Astaghiri

  • Home
  • CERPEN
  • CERBUNG
  • CAKES!
  • Trip
Cerpen

Cita-cita Keluarga

Saturday, July 11, 2015 By astaghiri 0 Comments
Diikutkan Dalam Lomba Cerpen ‘The Chronicles of Audy: 4/4’





“Au, SBMPTN milih apa?” tanya Missy ketika Audy lagi asyik memakan bekalnya. Tapi hasratnya melarut gara-gara Missy dengan tiba-tibanya bertanya seperti itu padanya.

Audy memutar bola matanya. “Sy, bisa nggak sih buat nggak ngomongin itu dulu? Ngerusak mood makan gue aja,” balas Audy dengan raut sebal. Padahal sehabis itu dia tetap menyuap bekalnya, tapi rasanya berbeda karena nikmat makanannya sudah menghilang.

“Lo tetep milih kedokteran, kan?”

Sekali lagi Audy melirik ke arah Missy. Entah kenapa rasanya kok nyesek banget kalau lagi ngomongin masalah itu. Belum lagi dia juga lagi dilema harus memilih apa karena sebentar lagi ujian SBMPTN akan dilaksanakan.

Dilema? Oh! Audy nggak perlu merasakannya karena orang tuanya—oh bukan, tapi KELUARGANYA—sudah dan pasti menyuruh Audy untuk memilih jurusan kedokteran yang notabene IQ siswanya pasti di atas rata-rata.

“Yah, mau gimana lagi. Itulah kemauan keluarga gue. Emangnya gue bisa apa? Ngelawan?” Missy cuma bisa diam melihat raut wajah lelah Audy yang akhir-akhir ini sering ngalor-ngidul di tempat les. “Gue cuma takut nggak bisa kuliah, Sy.” Tiba-tiba mata Audy terasa panas. Rasanya ia kepengin menangis ketika keinginannya untuk kuliah di luar kedokteran ditolak mentah-mentah oleh keluarganya.

***

Belum sempat melepas lelah dari tempat les, Audy dikejutkan oleh Regan yang sedang duduk manis di depan laptopnya. “Au, Kakak udah daftarin ujian SBMPTN kamu.”

“WHAT?!” Audy langsung menghampiri Regan dan melihat layar laptop yang terpampang kartu peserta dirinya. Rasanya kaki Audy mau putus melihat pilihan jurusannya. KEDOKTERAN TIGA-TIGANYA! “Kok Kakak nggak bilang ke Audy dulu sih?!”

“Kakak tadi disuruh Mama cepet-cepet buat ngedaftarin kamu. Lagian udah fix kedokteran, kan?”

Audy merasakan dadanya begitu sesak. Pantas saja ketika memasuki rumahnya ini dia sudah merasakan hawa yang aneh. Jadi ini penyebabnya?

“ARGH!” Tiba-tiba Audy histeris, mengagetkan Regan dan juga kedua orang tuanya yang kebetulan berada dekat di ruang keluarga. “TERSERAH KALIAN, DEH! OH YA! EMANG TERSERAH KALIAN! PERCUMA JUGA KALO AUDY MINTA JURUSAN YANG LAIN!” Audy menahan air matanya agar tidak mengalir di pipinya. “KARENA NGGAK BAKAL ADA YANG MAU DENGERIN!”

Audy langsung berlari ke tangga menuju kamarnya. Dia menutup pintunya dengan keras dan menguncinya dengan rapat. Dia langsung melompat ke kasur dan menutup wajahnya dengan bantal, menangis dalam kehampaan malam tanpa bintang.

***

Sedih rasanya mengingat kejadian kemarin. Sebenarnya, bukan hal itu yang membuatnya sedih, tapi sudah dari awal dia tidak percaya diri dengan kemampuannya. Belum lagi hasil TO miliknya masih jauh sekali untuk menggapai ‘cita-cita keluarganya’ tersebut.

“Audy sayang?” panggil mamanya di balik pintu. “Mama bawain martabak kesukaan kamu, lho. Mau nggak?”

Audy hendak menolak, tapi apa daya dengan perut konsernya tersebut. Akhirnya dia beranjak dari kasur dan membukakan pintu untuk mamanya. “Apaan sih, Ma? Kayak mau ke rumah mertua aja pake bawa martabak segala,” Audy mengambil piring martabak dari tangan mamanya dan membawanya ke kasur. Mama duduk di depan Audy selagi dia melahap martabaknya.

“Au, jangan ngunyah mulu ya? Dengerin Mama.” Audy terdiam sejenak, dia tidak berani menatap mamanya. Dia tahu bahwa hal ini akan terjadi. “Mama nggak maksa kamu, Nak. Kita semua nggak maksa kamu. Kami hanya ingin membantu kamu, karena kami tau sebenarnya kamu ingin ke dunia sana dan punya bakat di sana, hanya saja—”

“Tapi Audy nggak pinter, Ma!”

“Kalo kamu potong omongan Mama, martabak kamu Mama ambil satu.” Audy kembali terdiam, menjauhkan piringnya dari jangkauan mamanya. “Cobalah kamu belajarnya lebih serius, jangan main-main. Kurang-kurangin tuh nonton animenya,” Mama melirik ke arah Audy dengan jutek. Audy hanya bisa mesem-mesem malu. “Mama yakin kamu bisa. Kamu itu sebenernya pinter, tapi kebanyakan main jadinya ya begini.”

“Satu lagi, Ma!” Tiba-tiba Regan sudah berada di depan pintunya. Bukan hanya Regan, tapi papanya juga! “Dia pacaran mulu!”

“Apaan sih, Kak!” Pipi Audy langsung bersemu merah.

“Kakakmu ini kan calon arsitek, Au,” papanya ikut menimbrung. “Jadi kalau mau bikin rumah, ya tinggal ke kakakmu ini aja. Nah, kalo ada yang sakit, kita tinggal ke kamu. Jadinya kan enak.” Audy mengembuskan napasnya yang sedari malam terasa sesak. Ternyata dia baru sadar bahwa keluarganya lebih peduli dibandingkan dirinya sendiri. “Tapi ingat Au, ingat pesan Papa. Kalau kamu mau jadi dokter, jangan karena uang, tapi karena kamu ingin menyembuhkan orang lain. Tertanda, Papa Golden Ways.”

Semua yang berada di kamar Audy tertawa dengan hangatnya.

“Lagian dari kecil kamu ada bakat jadi dokter kok!” Regan angkat suara lagi. “Kamu inget nggak dulu pernah ngebelek ikan yang abis dibeli sama Mama?”

“Iya! Iya! Mama inget! Mama kira itu darah kamu, nggak taunya darah ikan.” Mama tersenyum lebar. “Mama kaget lho kalo abis itu kamu nggak nangis, padahal Regan aja kalo ngeliat darah dikit langsung kejang-kejang.”

“Yee! Kok Mama jadi ngomongin Regan, sih?”

Audy tersenyum puas. Sangat puas. Akhirnya dia mendapatkan jawaban yang selama ini dia pikir terlalu menyesakkan. Tapi ternyata setelah mendengarkannya, ini semua justru terlalu melegakan.

Mereka peduli dengan Audy. Mereka menyayangi Audy. Dan tentu saja, Audy sayang dengan mereka semua.


Continue reading
Share:
Views:

Happy Born Day, GagasMedia! #TerusBergegas

Sunday, July 5, 2015 By astaghiri 0 Comments

Happy Birthday, GagasMedia! Nggak kerasa kalau umur salah satu penerbit yang selalu menerbitkan buku dengan cover yang apik ini sudah mencapai umur yang ke 12 tahun, dan itu berarti 2/3 dari umur gue. Berarti dari gue TK penerbit ini sudah ada ya? Keren, keren!


Nah. Dalam ulang tahun GagasMedia yang ke-12 ini, GagasMedia mengadakan event bagi blogger dengan menjawab 12 pertanyaan yang pastinya berhubungan dengan para peng-hunter buku, termasuk gue. Hehehe. Langsung aja deh yuk!



1. Sebutkan 12 judul buku yang paling berkesan setelah kamu membacanya!

Wah! Sebenarnya banyak sih, banyak banget malah, karena gue suka banget novel apalagi yang bertemakan romance. Tapi karena disuruh nyebutin 12 dan karena ini memang ulang tahun Gagas yang ke-12, akan gue turutin hehehe. Mungkin dari puluhan novel yang pernah gue baca inilah novel-novel yang paling berkesan setelah gue membacanya.

1) Rembulan Tenggelam di Wajahmu – Tere Liye

2) So I Married The Anti-fan – Kim Eun Jeong

3) Fairish – Esti Kinasih

4) Dia, Tanpa Aku – Esti Kinasih

5) Cewek – Esti Kinasih

6) Still – Esti Kinasih

7) Celebrity Wedding – AliaZalea

8) Summer Breeze – Orizuka

9) Incognito – Windhy Puspitadewi

10) The Fabulous Udin – Rons Imawan

11) 21 – Orizuka

12) Pillow Talk – Christian Simamora


2. Buku apa yang pernah membuatmu menangis, kenapa?



Kalau sampai nangis mewek banget sih enggak. Cuma kalau bikin sakit hati sampai jadi pilu sendiri, banyak banget! Tapi ada satu novel yang bikin gue sedikit menitikkan air mata dan hampir mau ngelempar bukunya saking greget banget sama si kedua tokoh utama. Yaitu Seandainya karya Windhy Puspitadewi.

Sumpah. Ini novel bikin greget banget! Kenapa sih giliran mereka udah saling ngungkapin perasaan dan tau isi hati masing-masing, si Rizki malah mau tunangan sama cewek lain? Bikin sakit hati tau nggak!


3. Apa quote dari buku yang kamu ingat dan menginspirasi?



“Itulah cinta. Terkadang, pengorbanan besar mampu mengembalikannya pada saat yang tak terduga” – The Fabulous Udin.

Nggak cuma pengorbanan tentang cinta, pengorbanan lainnya pun juga bisa kembali pada kita jika kita ikhlas melakukannya.


4. Siapakah tokoh di dalam buku yang ingin kamu pacari? Hayo, berikan alasan kenapa kamu cocok jadi pasangannya. Hehehe.

Nggak harus satu kan? Hehehe.



Pertama ada Rex dalam novel 4R karya Kak Orizuka. Kenapa? Pertama, dia itu pinter banget! Pokoknya kelihatan lebih dewasa dibandingkan kakaknya yang lain, walaupun sebenarnya Regan juga dewasa sih. Hehehe. Tapi Rex juga pinter masak. Gimana nggak seksi coba? Kalau alasannya sih... mungkin karena gue orangnya sedikit males, Rex bisa nyemangatin gue biar nggak males lagi walaupun gue tau dia pasti nyemangatinnya dengan ngomel-ngomelin gue. Hehehe.



Yang kedua itu si Revel dalam novel Celebrity Wedding karya Kak AliaZalea. Sebenarnya dalam novel ini sih Revel umurnya udah 30 tahun :( Tapi gue suka banget sama sifatnya! Alasan kenapa gue cocok jadi pasangannya sih karena gue ini orangnya tipe-tipe pemalu dan diam di awal, jadi butuh orang yang ngajak ngobrol duluan dan tentu aja yang nggak ngebosenin! Pokoknya tipe Revel banget deh!


5. Ceritakan ending novel yang berkesan dan tak akan kamu lupakan.

Ending novel yang paling berkesan menurut gue adalah novel Rembulan Tenggelam di Wajahmu karya Tere Liye. Isinya spektakuler dan endingnya luar biasa!



Pada ending novel ini, akhirnya Ray, si tokoh utama, menemukan lima jawaban atas lima pertanyaan selama hidupnya lewat ‘jalan khusus’ yang nggak sembarang orang bisa mendapatkannya, yaitu lewat malaikat yang diturunkan oleh Allah SWT. Walaupun ini novel fiksi, gue sangat-sangat tersentuh sama novel ini karena nilai keagamaannya memang cukup kental, dan dari novel ini gue percaya bahwa setiap pertanyaan seperti ‘Kenapa sih gue harus kayak gini?’, ‘Kenapa hidup gue nggak adil?’ atau pertanyaan-pertanyaan yang kita nggak tahu jawabannya, Allah pasti memiliki jawaban yang paling terbaik untuk hamba-Nya.


6. Buku pertama GagasMedia yang kamu baca, dan kenapa kamu memilih itu?



Montase karya Kak Windry Ramadhina. Pertama, karena covernya yang sangat-sangat menarik dan sinopsis yang bikin gue langsung bawa tuh buku ke kasir tanpa mikir lagi dua kali. Oh ya ada lagi. Karena judulnya itu loh, “MONTASE,” keren banget! Walaupun pada awal lihat novel ini gue nggak tau artinya. Hehehe.


7. Dari sekian banyak buku yang kamu punya, apa judul yang menurutmu menarik, kenapa?



4 Ways to Get a Wife – Hyun Go Wun. Dari judulnya aja, menarik banget, kan? Kalau sebelum baca sih, gue narik kesimpulan, ‘Masa kalo mau ngedapetin istri harus ada cara-caranya sih?’. Dan setelah baca novelnya, sumpah! Bikin ngakak!


8. Sekarang, lihat rak bukumu... cover buku apa yang kamu suka, kenapa?



Incognito – Windhy Puspitadewi. Ini merupakan salah satu novel dengan kriteria cover yang gue suka, karena pas lihat buku ini gue tanpa mikir lagi langsung beli buku ini. Kenapa?

Hmm... gini-gini. Ini memang agak aneh, atau mungkin nggak aneh kalau ada orang selain gue yang punya 'kebiasaan' sama kayak gue. Jadi, gue ini punya 'cowok khayalan' dengan rambut agak panjang sedikit kecoklatan, tinggi, dan berkacamata. Nah, 'cowok khayalan' ini selalu gue 'pakai' di saat gue lagi baca novel. Selalu. Nggak pernah ganti-ganti orang. Dan mau tahu apa? Suatu hari gue pernah lihat cowok yang persis sama dengan yang ada di khayalan gue...

Cukup-cukup. Gue suka cover novel ini karena ada tokoh cowok yang mirip di khayalan gue. Yah, walaupun sebenarnya tokoh cowok di novel ini nggak berkacamata, seenggaknya dia agak mirip dengan yang ada di khayalan gue.


9. Tema cerita apa yang kamu sukai, kenapa?

Tema tentang cinta! Gila, on fire banget gue ya? Hehehe. Kenapa ya? Sebenarnya gue orangnya melankolis juga enggak, tapi gue suka baca novel romance. Mungkin karena konflik yang dibuat itu bisa bikin hati gue jadi tergerak, walaupun sebenarnya gue jomblo. Hiks.


10. Siapa penulis yang ingin kamu temui? Kalau sudah bertemu, kamu mau apa?

Kak Esti Kinasih, Kak Windhy Puspitadewi, dan Kak Orizuka! Pertama sih pastinya minta tanda tangan di setiap buku yang gue punya dan tentunya karya mereka. Kedua, gue pasti nanya kapan mereka berkarier lewat menulis, pokoknya perjalanan mereka sampai bisa sukses sampai sekarang! Dan nggak lupa, minta tips biar bisa nulis kece! Hehe.


11. Lebih suka baca e-book (buku digital) atau buku cetak (kertas), kenapa?

Kalau untuk baca sih, gue suka dua-duanya. Tapi kayaknya sih lebih ke e-book karena pas mau tidur gue bisa baca sambil gelap-gelapan karena kalau tidur kamar gue harus gelap alias lampu harus mati. Jadi, bisa baca sambil gelap-gelapan deh! Terus kalau lagi di luar rumah, terus bosen tapi pengin baca novel, kan bisa langsung buka hape. Nggak perlu ribet-ribet bawa buku keluar. Tapi gue juga suka yang buku cetak sih, soalnya gue suka banget wangi khas buku!


12. Sebutkan 12 kata untuk GagasMedia menurutmu!

Cool. Sugoi. Daebak. Koel. Empat bahasa tak cukup untuk mengungkapkan kekagumanku, GagasMedia-ku.

Once again, selamat ulang tahun, GagasMedia! Umur semakin meningkat, dan kualitas juga harus ikut meningkat! Sukses terus, Gagas!

Continue reading
Share:
Views:
Cerbung

Sorry, mate. [3]

Monday, June 15, 2015 By astaghiri 3 Comments

Udah baca part 1 nya belom?
Kalo part 2 nya gimana?

***

“DONIIII! MAEN YOOOOK!” Lagi seru-serunya main PS, tiba-tiba suara toaknya Amel mencapai frekuensi yang mampu memecahkan gendang telinga gue. Yelah. Lebay amat. Tapi beneran deh. Suaranya dia bisa ngalahin toak masjid kalau lagi adzan.

“Don, siape tuh yang teriak-teiak di depan rumah?” Nyokap menyahut dari dalam kamar.

“Amel kayaknya deh, Mak,” balas gue dengan masih sibuk mencet-mencet stik PS.

“DONIIIIII!” Kali ini bukan suara Amel lagi, tapi suara cowok. Tangan gue bergerak slow motion, mencoba untuk nge-scan suara siapa itu barusan di otak gue.

“ASSAAMU’ALAIKUUUM! MAK ENDAAAH! MINJEM ANAKNYA DOOONG!” Bujet! Nih anak berani banget ngetoak di depan rumah gue. Sudah gitu manggil nama emak gue lagi. Untung saja nyokap nggak menyahut dari dalam.

Gue langsung berdiri dan keluar dari rumah. “Ngapain sih lu ter—” Bukan cuma Amel, tapi ada Vina, Jaka, dan Titi juga di depan rumah gue. Nggak salah lagi. Tadi Jaka juga sempat memangil nama gue. “—iak-teriak? What are we? Five years old?” Gaya gue sambil mengedikkan bahu.

Amel langsung melemparkan sendal jepit yang kebetulan punya bokap gue ke arah gue. Untung tangan gue cepat tanggap. Kalau nggak, tuh sendal bakal mampir ke muka gue yang ganteng ini.

“Mau ikut nggak lo?” Kali ini Titi yang angkat suara. “Jalan-jalan gratisan nih!”

“Lo nggak boleh nolak!” Vina bersuara. “Gue udah beli tiket nontonnya tau! Jadi lo semua harus ikut!”

Wah! Rejeki nomplok nih! Tapi... apa perlu gue ikut? Kalau gue ikut, gue cuma bisa jadi laler di antara Jaka dan Vina—ya walaupun si Amel dan Titi juga ikut-ikutan jadi laler kayak gue. Tapi kan kondisinya sekarang beda. Be-da.

“Duh, gimana ya?” Gue menggaruk-garukkan kepala walaupun sebenarnya nggak ada ketombenya sama sekali. Weits. Gini-gini gue pernah ditawarin jadi model iklan sampo. “Kayaknya gue nggak bisa deh. Banyak tugas nih...”

Nggak sengaja, gue melihat mata Vina agak redup. Bukannya mau geer, tapi kayaknya Vina nggak senang kalau gue nggak ikut jalan-jalan dengan mereka. Tapi mau bagaimana lagi? Gue juga nggak mau cemburu. Dan gue nggak mau ngerasaian cemburu ke teman gue sendiri.

Dan satu lagi. Gue takut kehilangan kontrol. Positif dulu, man. Bukan ‘kontrol’ itu. The point is gue tahu kalau Vina suka sama gue. Taaapi, dia nggak tahu kalau gue masih suka sama dia. Dan gue takut kalau tiba-tiba mulut ini nyerocos begitu saja.

“Tugas apaan? Lu bukannya maen PS daritadi?” Amel melirik ke arah dalam rumah gue. Sialan. Mana tuh PS belum gue matiin lagi.

“Ya kan refreshing sebentar abis ngerjain tugas...” kilah gue lagi.

“Doninya dari tadi main PS mulu kok.” Tiba-tiba emak gue datang tanpa diundang. “Ajak main sono, daripada jadi anak rumahan mulu, maen PS. Dia mah kagak punya kerjaan selain main PS di rumah. Liat aja tuh punggungnya. Bengkok, kan? Mau osteoporosis tuh gara-gara main PS melulu.”

EMAAAAAAK! WHY ARE YOU DOING THIS TO MEEEEEE????!!!!

Dan apa coba maksudnya dengan punggung gue yang bengkok? Terus tiba-tiba osteoporosis? NGGAK ADA HUBUNGANNYA! Kalau kifosis sih, iya.

“Ya udah sono kamu mandi,” Emak gue nabok punggung gue. “Ntar kelamaan ditungguin temen kamu. Kamu kan mandinya kayak putri Solo. Lamanya naujubillah.”

Muka gue... muka gue... sekarang sudah jatuh di lantai... Dan dengan enaknya, teman-teman gue ngetawain gue.

Tanpa perlu nengok lagi, gue ke belakang rumah. Beneran mandi ala putri Solo, biar lama sekalian. Bodo amat deh mereka nunggu. Salah mereka sendiri ke sini tanpa bilang-bilang gue. Sudah gitu mau ngajak jalan tiba-tiba lagi.

Setelah sekitar 30 menit... ditambah guling-gulingan di kasur bentaran, sengaja biar tuh bocah-bocah empet nungguin gue, gue keluar dengan gantengnya karena rambut gue masih setengah basah. Tiba-tiba gue kena lemparan bantal sofa.

“BENERAN PUTRI SOLO LU YEEEE!” Amel berteriak dengan geram. Yang lainnya juga ikut-ikutan menampakkan wajah kesalnya. Gue sih bodo amat. Salah mereka juga kenapa harus tiba-tiba ngajak jalan-jalannya.

“Jadi nggak jadi nih?” Gue pura-pura ngambek dan mencoba untuk masuk kembali ke dalam rumah. “Ya ud—”

“EH! EH! EH!” Tiba-tiba Vina menarik ujung lengan kaos gue. Untung nggak kencang-kencang amat. Ntar bahu eike kelihatan lagi. Malu kali, cyin. Eh, malah sekong ane. “Nggak bisa gitu dong! Buruan ambil motor lo dan kita cus! Cepet!” perintahnya sambil mendorong punggung gue.

Akhirnya gue ke belakang rumah untuk mengambil motor yang teronggok di sana—karena seharian gue cuma di rumah doang. Yah, karena gue jomblo, gue cuma bawa satu helm doang. Amel jangan ditanya. Cewek perkasa kayak dia sudah bisa dan biasa ngurus diri sendiri. Bahkan kalau misalkan gue minta boncengan bareng, dia yang ngendarain motornya.

Kalau si Titi sih pasti bareng Amel. Pokoknya jangan sama gue deh, takutnya nanti di tengah jalan tiba-tiba dia sudah nggak ada lagi di belakang gue, alias terbang entah ke mana saking badannya yang uprit itu.

Dan... nggak perlu gue jelasin lagi. Vina pasti bareng Jaka, si kesayangannya.

***

Setelah kira-kira setengah jam, akhirnya kita berlima sampai di mall yang memang nggak terlalu jauh banget dari rumah. Kita langsung lari ke arah 21 kayak lagi dikejar satpam gara-gara kegebrek lagi berdua-duaan di pos ronda. Nggak-nggak. Waktu nonton tinggal lima menit lagi dan ternyata Vina sempat bohong kalau ternyata dia sudah beli tiketnya.

“Sori deh sori...” Vina merasa menyesal karena tiket buat jam tiganya sudah sold out. Kalau mau, nanti jam lima nontonnya. “Gue ngomong begitu biar lo ikut semua. Kan gue yang bayarin. Ya? Ya? Ya?”

“Gue sih nggak keberatan kalo kudu nunggu dua jam...” kata gue sambil melirik ke arah Vina. “Asal perut gue nggak kosong dan nunggu diisi sih. Kebetulan dompet gue isinya cuma bon, SIM, KTP, sama STNK doang.”

Vina melirik judes ke arah gue. Cute abis! Rasanya pengin gue cubit matanya itu, eh, pipinya. Tapi sayang, dan perlu digarisbawahi; dia milik orang lain.

“IYA DEH! IYAA! GUE TRAKTIR LO SEMUA!” Gue tersenyum puas menerima jawaban itu. Tapi tiba-tiba, gue melihat pandangan yang nggak enak dengan sangat luar biasa. Mungkin bagi kalian ini biasa, tapi bagi gue; ini sangat... sangat...

Jaka melingkarkan tangannya di pinggang Vina dan membisikkan sesuatu yang bahkan sudah bisa disebut bukan bisikan lagi. Tapi pamer!

“Kamu jadi ATM berjalan nih yang hari ini?” Jaka menyentil jahil ke arah hidung Vina yang dibalasnya dengan malu-malu. Gue yang melihat ini langsung berpaling ke arah... ah... baju polo yang warna navy itu bagus ya...

“Eh! Kamu nggak usah ya! Kamu bayar sendiri!” balas Vina yang cuma sampai di telinga gue, mata gue cukup dibutakan pada saat itu saja. Polo warna putih juga bagus kok...

Kapan drama kecil-kecilan itu akan berakhir?

“Iiih! Kok kamu gitu sih?” Bahkan telinga yang kepengin gue tebalkan ini bisa memvisualisasikan cast apa yang lagi mereka mainkan. Mungkin Jaka pura-pura ngambek sambil cemberut nggak jelas, mencoba mengambil perhatian Vina.

Dengan riangnya dan mungkin dengan nada gembira, Vina menjawab sambil tertawa merdu. “Enggak kok. Nanti kalian semua aku yang traktir. Okeee?”

PLOOOK! Tiba-tiba, bahu gue terasa panas. Nggak usah cari pelakunya, mata gue langsung menunjuk ke arah Amel dan dengan rasa nggak bersalahnya dia ngomong gini. “Ada laler gede banget tadi, Don,” kata Amel sambil menepuk tangannya seakan-akan tadi beneran abis nabok laler yang mungkin hinggap di punggung gue.

“Jadi makan nggak nih? Laper tau gue!” Kali ini Titi yang men-cut adegan menabok laler dan adegan roman antara dua picisan tadi. Bukan apa-apa. Gue tahu, Amel melemparkan kekesalannya ke gue dengan beralibi ada laler di punggung gue. Lantas, gue harus melemparkan kekesalan gue ke siapa?

***

Setelah membuat perut gue yang six packs ini sedikit membuncit gara-gara traktirannya Vina, gue cuma bisa bengong sambil menatap gelas tinggi yang sekarang isinya cuma ada es sama sedotan.

Kenapa gue diam? Ya! Benar! Gara-gara drama kecil-kecilan Vina dan Jaka? Benar-benar... salah! Jawabannya sangat-sangat simpel. Kenapa gue bisa diam begini? Karena kalau habis makan dan kekenyangan, gue jadi bego. Selesai.

“Doni? Ngapain lo di sini?”

Butuh lima detik buat gue nengok ke arah suara yang jelas-jelas sangat gue kenal ini. Dan butuh dua detik buat gue tahu siapa orang yang barusan nyapa gue.

MANTAN GUEEEEEE!

Sori-sori. Gue butuh klarifikasi di sini. Waktu itu, gue pernah bilang kalau gue belum mau pacaran. Masih ingat di short story satu cerita ini? Makanya! Baca dong!

Gue bukannya belum pacaran, tapi artinya gue memang lagi mau vakum pacaran. Hah. Belum tahu ya kalau mantan gue itu ada sederetan kayak aritmatika?

“Eh, Lila. Apa kabar, Lil?” Muka Lila langsung berubah sedikit memerah. Ups! Sial-sial! Bego banget sih gue! Ah! Gue memang bego kalau habis kekenyangan! Kenapa gue bisa keceplosan memanggil nama kesayangan Lila????!!!!

“Gue baik kok,” sahut Lila sok skeptis. Terus tiba-tiba dia menatap ke arah teman-teman gue. “Mmmhh... temen-temennya Doni, ya? Gue boleh minjem Doninya sebentar nggak? Just a minute kok. Boleh, kan?”

WAH! APA-APAAN NIH?! JANGAN-JANGAN... LILA NGAJAK GUE BALIKAN LAGI! SIAL! SIAL! GUE BELOM SIAP UNTUK INI SEMUAAA!!!

“Boleh kok boleh,” yang ngejawab malah Jaka. “Yang lama juga boleh.”

Dengan kesal, gue menendang kaki Jaka di bawah kolong meja. Dia cuma bisa balas senyum-senyum nggak jelas. Akhirnya, gue mengikuti Lila dari belakang yang berjalan jauh dari meja teman-teman gue.

Setelah berjalan cukup dan jauh dan cukup untuk nggak dikupingi oleh bocah-bocah itu, akhirnya Lila berhenti dan berdiri menghadap ke gue. Wait. Gue lihat-lihat Lila semakin... cute? KENAPA MANTAN ITU SELALU TERLIHAT LEBIH CAKEP KETIKA KITA MENINGGALKANNYA???!!!

Namanya juga mantan... bukan pacar lagi...

“Don, lo nggak lupa, kan?” Lila membuka pembicaraan.

Tunggu, tunggu, TUNGGU!!! LUPA APAAN NIH? Ini... tanggal berapa sih? Hari ini tanggal... 29 Maret kan...? Memangnya ada yang spesial hari ini? Atau hari ini hari... failed anniv kita berdua? NGGAK-NGGAK! GUE MASIH INGAT KOK!

“Lupa apa ya, Lil?”

“Jangan panggil gue dengan sebutan itu lagi, oke? Gue jijik dengernya.”

HUJAN BATU BARAAA!!!! GUE MALU ABIS!!!

“Terus, lo mau ngomong apaan sama gue?” Dan sepertinya, Lila memang nggak akan menjurus ke arah pembicaraan ‘Kita balikan, yuk?’.

“Lo nggak lupa kan utang lo sama gue?”

WUUUUUUUT???!!! Jadi yang dia maksud dengan ‘gue lupa’ itu adalah utangnya gue ke dia? Demi dewa Zeus, bahkan tadi gue sudah bilang bahwa di dompet gue isinya cuma bon, KTP, SIM, sama STNK. Dan sekarang, GUE HARUS BILANG APA KE LILAAA? MAU DITARUH DI MANA MUKA GUEEE???!!!

Gue menampangkan wajah memelas. “Lil, eh, Lila, kan hari ini lagi tanggal tua, gue juga cuma bawa duit kerokan doang... besok gue ke kelas lo deh. Ntar gue bayar lunas, ya?”

Lila memicingkan matanya, dan gue baru ingat kalau Lila itu memang keturunan Cina yang... sori, bukannya lagi mau ngomongin ras. Tapi begitulah Lila.

“Awas lo jangan lupa,” kata Lila yang kemudian pergi meninggalkan gue. Kemudian terdengarlah suara tawa yang cukup keras hingga beberapa orang di sana menoleh ke arah alien yang sedang berjalan ke arah gue.

“Gue kira tadi ada yang mau balikan, Ti,” kata Amel sambil melirik rendah ke arah gue.

Titi membalas dengan anggukkan senang, senang ikut-ikutan mengejek gue. “Tadi ada yang mukanya kesemsem tuh. Eh! Nggak taunya malah minta duit utang! BHAHAHA!”

Kalau ada balsem, mungkin gue sudah menjejalkannya ke mulut dua cewek ini.

“Ngapain lo berdua di sini?” tanya gue langsung mengalihkan suasana.

“Kita mau beli kado. Ayo buruan keburu si Vina tau!” Titi dan Amel langsung menarik gue menjauh dari food court.

“Tapi patungan ya? Gue beneran nggak bawa duit nih!”

“DASAR TUKANG UTANG!”

***

Setelah membeli kado yang cukup cocok untuk Vina dan juga cocok untuk kantung kita bertiga—sebenarnya kantungnya Titi sama Amel doang sih, kita balik lagi ke food court tadi dan menemukan meja yang tadinya penuh dengan piring kotor telah bersih.

“Lo berdua lama amat sih ke kamar mandi?” Gue melirik ke arah Titi dan Amel. Oooh. Jadi mereka izinnya ke kamar mandi? Pinter banget nih dua orang. “Lo juga Don, lama amat ngobrol sama temen lo.”

Tunggu-tunggu. Apa gue nggak salah dengar? Apa... barusan gue mendengar suara kecemburuan dari Vina?

“Itu, tadi si Doni boker dulu, dia nggak tau kamar mandinya di mana. Ya udah kita nunjukin sambil nungguin deh,” Amel berkilah. Sialan! Gue dijadiin alasan! Parahnya lagi Vina malah menerima alasan itu dengan mengangguk-angguk tanpa sedikit pun curiga.

Setelah itu, kita segera ke 21 karena lima belas menit lagi bakal dimulai. Dan entah kenapa, tiba-tiba Titi jadi suka kesandung gitu tiba-tiba. Untung dia jalan di samping gue, jadi gue bisa nahan tubuh dia buat nggak ciuman sama lantai mall.

“Lo lagi kenapa sih, Ti? Jangan mentang-mentang badan lu kecil dong, jadi gampang tumbang gitu,” protes gue setelah untuk sekian kalinya Titi kesandung entah apa, gue juga nggak tahu.

Bukannya ngerasa bersalah, Titi malah nabok gue kayak Amel dan nyokap. Sialan. Dikira punggung gue ladang nyamuk apa minta ditabok melulu?

“Jangan salahin gue dong! Lo sih jalannya gede-gede banget, gue nggak bisa nyamain tau!”

Gue baru sadar Titi memang kecil, dan jalannya juga pasti kayak lagi pakai kemben. Untuk itu, akhirnya ikut-ikutan jalan kayak lagi pakai kemben di belakang Amel dan Jaka yang lama-lama malah membuat jarak di antara mereka. Amel malah like a boss jalan di depan Amel dan Jaka. Gue tahu, dia nggak mau ngeliat pemandangan apa yang gue lihat sekarang ini.

“Kok diem, Ti?” Gue malah berasa jalan sama benda mati. “Baterenya abis?”

“Sakit, Don,” sahut Titi yang justru menurut gue terdengar seperti rintihan. Gue juga nggak ngerti. Gue rasa itu memang habit-nya Titi kalau ngomong ya kayak gitu. “Sakit tau, Don.”

“Hah?” Gue yang kebingungan cuma bisa melongo nggak ngerti ke arah Titi. “Nggak ada yang berdarah kan, Ti? Lutut lu juga nggak pada biru-biru kan? Kalo ada yang berdarah jangan ditunjukin ke gue, oke? Gue takut soalnya.”

Nggak ada reaksi yang menjadi tradisi kalau orang sudah kesal dengan gue; tabok punggung. Titi malah kembali berjalan lurus tanpa memedulikan gue yang dibuatnya kebingungan.

Karena nggak ngerti apa-apa, dan juga nggak mau mengorek-ngorek apa yang dimaksud oleh Titi, gue mengejar Titi dan menyelaraskan langkahnya.

“Lo ke mana aja sih Don selama ini? Gue... nggak kuat tau buat nanggung hal yang kayak gini. Gue... capek berpura-pura di depan kalian... terutama mereka...”

Wait... wait... WAIIIIIT!!!! APA MAKSUD DARI SEMUA INIII???!!!
Continue reading
Share:
Views:
Newer Posts Older Posts Home
Subscribe to: Posts ( Atom )

Hi, you!

Hi, you!

Blog Archive

  • ►  2017 (3)
    • ►  September (1)
    • ►  July (2)
  • ►  2016 (5)
    • ►  September (1)
    • ►  June (3)
    • ►  February (1)
  • ▼  2015 (3)
    • ▼  July (2)
      • Cita-cita Keluarga
      • Happy Born Day, GagasMedia! #TerusBergegas
    • ►  June (1)
      • Sorry, mate. [3]
  • ►  2014 (10)
    • ►  December (1)
    • ►  July (1)
    • ►  June (2)
    • ►  April (3)
    • ►  March (3)
  • ►  2013 (24)
    • ►  December (1)
    • ►  October (1)
    • ►  September (1)
    • ►  August (5)
    • ►  July (6)
    • ►  May (1)
    • ►  April (5)
    • ►  January (4)

Labels

CAKES! Cerbung Cerpen Imajinasi Travel Trip

Wanna be my mate?

© 2016 Astaghiri | All rights reserved
Created By Responsive Blogger Templates | Distributed By Gooyaabi Templates