“Ah-ha,” Rina menyahut sambil memainkan ponselnya.
“Tadi malem, si doi balikan lagi sama mantannyaaaa….” Faras langsung mewek. Nino menepuk-nepuk bahu Faras dengan rasa kasihan. “Lo tau nggak sih betapa sakitnya hati gue—”
“I don’t belong here, we gotta move dear escape from this afterlife!!!” Tiba-tiba saja Rina bersenandung tanpa malu-malu lagi walaupun dia malu-maluin banget. Bibir Faras semakin dimanyunkan karena perlakuan temannya tersebut. Mau nggak mau, Nino juga harus ikut campur. Dia langsung mencopot headset yang ternyata dari tadi menempel di telinga Rina.
“Rin! Lo parah banget sih, orang mah lagi curhat tuh didengerin, bukannya malah dinyanyiin.”
“Oh?” Rina langsung memasang wajah emangnya-tadi-ada-yang-curhat-ya-sama-gue dengan tampang sok polosnya. “Sori deh, kenapa sih, jeung?”
Faras langsung ngambek, nggak menggubris Rina yang sok mulai bersimpatik. Dia langsung mematikan musik yang masih berdendang di headset-nya.
“Ngambek everywhere,” kata Nino yang kembali membalikkan tubuhnya dan mau nggak mau dia harus rujuk dengan tugas matematikanya itu.
Rina langsung mengangkat sudut bibirnya. Apa salahnya sih dia? Kayaknya hari ini orang lagi pada sensian banget.
Rina kembali memasang headset-nya dan menyalakan musik di ponselnya.
“I don’t belong here, we gotta move dear!”
“Rina!” Nino dan Faras langsung berteriakan bersama. Mau nggak mau, kayaknya Rina harus melepas headset-nya sebelum kedua temannya itu kembali mengomelinya.
Kayaknya kedua temannya itu lagi datang bulan deh.
***
Rina suka semua jenis musik, mungkin minus dangdut. Namun, ada beberapa lagu dangdut yang Rina sekedar suka, nggak cinta banget tapinya. Walaupun begitu, nggak ada tuh list lagu dangdut di ponselnya.
Selain suka mendengarkan musik, Rina juga suka menyanyi—ya walaupun suaranya bahkan nggak bisa mengalahkan suara siapa tuh yang nyanyi ‘Diobok-obok airnya diobok-obok’? Bahkan sebelum tuh penyanyi cilik belum baligh, si Rina nggak bakalan bisa mengalahkan suaranya.
Kalau kayak artis Indonesia sih, Rina lebih mirip Saipul Jamil yang kalau ke mana-mana dan di mana saja pasti bersenandung. Tapi Rina lebih mendengarkan musik sih dibandingkan bernyanyi-karena dia sudah tahu sendiri bahwa kualitas suaranya di bawah rata-rata.
Di mana pun, kapan pun, dan apapun situasinya, pasti Rina selalu mendengarkan musik. Untuk nggak mengganggu orang yang berada di sekitarnya, Rina selalu menggunakan headset. Ya walaupun sebenarnya dia tetap mengganggu karena setiap mendengarkan musik, Rina selalu bersenandung sendiri.
Kalau belajar, pasti dia mendengarkan musik. Mau makan, Rina lebih ingin mendengarkan musik dibandingkan sambil menonton tv. Bahkan ketika ingin pup-pun, Rina… tahu sendiri lah ya?
Dan di saat ingin tidur pun, Rina harus mendengarkan musik sebagai pengantarnya menuju dunia kapuk. Yah jika dalam situasi ini Rina lebih cepat sampai menuju dunia kesukaannya itu.
List pertama, terdengar lagu berjudul High milik James Blunt, lalu juga You’re Beautiful miliknya. Sayup-sayup, mata Rina mulai terkantuk walaupun otaknya masih terus bekerja karena masih fokus mendengarkan musik. Lalu The Scientis milik Coldplay. Mata Rina mulai tertutup, namun ia masih setengah sadar. Dan selanjutnya terputar lagu milik Sheila on 7 dengan judul Berhenti Berharap.
Dentingan piano yang terdengar di telinganya membuat kelopak mata Rina sedikit terbuka. Ia baru tersadar bahwa hanya dirinya yang tinggal di lantai atas rumahnya. Hembusan aneh baru saja menggerayapi tubuhnya. Rina segera berganti posisi tidur.
Aku tak percaya lagi
Dengan apa yang kau beri
Aku terdampar di sini
Tersudut menunggu mati
Aku tak percaya lagi
Akan guna matahari
Yang mampu terangi
Sudut gelap hati ini
Hihihihi…
Kini, kelopak mata Rina terbuka. Suara apa itu? Baru saja… ia mendengar suara orang tertawa? Kemudian, ia juga mendengar desahan napas yang begitu panjang. Dengan hati yang was-was, Rina mencoba kembali tertidur. Mungkin, tadi suara tetangganya yang masi terjaga.
Aku berhenti berharap
Dan menunggu datang gelap
Sampai nanti suatu saat
Tak ada cinta kudapat
Kenapa ada derita
Bila bahagia tercipta
Kenapa ada sang hitam
Bila putih menyenangkan?
Dan pada saat itu juga, Rina tertidur dengan pulas tanpa mengetahui ada seseorang yang sedang memerhatikannya dengan bibir yang terus melengkung ke atas. Sambil tersenyum puas, orang itu bersenandung dengan memainkan jari-jarinya seakan terlihat sedang gelisah.
“Pengecut lo ah!” Rina memaki-maki kedua temannya yang berhati ciut. “Masa kayak gini doang lo berdua cupu banget sih?” Kedua tangan Rina sudah berdecak di pinggangnya.
“Nggak mau ah!” sahut Faras yang nggak peduli dengan makian Rina barusan. “Gue takut! Lagian lo gila banget sih Rin! Kita keluar dari vila tanpa izin dari Bu Weli. Bisa-bisa kita ditebas nanti keluar larut malem kayak gini,” Faras mengamati sekitarnya. Langit-langit tak menampakkan bintangnya, bahkan jauh dari kata indah. Kabut malam mulai menutupi pemandangan.
“Oke,” Akhirnya Rina pasrah. “Lo boleh balik lagi ke kamar. Tapi elo,” Rina langsung menatap Nino dengan tampang lo-harus-ikut-gue. “Sebagai cowok, lo harus nemenin gue. Gue nggak bakal terima kata ‘gue nggak mau ikut’ dari mulut lo. Ayo!”
Rina langsung menarik tangan Nino. Mau nggak mau, Nino harus ikut dengan Rina yang setengah mati mau nyicipin buah strawberry yang berada di kebun belakang vila tersebut. Padahal kata pemilik vila, strawberry di sini belum tumbuh. Tapi Rina lihat pakai mata kepala sendiri bahwa ia melihat beberapa buah strawberry yang sudah masak berwarna merah cerah yang menggiurkan itu bertebaran di semak-semak strawberry tersebut. Gimana nggak menggiurkan coba?
“Rin, nanti aja deh pas di Jakarta gue beliin lo strawberry seabrek-abrek biar lo puas. Nggak usah nyeret-nyeret gue kayak gini dong.”
Rina menggeleng. Tuh, kan. “Ntar kan lo juga nyoba tuh buah. Jadi lo juga dapet gratisan. Udah deh, diem aja kenapa.”
Rina dan Nino menghentikan langkahnya. Terdengar suara grasak-grusuk dari arah belakang. Jantung Rina langsung mencelos. Takut-takut…
“Tungguin gue dong!”
Tahu-tahunya, Faras sudah menyempil di antara mereka. Rina langsung menghela napasnya sekaligus menjitak kepala Faras. Ia kira tadi pemilik vila sedang memeriksa kebun strawberry-nya.
“Katanya tadi lo nggak mau ikut!” bisik Rina dengan nada memarahi. Yang dimarahi hanya cengengesan saja dengan wajah sok polosnya.
“Hehehe… gue takut balik sendirian ke kamar…”
Rina langsung memasang wajah juteknya. Kemudian ia kembali berjalan memutari vila menuju halaman belakang vila tersebut. Terlihat hamparan pohon strawberry yang begitu luas dengan disinari rembulan. Efeknya cukup magis memang, membuat bulu kuduk mereka mulai berdiri. Namun hal itu nggak membuat Rina mematahkan rencananya.
“Rin… makin serem nih… balik yuk…”
Rina justru semakin mempercepat langkahnya. Sesaat, ia dapat melihat siluet strawberry yang dengan mudahnya dapat ia patahkan dari tangkainya. Setelah mencicipinya, ia melihat siluet yang lain. Siluet itu hitam, berdiri di antara semak-semak strawberry dan sekarang… sedang menatap ke arah mereka.
Entah mengapa tiba-tiba kaki Rina tak bisa digerakkan semenjak mendapat tatapan dari siluet itu. Matanya terus saja gelisah, ingin mendapat pertolongan. Namun sia-sia, ternyata kedua temannya sudah tak berada di belakangnya lagi. Dan di saat ia kembali menghadap ke arah depan, siluet yang berdiri di antara semak-semak itu sudah berdiri di hadapannya!
I don’t wanna hear you, kick me out! Kick me out!
I don’t wanna hear you, no, kick me out! Kick me out!
I don’t wanna hear you! I don’t wanna hear you!
Rina langsung terlonjak bangun ketika mendengar lagu Fake Tales of San Fransisco milik Arctic Monkeys yang menjadi nada dering alarmnya. Rina mengatur napasnya sejenak yang entah mengapa terasa sesak. Kemudian ia meneguk air putih yang selalu ia siapkan di meja samping ranjangnya. Setelah itu, ia bergegas ke kamar mandi.
“Guuuuuuys…. Jangan pulang dulu dong,” panggil Agung—ketua kelas mereka—dari dalam kelas yang sudah melihat Rina dan Faras keluar dari kelas. Kedua sahabat itu langsung menghela napasnya. Padahal, satu jam sebelum bel pulang sekolah mereka berdua sudah mengidam-idamkan menu baru di kafe yang biasa mereka kunjungi.
“Oke-oke,” sahut Rina dengan tampang malas. Kedua tangannya sudah berlipat di depan dadanya. “Ada apa?”
“Jadi, dua hari lagi kita fix ngisi liburan UAS ke Bandung ya. Gue cuma mau ngingetin, kita ngumpul di pombensin deket KFC, gue tunggu paling lambat jam 8. Resiko terlambat, ya gue tinggal. Oke, cuma itu aja. Ada yang mau nanya?”
Hah, ternyata cuma begitu doang, umpat Rina. Dia langsung mengajak Faras untuk segera pergi menuju kafe yang biasa mereka kunjungi. Ia juga memberi tanda pada Nino agar segera keluar dari kelas agar segera mengikuti mereka.
Rina membuka lemarinya. Memilah-milah baju yang akan dia bawa ke Bandung. Karena dia orangnya easy going, Rina hanya perlu membawa tas sejenis tas gunung yang ukurannya nggak jauh dengan tas sekolahnya. Karena dia pikir pasti teman-teman rempongnya ada yang membawa koper. Padahal, mereka hanya menginap tiga hari dua malam.
Di telinganya berdendang lagu Best I Ever Had milik Vertical Horizon.
So you sailed away
Into a grey sky morning
Now I’m here to stay
Love can be so boring
Nothing’s quite the same now
I just say your name now
But it’s not so bad
You’re only the best I ever had
You don’t want me back
You just—
Tiba-tiba musiknya terhenti. Mata Rina langsung berpaling pada ponselnya. Kemudian ia memeriksa ponselnya, mungkin saja tadi nggak sengaja menekan sesuatu, jadi musiknya terhenti. Tapi nggak mungkin. Ponselnya kan layar sentuh, dan dia ingat betul sudah menekan tombol kunci di ponselnya.
Rina mengerutkan keningnya. Ternyata musiknya cuma berhenti berputar. Ia kembali menyalakan musiknya. Namun nggak lama, hal itu terjadi lagi. Hal ini membuat Rina cukup jengkel. Akhirnya dia memaki-maki ponselnya sendiri.
“Lo lagi kenapa sih hari ini? Udah tau gue lagi enak-enakan denger lagu, tiba-tiba malah—”
“Tolong.”
Tenggorokkan Rina langsung tercekat. Siapa yang berbicara barusan?
Rina terburu-buru langsung kembali menyalakan musiknya. Selang beberapa detik, musiknya kembali terhenti.
"Tolong aku, Kak.”
Rina langsung melepas headset-nya dan melempar ponselnya begitu saja. Sebenarnya sih karena ponselnya lepas dari tangannya karena ia terserang kaget dadakan. Apa tadi ia sedang berhalusinasi? Sepertinya ia benar-benar mendengar suara yang dengan mudahnya menaikkan bulu kuduknya.
Karena nggak mau membuat pikirannya semakin menjalar ke mana-mana, Rina segera mem-packing pakaiannya dan pergi ke kamarnya. Sebenarnya sih ia enggan untuk mengambil ponselnya lagi. Tapi mau bagaimana? Ia masih cukup penasaran sekaligus memang nggak bakal mau jauh dari ponselnya tersebut.
Rina memberanikan diri mendengarkan musik dari ponselnya. Walaupun tangannya sedikit gemetar, ia mencoba membuktikan bahwa tadi dia hanya berhalusinasi. Rina mulai dengan mendengarkan lagu 21 Guns.
Semuanya normal. Nggak ada acara tiba-tiba lagunya berhenti bahkan sampai lagu itu habis. Berarti, tadi Rina hanya berhalusinasi saja. Mungkin dia terlalu kelelahan di sekolah.
Dan lagu selanjutnya, Posessif milik Naif.
Rina nggak ingat kapan dia memasukkan lagu ini ke ponselnya. Tapi dia nggak peduli tentang hal itu, yang dia mau dia ingin langsung mengganti lagu yang lain. Tapi anehnya, berkali-kali ia menekan tombol next, lagunya nggak mau berganti.
Bila kumati
Kau juga mati
Walau tak ada cinta
Sehidup semati
Jadilah eng—
“Kak, tolong aku. Aku mohon.”
Kali ini, Rina benar-benar membuang ponselnya jauh-jauh. Napasnya tiba-tiba terasa sesak. Sepertinya ia kurang tidur, jadi banyak berhalusinasi. Rina langsung menarik selimutnya dan menutup seluruh tubuhnya.
“Hah! Capeknya!” Rina meregangkan ototnya setelah sampai di vila tujuan. Vilanya memang nggak begitu besar, tapi halamannya itu lho. Belum lagi ada perkebunan strawberry di belakang vila. Kayaknya dia nggak menyesal mau berlibur bareng dengan teman-temannya tersebut.
“Gue boleh metik strawberry nggak?” seru Rina seakan rasa capeknya luruh ke lantai. Seorang gadis bernama Hara yang diketahui pemilik vila ini—ya mungkin vila peninggalan orangtuanya—tersenyum dengan manisnya ke arah Rina.
“Maaf, teh, strawberry-nya lagi nggak berbuah, jadi teteh nggak bisa metik buahnya,” tuturnya manis.
Rina hanya ber-oh ria. Nggak berbuah katanya? Padahal tadi Rina sempat melihat beberapa strawberry yang berwarna merah cerah masih di tangkainya. Benar-benar kepengin dipetik dan langsung dimakan. Halah, bilang aja pelit, umpatnya.
Rina langsung permisi untuk pergi ke kamarnya. Dia sekamar dengan Faras tentunya. Kamar Nino di samping kamar mereka. Karena hawa banget yang dinginnya cukup keterlaluan, Rina lebih memilih tidur dibandingkan harus mengikuti games yang sengaja dibuat oleh teman-temannya tersebut. Dan akhirnya, ia terlelap hingga menjelang malam.
Bangun-bangun, Faras sudah terlelap di sampingnya. Ya ampun. Berarti sekarang sudah larut malam banget dong? Mana hawanya semakin dingin lagi.
“Far, far, bangun dong.”
“Apaan sih Rin, gue ngantuk nih,” keluh Faras.
“Lo mau dapet jackpot nggak? Ayo ikut gue!” kata Rina yang tiba-tiba saja terlintas suatu ide.
Tunggu. Ini déjà vu?
Faras terbangun. Sebenarnya dia nggak ngantuk-ngantuk banget sih. Karena tadi dia habis membakar jagung dan ayam bareng teman-temannya. Alhasil, asap yang mengenai matanya membuatnya menjadi susah tertidur.
Faras dan Rina keluar dari kamarnya. Dan bingo! Mereka berdua langsung bertemu dengan Nino. Alhasil, Rina bisa menyeret langsung Nino untuk mengikutinya.
“Lo berdua pada mau ngapain sih? Orang-orang tuh udah pada tidur,” keluh Nino.
“Kita mau melakukan pencurian strawberry yang diumpetin. Ayo! Gue tau lo berdua pasti juga ngiler. Sekarang mumpung yang punya vila udah tidur, mending kita beraksi.”
Nino dan Faras menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar penjelasan temannya yang kelewat waras tersebut.
“Rin, gue mau balik ke kamar aja deh,” pinta Faras yang mulai ketakutan.
“Rin, balik yuk. Mulai serem nih,” Nino juga ikut-ikutan.
“Nggak.” Rina langsung menolak. “Lo harus ikut gue. Ya udah Far, lo kalo mau balik, balik aja. Tapi lo nggak kebagian strawberry-nya!”
“Masa bodo deh, mending gue ke kamar aja.”
Nino dan Rina melanjutkan langkah mereka menuju pekarangan belakang. Bagi Rina sih ini tantangan, kalau bagi Nino ini namanya cari mati.
Tapi tunggu dulu. Ini déjà vu ya? Sepertinya ia pernah mengalami ini, tapi ka—
Nino langsung menarik tangan Rina agar segera berlindung di semak-semak. Dari wajahnya yang tertimpa cahaya rembulan, Rina mulai mencium hal yang tidak enak.
“Rin! Ada orang!” bisik Nino dengan nada ketakutan. Rina langsung menyuruh Nino untuk terdiam. Ia mencoba untuk mengintip ke arah orang yang dimaksud oleh Nino. Rina mengernyitkan dahinya. Ngapain bapak-bapak itu—yang diketahui sebagai pembantu di vila ini—membawa parang dan cangkul malam-malam begini?
Dan lebih anehnya lagi, sepertinya dia sedang berbicara dengan seseorang yang tertutup dengak semak-semak strawberry.
Terdengar suara desahan napas tertahankan dan tangisan pilu yang terbawa angin. Rina semakin nggak mengerti dengan suasana seperti ini. Dan matanya pun tiba-tiba terbelalak ketika melihat sepasang kaki yang tidak tertutup oleh semak-semak.
Dan ketika Rina melihat mamang itu mengangkat parang setinggi-tingginya, tahu-tahu Rina berteriak dan keluar dari persembunyiannya. Mamang itu nggak mungkin mau menebas pohon strawberry setinggi itu kalau dia ingin membunuh seseorang kan?
Mamang itu menatap Rina dengan sangarnya.
“Mamang! Apa yang mamang lakuin? Dan siapa yag ada di balik semak-semak itu? Mamang… lagi nggak metik strawberry kan?” Sempat-sempatnya Rina melucu. Namun kali ini ia benar-benar serius. Mungkin saja dia salah sangka. Tapi siapa yang tahu? Perasaannya benar-benar nggak enak kali ini.
“Kamu… kalian harus saya habisi terlebih dahulu.”
Tiba-tiba saja mamang itu membawa parangnya dan setengah berlari ke arah Nino dan Rina. Tiba-tiba saja kaki Rina nggak bisa digerakkan. Ini benar-benar nyata! Ini mimpinya yang waktu itu!
“Rina! Rin!” teriak Nino di belakang Rina. “Lari Rin! Rina! Sadar!”
Nino terus saja menarik baju Rina. Namun pada akhirnya, Nino benar-benar menarik Rina agar segera menjauh dari mamang itu.
“Di sana ada orang, Nin!” teriak Rina seakan teringat sepasang kaki di antara semak-semak strawberry tadi. “Lo mau ngebiarin dia mati?!”
“Lo harus inget nyawa lo dulu, Rin!” Nino mengingatkan. “Sekarang, posisi mamang itu lagi ngejar kita. Rin!” Rina terjerembap di tanah. Bahkan Nino sudah jauh dari hadapannya. Dan si mamang itu… mungkin nyawa Rina akan berada di tangannya.
“Kamu pikir kami bisa lari dari saya? Hahahaha.” Seakan-akan barusan parang yang dipegang mamang itulah yang berbicara dengannya.
Rina mencoba berdiri. Ia memang berhasil. Namun sayang, ujung parang yang tajam itu telah membelah cukup dalam betis Rina. Rina langsung meringis. Darah mengucur deras di bagian kakinya. Ia benar-benar nggak kuat menahan perih di kakinya.
Seakan belum puas dengan sambitan parangnya tadi, mamang itu kembali menorehkan parangnya di kaki Rina dengan sadisnya. Namun sebelum parang itu bisa memotong kaki Rina, Nino segera meloncat ke arah mamang itu dengan gagahnya.
“Jangan pernah ngelukain sahabat gue!” seru Nino sambil menendang tangan mamang itu. Akhirnya, parang miliknya terlepas. “Dasar bajingan!”
“Nino…” keluh Rina yang sudah tak tahan dengan rasa sakit di kakinya. “Sakit…”
Nino langsung menghampiri Rina. Kesempatan dalam kesempitan. Mamang itu mengambil sebilah pisau dari punggungnya dan menancapkannya ke arah bahu Nino. Sambil mengoyak-ngoyak daging yang baru saja ditusukkannya, dia berkata, “Jangan pernah main-main sama saya.”
Kaki Nino seakan-akan lumpuh. Ia berusaha menahan sekuat tenaga tubuhnya agar tak menjatuhi tubuh Rina. Tenaganya seakan tersedot ke pisau yang baru saja ditusukkan di bahunya tersebut.
“Arrrrrrrgggghhh!!!!!” Rina menggeleng kuat sambil melebarkan matanya. Ia melihat sahabat cewek satu-satunya tengah berlari ke arah mamang dengan membawa tali tambang, bersiap untuk menyekik mamang itu.
“Jangan Far… jangan…” Rina nggak siap jika kedua temannya mendapat perlakuan seperti dirinya.
Faras berhasil menyekik mamang itu. Tetapi karena kekuatannya melebihi Faras, mamang itu langsung membalikkan tubuhnya dan menahan tangan Faras. Faras lansgung menampakkan wajah ketakutannya. Ditariklah rambut panjang kesayangan Faras dengan sadisnya hingga membuat kulit rambutnya tertarik keluar.
“Gue nggak takut sama lo!!!” teriak Faras yang kemudian langsung menendang selangkangan mamang itu. Yah, apa sih kekurangan dari seorang lelaki kalau tidak memusat pada barang berharganya itu?
Karena Faras nggak puas, dia justru menginjak-injak bagian yang sama hingga membuat mamang itu benar-benar terkapar di tanah. Setelah itu, ia berusaha mengikat mamang itu agar dia nggak bisa lagi menyakiti siapa pun selama ada kesempatan.
Faras langsung berlari ke arah kedua temannya tersebut yang terkapar di tanah.
“Far… lo harus ngecek kebun belakang… di situ ada orang… di situ…”
Faras langsung berlari menuju kebun belakang. Dan, astaga. Hara si gadis pemilik vila ini terkapar tak sadarkan diri dengan tubuh penuh luka dan… tanpa busana. Kecuali pakaian dalamnya. Faras mencoba menyadarkan Hara. Ia melepaskan jaketnya dan memakaikannya pada Hara. Terlihat di tanah ada rok Hara yang ia gunakan tadi pagi.
“Eh? Ada apa ini? Ada apa?”
Orang-orang yang berada di dalam vila langsung keluar semua. Mereka kaget melihat Rina, Nino, dan pembantu vila sudah terkapar di tanah. Dan saat itu juga, Nino dan Rina sama-sama tak sadarkan diri.
Nino bangun dengan rasa ngilu di bahunya. Di sampingnya, Rina juga tertidur dengan raut wajah memilukan. Sinar matahari bergerombol masuk melewat celah-celah jendela. Ini sudah siang?
“Lo udah bangun, Nin?!” pekik Faras yang langsung memancarkan wajah bahagianya. Matanya kelihatan sembab. Sepertinya semalamam ia habis menangis.
“Apaan sih lo, Far,” Yang menyahut justru Rina. “Berisik tau nggak sih, gue lagi tidur.”
Faras langsung memeluk kedua temannya tersebut. Dia nggak peduli kedua temannya tersebut sudah mengeluh karena masih merasa kesakitan. Tapi dia bersyukur, kedua temannya masih bisa berkumpul dengannya lagi.
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Hara beserta Bi Nia di sampingnya masuk ke dalam. Nia sudah tak nampak berseri lagi. Mereka berdua duduk di samping ranjang tempat Nino dan Rina beristirahat.
“Syukurlah kalau kalian berdua sudah siuman,” kata Hara dengan senyum memaksa. “Aku teh nggak tau gimana kalau nggak ada kalian—”
Rina langsung menggenggam tangan Hara sambil tersenyum. “Ini karena kejahilan kami juga. Kami bersyukur bisa nolong kamu yang dalam situasi membahayakan.”
“Kejahilan kami? Lo doang kali, Rin!” Nino berseru jengkel. Rina hanya menyengir.
Hara bisa sedikit tertawa. “Lebih baik, kalian istirahat. Kalau butuh apapun, kalian minta sama Bi Nia ya? Aku pamit dulu keluar.”
Hara dan Bi Nia keluar dari kaar. Faras menghela napasnya sejenak. “Kasian Hara, gue bener-bener nggak tau harus ngapain kalo jadi dia.”
Faras langsung menceritakan segalanya setelah ia menyelamatkan Hara. Mamang yang dikenal sebagai pembantu di vila, dengan teganya memperkosa Hara. Hara bercerita, bahwa dulu tanah vila ini milik keluarga si mamang itu. Namun pada akhirnya, tanah ini dijual ke keluarga Hara dengan harga semurah-murahnya. Mungkin karena hal ini si mamang jadi balas dendam dengan keluarga Hara. Dan karena suatu kejadian, si mamang ini diperkerjakan di vila ini. Dan suatu hari, ayah, ibu, dan adiknya Hara meninggal karena kecelakaan. Semenjak itu, Hara merawat vila ini bersama mamang dan Bi Nia.
Dan begitulah sampai sekarang.
“Ciyeee nangis…” Faras langsung menyela Rina yang kelewat terharu. Dia memang jarang banget menangis.
“Namanya juga manusia, normal kali. Eh, Far. Tolong ambilin hape sama headset gue dong di tas. Gue kangen dengerin musik nih.”
Yah, akhirnya kembalilah kebiasaan buruk Rina. Tapi Faras tetap mau mengambilkan ponsel beserta headset milik Rina tersebut.
“Oh ya,” Nino menyikut lengan Rina. “Kayaknya seharian kemarin lo nggak nyumpelin headset ke kuping lo ya? Tumben banget bisa jauh-jauh dari musik.”
Rina hanya menyengir. Kemudian ia memasang kedua headset-nya di telinganya. Di saat diperingatkan oleh Nino tadi, ia baru teringat hal-hal aneh yang terjadi kepadanya. Ya, suara itu.
Tapi sekarang Rina sudah nggak peduli. Mungkin dia memang benar-benar lagi mengkhayal.
Lagu For the First Time milik The Script berdendang di telinganya.
She’s all layed up in bed with a broken heart
While I’m drinking Jack all alone I my local bar, and we don’t know how
How we got into this mad situation, only doing things out of frustration
Trying to make it work, but man these times are hard
She needs me now—
Tiba-tiba putaran lagunya terhenti. Kejadian kemarin terulang lagi.
“Terimakasih ya Kak atas pertolongan kakak dan teman-teman kakak. Kakak boleh kok ngambil strawberry di pekarangan tapi izin dulu ya sama kak Hara. Oh ya, kenalin, aku Bunga, adik Kak Hara. Hihihi.”
Sekujur tubuh Rina langsung merinding. Tiba-tiba, lagu yang tadi sempat terhenti kembali terputar. Wajah Rina langsung memucat. Faras yang melihat temannya terlihat aneh, langsung mencelanya.
“Lo kenapa Rin? Makin sakit lukanya?”
“Ng—nggak, gapapa.”
***
“Pengecut lo ah!” Rina memaki-maki kedua temannya yang berhati ciut. “Masa kayak gini doang lo berdua cupu banget sih?” Kedua tangan Rina sudah berdecak di pinggangnya.
“Nggak mau ah!” sahut Faras yang nggak peduli dengan makian Rina barusan. “Gue takut! Lagian lo gila banget sih Rin! Kita keluar dari vila tanpa izin dari Bu Weli. Bisa-bisa kita ditebas nanti keluar larut malem kayak gini,” Faras mengamati sekitarnya. Langit-langit tak menampakkan bintangnya, bahkan jauh dari kata indah. Kabut malam mulai menutupi pemandangan.
“Oke,” Akhirnya Rina pasrah. “Lo boleh balik lagi ke kamar. Tapi elo,” Rina langsung menatap Nino dengan tampang lo-harus-ikut-gue. “Sebagai cowok, lo harus nemenin gue. Gue nggak bakal terima kata ‘gue nggak mau ikut’ dari mulut lo. Ayo!”
Rina langsung menarik tangan Nino. Mau nggak mau, Nino harus ikut dengan Rina yang setengah mati mau nyicipin buah strawberry yang berada di kebun belakang vila tersebut. Padahal kata pemilik vila, strawberry di sini belum tumbuh. Tapi Rina lihat pakai mata kepala sendiri bahwa ia melihat beberapa buah strawberry yang sudah masak berwarna merah cerah yang menggiurkan itu bertebaran di semak-semak strawberry tersebut. Gimana nggak menggiurkan coba?
“Rin, nanti aja deh pas di Jakarta gue beliin lo strawberry seabrek-abrek biar lo puas. Nggak usah nyeret-nyeret gue kayak gini dong.”
Rina menggeleng. Tuh, kan. “Ntar kan lo juga nyoba tuh buah. Jadi lo juga dapet gratisan. Udah deh, diem aja kenapa.”
Rina dan Nino menghentikan langkahnya. Terdengar suara grasak-grusuk dari arah belakang. Jantung Rina langsung mencelos. Takut-takut…
“Tungguin gue dong!”
Tahu-tahunya, Faras sudah menyempil di antara mereka. Rina langsung menghela napasnya sekaligus menjitak kepala Faras. Ia kira tadi pemilik vila sedang memeriksa kebun strawberry-nya.
“Katanya tadi lo nggak mau ikut!” bisik Rina dengan nada memarahi. Yang dimarahi hanya cengengesan saja dengan wajah sok polosnya.
“Hehehe… gue takut balik sendirian ke kamar…”
Rina langsung memasang wajah juteknya. Kemudian ia kembali berjalan memutari vila menuju halaman belakang vila tersebut. Terlihat hamparan pohon strawberry yang begitu luas dengan disinari rembulan. Efeknya cukup magis memang, membuat bulu kuduk mereka mulai berdiri. Namun hal itu nggak membuat Rina mematahkan rencananya.
“Rin… makin serem nih… balik yuk…”
Rina justru semakin mempercepat langkahnya. Sesaat, ia dapat melihat siluet strawberry yang dengan mudahnya dapat ia patahkan dari tangkainya. Setelah mencicipinya, ia melihat siluet yang lain. Siluet itu hitam, berdiri di antara semak-semak strawberry dan sekarang… sedang menatap ke arah mereka.
Entah mengapa tiba-tiba kaki Rina tak bisa digerakkan semenjak mendapat tatapan dari siluet itu. Matanya terus saja gelisah, ingin mendapat pertolongan. Namun sia-sia, ternyata kedua temannya sudah tak berada di belakangnya lagi. Dan di saat ia kembali menghadap ke arah depan, siluet yang berdiri di antara semak-semak itu sudah berdiri di hadapannya!
I don’t wanna hear you, kick me out! Kick me out!
I don’t wanna hear you, no, kick me out! Kick me out!
I don’t wanna hear you! I don’t wanna hear you!
Rina langsung terlonjak bangun ketika mendengar lagu Fake Tales of San Fransisco milik Arctic Monkeys yang menjadi nada dering alarmnya. Rina mengatur napasnya sejenak yang entah mengapa terasa sesak. Kemudian ia meneguk air putih yang selalu ia siapkan di meja samping ranjangnya. Setelah itu, ia bergegas ke kamar mandi.
***
“Guuuuuuys…. Jangan pulang dulu dong,” panggil Agung—ketua kelas mereka—dari dalam kelas yang sudah melihat Rina dan Faras keluar dari kelas. Kedua sahabat itu langsung menghela napasnya. Padahal, satu jam sebelum bel pulang sekolah mereka berdua sudah mengidam-idamkan menu baru di kafe yang biasa mereka kunjungi.
“Oke-oke,” sahut Rina dengan tampang malas. Kedua tangannya sudah berlipat di depan dadanya. “Ada apa?”
“Jadi, dua hari lagi kita fix ngisi liburan UAS ke Bandung ya. Gue cuma mau ngingetin, kita ngumpul di pombensin deket KFC, gue tunggu paling lambat jam 8. Resiko terlambat, ya gue tinggal. Oke, cuma itu aja. Ada yang mau nanya?”
Hah, ternyata cuma begitu doang, umpat Rina. Dia langsung mengajak Faras untuk segera pergi menuju kafe yang biasa mereka kunjungi. Ia juga memberi tanda pada Nino agar segera keluar dari kelas agar segera mengikuti mereka.
***
Rina membuka lemarinya. Memilah-milah baju yang akan dia bawa ke Bandung. Karena dia orangnya easy going, Rina hanya perlu membawa tas sejenis tas gunung yang ukurannya nggak jauh dengan tas sekolahnya. Karena dia pikir pasti teman-teman rempongnya ada yang membawa koper. Padahal, mereka hanya menginap tiga hari dua malam.
Di telinganya berdendang lagu Best I Ever Had milik Vertical Horizon.
So you sailed away
Into a grey sky morning
Now I’m here to stay
Love can be so boring
Nothing’s quite the same now
I just say your name now
But it’s not so bad
You’re only the best I ever had
You don’t want me back
You just—
Tiba-tiba musiknya terhenti. Mata Rina langsung berpaling pada ponselnya. Kemudian ia memeriksa ponselnya, mungkin saja tadi nggak sengaja menekan sesuatu, jadi musiknya terhenti. Tapi nggak mungkin. Ponselnya kan layar sentuh, dan dia ingat betul sudah menekan tombol kunci di ponselnya.
Rina mengerutkan keningnya. Ternyata musiknya cuma berhenti berputar. Ia kembali menyalakan musiknya. Namun nggak lama, hal itu terjadi lagi. Hal ini membuat Rina cukup jengkel. Akhirnya dia memaki-maki ponselnya sendiri.
“Lo lagi kenapa sih hari ini? Udah tau gue lagi enak-enakan denger lagu, tiba-tiba malah—”
“Tolong.”
Tenggorokkan Rina langsung tercekat. Siapa yang berbicara barusan?
Rina terburu-buru langsung kembali menyalakan musiknya. Selang beberapa detik, musiknya kembali terhenti.
"Tolong aku, Kak.”
Rina langsung melepas headset-nya dan melempar ponselnya begitu saja. Sebenarnya sih karena ponselnya lepas dari tangannya karena ia terserang kaget dadakan. Apa tadi ia sedang berhalusinasi? Sepertinya ia benar-benar mendengar suara yang dengan mudahnya menaikkan bulu kuduknya.
Karena nggak mau membuat pikirannya semakin menjalar ke mana-mana, Rina segera mem-packing pakaiannya dan pergi ke kamarnya. Sebenarnya sih ia enggan untuk mengambil ponselnya lagi. Tapi mau bagaimana? Ia masih cukup penasaran sekaligus memang nggak bakal mau jauh dari ponselnya tersebut.
Rina memberanikan diri mendengarkan musik dari ponselnya. Walaupun tangannya sedikit gemetar, ia mencoba membuktikan bahwa tadi dia hanya berhalusinasi. Rina mulai dengan mendengarkan lagu 21 Guns.
Semuanya normal. Nggak ada acara tiba-tiba lagunya berhenti bahkan sampai lagu itu habis. Berarti, tadi Rina hanya berhalusinasi saja. Mungkin dia terlalu kelelahan di sekolah.
Dan lagu selanjutnya, Posessif milik Naif.
Rina nggak ingat kapan dia memasukkan lagu ini ke ponselnya. Tapi dia nggak peduli tentang hal itu, yang dia mau dia ingin langsung mengganti lagu yang lain. Tapi anehnya, berkali-kali ia menekan tombol next, lagunya nggak mau berganti.
Bila kumati
Kau juga mati
Walau tak ada cinta
Sehidup semati
Jadilah eng—
“Kak, tolong aku. Aku mohon.”
Kali ini, Rina benar-benar membuang ponselnya jauh-jauh. Napasnya tiba-tiba terasa sesak. Sepertinya ia kurang tidur, jadi banyak berhalusinasi. Rina langsung menarik selimutnya dan menutup seluruh tubuhnya.
***
“Hah! Capeknya!” Rina meregangkan ototnya setelah sampai di vila tujuan. Vilanya memang nggak begitu besar, tapi halamannya itu lho. Belum lagi ada perkebunan strawberry di belakang vila. Kayaknya dia nggak menyesal mau berlibur bareng dengan teman-temannya tersebut.
“Gue boleh metik strawberry nggak?” seru Rina seakan rasa capeknya luruh ke lantai. Seorang gadis bernama Hara yang diketahui pemilik vila ini—ya mungkin vila peninggalan orangtuanya—tersenyum dengan manisnya ke arah Rina.
“Maaf, teh, strawberry-nya lagi nggak berbuah, jadi teteh nggak bisa metik buahnya,” tuturnya manis.
Rina hanya ber-oh ria. Nggak berbuah katanya? Padahal tadi Rina sempat melihat beberapa strawberry yang berwarna merah cerah masih di tangkainya. Benar-benar kepengin dipetik dan langsung dimakan. Halah, bilang aja pelit, umpatnya.
Rina langsung permisi untuk pergi ke kamarnya. Dia sekamar dengan Faras tentunya. Kamar Nino di samping kamar mereka. Karena hawa banget yang dinginnya cukup keterlaluan, Rina lebih memilih tidur dibandingkan harus mengikuti games yang sengaja dibuat oleh teman-temannya tersebut. Dan akhirnya, ia terlelap hingga menjelang malam.
Bangun-bangun, Faras sudah terlelap di sampingnya. Ya ampun. Berarti sekarang sudah larut malam banget dong? Mana hawanya semakin dingin lagi.
“Far, far, bangun dong.”
“Apaan sih Rin, gue ngantuk nih,” keluh Faras.
“Lo mau dapet jackpot nggak? Ayo ikut gue!” kata Rina yang tiba-tiba saja terlintas suatu ide.
Tunggu. Ini déjà vu?
Faras terbangun. Sebenarnya dia nggak ngantuk-ngantuk banget sih. Karena tadi dia habis membakar jagung dan ayam bareng teman-temannya. Alhasil, asap yang mengenai matanya membuatnya menjadi susah tertidur.
Faras dan Rina keluar dari kamarnya. Dan bingo! Mereka berdua langsung bertemu dengan Nino. Alhasil, Rina bisa menyeret langsung Nino untuk mengikutinya.
“Lo berdua pada mau ngapain sih? Orang-orang tuh udah pada tidur,” keluh Nino.
“Kita mau melakukan pencurian strawberry yang diumpetin. Ayo! Gue tau lo berdua pasti juga ngiler. Sekarang mumpung yang punya vila udah tidur, mending kita beraksi.”
Nino dan Faras menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar penjelasan temannya yang kelewat waras tersebut.
“Rin, gue mau balik ke kamar aja deh,” pinta Faras yang mulai ketakutan.
“Rin, balik yuk. Mulai serem nih,” Nino juga ikut-ikutan.
“Nggak.” Rina langsung menolak. “Lo harus ikut gue. Ya udah Far, lo kalo mau balik, balik aja. Tapi lo nggak kebagian strawberry-nya!”
“Masa bodo deh, mending gue ke kamar aja.”
Nino dan Rina melanjutkan langkah mereka menuju pekarangan belakang. Bagi Rina sih ini tantangan, kalau bagi Nino ini namanya cari mati.
Tapi tunggu dulu. Ini déjà vu ya? Sepertinya ia pernah mengalami ini, tapi ka—
Nino langsung menarik tangan Rina agar segera berlindung di semak-semak. Dari wajahnya yang tertimpa cahaya rembulan, Rina mulai mencium hal yang tidak enak.
“Rin! Ada orang!” bisik Nino dengan nada ketakutan. Rina langsung menyuruh Nino untuk terdiam. Ia mencoba untuk mengintip ke arah orang yang dimaksud oleh Nino. Rina mengernyitkan dahinya. Ngapain bapak-bapak itu—yang diketahui sebagai pembantu di vila ini—membawa parang dan cangkul malam-malam begini?
Dan lebih anehnya lagi, sepertinya dia sedang berbicara dengan seseorang yang tertutup dengak semak-semak strawberry.
Terdengar suara desahan napas tertahankan dan tangisan pilu yang terbawa angin. Rina semakin nggak mengerti dengan suasana seperti ini. Dan matanya pun tiba-tiba terbelalak ketika melihat sepasang kaki yang tidak tertutup oleh semak-semak.
Dan ketika Rina melihat mamang itu mengangkat parang setinggi-tingginya, tahu-tahu Rina berteriak dan keluar dari persembunyiannya. Mamang itu nggak mungkin mau menebas pohon strawberry setinggi itu kalau dia ingin membunuh seseorang kan?
Mamang itu menatap Rina dengan sangarnya.
“Mamang! Apa yang mamang lakuin? Dan siapa yag ada di balik semak-semak itu? Mamang… lagi nggak metik strawberry kan?” Sempat-sempatnya Rina melucu. Namun kali ini ia benar-benar serius. Mungkin saja dia salah sangka. Tapi siapa yang tahu? Perasaannya benar-benar nggak enak kali ini.
“Kamu… kalian harus saya habisi terlebih dahulu.”
Tiba-tiba saja mamang itu membawa parangnya dan setengah berlari ke arah Nino dan Rina. Tiba-tiba saja kaki Rina nggak bisa digerakkan. Ini benar-benar nyata! Ini mimpinya yang waktu itu!
“Rina! Rin!” teriak Nino di belakang Rina. “Lari Rin! Rina! Sadar!”
Nino terus saja menarik baju Rina. Namun pada akhirnya, Nino benar-benar menarik Rina agar segera menjauh dari mamang itu.
“Di sana ada orang, Nin!” teriak Rina seakan teringat sepasang kaki di antara semak-semak strawberry tadi. “Lo mau ngebiarin dia mati?!”
“Lo harus inget nyawa lo dulu, Rin!” Nino mengingatkan. “Sekarang, posisi mamang itu lagi ngejar kita. Rin!” Rina terjerembap di tanah. Bahkan Nino sudah jauh dari hadapannya. Dan si mamang itu… mungkin nyawa Rina akan berada di tangannya.
“Kamu pikir kami bisa lari dari saya? Hahahaha.” Seakan-akan barusan parang yang dipegang mamang itulah yang berbicara dengannya.
Rina mencoba berdiri. Ia memang berhasil. Namun sayang, ujung parang yang tajam itu telah membelah cukup dalam betis Rina. Rina langsung meringis. Darah mengucur deras di bagian kakinya. Ia benar-benar nggak kuat menahan perih di kakinya.
Seakan belum puas dengan sambitan parangnya tadi, mamang itu kembali menorehkan parangnya di kaki Rina dengan sadisnya. Namun sebelum parang itu bisa memotong kaki Rina, Nino segera meloncat ke arah mamang itu dengan gagahnya.
“Jangan pernah ngelukain sahabat gue!” seru Nino sambil menendang tangan mamang itu. Akhirnya, parang miliknya terlepas. “Dasar bajingan!”
“Nino…” keluh Rina yang sudah tak tahan dengan rasa sakit di kakinya. “Sakit…”
Nino langsung menghampiri Rina. Kesempatan dalam kesempitan. Mamang itu mengambil sebilah pisau dari punggungnya dan menancapkannya ke arah bahu Nino. Sambil mengoyak-ngoyak daging yang baru saja ditusukkannya, dia berkata, “Jangan pernah main-main sama saya.”
Kaki Nino seakan-akan lumpuh. Ia berusaha menahan sekuat tenaga tubuhnya agar tak menjatuhi tubuh Rina. Tenaganya seakan tersedot ke pisau yang baru saja ditusukkan di bahunya tersebut.
“Arrrrrrrgggghhh!!!!!” Rina menggeleng kuat sambil melebarkan matanya. Ia melihat sahabat cewek satu-satunya tengah berlari ke arah mamang dengan membawa tali tambang, bersiap untuk menyekik mamang itu.
“Jangan Far… jangan…” Rina nggak siap jika kedua temannya mendapat perlakuan seperti dirinya.
Faras berhasil menyekik mamang itu. Tetapi karena kekuatannya melebihi Faras, mamang itu langsung membalikkan tubuhnya dan menahan tangan Faras. Faras lansgung menampakkan wajah ketakutannya. Ditariklah rambut panjang kesayangan Faras dengan sadisnya hingga membuat kulit rambutnya tertarik keluar.
“Gue nggak takut sama lo!!!” teriak Faras yang kemudian langsung menendang selangkangan mamang itu. Yah, apa sih kekurangan dari seorang lelaki kalau tidak memusat pada barang berharganya itu?
Karena Faras nggak puas, dia justru menginjak-injak bagian yang sama hingga membuat mamang itu benar-benar terkapar di tanah. Setelah itu, ia berusaha mengikat mamang itu agar dia nggak bisa lagi menyakiti siapa pun selama ada kesempatan.
Faras langsung berlari ke arah kedua temannya tersebut yang terkapar di tanah.
“Far… lo harus ngecek kebun belakang… di situ ada orang… di situ…”
Faras langsung berlari menuju kebun belakang. Dan, astaga. Hara si gadis pemilik vila ini terkapar tak sadarkan diri dengan tubuh penuh luka dan… tanpa busana. Kecuali pakaian dalamnya. Faras mencoba menyadarkan Hara. Ia melepaskan jaketnya dan memakaikannya pada Hara. Terlihat di tanah ada rok Hara yang ia gunakan tadi pagi.
“Eh? Ada apa ini? Ada apa?”
Orang-orang yang berada di dalam vila langsung keluar semua. Mereka kaget melihat Rina, Nino, dan pembantu vila sudah terkapar di tanah. Dan saat itu juga, Nino dan Rina sama-sama tak sadarkan diri.
***
Nino bangun dengan rasa ngilu di bahunya. Di sampingnya, Rina juga tertidur dengan raut wajah memilukan. Sinar matahari bergerombol masuk melewat celah-celah jendela. Ini sudah siang?
“Lo udah bangun, Nin?!” pekik Faras yang langsung memancarkan wajah bahagianya. Matanya kelihatan sembab. Sepertinya semalamam ia habis menangis.
“Apaan sih lo, Far,” Yang menyahut justru Rina. “Berisik tau nggak sih, gue lagi tidur.”
Faras langsung memeluk kedua temannya tersebut. Dia nggak peduli kedua temannya tersebut sudah mengeluh karena masih merasa kesakitan. Tapi dia bersyukur, kedua temannya masih bisa berkumpul dengannya lagi.
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Hara beserta Bi Nia di sampingnya masuk ke dalam. Nia sudah tak nampak berseri lagi. Mereka berdua duduk di samping ranjang tempat Nino dan Rina beristirahat.
“Syukurlah kalau kalian berdua sudah siuman,” kata Hara dengan senyum memaksa. “Aku teh nggak tau gimana kalau nggak ada kalian—”
Rina langsung menggenggam tangan Hara sambil tersenyum. “Ini karena kejahilan kami juga. Kami bersyukur bisa nolong kamu yang dalam situasi membahayakan.”
“Kejahilan kami? Lo doang kali, Rin!” Nino berseru jengkel. Rina hanya menyengir.
Hara bisa sedikit tertawa. “Lebih baik, kalian istirahat. Kalau butuh apapun, kalian minta sama Bi Nia ya? Aku pamit dulu keluar.”
Hara dan Bi Nia keluar dari kaar. Faras menghela napasnya sejenak. “Kasian Hara, gue bener-bener nggak tau harus ngapain kalo jadi dia.”
Faras langsung menceritakan segalanya setelah ia menyelamatkan Hara. Mamang yang dikenal sebagai pembantu di vila, dengan teganya memperkosa Hara. Hara bercerita, bahwa dulu tanah vila ini milik keluarga si mamang itu. Namun pada akhirnya, tanah ini dijual ke keluarga Hara dengan harga semurah-murahnya. Mungkin karena hal ini si mamang jadi balas dendam dengan keluarga Hara. Dan karena suatu kejadian, si mamang ini diperkerjakan di vila ini. Dan suatu hari, ayah, ibu, dan adiknya Hara meninggal karena kecelakaan. Semenjak itu, Hara merawat vila ini bersama mamang dan Bi Nia.
Dan begitulah sampai sekarang.
“Ciyeee nangis…” Faras langsung menyela Rina yang kelewat terharu. Dia memang jarang banget menangis.
“Namanya juga manusia, normal kali. Eh, Far. Tolong ambilin hape sama headset gue dong di tas. Gue kangen dengerin musik nih.”
Yah, akhirnya kembalilah kebiasaan buruk Rina. Tapi Faras tetap mau mengambilkan ponsel beserta headset milik Rina tersebut.
“Oh ya,” Nino menyikut lengan Rina. “Kayaknya seharian kemarin lo nggak nyumpelin headset ke kuping lo ya? Tumben banget bisa jauh-jauh dari musik.”
Rina hanya menyengir. Kemudian ia memasang kedua headset-nya di telinganya. Di saat diperingatkan oleh Nino tadi, ia baru teringat hal-hal aneh yang terjadi kepadanya. Ya, suara itu.
Tapi sekarang Rina sudah nggak peduli. Mungkin dia memang benar-benar lagi mengkhayal.
Lagu For the First Time milik The Script berdendang di telinganya.
She’s all layed up in bed with a broken heart
While I’m drinking Jack all alone I my local bar, and we don’t know how
How we got into this mad situation, only doing things out of frustration
Trying to make it work, but man these times are hard
She needs me now—
Tiba-tiba putaran lagunya terhenti. Kejadian kemarin terulang lagi.
“Terimakasih ya Kak atas pertolongan kakak dan teman-teman kakak. Kakak boleh kok ngambil strawberry di pekarangan tapi izin dulu ya sama kak Hara. Oh ya, kenalin, aku Bunga, adik Kak Hara. Hihihi.”
Sekujur tubuh Rina langsung merinding. Tiba-tiba, lagu yang tadi sempat terhenti kembali terputar. Wajah Rina langsung memucat. Faras yang melihat temannya terlihat aneh, langsung mencelanya.
“Lo kenapa Rin? Makin sakit lukanya?”
“Ng—nggak, gapapa.”
***
Jadi, masih ada yang berani tidur sambil dengerin musik? :)
0 comments:
Post a Comment