary ku dengan pacar ku. Sebut saja namanya Gerald. Oh ya, nama ku Jessi.
    Tiba-tiba ponsel ku berdering. Tertera nama Gerald L0p3 L0p3 ( Gak-gak. Gue cuma bercanda). Tertera nama Gerald. Aku langsung menekan tombol hijau di ponsel ku.

    "Kenapa, Ge?"
    "Kok kamu lemes? Kenapa?"
    "Gapapa. Ada apa nelepon?"
    "Kamu nggak inget ini hari apa?"
    "Inget. Ini hari sabtu, kan?"
    "Kok ngeselin sih? Ini hari jadian kitaaa.."
    "Oh, ya, maaf, hehe." Aku mendengar ia menghela napas.
    "Hari ini kita jalan-jalan ya? Kamu pake warna biru ya, biar kita kayak couple romantis."
    "Tapi Ge.."
    "Kenapa? Kamu ada acara?"
    "Ada sih, Ge."
    "Yaudah lah. Kamu pergi ke acara kamu aja. Acara kita batalin."
    "Ge, kamu marah?"

    Tuut.. Tuut.. Tuut. Sambungan telepon diputuskan. Aku memberanikan diri untuk mengirim pesan kepada nya. Dan bilang kepadanya, bahwa acara yang ia buat akan ku turuti. Tak lama, ia membalas nya. Dan kami pun akan pergi bersama.
*****
    Gerald sedari tadi menatap ku aneh. Padahal, aku sudah menuruti kata-kata nya. "Kok kamu iteman sih, sayang?"
    "Oh ya?"
    "Sering-sering pake body lotion ya. Kamu kan cantik kalo putih."
    Aku agak tersipu malu dan tersenyum sinis. Tak lama, pelayan datang membawakan buku menu. "Ini, menu nya, silahkan."
    Ketika aku ingin mengambil buku menu makanan, "sini, aku yang pesan aja ya?"
    Aku menghela napas sejenak dan menoleh ke arah sekitar. Ku lihat ada sepasang pemuda pemudi yang sedang ingin makan siang juga. Tepat nya, meja nya berada di samping meja kami. Aku agak mendengar kan perkataan pemuda tersebut kepada kekasihnya.
    "Kamu cantik deh, kayak pantat monyet ( Gak-gak. Gue bercanda lagi ).
    "Kamu cantik deh, kayak Blitney Spealsss." Omongnya yang agak cadel membuat meja makan mereka agak basah karena hujan air liur.
    Kekasih nya terlihat tersipu malu sambil tersenyum-senyum. "Bener kok, setiap hari kamu cantik, mau pake baju apa pun aku suka." Kekasih nya semakin sumringah. "Tapi kok kamu agak iteman ya?" Senyuman di kekasih nya agak memudar. "Gapapa kok, mau kamu item atau merah sekali pun, aku tetep cinta kamu."
    Aku sendiri tersenyum-senyum mendengarkan percakapan mereka berdua. Dan kini aku tersadar, aku telah banyak dituntut ini itu oleh kekasih ku sendiri. Bodoh! Kenapa gue kayak boneka gini sih disuruh ini itu mau aja! Gerutu ku dalam hati.
    Aku melihat Gerald sedang asyik dengan ponsel nya. Aku memberanikan diri untuk memanggilnya.
    "Ge?" Panggil ku.
    Ia hanya membalas deham tanpa menoleh ke arah ku. "A-aku.."
    "Kamu kenapa?"
    "Aku mau putus." Omong ku dengan tegas. Ia langsung menatap ku tajam.
    "Kamu bercanda kan? Jess?"
    Aku menggeleng. "Aku capek, banyak dituntut sama kamu ini itu."
    "Oh. Okey. Kalo kamu mau nya gitu. Kita putus. Masih banyak kok cewek yang lebih cantik dari kamu." Kemudian ia berdiri meninggalkan ku.
    "WOY! BAYAR MAKANAN YANG LO PESEN! WOY--"
    Dengan terpaksa, aku yang membayar nya dan aku juga yang memakannya. Kenapa aku harus bersedih? Harusnya aku bergembira tak ada lagi yang menuntut ku ini itu. Tak lama, makanan yang di pesan datang.
    Aku harus rela menghabiskannya. Dengan perlahan, aku memakannya satu persatu. Tiba-tiba, ada yang memanggil ku dari kejauhan.
    "Jess! Jessi!" Aku langsung mencari sumber suara. Ternyata itu Rico. Dengan malas, aku kembali ke makanan ku. Ia menghampiri ku, lalu duduk di depan ku.
    "Het di panggil ya. Jawab kek!"
    "Hm?!" Aku terus mengunyah makanan ku.
    "Galak amat. Gerald mana? Oh ya, happy anniv ya semo.."
    "Diem lo!" Aku menatap nya tajam. Ia agak sedikit kaget. "Sorry.."
    Ia tersenyum kecil. "Gapapa. Lo lagi ada masalah sama Gerald?"
    "Nggak usah ngomongin dia. Gue udah putus."
    "Oh. Bagus deh."
    "Hmm kok lo bisa ngomong kayak gitu?"
    "Gue yakin. Pasti yang mutusin elo, ya kan?" Aku hanya mendeham. "Kalo begitu bagus deh, lo bisa lebih bebas kan? Nggak di desak Gerald terus?"
    "Kok? Lo bisa tau?"
    Ia hanya tersenyum. "Eh, banyak makanan nih. Bagi dong Jess.."
    "Makan aja. Lagian gue juga nggak bakalan abis."
*****
    Aku duduk di balkon depan kelas. Tiba-tiba, lewat sosok yang membuatku agak terkaget-kaget. Gerald sedang berpegangan tangan sambil berjalan dengan teman dekat ku sendiri, Melda. Tidak. Aku tidak sakit hati. Hanya saja, apa secepat itu dia melupakan ku?
    Tiba-tiba Rico datang mengagetkan ku. "Woy! Bengong aja."
    Aku mengelus dada. "Rese lo!" Sambil memukul bahu nya pelan.
    Ia tertawa. "Ke kantin yuk. Gue laper."
    "Males. Lo aja sendiri gih."
    "Ayo lah. Gue traktir. Mau kan?"
    "Yaudah deh." Kemudian kami berdua menuruni tangga, menuju kantin.
    "Lo mau pesen apa?" Tanya nya.
    "Terserah elo. Samain aja kayak elo."
    "Gue mau beli tai kebo goreng, lo juga?"
    "Gue yang ku.. Serius lo?!" Aku menatap nya heran.
    "Nggak lah." Ia tertawa terbahak-bahak. "Bentar ye.."
    Aku tersenyum sedikit. Aku perhatikan, hanya dia saja yang menghiburku. Ya walaupun yang lain hanya bisa berkata ‘yang sabar ya’. Ya itu lumayan cukup. Tak lama, Rico datang dengan membawa 2 mangkuk di tangannya.
    “Nih, mie ayam nya udah dateng. Makan gih, biar galau nya ilang.” Ia tersenyum kepadaku.
    Aku membalas senyumannya. “Makasih ya, Co.”
    “Oh, iya, lupa. Minumnya belum. Bentar ya,” aku mengangguk-angguk. Kemudian aku mengaduk-aduk mie ayam ku. Tak lama, Rico kembali.
    “Udah, di makan dulu, jangan ngelamun terus.”
    “Enggak kok. Aneh aja, kenapa dia cepet banget dapet pacar?” Aku melahap mie ayam ku.
    “Jessi.. Lo itu udah milih keputusan yang tepat. Seharusnya lo bahagia dong udah lepas dari ikatannya dia?”
    “Iya sih.”
    “Apa lo masih suka sama Gerald?”
    Aku langsung menatap Rico. Ternyata, ia sedang menatap ku juga. Aku langsung menengok ke arah lain. Aku hanya terdiam.
    “Lo nggak mau jatuh di lubang yang sama kan?”
    Aku menggeleng. Kata-kata Rico benar. Aku yang memutuskannya, kenapa aku juga yang merasa seperti ini.
    “Yauwes. Move on, girl!” Aku hanya tersenyum tipis.
    “Lo baik banget ke gue, Co.”
    “Karena, karena sebelum lo jadian sama Gerald, gue udah suka sama lo.” Aku langsung terpaku diam.
    “Nggak usah kaku, Jess. Gue tau lo kaget. Gue—gue cuma udah nggak bisa nahan perasaan gue lagi. Gue rada berat kalau tau lo pacaran sama Gerald. Akhirnya, ya gue terima aja. Tapi hati gue panas ketika gue harus ngeliat orang yang gue sayang, dituntut-tuntut terus sama pacarnya.”
    Aku agak tertegun mendengar penjelasannya. “Gue tau kalo lo tertekan, walaupun lo coba buat nggak ngerasainnya. Tapi apa betah? Enggak kan?”
    Aku hanya bisa terdiam. “Maaf, gue blak-blak kan. Makanya gue seneng kalo lo ternyata udah putus. Berarti gue masih ada kesempatan.” Kemudian ia berdiri dari bangku. “Gu—e mau ke kelas dulu.”
    Aku langsung memegang tangan nya untuk menahannya tetap disini. “Co, makasih, lo udah mau jujur. Semua yang lo omongin bener. Untung aja gue udah lepas dari jeratannya. Makasih ya.”
    Ia tersenyum. “Sama-sama.”
    “Duduk lagi lah. Mie ayam lo belum abis tuh, sayang-sayang. Mubazir.” Ia duduk kembali di bangku. Lalu melanjutkan makannya.
    “Jadi, selama ini, lo nguntit hidup gue?”
    “Itu nggak jadi beban elo kan?”
    Aku tersenyum. “Enggak sih.” Ia meminum air mineral yang ia beli. “Apa itu masih berlaku?” Tanya ku agak pelan.
    “Apanya yang berlaku?”
    “Lo— masih suka nggak sama gue?”
    Hampir saja air yang berada di mulut nya keluar. “Kok lo gerogi? Apa gue yang cuma geer?”
    Rico menggeleng. “Itu masih berlaku kok. Gue masih suka sama lo. Emangnya kenapa?”
    Aku mendeham. “Hmm kalo gue juga suka sama lo, gimana?”

  *note : Jangan copas #pengenbanget tanpa seizin gue ya. Nggak-nggak. Ini bukan cerita pribadi gue. Cuma cerpen kok
Continue reading
Share:
Views:
Newer Posts Home
Subscribe to: Posts ( Atom )

Hi, you!

Hi, you!

Blog Archive

  • ►  2017 (3)
    • ►  September (1)
    • ►  July (2)
  • ►  2016 (5)
    • ►  September (1)
    • ►  June (3)
    • ►  February (1)
  • ►  2015 (3)
    • ►  July (2)
    • ►  June (1)
  • ►  2014 (10)
    • ►  December (1)
    • ►  July (1)
    • ►  June (2)
    • ►  April (3)
    • ►  March (3)
  • ▼  2013 (24)
    • ►  December (1)
    • ►  October (1)
    • ►  September (1)
    • ►  August (5)
    • ►  July (6)
    • ►  May (1)
    • ►  April (5)
    • ▼  January (4)
      • My New Friend
      • Prom Night
      • Segores Senyuman
      • Cinta Tak Menuntut Apapun

Labels

CAKES! Cerbung Cerpen Imajinasi Travel Trip

Wanna be my mate?

© 2016 Astaghiri | All rights reserved
Created By Responsive Blogger Templates | Distributed By Gooyaabi Templates