Astaghiri

  • Home
  • CERPEN
  • CERBUNG
  • CAKES!
  • Trip
Trip

Intro Perkuliahan

Wednesday, September 13, 2017 By astaghiri 1 Comments
PROLOG

"Kok cepat banget?" tanya gue heran. "Perasaan, tadi malam aku searching kira-kira paling nggak sampai ke cobannya sekitar 1 jam."

"Enggak, koook. Serius ini, cuma setengah jam," Shella ngotot. Ah, masa iya karena kita berdua lewat jalur pintas, jamnya bisa terpotong setengah jam?

"Itu beneran arah ke Coban Talun, kan?"

"Hah?!" Shella berteriak kaget. "Bukannya kita mau ke Coban Putri?"

Wajor, wajor. Coban yang tertukar ini namanya.

[***]

Sekitar hari Kamis tanggal 24 Agustus, gue balik ke Malang dengan alasan--ya memang harus balik, lah. Kuliah gue mau dikemanain coba?

Gue ini orangnya mudah stres. Etiologi dari stres gue ini adalah yang paling utama karena urusan perkuliahan, and the last but not least adalah dosen. 

Percayalah sama gue. Orang ter-php sedunia itu bukan gebetan, tetapi dosen. Lebih sakit hati mana ketika sms dosen dan hanya mendapatkan centang biru daripada nge-chat doi tapi hanya dibaca dari notifikasi?

Keduanya memang bikin sakit hati, sih. Tapi, ya, gebetan itu banyak, dosen cuma satu. Mau apa lo?

Nah, stres gue ini terbukti dari ketika gue pulang ke Jakarta, nyokap bilang gini, "Rambut kamu botak, Wir, itu juga jidat jadi lapangan jerawat. Stres kamu?"

Gue pun ngangguk-ngangguk ganas.

Sebenarnya, gue juga nggak tahu sih sistem perkuliahan di fakultas lain seperti apa. Yang jelas, yang perlu gue garis bawahi di sini adalah; perkuliahan gue masih seperti zaman SD-SMP-SMA, di mana mata kuliah sudah terpapar tanpa kita bisa memilih kelas lain atau pun dosen lain.

Dan yang perlu digaris bawahi lagi adalah; di sini semua makhluknya jenis hawa. Which is no refreshing at all.

Itulah etiologi stres gue. Ketemu cewek terus yang notabene memang agak baperan sih ya menurut gue, dosen yang bleblebleble, dan banyak hal lainnya.

So, untuk cowok yang ingin masuk Kebidanan, gue sangat mempersilakan biar mata-mata perempuan di dalamnya tidak jenuh--toh sebenarnya nggak ada peraturan yang mengatakan bahwa harus perempuan yang masuk dalam lingkup Kebidanan. Kalau mau lihat ke sejarahnya, bahkan ilmu Kebidanan ditemukan oleh seorang Bapak-Bapak, yang gue lupa namanya. Pokoknya diberi nama Bapak Kebidanan.

Maka dari itu, gue bikin planning untuk jalan-jalan sebelum perkuliahan dimulai. Terserah mau ke mana saja, yang penting jalan-jalan.

[***]

"Kita nggak pelukan dulu kayak teletubbies, nih? Kan udah lama nggak ketemuan."

"Najiiiiiis."

"Hahaha."

Setelah Shella menaruh motor di kost gue, kita berdua langsung caw menuju coban dengan alternatif menuju arah Batu--menggunakan GPS, dong, karena kita berdua sama-sama buta arah. We are nothing-lah tanpa GPS ini.

"Eh, Cho. Ini kita ke cobannya cuma setengah jam, tahu," kata Shella tiba-tiba.

"Kok cepat banget?" tanya gue heran. "Perasaan, tadi malam aku searching kira-kira paling nggak sampai ke cobannya sekitar 1 jam."

"Enggak, koook. Serius ini, cuma setengah jam," Shella ngotot. Ah, masa iya karena kita berdua lewat jalur pintas, jamnya bisa terpotong setengah jam?

"Itu beneran arah ke Coban Talun, kan?"

"Hah?!" Shella berteriak kaget. "Bukannya kita mau ke Coban Putri?"

Wajor, wajor. Coban yang tertukar ini namanya.

"Coban Talun wooooooy!" Gue sendiri ngakak karena nggak tahunya kita miss communication, padahal cuma jalan berdua, nggak bawa rombongan.

"Laaah. Aku pikir Coban Putri. Terus gimana dong ini?"

"Ya uwes, mampir aja dulu ke Coban Putri, habis itu baru ke Coban Talun. Palingan juga nggak jauh-jauh amat."

Benar saja, nggak jauh setelah Shella berbicara seperti itu, palang menuju Coban Putri itu tertulis besar di hadapan kami berdua. Jadinya, kita berdua ke Coban Putri out of the blue, tanpa ada rencana sama sekali.

Eh, pas masuk, ternyata di pos nggak ada penjaganya. Akhirnya, kita main masuk saja, hahaha.

Sebenarnya, gue kurang tahu juga, sih, tempat wisata ini memang berkarcis atau enggak. Apa karena kita berdua yang datang kepagian? Padahal, hari itu lagi weekend.

Tapi, yah, yang namanya belum searching apa-apa--jadi, ketika gue mau jalan-jalan gue harus surfing terlebih dahulu; tempatnya di mana; jalan alternatifnya; dan lain-lain yang berhubungan dengan tempat itu--gue dan Shella nggak tahu cobannya ada di mana. Kita berdua malah menemukan spot foto yang sering banget diunggah sama arek-arek Malang.

Ini lagi nggak ada penjaganya + pagar masih dikunci, jadi kita nggak bisa foto di sana.
"Kok aku nggak dengar air, ya?" Air terjun maksudnya. Namanya juga coban, alias air terjun. Harusnya sih walau di sini kita menemukan spot foto, di sisi lain tetap ada objek air terjunnya.

"Lah itu suara air apaan?"

"Itu air pipa!"

"Hahaha. Ya udah, kita coba aja lebih ke dalam lagi. Mungkin air terjunnya masuk-masuk ke dalam."

Berbekal ketidakpengetahuan kami, kita berdua lanjut terus masuk ke dalam yang sebenarnya bisa dibilang hutan, karena jalannya belum beraspal. Gue sama Shella sempat berpikir, apa iya benar ini jalan menuju Coban Putri? Soalnya gue ragu banget, benar-benar nggak kedengaran gemericik air sama sekali.

Tapi ternyata... finally! Jalan-jalan out of the blue ini membuahkan hasil! Ada 2 buah air terjun cantik yang nggak kalah keren dengan air terjun lainnya. Dan kebetulan banget, ketika gue memarkirkan motor pada posisi yang sejajar depan dengan air terjun, bagian bawahnya itu ada pelangi. So lit!

Lihat nggak pelangi kecil di bawah?

Air terjunnya memang nggak terlalu tinggi banget dibandingkan dengan coban yang pernah gue kunjungi. Tapi, tetap, wisata alam nggak pernah mengecewakan gue.

Penyegar mata!

Di dekat Coban Putri ini ada beberapa wahana--bukan disebut wahana, sih, lebih tepatnya dikatakan sebagai spot foto sambil bersantai.

Ada dua buah ayunan, kemudian ada hammock yang bertingkat-tingkat, ada juga flying fox yang entah masih berfungsi atau tidak, karena sekali lagi, saat itu nggak ada petugasnya sama sekali.

Setelah puas jeprat-jepret di Coban Putri, kita berangkat menuju destinasi selanjutnya dan yang paling sebenarnya, yaitu Coban Talun!

Masih berbekal dengan GPS, kami beralih menuju Coban Talun yang ternyata jaraknya hanya menempuh sekitar 20-30 menit dari Coban Putri ini.

Namun, sebelum mencapai tujuan, di pertengahan jalan kami berdua menyempatkan diri untuk mengisi perut yang dari semalam belum diisi ini. Gue dan Shella memilih sarapan di warung bakso beranak yang ternyata worth it banget! Gue bahkan sampai pengin bungkus bakso pedasnya saja buat dimasak di kost, hehe.

Setelah sarapan, kami berdua melanjutkan perjalanan kembali, ngobrol ngalor-ngidul, dan pada akhirnya sampai di tujuan!

For your information;
Tiket masuk/orang = Rp.10.000,-
Tiket masuk/motor = Rp. 5.000,-

Maaf, untuk yang tiket parkir mobil gue lupa berapa harga karcisnya, saking kesenangan sudah masuk wilayah Coban Talun.

Setelah memarkikan motor, kita berdua mulai menjelajah, dan ternyata di sana sedang ada acara dari kampus Politeknik yang sepertinya merupakan acara sambutan untuk mahasiswa baru.

"Eh, Shell, foto petanya," suruh gue ketika melihat peta Coban Talun yang terpampang di dekat parkiran, biar kalau kita nyasar bisa lihat petanya.

Setelah itu, kami kembali berjalan, tetapi...

"Cho, kita lagi di mana, sih?" Shella menunjukkan peta yang sempat dia foto tadi.

Gue mengambil ponselnya dan menatap penuh ke arah layarnya. "Sebenarnya... gue juga nggak ngerti, Shell. HAHAHA."

"Ye! Kalau kayak gini ngapain tadi nyuruh aku foto petanya?!"

"Kenang-kenangan, elah."

Lanjut dengan cek-cok nggak jelas, kami mendapat penerangan ketika melihat arah-arah menuju wisata di Coban Talun ini--yang ternyata air terjun dengan wisata buatannya itu berlawanan arah. Jadinya, gue dan Shella menyempatkan diri untuk ke arah wisata buatannya dulu, baru nanti ke air terjun.

"Eh? Ini serius jalan kaki?"

"200 meter doang, elah. Sampai kok, sampai," ucap gue. "Anggap aja olahraga. Ingat Shell, ketika perkuliahan dimulai, mau tidur seenak lu pun bakalan susah, apalagi olahraga. Jadi, inilah saatnya kita membugarkan diri!"

Namun, setelah itu...

"GILA! Jalan 20 meter aja udah ngos-ngosan! Apalagi sampai ke Goa Jepang, ya? Hahaha!"

Sumpah, gue nggak bohong. Beneran. Cuma jalan 20 meter saja kami berdua sudah kelelahan napas. Nggak sehat banget deh kita berdua memang! #padahalanakkesehatan

Setelah mencoba mengatur pernapasan, akhirnya padang bunga mulai kelihatan dan rasa lelah pun mulai membaur dengan udara. Ini yang gue cari!

Untuk masuk taman bunga ini, kembali membayar tiket seharga Rp.5.000,- / orang. Hmm... kalau ditotalin sama parkir sih ya lumayan mahal juga sih, ya. Tapi, masa bodo teuing, lah. Gue lagi nggak mikirin duit. Yang gue pikirin adalah bagaimana caranya relieving stress.

Masuk ke dalam, kita jeprat-jepret!
Can you see me?
Lucu, kan? Bunganya.
Modelnya mah itu-itu aja.
Setelah dari taman bunga, kita kembali lagi berjalan lebih dalam, dan kita nggak menemukan apa-apa selain kafe dan juga palang arah menuju Goa Jepang yang jaraknya mencapai 800 meter. No way!

Kita memilih balik lagi dan tidak memasuki wahana lain--yang ternyata lebih mahal dibandingkan dengan taman bunga tadi. Pun, sebenarnya, yang gue incar dari Coban Talun sendiri adalah air terjun dan taman bunganya saja.

Namun, lelah berujung haus. Kita berdua mampir sejenak di warung yang ada di sana, memesan es teh yang ternyata nggak ada esnya dan habis dalam sekali sedotan. Haus pakai banget!

Anak kecil di dekat warung. Lucu saja melihat mereka bercengkrama satu sama lain.
Ketika gue sama Shella ngobrol ngalor-ngidul, tiba-tiba saja tampak sesosok yang sering banget kita bicarakan pas Dekan Cup kemarin. Ada abang koas, coy! Hahaha.

"Dari sekian kebetulan yang diinginkan, kenapa kebetulan yang tidak terlalu diharapkan malah lewat begitu saja?" - Shella F. K. (Gadis yang butuh belaian. Hahaha).

Setelah meminum teh seteguk dan ngobrol yang lebih mengabisi waktu, kita berencana mau ke air terjunnya menggunakan motor--yang berarti kami berdua harus kembali menuju parkiran. Tetapi... ketika kami berdua berjalan menuju tempat parkiran...

"What the f... 1 km?"

Gue dan Shella melihat palang arah menuju Coban Talun sekitar 1 km dan itu hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki.

"Gila. Kita jalan 20 meter aja ngos-ngosan, apalagi 1 km?"

Ngakunya anak kesehatan, tapi jalan 20 meter saja napas mulai pendek. Memang dasarnya kita jarang berolahraga karena perihal perkuliahan dan organisasi yang nggak bisa dikesampingkan. Jadi, ya, nggak heran kenapa kita gampang capek.

"Gimana? Mau lanjut ke cobannya?"

"Nggak deh, hahaha."

Kita mundur, nggak melanjutkan destinasi menuju coban. Karena, sama saja bohong kalau tenaga kuat, tetapi mental tak nekat. Nah, gue dan Shella ini bahkan nggak punya keduanya. Hahahaha.

So, inilah intro gue sebelum perkuliahan. Sangat baik untuk merefresh otak sebelum kalian bertatap muka dengan mata kuliah dan dosen tercinta kalian.

Salam, dari Bukan Anak Travelling.
Continue reading
Share:
Views:
Trip

Cerpen Sehari dari Watu Leter

Thursday, July 27, 2017 By astaghiri 0 Comments




“Cho, ke pantai, yuk?” Gue langsung menoleh begitu mendapat ajakan dari Hasna, teman satu angkatan gue.

By the way, kami baru saja selesai ujian untuk hari terakhir. Dan sekarang, kami sedang menunggu nilai yang keluar untuk mata ujian di hari-hari yang lalu.

“Ayo! Pantai mana?” jawab gue terlanjur girang karena gue haus banget akan liburan.

Kota yang gue pijaki sekarang ini merupakan kota yang strategis akan objek wisata, salah satunya yaitu pantai. Nggak bisa dihitung berapa banyak pantai yang dekat dengan kota ini.

Yup. Gue tinggal di Malang, kota yang terkenal dengan kesejukkan udaranya tersebut, dan itu merupakan salah satu alasan mengapa gue memilih kuliah di kota ini.

“Pantai mana aja, deh. Yang penting pantai, dan bisa cuci mata. Hehehe.”

Yang dimaksud oleh Hasna dengan ‘cuci mata’ adalah bukan mengkhilafkan mata mencari cowok-cowok ganteng—ya walaupun di program studi yang kami jalani ini memang tidak ada sesosok lelaki satu pun, kecuali dosen—, tetapi cuci mata untuk menjernihkan pikiran dengan menikmati pemandangan alam hasil kreasi-Nya.

“Ya udah. Kamu searching aja dulu mau ke pantai mana. Aku tanya ke Bang Iwan, bisa nemenin apa enggak.”

Hasna tersenyum kegirangan dan mulai menyentuh ponselnya, mencari pantai untuk dijadikan ‘penyejukkan otak’ karena kami tidak pernah sedikit pun yang namanya mencicipi liburan—kecuali liburan akhir semester, itu pun pasti kami lakukan di kampung halaman masing-masing.

Sedangkan Bang Iwan, kenapa gue juga mengajaknya? Karena gue dan Hasna perempuan, kita berdua butuh sesosok laki-laki di agenda jalan-jalan kita untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Tapi kok rasanya gue ngajak Bang Iwan untuk sekadar tumbal jalan-jalan gue, ya? Hahaha.

Selain itu, karena gue dan Hasna juga belum punya gandengan tangan, uhuk, akhirnya gue mengajak Bang Iwan. Kebetulan doi teman SMP gue, dan ketemu lagi di masa kuliah, tetapi dia baru masuk kampus ketika gue sudah berada di tingkat dua. Dan kurang ajarnya, dia lebih tahu objek wisata asyik di Malang ketimbang gue yang hidupnya lebih lama di kota ini. Maka dari itulah Bang Iwan jadi tour guide setia gue.

Setelah gue menge-chat Bang Iwan, akhirnya doi mau jadi tour guide agenda jalan-jalan gue bareng Hasna. Tinggal memilih pantai mana yang mau kita telanjangi.

[***]

Di malam sebelum keberangkatan, kita berdua masih nggak tahu ingin jelajah ke pantai mana. Lagipula, destinasi kali ini yang ngajak Hasna, jadi dia yang menentukan ‘kita mau ke mana’. Kalau gue sih, ikut-ikut saja, apalagi Bang Iwan, dia manut-manut bae.

“Ke Goa Cinta aja, gimana?” tanya Hasna lewat chat.

“Hah?”

“Goa Cina deng, typo, hahaha.”

“Ya ampun, Has. Berasa jomblo banget sih dirimu.”

“Tolong ya, saya memang jomblo.”

Dan begitu seterusnya sampai pada akhirnya kita menetapkan Goa Cina sebagai destinasi besok. Namun sebelumnya, gue juga sempatkan untuk konsultasi ke Bang Iwan, karena doi sudah menjajaki pantai tersebut. Dan kata doi…

“Jangan Goa Cina, di situ panas.”

Emang ada ya pantai yang adem? Gue dalam hati berpikir kayak gitu. Tetapi, dalam lubuk hati gue, asek, gue juga kurang merasa sreg kalau pergi ke Goa Cina. Terus gue juga berpikir, kita kan jalan hari Sabtu, yang pasti itu weekend dong? Gue paling malas kalau liburan ke tempat yang ramai, dan Goa Cina merupakan salah satu pantai yang memang istilahnya paling terkenal dan banyak diketahui oleh para penikmat pantai.

Jadi, 4 jam sebelum keberangkatan, akhirnya kita berganti haluan menuju pantai Watu Leter, yang sebenarnya letaknya bersampingan dengan pantai Goa Cina. Setidaknya, Watu Leter lebih sepi dibandingkan dengan Goa Cina.

Dan seperti biasa. Manusia-manusia di Indonesia ini selalu punya jam karet, termasuk gue sih, hahaha. Awalnya kami mau berangkat jam 8 pagi, namun berakhir dengan berangkat satu jam setelahnya. Luar biasa sekali jam karet kami.

Akhirnya kita berangkat setelah Hasna menitipkan motornya di kost gue. Kita langsung menuju Universitas Kanjuruhan untuk bertemu dengan Bang Iwan. Tetapi ternyata dia harus membuat dua cewek ini menunggu karena ada urusan yang mendadak. Hmm.

Selang 15 menit, akhirnya Bang Iwan datang dengan motornya, lalu baru deh kita lanjut jalan. Sebenarnya jalanan nggak terlalu ramai mengingat ini masih pagi dan sekarang sedang weekend. Jadi, alhamdulillah kita nggak terserang macet.

Sebenarnya, alasan lain kenapa gue mengajak Bang Iwan adalah karena gue buta dengan jalan, hahaha. Butuh setidaknya satu sampai dua tahun untuk menghapal jalan-jalan yang baru, walau sebenarnya untuk ke pantai ini hanya butuh jalan lurus-lurus saja, kayak hatimu, uhuk. Ada belok-beloknya, sih. Tetapi, belok-beloknya ini yang bikin gue buta arah, hahaha.

Setelah ngobrol ngalur-ngidul hampir sekitar 3 jam kurang dengan Hasna yang menjadi penumpang gue—karena gue hanya bisa jadi ojeknya, hiks, akhirnya kami sampai di perempatan jalan pantai. Sudah gue bilang, di sini pantainya memang banyak banget, sampai dibuat perempatan gitu, hehehe.
Karena tujuan kita Watu Leter, akhirnya kami belok ke kiri dan melanjutkan laju motor.

Gue dan Hasna nggak henti-hentinya mengucapkan betapa indahnya ciptaan Sang Pemilik Semesta. Di sepanjang jalan, kami dikelilingi oleh tebing-tebing tinggi berwarna cokelat keemasan yang membuat laju angin semakin berani untuk menerpa wajah-wajah kekurangan libur ini. Belum lagi, ketika kami melewati tikungan di antara tebing-tebing yang menjulang, kami langsung disuguhkan pemandangan luasnya pantai yang membuat kelopak mata kami berdua langsung terbuka lebar akibat refleks kegirangan yang menyusup ke hati.

Seketika, gue sama Hasna kepengin bikin video clip di daerah ini. Haha.

Walaupun terdengar agak sedikit berlebihan, tetapi bagi kami yang setiap harinya selalu dihadapkan dengan tugas dan weekend yang selalu diisi dengan acara kepanitiaan, hal-hal kecil seperti ini sudah membuat sedikit rasa stres yang menumpuk di otak kami mulai mereda.

Perjalanan untuk kami menelanjangi pantai belum usai di sini. Kami harus melewati jalan tanah dan bebatuan untuk mencapai pantai Watu Leter.

Seperti yang gue bilang di awal tadi, untuk menuju pantai Watu Leter, kita harus melewati pantai Goa Cina terlebih dahulu. Dan benar saja, tempat parkiran untuk pantai Goa Cina cukup ramai, dan tentunya gue malas kalau harus ‘berbagi’ liburan dengan khalayak ramai kayak gitu. Akhirnya kita tetap lanjut melajukan motor lebih jauh menuju pantai Watu Leter.

Awalnya, gue dan Hasna agak ragu dengan jalannya karena di sepanjang jalan, baik kanan maupun kiri, nggak ada rumah warga satu pun. Hanya ada padang rumput liar setinggi mungkin di atas mata kaki, dan pohon-pohon kurus yang daunnya nggak terlalu lebat. Untungnya waktu itu masih siang, sih. Jadinya, kita tetap jalan untuk menemukan di mana Watu Leter berada.

Dan kedua sudut bibir gue pun langsung tertarik ke atas begitu sudah menemukan destinasi yang kita tuju. Akhirnya liburan! teriak gue dalam hati.

Kami langsung menuju tempat parkir yang nggak jauh dari bibir pantai. Ternyata, kita harus membayar lagi. Padahal, sebenarnya, sebelum memasuki perempatan jalan yang tadi, kami harus membayar tiket masuk per orang. Jadi, uang saku yang harus kami rogoh adalah:
Tiket masuk awal : Rp.10.000,00/orang
Tiket masuk pantai : Rp. 8.000,00/orang
Tiket parkir motor : Rp. 5.000,00/motor

Bagi anak kost seperti kami, sih, uang segitu lumayan untuk asupan makan dua hari, hehe. Tapi nggak papa, yang penting liburan.

Setelah selesai berkutat dengan uang yang harus kami keluarkan, tentunya kami ingin langsung memanjakan mata yang penuh dengan lingkaran hitam ini. Nggak lupa, kami langsung mengeluarkan kamera masing-masing. Karena dengan fotolah, kami bisa mengenang kisah di setiap detiknya.

Kita sampai di pantai ini sekitar jam 12 siang, dan pasti tahulah teriknya seperti apa, tetapi gue dan Hasna tetap nekat main-main di bibir pantai walau kaki kami berjingkat-jingkat karena tidak kuat dengan panasnya pasir pantai. Sedangkan cowok satu-satunya di tim jalan-jalan kali ini lebih memilih rehat di bawah rindangnya pohon, karena kata doi dia bosen sama pantai.
Menyendiri menikmati hembusan angin laut. Segar! Tetapi jangan berlarut dengan kenangan lalu, ya.
Di saat Hasna ingin minta gue fotoin di atas kayu yang terdampar di bibir pantai, gue nggak sengaja menjepret foto di atas pada saat sebelum Hasna naik ke kayu itu, karena tiba-tiba saja cowok itu juga berjalan menuju kayu tersebut. Perfect moment. Padahal gue, khususnya Hasna, nggak mengenal cowok itu. Tapi pakaian mereka sama, dan mereka sama-sama melangkah menuju kayu tersebut. Namun, jalan takdir mereka juga sama atau enggak, ya? Uhuk.



Setelah puas bermain di bawah teriknya matahari, kita memilih untuk makan di warung terdekat dan sekaligus untuk shalat zuhur.

Di warung makan, gue melihat ada kelompok lain yang sepertinya bakalan camping di sini. Kepengin juga, sih. Mungkin kapan-kapan gue bisa camping kayak mereka. Tapi nggak tahu, ‘kapan-kapan’-nya itu kapan, hahaha.

Setelah makan dan shalat zuhur, kami menyempatkan dulu untuk istirahat di warung dan menunggu ashar, sekaligus menunggu pantai setidaknya tidak segersang seperti jam 12 siang tadi.

Seusai shalat Ashar, gue dan Hasna kembali bermain di bibir pantai, sedangkan Bang Iwan lebih memilih duduk dan tidur di gazebo yang ada di sana. Gue dan Hasna bersiap lagi dengan kamera beserta tripod (pinjaman).

Di Watu Leter ini memang nggak terlalu ramai. Mungkin orang yang datang nggak mencapai 30-an. Berasa seperti pantai milik sendiri. Mau selonjoran, boleh. Mau guling-gulingan pun kalau nggak malu juga silakan, saking jarang orang yang berlalu-lalang.

Kita berdua belum puas kalau langit belum menyemburatkan kilauan penyejuk mata dan matahari turun untuk kembali menerangi sudut bumi yang lain. Yup. Mungkin, nggak ada orang yang nggak menyukai sunset. Keindahan yang dilukis oleh Tuhan tersebut selalu membuat terkesima setiap manusia-manusia yang memandangnya.
Photo by: Hasna
Momen-momen di mana tenggelamnya matahari di salah satu pantai yang baru pertama kali gue jamah ini membuat gue semakin sadar bahwa ciptaan Tuhan tiada duanya.

Sebenarnya, kami belum puas ketika langit sedang cantik-cantiknya melukiskan warna biru, pink, ungu, dan keemasan. Tetapi, karena waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore, kami harus bergegas pulang mengingat pernah ada kejadian tidak mengenakkan yang dialami oleh teman Bang Iwan langsung dan juga dirinya sendiri ketika pada malam hari mereka harus melewati kembali tebing-tebing tinggi di sepanjang jalan.

Sebenarnya sepele, sih. Rantai motor milik temannya itu tiba-tiba putus tanpa sebelumnya ada masalah apapun. Yang memperkeruh masalah adalah dalam kondisi malam yang gelap gulita dan memang tidak ada lampu penerangan di sana, di sepanjang jalan tidak ada bengkel satu pun, rumah warga apalagi. Hanya ada tebing, dan tebing.
Jadi, karena sekarang sudah malam dan kami nggak mungkin plus nggak mau melewati daerah tebing, kami melewati jalan yang lain dan mengikuti pengunjung lain yang sepertinya juga ingin pulang menuju kota.

Tapi yang buat gue merinding adalah, sudah dua kali kita memutar jalan yang sama, apalagi kondisi saat itu kita bertiga belum shalat magrib, bensin gue pun hampir mencapai garis merah. Akhirnya, gue memutuskan untuk membeli bensin eceran dan mau mencari jalan pulang sendiri dengan bantuan maps.

Setelah ngikutin jalur maps, kita masuk ke pemukiman warga. Berbelok ke masjid terlebih dahulu untuk menunaikan ibadah magrib.

Usai shalat magrib, kami kembali melaju. Karena maps dibuka dari ponsel gue, dan Hasna yang memegangnya, mau nggak mau gue melajukan motor paling depan. Bukan apa-apa, setelah masuk ke pemukiman warga, kita harus melewati jalur hutan yang benar-benar nggak ada penerangannya sama sekali. Sudah begitu, jalurnya nggak terlalu halus dan banyak tikungannya.
Masalahnya, bukan 1-2 menit kami melewati hutan kayak gitu, bahkan hampir 3 jam, hanya dengan penerangan dari lampu motor, kita harus melewati hutan, tanpa tahu kapan kita sampai di jalan raya. Dan nggak henti-hentinya dalam hati gue membaca ayat kursi, takut tiba-tiba ada sesosok yang muncul di tikungan, hihihi.

Entar tiba-tiba yang muncul malah mantan, lagi. Kan lebih seram, hiks.

Setelah melajukan motor di tengah-tengah hutan tanpa kepastian akan jalan raya—karena gue juga takut kalau ternyata kita dibawa ‘memutar-mutar’ lagi seperti tadi, akhirnya gue tersenyum lega begitu melihat sudah banyak kendaraan yang berlalu-lalang.

Sampai pada akhirnya kami benar-benar berada di jalan raya besar, tiba-tiba Hasna memukul punggung gue dengan irama yang cepat.

“CHO! CHO! CHO! DESA TAWANG REJENI, CHO!”

“Hah?!”

“TAWANG REJENI! PENMAS! HAHAHA!”

“SUMPAH?!”

Desa yang lagi kita lewatin memang punya sejarah buat kita berdua, terlebih gue sih, hehehe. Karena, berkat PENMAS (Pengabdian Masyarakat) yang dilakukan di desa ini, gue bisa ketemu dengan doi, walau kesenangannya hanya sesaat, hahaha, hiks.

“Itu TK yang pas kita pakai buat SEPIA, kan?”

“Iya, iya! Hahaha.”

“Mampir dulu apa kita? Tiba-tiba aku mau jenguk si mbah.” Bukan mbah gue sebenarnya, tetapi ‘mbah’ yang membuat gue nggak akan pernah melupakan kenangan di desa ini.

Kita pun lanjut ketawa-ketiwi di motor sambil mengenang masa-masa PENMAS. Mungkin kita berdua bakal dikatain gila sama Bang Iwan yang masih setia melajukan motornya di belakang motor gue karena kita ketawa terus nggak karuan.

Dan tiba-tiba saja, motor gue sama motor Bang Iwan berpisah jalur. Tapi setidaknya kita nggak berpisah di jalur hutan, bisa berabe.

Sebelum sampai kost, kita menyempatkan isi perut dulu. Setelah itu, barulah ke kost gue karena Hasna menitipkan motor di sana.

Ketika Hasna balik ke kost-nya, gue juga langsung naik ke atas menuju kamar gue. Gue nggak merasa ada yang aneh sampai ketika hari Sabtu pun berpindah ke hari minggu.

Perjalanan kali ini pun harus gue terima dengan tabah karena ATM gue menghilang dan gue dengan tidak sengaja mematahkan salah satu kaki tripod milik teman gue ketika gue ingin membersihkannya dari pasir.

Gue pun hanya bisa mengelus dada akibat menerima nasib di depan mata. Tetapi nggak apa. Terkadang, suatu kisah itu bukan hanya diwarnai dengan satu suasana hati. Kesenangan bisa dicampur dengan nelangsa, bahkan ditambah dengan kenangan yang semakin memenuhi satu kisah.

Ya, seperti cerpen perjalanan gue kali ini. Di satu sisi, rasa stres akibat perkuliahan pun mulai luntur, dan otak pun kembali segar dengan pemandangan yang dilukis oleh Si Maha Pencipta. Tapi di sisi lain, sepertinya gue harus belajar dari cerita gue bahwa kedepannya gue harus lebih berhati-hati lagi, dan mungkin ditambah dengan extra cheese, eh, ekstra sabar deng.

Dan gue harus belajar dari pengalaman bahwa seharusnya gue pakai sun block di kulit yang terbuka karena kaki gue jadi belang dan belum hilang bahkan sampai dua bulan ini, hiks.

Akhir kata dalam jalan-jalan alam gue kali ini adalah, lo harus banyak bersyukur bahwa kita hidup di Indonesia, karena banyak destinasi-destinasi di Indonesia yang mungkin bahkan belum tersentuh oleh mata telanjang manusia. Dan tentunya kita juga harus merasa bersyukur bahwa Tuhan nggak pernah membuat ciptaan-Nya cacat sedikit pun agar manusia-manusia seperti kita mengagumi kekuasaan-Nya.
Photo by: Ridhwan
Bonus foto; Ketemu pantai aja bahagia, apalagi ketemu kamu.
Eak. 

Continue reading
Share:
Views:
Cerbung

Sorry, mate. [4]

By astaghiri 0 Comments




Kita berdua sampai di 21 paling akhir. Gue dan Titi maksudnya. Tanpa banyak ngomong lagi, kita langsung masuk ke teater dan kedapatan bangku baris kedua dari atas bagian tengah. Untuk masalah tempat duduk... Amel duduk menjauh dari dua manusia roman itu. Titi yang tadinya diajak Vina untuk duduk di sampingnya, tempat duduknya langsung gue serobot. Jadinya, Titi duduk di antara gue dan Amel. Dan gue yang bakal jadi nyamuknya.

Sumpah. Gue ngerasa awkward banget dalam posisi yang kayak gini. Gue benar-benar nggak bisa konsen dengan film yang terputar di depan gue. Sesekali, gue ngelirik ke arah Vina yang sepertinya memang kurang nyaman dengan posisi duduknya, entah karena gue duduk di samping dia atau karena alasan lainnya.

Ketika gue ngelirik sekali lagi ke arah Vina, dia menoleh ke arah gue. Entah kenapa gue nggak langsung mengalihkan perhatian gue dari dia, tapi gue terus memandang dia, dan begitu pun Vina.

Setelah cukup lama saling menatap, gue berdeham, kemudian berdiri dan keluar dari teater. Entah kenapa rasanya di dalam sini pengap banget. Padahal AC masih jalan. Yaa mungkin karena dua manusia roman itu.

Gue keluar dari teater dengan berdalih ke toilet. Yah, itu sih salah satu alasan yang paling logis buat keluar sementara dari teater ini. Padahal, gue hanya mencoba berhenti sebentar untuk melihat dua manusia roman picisan itu.

"Lo ngapain, Don?" Tiba-tiba Titi memergoki gue di luar teater. "Lagi nabok lo ya?"

"Nabok?" tanya gue bingung.

"Nahan boker," jawabnya yang langsung duduk di samping gue. Gue sendiri juga bingung kenapa dia keluar dari teater. "Jangan tanya gue kenapa gue keluar dari teater." Belum sempat bertanya pun, gue sudah digituin. "Kenapa Vina milih film tentang cinta-cintaan coba? Emangnya hidupnya nggak penuh tentang romans apa? Sampe enek gue ngeliatnya."

Gue hanya bisa mendengarkan celotehan Titi. Gue mau menghentikan dia, tapi dia bakal nerusin unek-uneknya.

Tiba-tiba Titi menatap gue dengan mata yang merah. Dia habis nangis? Gue yang bingung langsung kelabakan. Untung saja di sini nggak ada orang.

"Eh? Ti, Ti? Lo kenapa? Jangan nangis gitu, dong!"

"Gue capek, Don..." Titi langsung menaruh kepalanya di pundak gue, dan dia terisak. Gue yang bingung harus melakukan apa, hanya bisa membiarkan dia menangis sepuasnya di pundak gue. "Lo ke mana aja sih selama ini? Gue capek tau nggak nanggung sendiri!"

"Ini... tentang mereka berdua?"

Titi langsung mengangkat kepalanya dan menatap gue dengan kesal. "Gue lagi ngomongin monyet lahiran! Ya iyalah! Lo pikir siapa lagi?" Titi kembali menaruh kepalanya di pundak gue.

Di antara kita berempat, Titi memang suka banget curhat sama gue. Padahal, gue pikir gue nggak pernah kasih solusi yang bagus buat dia, tapi dia terus-terusan curhat sama gue. Entah masalah kecil atau masalah percintaan kayak gini.

Dengan perlahan, gue menepuk-nepuk punggung Titi, yang justru membuat dia semakin histeris. "Gue capek Don harus pura-pura baik di depan mereka, gue muka dua banget..." Gue menghela napas dengan berat. Ternyata rasa sakit hati gue nggak sesakit seperti apa yang dirasakan oleh Titi. "Tapi gue nggak mau ngerusak persahabatan ini. Sumpah, lo semua udah gue anggep kayak keluarga gue."

Gue semakin miris mendengarkan ucapan Titi. Keluarga? Tapi dalam persahabatan ini terlalu banyak yang terluka, terlalu banyak yang menjadi korban.

"Terus lo maunya gimana, Ti?" Gue akhirnya bersuara. Gue juga nggak tahu harus kasih solusi apa, karena gue sendiri terlibat dalam hal ini, tanpa mereka ketahui. Gue saja nggak bisa memberikan solusi untuk gue sendiri, gimana untuk orang lain?

"Gue mau balik jadi anak kecil, di mana gue ngerasa everything will be okay."

"Kan lo udah kecil, Ti. Masa lo mau jadi anak kecil lagi?"

"Sialan lo!" Titi langsung menabok lengan gue. Walaupun begitu, dia sedikit tersenyum.

Gue menghela napas dengan berat. Jadi anak kecil itu memang enak. Nggak punya masalah. Kerjaannya cuma makan, tidur, main, ketawa, nangis, ketawa lagi. Siklusnya selalu begitu. Beda dengan kita yang sekarang mau beranjak kepala dua. Kalau punya masalah, harus diselesaikan sendiri, dan harus menanggung akibat dari permasalahan tersebut.

"Ti, sekarang gue mau nanya sama lo." Setelah sekian lama, sekarang gue berbicara serius dengan Titi, apalagi dalam hal ini. "Lo milih perasaan atau sahabat? Mana yang lo prioritaskan?"

Titi terdiam sebentar, bahkan isakannya pun sudah nggak terasa lagi di pundak gue. "Gue milih... atau."

"Ti," gue mendesak dia.

"Berisik!" sarkas Titi yang membuat gue tersentak. Walaupun Titi yang terlihat paling lemah di antara kami berlima, tapi kalau sekalinya dia marah, dialah yang paling menyeramkan. "Orang gue lagi nangis juga, diganggu mulu, sih!"

Gue menabok pundaknya. "Jangan nangis di sini, bego! Nanti gue yang dijadiin terdakwanya!"

"Ah! Bego banget sih, lo! Orang gue udah terlanjur nangis, malah dilarang," balas Titi nggak kalah sengitnya. Ini mah nggak ada drama-dramanya sama sekali. "Bodo amat. Lagian ini kan jalan keluar dari teater, mana mungkin ada orang yang lalu lalang di sini kecuali petugasnya. Kapan sih otak lu jadi encer?"

Wah, sialan. Dia malah ngatain gue lagi. Seharusnya gue tinggal saja anak ini sendirian, bodo amat deh dia nangis kalau ujung-ujungnya malah ngatain gue.

"Anaknya siapa sih lo? Punya mulut kayak cocor bebek, heran gue."

"Anaknya Pak Romli sama Mpok Ati."

Gue langsung menoyor kepala Titi. "Eh, malah ngejawab lagi nih anak." Titi justru menyengir nggak jelas. Bagus, deh. Daripada dia tersedu terus-terusan. "Udahan belom nangisnya?"

"Bentar," Titi menyeka kedua ujung matanya. "Mata gue merah, nggak?"

"Kagak. Tapi berubah jadi ijo, kayak mata siluman uler. Hahaha."

Titi mau menoyor kepala gue. Tapi karena gue ketinggian dan dia nggak sampai, akhirnya dia cuma bisa menoyor pipi gue. "Serius nih gue! Ah! Lo kenapa tinggi banget, sih?"

"Gen gue mah berkualitas semua. Emangnya kayak elo. Udah sana ke kamar mandi, cuci muka. Muka lo kusut banget."

"Iye, iye." Titi mengucek-ngucek matanya, kemudian berbalik menuju kamar mandi.

Sebenarnya gue juga sudah mau masuk kembali ke dalam teater. Tetapi, tiba-tiba saja gue melihat Vina keluar dari teater. Gue pikir dia bakal dibuntuti oleh pacar kesayangannya. Tetapi ternyata dia cuma sendirian.

"Lho? Ngapain keluar, Vin?" tanya gue agak sedikit kaget.

"Gue khawatir sama lo berdua, takut ada apa-apa, soalnya kalian lama banget di luar. Abis ngapain, sih?" kepo Vina.

Gue hendak menjawab, tetapi tiba-tiba saja Titi sudah keluar dari kamar mandi. Dia juga kelihatan kaget begitu melihat Vina keluar dari teater. Vina mengamati raut wajah Titi yang agak sedikit kacau. Namun Titi langsung menutupinya dengan candaannya.

"Eh, sumpah! Kamar mandi ada bau beol ampe bikin air mata gue keluar! Anjir, anjir! Nggak mau lagi gue masuk ke kamar mandi itu!" Titi berlagak mengipas-ngipaskan tangannya dan menutupi lubang hidungnya. "Gue masuk dulu ya, nggak tahan gue sama baunya, masih terngiang-ngiang di lubang hidung gue."

Gue sama Vina pun ngakak dengan cerita Titi barusan, padahal gue tahu Titi sedang berbohong besar. Kemudian dia masuk ke dalam teater, meninggalkan gue sama Vina berdua.

Karena gue nggak punya alasan berlama-lama di luar, akhirnya gue memutuskan untuk masuk kembali ke dalam. "Gue masuk ke dalem, ya?"

Ketika gue belum beranjak sesenti pun dari tempat gue berdiri, Vina menahan lengan gue, tapi dia nggak menatap ke arah gue. "Gue mau ngomong sama elo, Don. Bentar aja."

Karena gue nggak bisa menolak ajakan cewek, apalagi makhluk yang bernama Vina ini, pada akhirnya gue menurut dengannya dan ikut berjalan jauh dari toilet--nggak jauh banget sih karena kita berdua masih berada di depan toilet, hanya saja sekarang kita berdua bersandar miring di tembok depan toilet.

Vina menghentikan langkah dan memutar tubuh menghadap gue. Dari wajahnya terlihat gelisah, dia ingin mengucapkan sesuatu, tetapi yang dia lakukan hanyalah tergagap.

"Tarik napas, buang napas," gue menyuruhnya untuk mengontrol emosi. "Mau ngomongin apa?"

Vina mengikuti ucapan gue, lalu menatap netra heran gue. "Gue mau minta saran lo."

Sebelah alis gue sukses terangkat, merasa heran sekaligus kepo. "Saran? Apa?"

Vina menggigit bibir bawahnya, masih ragu dengan 'saran' yang ingin diminta olehnya ke gue.

"Tapi, ketika gue udah ngomong 'hal ini' ke elo, lo harus bantuin gue, Don. Gue nggak mau tau."

"Iya. Apa?" Akhirnya gue juga geregetan dengan sikapnya. Tapi tanpa sadar, gue membuat perjanjian dengannya tanpa mengetahui hal apa yang bakal terjadi ke depan jika ternyata 'hal' tersebut bisa berdampak buruk ke gue.

"Ini tentang Jaka."

Sebenarnya gue agak nggak heran kalau ujung-ujungnya Vina bakal mengucapkan nama orang itu. Dan setelah mendengar namanya diucapkan oleh gadis pelaku cinta monyet gue ini, rasa penasaran gue langsung luluh lantak ke bumi.

"Ya. Ada apa dengan Jaka-Lo itu?"

Gue agak tersentak mendengar ucapan gue sendiri. Itu refleks, karena memang pada dasarnya gue kurang suka kalau Vina membicarakan tentang Jaka, di hadapan gue. Ya, ya. Sebut saja jealous.

Dan Vina pun juga terlihat kaget ketika gue mengucapkan hal kepemilikannya, dan sebenarnya gue memang sengaja mengeraskan kata 'Jaka-Lo' seakan-akan dia benar-benar pemiliknya.

Vina menghela napas sejenak sambil menutup matanya, kemudian mengatakan, "Gue mau putus sama Jaka." Gue terkesiap, hendak memotong ucapannya namun dia membuat gerakan untuk membuat gue tidak berbicara dahulu. "Gue harus gimana, Don?"

Pengin rasanya gue ngomong, 'Ya udah, lo putus aja, dan kita pacaran'. Kelar, kan? Tapi gue nggak mau sejahat itu. Mau gimana pun, Jaka teman gue, sahabat gue. Masa gue menyarankan Vina untuk putus dengan Jaka? Titel sahabat macam apa gue? Sahabat(ai)?

"Apa alasan lo buat putus sama Jaka?"

Setidaknya, gue harus tahu kenapa Vina mau putus dengan Jaka--walau rasanya setan di hati terus berteriak menyuruh Vina putus. Gue bahkan nggak tahu perasaan gue sekarang kayak apa. Senang enggak, sedih apalagi. Flat, nggak ada rasa.

Vina menggigit bibirnya, gelisah. Lihat, bahkan dia mengucapkan kalimat tadi dengan spontanitas--yang gue juga nggak ngerti apa tujuannya. Dia nggak punya alasan, Jaka itu terlalu flawless, susah untuk menemukan alasan putus dengan Jaka. Bahkan, kalau gue jadi cewek pun, putus gue jadikan kalimat haram di kamus halaman pertama gue.

"Lo kenapa sih, Vin?" tanya gue lagi.

"Ini semua salah lo, Don," dahi gue mengernyit, membentuk gurat kebingungan. "Lo datang di saat yang sangat nggak tepat."

Oke, ini mulai terasa drama. Apa maksudnya? Kenapa gue nggak ngerti dengan ucapannya? Kenapa hati gue nggak peka? Kenapa dia ngomong kayak gitu? Dan kenapa gue masih mau meladeni Vina di sini?

Belum sempat untuk menanggapi ucapan Vina, dia memajukan tubuh, menghampiri daerah wajah gue dengan gerakan kaku. Setan, memang. Tempat ini penuh setan karena Vina dengan beraninya mengecup bibir gue, singkat.

Kecupannya memang nggak begitu terasa, tapi aliran darah gue langsung berjalan bersamaan ke jantung, terpompa kembali ke daerah lain dan menciptakan detak tak beraturan. Sialan, Vina.

"Sekarang, lo ngerti? Paham, kan?"

Gue nggak paham--bukan nggak paham dengan kelakuannya tadi--, Vina yang terlalu agresif, apa memang hati gue yang nggak peka-peka jadi harus distimulasi dengan praktik macam tadi?

"Karena elo, Don. Puas lo udah ngebuat gue malu di depan lo?"

"Gue nggak minta, Vin," bela gue.

"Gue juga nggak minta untuk suka sama lo."

Telak. Dia suka gue, dan gue masih suka sama dia. Apa susahnya untuk saling menyayangi, sih?

Ya susah, karena ada tembok Cina di hadapan lo, goblok, bisik setan penghuni kamar mandi.

Setengah sadar, gue menurunkan kepala, mendekati wajah khususnya bibir ranumnya itu. Mata gue refleks tertutup ketika bibir kami saling mengecup. Kedua tangan gue merangkum sisi wajah Vina, sedangkan tangan Vina menaik ke arah pinggang gue.

Vina kooperatif, dia sedikit membuka bibir. Namun, gue hanya berani menyesap bibirnya lembut. Frenchkiss sangatlah tidak elit dilakukan sekarang, terlalu riskan.

Sekitar 3 menit hanya saling menyesap, gue melepaskan tautan bibir, menatap manik matanya yang tampak masih terlena dengan kelakuan setan gue tadi.

"Kita backstreet, ya?"

Ucapan gue mendapat anggukan mantap dari Vina, ditambah dengan lengkung senyumnya yang membuat gue kembali mengecup bibirnya, hanya beberapa detik. Vina terkekeh setelah gue melakukan hal itu. Vina menautkan jarinya di sela jemari gue. Gue meremasnya karena baru ingat akan sesuatu.

"Tapi lo nggak boleh putus sama Jaka, Vin."

Raut wajah Vina berubah sendu, gue pun juga begitu ketika mengucapkan kalimat tersebut.

"Kenapa?"

"Nggak sekarang, Vina. Jaka bisa curiga, apalagi lo nggak punya alasan yang logis untuk putus dari Jaka, kan? Dia bakal mikir kalau kedatangan gue membuat hubungan kalian berantakan--walaupun itu memang benar." Gue menghela napas, merapikan anak rambut Vina yang mencuat di dekat telinganya. "Bisa, kan?"

Vina terdiam sejenak, kemudian pada akhirnya mengangguk. Mungkin dia baru mengerti bahwa inilah satu-satunya jalan untuk gue dan dirinya. Gue pun malas untuk bermunafik ria kalau gue nggak suka sama Vina. Rasa itu masih sama, degup yang datang tanpa diminta juga kembali terasa.

"Good girl," gue mengacak pelan rambutnya dengan sayang. "Sekarang, lo balik ke teater duluan. Bilang aja gue lagi kebelet boker, biar kalau ditanya, alasannya sama."

Vina tertawa, kembali mengangguk. "Cium dulu sini," Vina menarik leher gue dan mencium sudut bibir gue.

Gue ber-wow ria. "Anaknya Bapak Dulloh ternyata seagresif ini, ya."

Vina tersenyum malu. "Gue ke dalam dulu. Bokernya jangan lama-lama."

"Yee! Orang gue cuma boker bohongan!"

Gue mendesah ketika melihat punggung Vina semakin mengecil di penglihatan gue. Yah, mulai saat ini, sepertinya gue bakal membuka pabrik kebohongan di depan teman-teman gue sendiri.

Apa ini karena efek di depan kamar mandi?
Continue reading
Share:
Views:
Newer Posts Older Posts Home
Subscribe to: Posts ( Atom )

Hi, you!

Hi, you!

Blog Archive

  • ▼  2017 (3)
    • ▼  September (1)
      • Intro Perkuliahan
    • ►  July (2)
      • Cerpen Sehari dari Watu Leter
      • Sorry, mate. [4]
  • ►  2016 (5)
    • ►  September (1)
    • ►  June (3)
    • ►  February (1)
  • ►  2015 (3)
    • ►  July (2)
    • ►  June (1)
  • ►  2014 (10)
    • ►  December (1)
    • ►  July (1)
    • ►  June (2)
    • ►  April (3)
    • ►  March (3)
  • ►  2013 (24)
    • ►  December (1)
    • ►  October (1)
    • ►  September (1)
    • ►  August (5)
    • ►  July (6)
    • ►  May (1)
    • ►  April (5)
    • ►  January (4)

Labels

CAKES! Cerbung Cerpen Imajinasi Travel Trip

Wanna be my mate?

© 2016 Astaghiri | All rights reserved
Created By Responsive Blogger Templates | Distributed By Gooyaabi Templates