Astaghiri

  • Home
  • CERPEN
  • CERBUNG
  • CAKES!
  • Trip
Cerpen Imajinasi

Rian!

Monday, June 27, 2016 By astaghiri 0 Comments
Sumber: https://twitter.com/jatengtwit/status/535955974138257409
Aku terbangun karena mendengar suara bising pacu roda kereta. Dengan mata menyipit, aku melihat seseorang keluar dari gerbong dan menutup pintunya dengan kasar. Aku mencoba menggerak-gerakkan kepala untuk memulihkan kesadaranku.

“Ini sudah sampai di mana ya, Pak… eh? Bu?” Aku bahkan tidak sadar bahwa orang di depanku sudah berganti penumpang. Kini di depanku ada seorang ibu-ibu dan mungkin anaknya, laki-laki.

“Di Bekasi, Mas,” jawab Ibu itu dengan tambahan senyuman di bibirnya. Aku bernapas lega karena perjalananku akan sampai sebentar lagi. “Turun di mana, Mas?”

“Eh? Di Pasar Senen, Bu. Kalau Ibu?”

“Oooh. Ibu di situ juga turunnya.”

Aku hanya mengangguk-angguk, sudah tidak tahu lagi apa yang harus kubicarakan padanya. Kemudian aku melirik ke arah anak kecil yang duduk di samping Ibu itu.

“Anaknya, Bu?”

“Bukan. Ini cucu Ibu dari anak pertama.” Aku ber-oh ria. Sebenarnya aku tidak begitu kaget, sih. Soalnya wajah Ibu di depanku ini memang sudah tak terlalu muda. “Kuliah, Mas?”

“Iya, Bu. Di Malang. Mau naik semester 5.”

Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku segera mengambilnya di dalam tas yang kutaruh di bawah bangku kereta.

“Adik, mau coklat?” tawarku pada anak kecil itu. Yah, walaupun coklatnya tersisa setengah batang, setidaknya aku masih mau menawarkan. Lagipula, sepertinya aku tidak mau memakannya lagi. Daripada mubazir, mending aku kasih ke anak kecil itu.

“Mauuu!” Dia langsung mengambil coklat di tanganku.

“Aduh, Mas. Jangan repot-repot,” ucap Ibu itu yang kemudian langsung menoleh ke arah cucunya. “Bilang terima kasih dulu dong, Yan.”

“Terima kasih, Maaaas!”

Aku tersenyum tipis, kemudian mengambil botol air mineral dan meminumnya. Rasanya aku tidak sabar untuk bisa mencapai rumah. Sudah lima bulan lebih aku jauh dari rumah, menimba ilmu di kota tanpa sanak saudara itu.

Aku melirik ke anak kecil yang kini telah berpindah duduk dengan neneknya, bergantian tempat. Sebenarnya aku juga tidak tahu sih apa yang ingin dilakukan oleh anak kecil itu. Tapi namanya juga anak kecil, selalu hiperaktif. Apalagi laki-laki.

Tiba-tiba aku merasa bahwa kereta yang kutumpangi ini melaju lebih cepat. Entah ini perasaanku saja atau bukan. Tetapi aku melihat Ibu di depanku ini memegangi cucunya yang tadi hampir saja mau terjatuh.

“Rian, ayo pindah tempat duduk lagi. Kamu di pojok saja, biar Nenek yang di pinggir,” perintah Ibu itu sambil memegangi tangan cucunya.

He? Namanya Rian? Sama seperti namaku.

“Tidak mau! Rian maunya di sini saja!” balasnya sambil mencoba melepaskan genggaman tangan neneknya.

Pintu gerbong terbuka, seorang pria berbadan tegap masuk ke dalam gerbong. Tidak ada yang aneh dari pria tersebut sampai tiba-tiba dia mengacungkan senjata api ke arah atas! Ya Tuhan!

“Jangan ada yang bergerak!” Beberapa jeritan anak kecil dan wanita terdengar mengaung di gerbong. Suasana berubah drastis menjadi tegang. Kereta ini sedang dibajak!

Ibu di depanku langsung mendekap cucunya dengan erat. Anak itu kelihatan bingung, tapi dia juga merasa ada sesuatu yang tidak beres. Wanita di sampingku pun juga langsung merengut di pojok bangku.

“Bagi yang memangku tas, taruh tas kalian di tengah gerbong! Cepat!”

Aku langsung melirik ke arah tas yang memang sedang kupangku. Aku ingin mengambil sesuatu di dalam tasku yang menurutku sangat penting. Sebelum pria itu melihat—

“Heh, kamu!” Aku terlonjak begitu pria tegap itu berteriak padaku. “Cepat taruh tasmu di bawah!” katanya sambil mengacungkan pistolnya ke arahku. Aku langsung menuruti perintahnya sebelum mungkin peluru itu akan bersarang di tubuhku.

Aku mulai resah, berdoa dalam hati semoga tidak ada korban dalam kejadian ini. Tapi aku juga was-was. Sepertinya pria tadi sudah menargetkanku untuk menjadi korbannya karena tadi aku sempat tidak menuruti perintahnya.

Aku melihat ke arah belakang. Ternyata ada pria lain yang juga membawa pistol di tangannya.

“Neeek. Aku mau pipiiiis.” Aku melirik ke arah anak kecil yang kini sedang berusaha untuk menahan rasa buang air kecilnya.

Neneknya langsung panik. Dalam keadaan genting seperti ini, ada saja hal di luar kendali yang begitu mendesak.

“Ditahan dulu ya, Nak. Kamu ngompol saja di sini tidak apa-apa, deh.” Hah? Jadi dia membiarkan cucunya untuk buang air kecil di sini? Yang benar saja! “Kamu tidak boleh ke mana-mana soalnya—”

“Pak!” Aku mencoba memanggil pria yang membawa pistol tersebut. Dia berbalik ke arahku dengan wajah yang garang.” Anu, Pak. Adik saya mau pipis. S-saya mau antar d-dia ke toilet. B-boleh, Pak?”

Aduh! Kenapa tiba-tiba aku yang bilang kalau aku yang akan mengantar anak kecil itu, sih? Ah! Daripada nanti dia mengompol di sini dan menyebarkan bau pesing ke mana-mana, mending aku antar dia ke toilet sekarang.

“Memangnya dia tidak bisa pipis sendiri?!” Aku malah dihardik oleh pria itu. Tapi karena dia melihat raut wajah anak kecil itu yang mungkin sudah tidak tahan lagi ingin buang air kecil, akhirnya kami diperbolehkan untuk ke toilet. “Ya sudah! Kamu yang antar. Jangan macam-macam!”

Mau tidak mau, akhirnya aku mengantar anak kecil ini ke toilet ujung gerbong sambil diawasi oleh salah satu pria yang membawa pistol tadi. Aku dan anak kecil ini masuk ke dalam toilet yang baunya langsung menusuk paru-paru.

“Dik, kamu bisa sendiri, ‘kan?”

Dia mengangguk-angguk. Aku hanya bisa menunggunya dari belakang, memastikan bahwa urin yang dikeluarkannya tidak mengenai pakaiannya. Tapi… tunggu sebentar. Apa yang sedang dilakukannya?

Dia mengeluarkan kain hitam dari kantong celananya, kemudian dilebarkan dan dipasang di lehernya layaknya superman. Apa-apaan anak ini?!

Tapi… tunggu sebentar. Duh! Kenapa harus tunggu sebentar terus, sih? Eh, tapi kali ini serius! Kok sepertinya hal ini sudah tidak asing lagi ya dalam memoriku? Apa aku pernah memimpikan hal ini? Atau justru aku pernah mengalami hal seperti ini?

Astaga!

“Dik! Nama kamu Rian? Rian Budiawan?”

Dia menolehku dengan raut heran. “Kok Om tahu namaku?”

Apa? Aku dipanggil ‘Om’? Sejak kapan aku menjadi setua itu?!

Ah! Itu tidak penting sekarang!

Yang penting untuk sekarang adalah… ternyata ini semua adalah fantasi pada masa kecilku! Dan anak kecil di depanku ini adalah aku! Aku yang masih berumur 5 tahun! Dan wanita yang bersama anak kecil ini adalah nenekku! Aku bisa memastikan itu!

Jadi… aku datang ke masa lalu? Ah! Tidak tahu!

“Dik… eh maksudku Rian. Sekarang kamu tahu ‘kan situasi di kereta sangat genting? Banyak nyawa yang harus kamu tolong. Kamu tahu ‘kan bagaimana caranya menyingkirkan kedua pembajak itu?”

Sekarang aku sangat yakin sekali! Ini adalah kisah fantasi yang pernah kuciptakan! Dulu aku membayangkan bahwa aku memiliki kekuatan untuk terbang dan bisa mengalahkan siapa pun!

“Heh! Kenapa lama sekali di dalam?!” Pria itu menggedor-gedor pintu toilet.

“S-sebentar, Pak! Saya sedang memakaikan celana adik saya!” balasku mengawur. Kemudian aku berbisik pada Rian, si ‘aku’ di masa kecil. “Rian, sekarang di depan toilet ada Bapak-bapak bawa pistol. Kamu harus—”

“Tenang saja, Om. Aku tahu apa yang harus kulakukan,” ucapnya dengan tenang.

Kemudian kami berdua keluar dari toilet. Aku melirik ke arah pria itu yang sedang menatap kami dengan garang. Tiba-tiba saja Rian langsung meloncat ke arah pundak pria itu dan memukul tengkuk kepalanya! Tanpa ada perlawanan, pria itu langsung tergeletak di lantai gerbong.

“W-wow…” Aku tidak pernah menyangka fantasiku bakal ‘seliar’ ini. “B-bagus, Rian. Kamu keren…” pujiku pada Rian.

Tapi hal ini diketahui oleh pria lain yang berada di dalam gerbong. Aku melihatnya sedang berlari ke arah kami. Namun tiba-tiba saja Rian membuka pintu gerbong dan langsung terbang ke arah pria itu!

Rian mengunci leher pria itu menggunakan kakinya. Terjadi pergolakan yang hebat karena badan Rian menutupi penglihatan pria itu. Beberapa penumpang yang di sekelilingnya hanya bisa berteriak karena takut terkena peluru yang menyasar.

Tiba-tiba seorang wanita berbaju putih yang tadi duduk di sampingku berdiri, menghampiri pria itu dan Rian. Dia mencoba membantu Rian dengan memegangi tangan pria itu untuk mengambil pistol yang sedang dipegangnya.

Rian hendak melakukan hal yang sama pada pria itu, yaitu memukul tengkuk kepalanya. Tetapi tiba-tiba sekelebat memori lewat di dalam otakku. Ini semua—

“Rian! Jangan dipuk—” Rian sudah terlanjur memukul tengkuk kepala pria itu. Dan wanita itu juga berhasil mengambil pistol dari pria yang kini sudah tersungkur di lantai.

Kini aku ingat semuanya! Dari awal aku juga merasa semua ini begitu janggal!

Aku baru ingat kalau ternyata kedua pria yang kini tersungkur itu adalah seorang polisi! Mereka berdua sedang mencari pelaku bom yang menyamar menjadi penumpang di sini! Ah! Semuanya jadi kacau!

Tiba-tiba wanita berbaju putih itu menarik Rian dan menodongkan pistol ke arahnya. Semua penumpang langsung tegang, terutama aku! Bagaimana nasibku di masa depan nanti?!

“Terima kasih ya, adik kecil. Sudah membantu Kakak untuk menyingkirkan dua polisi ini,” kata wanita itu sambil tersenyum sadis. Ternyata wanita itu adalah pelakunya! “Tapi Kakak sudah tidak butuh bantuan kamu, lebih baik kita mati bersama saja, ya?”

Wanita itu langsung menarik pelatuk, dan… DOR! Rian langsung tersungkur ke bawah, diiringi oleh teriakan histeris penumpang. Belum sampai di situ, tiba-tiba wanita itu mengarahkan pistol ke arah kepalanya dan…

“Semoga kita semua bertemu di neraka!”

DOR!

Penumpang semakin histeris. Wanita itu terjatuh, dan sepertinya nyawanya sudah tidak bersarang di tubuhnya lagi.

Aku langsung menghampiri Rian yang kini tergeletak tak bernyawa. Neneknya juga ikut menghampirinya, membawa tangis yang tak tertahankan.

“RIAN! RIAAAAAAAAN!”

Aku sudah tidak bisa berkata lagi. Tanganku gemetar menopang tubuh kecil itu. Apa ini merupakan akhir kisahku? Apa aku sudah tidak ada lagi di masa depan nanti? Atau…

Tunggu… Benda apa ini? Benda berwarna perak dengan salah satu ujungnya yang lancip. Bukankah ini peluru?

“Aduh… kepala Rian pusing…”

Tiba-tiba Rian terbangun. Astaga! Aku lupa kalau Rian memiliki kekuatan besi pada tubuhnya! Ya ampun! Kenapa aku bisa lupa sih kalau aku menciptakan fantasi diriku menjadi seorang manusia baja?

“Ri-Rian? Riaaan!” teriak wanita itu yang notabene adalah nenekku. Semua penumpang diserang kaget sekaligus heran dengan kejadian barusan.

“Aduh, Nek! Sesak, Nek! Sesak!”

Nenekku langsung melepas pelukannya pada Rian. Mungkin dia sudah tidak tahu kata-kata apa lagi yang harus diucapkannya selain bersyukur akan mukjizat yang dialami oleh Rian, ‘aku’ di masa kecil dan di fantasiku.

Sekarang aku ingat di mana letak bom itu berada!

Aku langsung berdiri dan berteriak. “SEMUA YANG ADA DI SINI, LANGSUNG PINDAH KE GERBONG PALING UJUNG KARENA BOM TERLETAK DI SALAH SATU BANGKU PENUMPANG DI SINI! BERITAHU PENUMPANG DI GERBONG LAINNYA AGAR SEGERA PINDAH KE GERBONG TERAKHIR!”

Para penumpang langsung berbondong-bondong keluar dari gerbong ini dan pindah menuju gerbong paling terakhir. Kemudian aku menatap nenekku.

“Nek, Nenek harus ke belakang gerbong sekarang. Biar aku sama Rian yang menyelesaikan masalah ini.”

“Tapi Rian masih kecil! Kenapa tidak kamu saja yang melakukannya?”

Aku menelan ludah, tidak percaya bahwa nenekku bisa berkata seperti itu padaku. Padahal ‘kan aku juga cucunya… Cucu masa depannya…

“Nek.” Kali ini Rian yang berbicara. “Sekarang Nenek harus ke gerbong paling akhir, nanti Rian menyusul, kok. Oke, Nek? Nenek mau punya cucu yang terkenal, tidak? Nanti aku masuk koran dan televisi lho gara-gara menyelamatkan nyawa orang banyak!”

Sebenarnya aku mau tertawa, tetapi suasananya sedang tidak pas.

“Awas kamu kalau tidak menyusul Nenek!” Kemudian nenekku berdiri, meninggalkan kami berdua.

“Om! Om tahu di mana letak bomnya?”

Apakah aku setua itu hingga anak kecil ini memanggilku dengan sebutan ‘Om’?! Ah! Itu tidak penting! Lagipula, anak kecil itu adalah aku di 15 tahun yang lalu, jadi aku mengatai diriku sendiri. Ah, peduli amat! Sekarang aku harus menyelamatkan nyawa penumpang di kereta ini!

“Di bawah bangku wanita tadi! Pasti di sana!”

Kemudian aku dan Rian berlari menuju bangku wanita yang kini sudah terkapar tak bernyawa. Aku langsung melihat ke arah kolong, dan ternyata benar! Di sana terpasang bom yang sudah diaktifkan oleh wanita tadi! Sialan!

30 detik lagi! ARGH!

Jantungku langsung berpacu dengan cepat. Aku tidak mau mati sekarang, dan aku juga tidak mau Rian kecil ini mati bersamaku. Aku sama sekali tidak tahu-menahu tentang bom, dan aku tidak tahu bagaimana cara mematikannya.

20 detik lagi…

“Om, bagaimana?” tanya Rian padaku.

Aku menarik napas sejenak. Kalau Rian harus mati, berarti di masa depan aku sudah tidak ada lagi. Jadi… lebih baik aku yang mati dan membiarkan Rian tetap hidup.

“Rian! Dengarkan Om!” Aduh! Kenapa aku sendiri menyebut diriku dengan sebutan Om sih?! “Kamu harus melepaskan sambungan kereta gerbong ini! Kita harus menyelamatkan orang-orang di belakang kita!”

“I-iya, Om!” Rian langsung bergegas ke belakang gerbong, melepaskan kait yang menghubungkan gerbong ini dengan gerbong selanjutnya.

“Dan kamu juga harus hidup…”

BOOOM!

“MasyaAllah!” Tiba-tiba seseorang yang tidak kukenal mengagetiku. Eh? Kenapa… “Mengagetkan saja sih, Mas!” Lho? Kenapa dia yang kaget? “Ini sudah sampai di stasiun terakhir, Mas! Mau balik lagi ke Malang?”

Hah? Stasiun terakhir? Malang? Aduh! Apaan sih?

“Ini Stasiun Pasar Senen, Pak?”

“Iya, Mas. Tinggal Mas saja yang belum turun.”

Jadi… tadi aku hanya bermimpi? Tidak ada Rian kecil? Nenekku? Dua polisi? Wanita berbaju putih? Dan bom?

Aku tertawa sendiri. Ternyata tadi hanya mimpi belaka. Lagipula, aku tidak mungkin bertemu dengan diriku sendiri di masa kecil, dan mengalami fantasi yang pernah kuciptakan. Semuanya hanya imajinasi, mungkin karena akhir-akhir ini aku sedang stres memikirkan hasil ujian-ujianku.

Aku mengambil barang-barangku dan turun dari kereta. Kepalaku agak sedikit pusing karena terlalu lama tidur di kereta. Mungkin karena pengaruh obat anti mabuk yang kuminum, hingga aku tertidur seperti orang mati.

“Ooom!” Tiba-tiba ada seseorang yang kurasa sedang memanggilku. Aku menengok dan menemukan… “Terima kasih ya coklatnya!”

Ri…an? Rian?!
Continue reading
Share:
Views:
CAKES!

Berawal dari Tatap

Friday, June 10, 2016 By astaghiri 0 Comments
Berawal dari tatap
Indah senyummu memikat
Memikat hatiku yang hampa lara…


Sori, jadi konser dadakan. Biasa, soalnya gue termasuk garis keturunan Bang Ipul. Dikit-dikit nyanyi, dikit-dikit nyanyi. Tapi sebenernya, itu himpitan curhat juga sih… hmm…

Oke! Jangan OOT (Out Of Topic)! Walaupun judulnya Berawal dari Tatap, jangan jadikan blog ini sebagai ajang karaokean, karena gue akan menceritakan kenapa sekarang gue bisa menjadi Mahasiswi Biduan, eh, Mahasiswi Bidan maksudnya, di FKUB ini.

Ingat! Di sini ada beberapa konten yang cukup 'bar-bar' dan mungkin bakal sedikit merusak kinerja otak lo yang akan mengimajinasikan konten tersebut. Sebenarnya nggak jorok, cuma karena kalian belum terbiasa, 
hal-hal kayak 'gini' masih menjadi bahan yang tabu.
Tapi, enjoy aja!

Berawal dari Nyokap gue, Mama Ambarwati. Eh, no! Berawal dari Tante gue lahiran. Gue panggil doi dengan sebutan Mbak Endang, walaupun jelas-jelas dia Tante gue karena umurnya nggak jauh banget sama umur gue *padahal gue nggak tau umurnya doi berapa*.

"Kerudungnya ke mana, nduk?"
"Aku belum khilaf, mbah."
Kira-kira itulah perbandingan wajah gue sama doi. By the way, ini sekitar 6 tahun yang lalu (2010).
Waktu itu, testis gue turun (desensus testis), jadinya rupa gue seperti itu.
Singkat kata, Mbak En lahiran di Bidan Praktik Mandiri yang letaknya di depan gang rumah gue. Gue masih inget banget, tapi gue lupa waktu itu gue umur berapa, waktu itu sekitar jam 6-an gue ke BPM naik sepeda cewek. Entahlah, gue kepengin ke sana aja, gue mau ngapain juga nggak tau.

Setelah itu, gue masuk ke sana, Mbak En masih dalam keadaan mules-mules, Emak gue di sampingnya sambil memegangi tangannya, dan gue nari Tor-Tor di sana. Ya enggaklah. Gue juga bingung, gue harus ngapain di saat itu karena aku hanyalah seorang anak polos yang tidak tahu apa-apa.

Tetapi ketidakpolosan gue pada saat itu (ketuban Mbak En udah pecah) dinodai dengan dipampangkan sebuah pemandangan yang seharusnya anak di umur gue nonton bokep aja belum boleh, apalagi live-nya.

Jadi gini, posisinya pada saat itu adalah Tante gue tiduran di ranjang dengan posisi litotomi (posisi kaki ngangkang pada saat persalinan. Keren ya bahasanya? Wkwk). Gue di kanannya, tapi jongkok sambil memainkan sesuatu, yang kalau gue inget adalah kancut calon dedek bayinya Tante gue. Dan nyokap gue berada di samping kiri sambil membacakan doa-doa agar Tante gue dan calon dedeknya bisa selamat.

Yang gue herankan, ada sebuah cermin yang terletak di depan posisi Tante gue yang sedang dalam keadaan posisi litotomi itu. WTH! Gunanya apaaaa?!

Dan di saat gue sedang memikirkan apa fungsi cermin itu, terlihatlah sebuah pemandangan yang membuat kepala gue langsung menunduk mengheningkan cipta, sambil memainkan kembali kancut calon adek sepupu gue.

Berawal dari menatap itu, tiba-tiba saja ketika gue berada di masa SMA—kalau nggak salah kelas XI, nyokap gue menobatkan gue untuk menjadi seorang Bidan. Gue yang dikala itu emang belum ada pegangan apa-apa untuk masa depan, gue cuma bisa mangap tanpa tau apa alasan nyokap menyuruh gue untuk masuk ke bidang Bidan. And she says this:

“Soalnya waktu itu kamu berani Wir ngeliatin yang begituan.”

Ngeliatin? Begituan? Apa?

Setelah beberapa jam kemudian, nggak deng, setelahnya, gue baru sadar kalau yang nyokap maksud adalah kejadian pada saat itu, ya saat itu, yang berawal dari tatap itu.

Dan sebenarnya, ini belum selesai. Ya iyalah.

‘Keputusan’ nyokap gue yang selanjutnya bahkan bikin gue mangap 3 jari. Lebar banget.

Tungguin post selanjutnya!
Continue reading
Share:
Views:
CAKES!

CAKES!

Monday, June 6, 2016 By astaghiri 0 Comments
Hai-haaai! Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh!

Udah lama banget gue nggak nge-blog. Sekalinya nge-blog, gue beneran lagi nggak ada kegiatan, alias nganggur, alias liburan semester. Ketahuilah, cuma fakultas gue yang mengadakan libur hanya sementara bahkan diambang khayalan, hiks. #np Pasto – Aku Pasti Kembali.

Aku hanya libur tuk sementara~

Jadi, sekarang gue seorang mahasiswi *benerin kerah baju dulu* di salah satu Universitas di Malang. Ya lo pasti taulah, paling nggak ketebak. Wong universitas di sini aja udah kayak sekolah negeri, bertebaran di mana-mana euy.

Capcuslah. Gue kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Wuiiih. Eits, masih ada garis keturunannya lagi, bro. Dibawah FKUB ditarik garis lurus bahwa gue di program studi S1 Kebidanan. Kedokteran mah udah biasa, biasa menolak gue maksudnya, hiks.

Jadi sih sebenernya, dan intinya, CAKES! itu sendiri memiliki kepanjangan yaitu Catatan Seorang Calon Tenaga Kesehatan. Tadinya mau dipanjangan cuma Catatan Tenaga Kesehatan doang. Tapi karena gue belum profesi, jadinya gue masih calon. Kalau calon menantunya besan gimana, Cho? Cuih!

Kenapa sih gue bikin ini?

Pertama, gue ingin mengharumkan nama bangsa dengan menebarkan tukang minyak wangi ke seluruh Indonesia. Nggak, deng. Zaman sekarang tuh orang yang minat dalam membaca dan menulis sangatlah sedikit. Jadi, setidaknya, gue bisa meningkatkan minat gue dalam menulis walaupun hanya menulis pengalaman ecek-ecek gue.

Kedua, kebanyakan, orang-orang yang berada di jurusan kayak gue ini jarang banget yang bikin karya tulis karena mereka sukanya sibuk sama Mas Sobotta dan cadaver-cadavernya. By the way, kalau kalian nggak tau siapa dan apa itu Mas Sobotta dan cadaver, ini dia penampakannya.

Sumber: blog.umy.ac.id

Jadi, Sobotta merupakan atlas Kedokteran yang wajib disembah bagi orang-orang seperti kami. Kalau nggak ada Mas Sobotta, nggak tau deh hidup kami nanti bakal seperti apa #edisilebay. Tapi beneran, bahkan kalau pun udah punya Mas Sobotta, kita masih bingung letak-letak anatomi tubuh manusia yang MasyaAllah, sempurna namun rumit.

Sumber: www.cnet.com
Daaaan, yang di atas ini disebut sebagai cadaver. Kalau yang masih belum paham, cadaver adalah mayat yang digunakan untuk... apa ya? Intinya, cadaver ini dipergunakan sebagai objek 3 dimensi biar kita tau di mana letak 'asli' anatomi tubuh manusia dengan bantuan Mas Sobotta di atas. Gue sengaja cuma menampilkan cadaver tangan karena sepertinya kalau gue menampilkan semuanya, cadaver terlalu eksotis dan kata dosen gue, kita perlu menghormati dia yang telah rela 'diubek-ubek' tubuhnya sebagai bahan pembelajaran bagi kami. Terima kasih cadaver! *peluk hangat*

Dan yang ketiga, kayaknya alesan yang pertama dan yang kedua sama aja. Jadi, intinya ya cuma itu.

Sooooooo! Tungguin cerita dari gue ya! Gue jamin, nggak ada jaminannya setelah lo baca blog gue. Abain gue, otak gue memang baru dicuci kemarin. See you!
Continue reading
Share:
Views:
Newer Posts Older Posts Home
Subscribe to: Posts ( Atom )

Hi, you!

Hi, you!

Blog Archive

  • ►  2017 (3)
    • ►  September (1)
    • ►  July (2)
  • ▼  2016 (5)
    • ►  September (1)
    • ▼  June (3)
      • Rian!
      • Berawal dari Tatap
      • CAKES!
    • ►  February (1)
  • ►  2015 (3)
    • ►  July (2)
    • ►  June (1)
  • ►  2014 (10)
    • ►  December (1)
    • ►  July (1)
    • ►  June (2)
    • ►  April (3)
    • ►  March (3)
  • ►  2013 (24)
    • ►  December (1)
    • ►  October (1)
    • ►  September (1)
    • ►  August (5)
    • ►  July (6)
    • ►  May (1)
    • ►  April (5)
    • ►  January (4)

Labels

CAKES! Cerbung Cerpen Imajinasi Travel Trip

Wanna be my mate?

© 2016 Astaghiri | All rights reserved
Created By Responsive Blogger Templates | Distributed By Gooyaabi Templates