Astaghiri

  • Home
  • CERPEN
  • CERBUNG
  • CAKES!
  • Trip
Cerbung

H&L

Saturday, December 27, 2014 By astaghiri 0 Comments
Gilaaa!!! Udah lima bulan rasanya blog gue umpetin di lemari demi ngambis sama nilai hahaha. Entah kenapa ide absurd ini muncul ketika gue lagi jauh dari rumah, maksudnya pulang kampung. Haha. Siap-siap penasaran. Enjoy!

***

“Eh! Eh! Itu tuh orangnya!”

“Duh! Ganteng banget yaa!”

“Udah punya pacar belum sih dia?”

Galvan cuek saja dengan cuap-cuapan cewek-cewek yang baru saja dilewatinya itu. Toh, dia sudah ‘biasa’ mendengarnya selama satu tahun terakhir ini. Sekarang, dia sudah menjajaki kelas XI. Mengingat dia mendapat peringkat paralel yang pertama, dia sekarang menjadi siswa kelas XI IPA 1.

Sekarang dia menuju tempat duduk baris kedua dekat pintu. Semoga saja dia nggak mendapatkan teman sebangku ‘cewek yang cerewet’ atau pun ‘cowok yang pecicilan’. Dia kepengin hidupnya tenang-tenang saja tanpa adanya gangguan sebelum—

“Eits! Ini meja gue, oke?” Seorang cewek dengan rambut diikat sudah berdiri di dekat meja Galvan sambil mengecakkan pinggangnya. Galvan hanya menaikkan salah satu alisnya seakan sudah men-cap ini-meja-gue.

“Lo nggak liat ya kalo di kolong itu udah ada tasnya?” Cewek itu masih bersikukuh mau mengambil tempat duduknya kembali. Mau nggak mau Galvan melihat ke arah kolong dan—dia nggak mau buang energi untuk bilang ‘minta maaf’ dan langsung ngeloyor pergi menuju meja tepat di belakang tempat duduk cewek itu.

“MAKASIII BANGEEET!!!” ucap cewek itu setengah berteriak sambil memancarkan senyum paksa.

“Well, sama-sama,” balas Galvan sambil mengambil sebuah buku dari tasnya. Nyebelin banget sih nih cowok!

***

Dan... cowok nyebelin itu terpilih jadi ketua kelas. Fulan jadi nggak ngerti. Apa sih pantasnya tuh cowok jadi ketua kelas? Coba teliti satu-satu.

Ganteng? Oke, checklish. Lagipula, Fulan lagi ‘nggak buta’ kok.

Pintar? Hmm... checklish. Katanya sih dia rengking satu paralel untuk kelas IPA.

Charming? Hih! Nggak sama sekali. Toh sebenarnya dia juga nggak memilih Galvan kok. Alasannya kuat, dia nggak suka sama cowok itu!

“Kenapa sih Win lo pilih tuh cowok?” bisik Fulan pada Wina ketika Galvan sedang berbicara dengan wali kelas di dekat meja guru. Nggak mungkin kan dia ‘ngecibir’ Galvan ketika cowok itu berada di belakangnya?

“Lo tuh buta ya, nyet?” damprat Wina langsung. “Galvan tuh cowok terkeren di SMA ini! Ya jelas dong kalo gue pilih dia!”

“Jadi, gara-gara itu doang?”

“Nggak juga sih,” Wina langsung sok berpikir dengan mengetukkan jari di dagunya. “Selain keren, dia juga cool, ganteng, tampan, seksi... itulah kenapa gue pilih dia.”

Fulan langsung menempeleng kepala Wina. “Hih! Dasar!”

Wina hanya terkekeh mendengar reaksi temannya tersebut. Kayaknya Fulan memang lagi eror deh. Masa cowok seganteng Galvan nggak disukain sih? Kayaknya dia lagi kena sindrom deh.

Hah. Tapi Wina nggak tahu saja kalau cowok itu sebenarnya sombong setengah mati!

***

“Heh! Ful! Bisa diem nggak sih lo?”

Yang dibentak Fulan, tapi yang diam langsung sekelas. Malah Fulan sempat tertawa sumbang ketika semuanya sudah terdiam dan memerhatikan mereka berdua, terlebih-lebih sih ke Galvan.

Yak! Akhirnya selama dua bulan ini rahasia Galvan yang orang-orang nggak tahu terbongkar juga. Yaitu sifat judes dan galaknya itu yang nggak pandang bulu! Sebenarnya sih orang-orang tahu kalau sebenarnya Galvan itu galak. Tapi karena cewek-cewek di sana selalu ‘membungkus’ Galvan dengan sifat charming, sifat galaknya jadi tertutupi.

“Apaan sih lo?” Fulan langsung memutar bola matanya, nggak peduli. “Nama gue Fulan, bukan Ful. Masih nggak bisa inget juga? Lo tuh punya penyakit amnesia pendek ya?”

Galvan langsung menggenggam keras pensil mekaniknya. Terdengar bunyi ‘krak’ yang membuat ngeri teman-teman sekitarnya.

“Udah dong udah,” Julian mencoba melerai pacarnya itu dengan si ketua kelas. Namun mata mereka masih menyatakan perang belum selesai. “Berantem mulu sih lo berdua,” Julian menaruh tangannya di pundak Fulan. “Mending kita ke kantin. Yuk, say?”

Fulan langsung berdiri sambil menatap sinis ke arah Galvan yang dibalasnya menantang. Dia mengikuti Julian menuju ke arah kantin.

“Kalian berdua kenapa sih berantem melulu?” tanya Julian ketika mereka berdua sudah duduk berhadapan di kantin.

“Siapa?” tanya Fulan cuek.

“Ya kamu sama Galvan. Sebenernya pacar kamu itu aku atau Galvan sih?”

Mulai deh, desah Fulan. Kok yang sifatnya kecewek-cewek-an malah Julian, bukannya Fulan. Sering ngambeklah, marah nggak jelaslah, cemburulah, ya pokoknya tipe cewek bangetlah.

“Mau ribut lagi tentang masalah itu?” tanya Fulan dengan nada datar. Sebenarnya dia juga sudah malas kalau Julian mau membahas masalah itu lagi. Apa sih pentingnya membahas Galvan? Si cowok nomor satu yang kepengin dia injak mukanya.

“Kok kamu aneh gini sih? Dulu kamu nggak kayak gini, Lan.” Duh, drama banget sih nih cowok. Dulu ya dulu. Sekarang ya sekarang. Zaman kan gampang banget ngerubah orang.

Fulan mengangkat salah satu alisnya. Kenapa sekarang gayanya mirip banget sama Galvan ya? Hah! Lupakan Galvan!

“Aneh? Aku berubah jadi alien, gitu?”

“Lan.” Ups. Kayaknya Julian mulai marah deh. Kelihatan banget dari mukanya yang putih langsung berubah merah.

Fulan langsung mengeluarkan jurus senyum manisnya. “Bercanda, Jul.”

Hal itu membuat Julian sedikit ‘luluh’. Rona kemerahan di wajahnya mulai menghilang.

“Beliin aku somay ya, Jul?”

Hah. Itulah enaknya punya pacar.

***

“Eh eh eh! Jul! Jul! Berentiii!” Julian langsung ngerem mendadak.

“Apaan sih Lan? Kamu bikin aku kaget tau nggak.”

“Sori...” Fulan tersenyum bimbang. “Hape aku ketinggalan di kolong meja...”

“Hah? Kok bisa?”

“Soalnya di tas aku nggak ada, berarti masih ada di kelas. Balik lagi yuk, Jul?” pinta Fulan memelas.

Hmm sebenarnya Julian mau saja sih mengantarnya balik, tapi kayaknya ‘agak ribet’ deh kalau kembali mengantar Fulan ke rumahnya. Soalnya sebentar lagi dia ada tanding futsal bareng teman-temannya.

“Tapi aku nggak bisa nganter kamu pulang, aku ada tanding futsal, gimana dong?”

“Ya udah deh, nggak papa,” jawab Fulan datar. Kemudian mereka berdua kembali menuju sekolah yang ternyata sudah cukup sepi. Fulan langsung berlari ke kelasnya begitu mereka sudah sampai ke sekolahnya kembali. Bahkan dia nggak sempat buat say bye ke pacarnya itu. Julian cuma bisa mendesah, kemudian mengendarai motornya menuju tempat futsalnya.

Fulan berlari kecil menuju kelasnya yang berada di lantai dua, ujung pula. Lumayanlah olahraga sebentar, tapi capek juga ternyata.

Sesampainya di kelas, suasananya sudah sepi. Dia langsung menuju ke mejanya, melihat kolongnya dan syukurlah! Hapenya ternyata masih ada. Fulan langsung bernapas lega. Dan—apa itu?

Fulan melihat beberapa foto yang berserakan di bawah meja Galvan, salah satunya bahkan tergeletak di bawah meja Fulan. Fulan mengambilnya dan kemudian dia mengernyit. Kok kayaknya dia kenal orang-orang yang ada di foto ini ya?

Ah! Yang ini pasti foto ketua osis! Soalnya Fulan pernah melihatnya berpidato di depan lapangan. Dan ini... ini bukannya ketua basket itu ya? Yang tinggi banget dan punya warna kulit yang eksotis itu? Terus itu... itu bukannya Julian? Kok bisa sih ada foto Julian di sini?

Tiba-tiba, semua foto itu sudah raib dari tangan Fulan. Fulan langsung mendongakkan kepalanya dan melihat Galvan berada di hadapannyaaa!!!

Galvan sudah menatap garang Fulan seakan-akan mau menyemburkan kata-kata apa saja yang akan menyakitkan hati Fulan. Tapi kemudian dia menghela napasnya, mencoba untuk berpikir tenang.

“Apa yang lo liat tadi, dan apa yang coba lo pikirkan sekarang, nggak perlu lo umbar ke mana-mana.”

Fulan mencoba berdiri ketika Galvan mau beranjak dari kelas. “Van, lo... hom...”

Galvan menghentikan langkahnya sejenak. “Ya.” Kemudian dia kembali melangkah keluar dari kelas.

Setelah mencoba menghubungkan apa yang baru saja terjadi padanya, Fulan berlari keluar kelas dan mengejar Galvan. Dia berhenti tepat berada di hadapannya.

“Lo... lo... se—serius?”

Galvan nggak langsung membalas pertanyaan Fulan. Mulai sekarang, dia harus berhati-hati dengan ucapannya. “Baguslah kalo lo nggak percaya.”

Galvan langsung melewati bahu Fulan, nggak peduli ketika cewek itu sempat eror melihatnya.

Jadi... ternyata Galvan itu... homo? Oooooh itu kenapa selama ini dia galak sama orang-orang. YESS! GALVAN HOMO! Kok gue seneng sih? Ah, seenggaknya gue tau satu rahasianya dia. Rahasia terbesarnya. HOHOHO.

***

“Haaaaaaiiiii Galvaaaaan!” sapa Fulan ‘ceria’ ketika pertama kali dia masuk kelas melihat Galvan duduk di mejanya.

Sontak teman-teman sekelasnya dibuatnya bungkam, takut-takut perang dunia ketiga bakal dimulai.

Galvan bersikap sok skeptis, pura-pura bahwa kemarin nggak terjadi apa-apa. Memang nggak terjadi apa-apa sih selain ternyata CEWEK ITU TAHU RAHASIA TERBESARNYA!!!

“Senyum dikit dong, cemberut melulu,” goda Fulan sambil mengerlingkan matanya ke arah Galvan.

Galvan kepengin langsung mencekik leher cewek itu, tapi dia mencoba untuk meredam emosinya dengan larut dalam buku biologinya. Anggap cewek ini tuyul Van... tuyul...

“Tumben ya Galvan diem aja, biasanya si Fulan juga langsung disembur...” bisik seseorang yang bahkan bisa sampai di telinga Galvan. Bukan bisik-bisik itu namanya!

“Lagi baca apa sih? Kok kayaknya...” Galvan langsung menutup bukunya dengan sedikit menggebrak ke arah meja. Dan timbullah kembali suasana yang tegang dan bikin resah itu.

“Bisa nggak sih buat nggak ganggu gue? Lo annoying tau nggak.”

Fulan langsung terdiam. Dia sebenarnya agak sakit hati mendengar ucapan Galvan. Namun dia mencoba untuk nggak menyembur kembali agar bisa terus menggoda Galvan. Kapan lagi coba dia bisa kayak gini?

“Okedeh... sori....”

Hah! Itu bahkan hal yang lebih mencengangkan dibanding yang tadi! Fulan bilang maaf?! Sejak kapan?! Nggak ada sejarahnya dia bakal minta maaf ke Galvan! Kecuali hari ini, jam ini, menit ini, detik ini.

Tiba-tiba Galvan sudah berdiri dan menarik Fulan agar keluar dari kelas. “Kita perlu ngomong, sebentar.”

Teman-temannya langsung syok melihat Fulan dibawa paksa keluar oleh Galvan. Wah, bakal ada kejadian apa ya? Fulan sendiri hanya bisa nyengir nggak jelas sambil mengedikkan bahunya.

Julian yang berada di sudut kelas, hanya bisa mengepalkan tangannya sambil menatap elang ke arah mereka berdua.

Galvan menarik Fulan ke tempat yang sepi, tempat di mana nggak ada seorang pun yang bakal ‘menengok’ ke arah mereka. Fulan sih nggak takut, toh dia nggak bakal ‘diapa-apain’ sama Galvan, pikirnya.

“Lo mau cari mati sama gue?” sembur Galvan langsung tanpa perlu basa-basi.

“Uuuh... takut... hahaha,” Fulan malah semakin senang menggoda Galvan.

Galvan langsung menyengkram lengan Fulan yang membuatnya sedikit meringis. Ternyata Galvan benar-benar ‘galak’.

“Mau lo apa sih?”

“Lepasin gue dulu!” Galvan langsung melepaskan cengkramannya. Dia melihat bekas merah berbentuk jari di lengan Fulan.

“Kok lo kasar banget sih sama cewek?”

“Apa perlu gue kasih tau lagi kenapa gue kasar sama cewek?”

Oke. Oke. Kayaknya Galvan merupakan tipe orang yang paling nggak suka basa-basi. Yah, seperti ini.

“Jawab pertanyaan gue,” sarkas Galvan.

“Yang mana?” Galvan langsung menempeleng kepala Fulan, membuat cewek itu kembali mengaduh. “Bisa nggak sih lo buat nggak main fisik? Nggak gentle banget tau nggak!”

“Itu lo tau. Sekarang lo maunya apa, hah?”

“Emangnya lo bener kepengin tau gue pengin apa?”

Duh! Bego banget sih Galvaaaan!!! Seharusnya dia bisa membuat cewek ini patuh padanya dengan hanya menggertaknya! Bukan malah ‘mengabulkan’ permintaannya.

“Hmm... gini gini... lo pasti nggak mau kan kalo rahasia terbesar lo itu kebongkar?”

“...”

“Jadi...”

“Jadi apa?”

“Sabar dulu dong! Makanya jangan main potong ucapan gue!” Galvan langsung terdiam. Ternyata Fulan bisa juga menggertak Galvan. HAHA.

“Gue cuma pengin kita damai, nggak ada lagi lo ngomel-ngomelin gue, nyembur gue, damprat gue. Setuju?”

“...”

“Oh ya satu lagi,” lanjut Fulan yang benar-benar membuat Galvan ingin mencekiknya. “Sering-sering senyum ke gue ya?” Fulan langsung mengerling dan mendapatkan respons jijik dari Galvan. Fulan hanya tertawa kemudian meninggalkan Galvan begitu saja.

Ketika Fulan ingin mencapai kelasnya, Julian menghadangnya di depan pintu kelas. Dia langsung menggamit tangan Fulan dan menariknya menjauh dari kelas.

“Kita perlu ngomong.”

Duh. Kenapa hari ini tuh dua cowok demen banget tarik-tarikan gini sih? Eh, yang satunya cuma setengah cowok deng...

***

Galvan lebih suka mengerjakan PR-nya di sekolah dibandingkan di rumah. Alasannya simpel sih, di sini lebih tenang dibandingkan di rumah. Toh kebiasaan siswa sini setelah mendengar bel ya langsung pulang, nggak ada yang namanya nongkrong di sekolah kecuali kerajinan.

“Oh? Lo masih di sini?” Galvan dikagetkan oleh Fulan yang ternyata sudah berjalan ke arahnya. Ck. Cewek itu lagi.

“Ngerjain apa? Eh PR mtk ya? Ikutan dong!” Fulan langsung antusias dan membalikkan kursi yang berada di hadapan Galvan. Kemudian dia mengambil buku matematikanya. Galvan sedikit memberi spasi meja untuk cewek itu, mengingat tadi mereka berdua sudah membuat kesepakatan. Yah, kayaknya sih lebih ke kesepakatan sepihak.

“Lo mau ngerjain apa cuma nyalin doang?” damprat Galvan karena sejak tadi Fulan hanya melirik ke arah jawaban di bukunya. Fulan membalas dengan senyum cengirannya, seperti habis ketangkap basah mencuri permen.

“Dikit doang kok...” balas Fulan sambil mengumpamakan sedikit menggunakan ibu jari dan telunjuknya.

“Dikit apaan? Lo nyalin semua apa yang gue kerjain. Gimana lo mau bisa kalo lo bisanya cuma nyontek doang? Lo nggak mikir ya kalo yang lo lakuin sekarang cuma bisa ngerugiin lo nanti?”

Fulan mengerjap-ngerjapkan matanya. Kenapa sih si Galvan ini? Dia kan cuma menyontek PR-nya, bukan ulangannya yang cukup dianggap sakral.

“Kok lo jadi ceramahin gue sih? Ini kan cuma PR, bukan ulangan. Lagian, gue cuma liat caranya kok, hasilnya gue cari sendiri,” Fulan langsung cemberut.

Galvan menghela napasnya. Huh. Memang iya sih ini cuma PR doang, nggak seharusnya dia menyeramahi Fulan seperti tadi. Hah. Nggak apalah, anggap saja tadi pelajaran buat Fulan agar suatu saat dia nggak perlu ‘bergantung’ sama orang lain.

“By the way, thanks ya,” Galvan mengangkat pandangannya dari buku matematikanya, menatap ke arah Fulan yang sibuk menulis di buku PR-nya. Galvan cuma menaikkan alisnya. “Thanks karena lo udah ngebuat gue putus sama Julian.”

Kini Fulan menatap penuh ke arah Galvan sambil tersenyum aneh. Galvan cuma bisa mengernyit, nggak tahu apa dia harus merasa bersalah atau syukurin tuh cewek. Masa iya sih tuh cewek nggak sedih sama sekali?

“Lo... nggak nangis?” tanya Galvan hati-hati. Dia nggak pernah mencoba untuk menyampuri urusan cewek seperti ini. Yah, tapikan ini Fulan, teman sepihak barunya. Setidaknya, dia bisa mendengar kabar Julian dari Fulan.

“Buat apa?” Galvan menangkap raut datar yang ia dapat dari Fulan. Benar-benar kosong. Cewek ini sepertinya nggak merasa hal itu terlalu dititikberatkan. “Gue malah seneng putus dari dia setelah setengah tahun lebih gue jalan sama dia.”

SENENG??? Galvan yang selama ini cuma bisa memerhatikan Julian dari jauh dan mencoba untuk nggak mencekik Fulan karena dia cemburu berat sama cewek itu ternyata senang kalau dia putus dari Julian? Brengsek juga nih cewek.

“You know, because I’m a lesbian.”

To be continued~
Continue reading
Share:
Views:
Cerpen

Tami

Thursday, July 10, 2014 By astaghiri 5 Comments
“Cit, lo nggak mau kenang-kenangan dari gue nih? Sini, baju lo biar gue yang coret-coret.”

Derry mengambil spidol perak yang berada di dalam saku seragamnya. Seragamnya kini penuh dengan coret-coretan pilox warna-warni. Berbeda dengan seragam Cita yang masih putih bersih. Belum tercoret sedikit pun—kecuali noda pulpen yang tercoreng di ujung lengan seragamnya.

“Nggak bisa,” Cita langsung menolak. “Karena hari ini adalah hari kelulusan, the first person yang harus coret-coret seragam gue adalah—”

“Of course guelah,” sahut seseorang yang kini sudah berdiri di belakang punggung Cita. Cita langsung membalikkan tubuhnya. Ia melihat Inov memegang spidol berwarna hitam di tangannya dengan tutup spidolnya yang sudah terbuka. Cita langsung melotot ke arah Inov.

“Kampret! Lo coret-coret apaan di punggung gue?!” damprat Cita langsung. Inov nggak kaget mendengar bentakkan Cita. Toh dia memang sudah terbiasa mendengar gadis itu mengomel-ngomeli dirinya.

“Mau tau apa mau tau banget?” Inov langsung tersenyum meledek. Kemudian, ia membungkuk mencari tutup spidol yang sempat terjatuh.

Tanpa aba-aba, Cita langsung menjatuhkan sikutnya pada punggung Inov dan menekannya dengan keras. Inov langsung terjatuh begitu mendapat serangan dari Cita. Walaupun Inov sudah seringkali mendapat serangan mendadak dari Cita, bukan berarti dia sudah merasa kebal mendapat serangan dari Cita.

“Cita!” bentak Inov langsung. “Punggung gue masih biru gara-gara lo tinju pake sikut lo tiga hari yang lalu!”

“Siapa suruh coret-coret seragam gue?!” Cita nggak mau kalah ketusnya. “Ah elah! Kampret banget sih lo, Nov! Harusnya orang pertama yang boleh coret-coret baju gue tuh orang yang spesial buat gue!”

“Ya orang yang spesial di hati lo kan cuma gue. Emangnya ada yang lain?”

Cita langsung menoyor kepala Inov begitu Inov berdiri. Lagi-lagi cewek itu main kasar dengannya. Tapi, bukan Cita namanya jika nggak berani bermain tangan seperti itu pada cowok seperti Inov. Lagipula, memang dari awal Inov sendiri yang jahil pada Cita.

“Spesial nenek lo! Nih seragam sengaja gue nggak bolehin orang lain coret-coret biar pacar gue bisa jadi orang pertama yang punya kenangan di seragam gue!” tutur Cita sambil melipat kedua tangannya di depan dadanya.

Inov langsung menaikkan salah satu sudut bibirnya. “Pacar? Sejak kapan lo punya pacar?”

“Pu—punya lah! Emangnya elo? Haha.”

“Paling cuma calon pacar,” cela Inov langsung.

“Itu...”

“Oh, bukan. Tapi gebetan. Palingan juga cuma calon gebetan.”

“...”

“Gue bener, kan? Hahaha.”

“...”

Cita memandangi Inov. Seragam putihnya sudah dipenuhi coret-coretan spidol dan pilox. Tapi, belum sedikit pun Cita menyoret seragam Inov. Itu pun karena Cita memang sengaja menyembunyikan dirinya agar seragamnya tidak dicoret-coreti oleh siapa pun. The first person.

“Yah ngambek.” Inov langsung memberikan spidol hitam miliknya. “Nih, coret-coret seragam gue. Lo kan sahabat gue, jadi coret-coret deh sepuas lo.”

Dengan kasar, Cita langsung mengambil spidol dari tangan Inov. Kemudian, ia membalikkan tubuh Inov dan membuka kerah seragamnya—bagian seragam yang belum tercoret spidol sedikit pun. Sambil menulis hal yang tidak diketahui Inov, Cita berkata, “Gimana sama si Anu?”

Inov langsung mengerutkan keningnya. “Anu? Anu siapa? Emang di sekolah kita ada yang namanya Anu?”

Sambil berdecak sebal, lagi-lagi Cita menoyor kepala Inov. “Capek gue ngomong sama lo.” Setelah selesai mencoret bagian kerah seragam Inov, Cita menutupnya spidolnya kembali.

Inov membalikkan tubuhnya menghadap ke arah Cita. “Capek? Ya udah yuk kita tidur,” katanya sambil memegang kedua bahu Cita.

Cita refleks menonjok dagu Inov. “Tidur mbahmu!”

“Cit! Sakit!” erang Inov.

“Sakit ya?” Citra nenyeringai lebar. “Rasain tuh.”

“Rasanya nggak enak, nggak ada rasa stoberi apa?”

Cita langsung mengepalkan kedua tangannya tepat di depan wajah Inov. “Adanya yang kanan rasa jambu, terus yang kiri rasa melon. Pilih mana?”

“Pilih hati kamu aja deh, hehe.”

Sumpah. Rasanya Cita benar-benar kepengin nonjok Inov lagi. Tapi kasihan, seminggu ini sepertinya dia sudah menyiksa Inov dengan bogem mentahnya. Lagian siapa suruh menjahilinya?

“Nov!” teriaknya. “Lo nyebelin banget sih jadi orang!”

“Emang,” jawab Inov santai. “Nyebelin tapi ngangenin kan?”

Cita sudah bersiap dengan sikutnya, siap ingin menerjang dada Inov. Tapi Inov langsung membuat tameng dengan tangannya. Dia juga langsung minta ampun pada Cita.

“Iya! Ampun Cit! Ampun!”

Cita menurunkan sikutnya. “Gebetan lo gimana? Nggak mau minta kenang-kenangan?” Cita mengubah arah pembicaraan.

“Ya nggak gimana-gimana. Belom tuh.”

Cita menyipitkan matanya. Sampai sekarang, Cita nggak tahu siapa yang menjadi kecengannya Inov. Inov sama sekali nggak mau cerita. Itu pun dia tahu bahwa Inov punya kecengan gara-gara Inov suka berkelakuan aneh. Tapi dia tetap nggak tahu siapa cewek yang jadi incaran Inov!

“Siapa sih ceweknya?” selidik Cita.

Kini gantian Inov yang menyipitkan matanya. “Yakin lo mau tau?”

Cita mengangguk penuh. Tapi dari auranya sih kayaknya Inov tetap nggak mau kasih tahu siapa cewek itu. Mengingat, belum lama ketika Inov memberitahu cewek incarannya waktu itu, entah apa yang Cita lakukan, intinya cewek gebetannya langsung menjauh begitu saja.

“Nggak mau ah! Rugi gue kasih tau elo!”

“Yah, Nov,” ringis Cita. “Kok lo gitu banget sih sama gue?”

“Bodo amat,” sarkas Inov. “Nah lo sendirinya nggak mau ngasih tau siapa gebetan lo itu.”

Cita langsung terperanjat. “Eh itu...”

“Itu apa?”

Cita melirik ke arah Inov. Tiba-tiba saja tangannya menepuk keras lengan Inov. “Elo sih! Udah tau gue sengaja nggak ngebiarin orang lain nyoret-nyoret baju gue. Elo malah main nyosor aja! Ini buat dia tau!”

“Yee biarin aja. Berarti emang bukan rejeki lo,” balas Inov sambil melirik ke arah Cita. “Mumpung gue lagi baik nih ya, gue bantuin deh buat dapetin kenang-kenangan dari gebetan lo itu,” tawar Inov sambil melipat kedua tangannya.

“Serius lo?”

Inov membalas dengan satu anggukan. “Tapi kasih tau dululah siapa tuh cowok.”

Sejenak Cita ragu. Masa iya dia mau kasih tahu siapa gebetannya? Bisa malu tujuh turunan dia...

“Gimana? Tawaran gue langka lho, Cit.”

Cita melirik ke arah Inov. Yah, biasanya sih Inov memang selalu menolongnya. Namun bukan itu yang dikhawatirkannya. Tapi...

“Oke,” kata Cita tegas. “Orangnya nggak jauh dari kita kok...”

“Siapa?”

“...”

Tiba-tiba Cita melirik ke arah lain. Bukan cuma setengah detik, bahkan Cita melirik cukup lama. Hal itu membuat Inov juga menolehkan kepalanya. Kemudian dia kembali menatap Cita.

“Jangan bilang...”

Cita menoleh ke arah Inov, tapi nggak mau menjawab. Dan itu artinya, iya.

Tiba-tiba Inov tertawa lebar. Cita cuma bisa menunduk. Padahal Cita sama sekali belum memberitahunya. Salah matanya juga sih yang main lirik-lirik.

“Udah puas lo ketawa?”

“Belom, belom. Hahahahaha...”

“Ah nggak tau ah!” Cita langsung ngambek. Gimana nggak ngambek coba? Masa orang yang disukainya diketawai oleh Inov?

“Yeee malah ngambek,” Inov menghentikan tawanya, walaupun dia masih menyeringai lebar. “Jadi beneran nih lo suka sama pedangdut itu?”

Cita melirik ke arah Inov, malu.

Namanya Fiko. Cita dan Inov sekelas dengan cowok itu. Memang sih cowok itu ganteng, tampilannya juga selalu rapi. Tapi ada satu masalah yang ngebuat cewek-cewek rada ilfeel sama Fiko. Yah, selera musiknya itu. Dia senang banget dangdut. Kayaknya dangdut mana pun pasti dia hapal.

Ya iya sih, dangdut itu khas Indonesia. Tapi kan nggak banget gitu lho...

Cita menunduk lagi, dan artinya itu, iya.

“Oke, gua bakal bantuin lo,” kata Inov yang kembali membuat Cita menatap ke arahnya. “Tapi gue punya syarat.”

“Lah, tadi kan syaratnya udah, masa ada lagi?” sarkas Cita.

“Yee. Itu mah bukan syarat, itu adalah ketentuan. Gimana gue mau ngebantuin lo kalo gue nggak tau orangnya?”

Yah, benar juga sih kata Inov. Ya sudahlah. Apa boleh buat? Lagipula, nggak ada salahnya ngebantu Inov.

“Ya udah, apa syaratnya?”

Inov hanya membalas dengan seringainya.

***

Sesuai janjinya tadi, Inov mau membantu Cita untuk mendapat kenang-kenangan dari si pendangdut itu, eh maksudnya Fiko. Tapi masalahnya, Fiko sendiri sudah punya pacar. Dan pacarnya itu persis banget permen karet, nempel mulu kerjaannya.

“Orangnya lagi di kantin tuh,” Inov menyenggol Cita menggunakan sikutnya.

Cita mengikuti mata Inov yang juga menatap ke arah Fiko. Yah sudah dibilang, Fiko selalu nempel sama pacarnya terus.

“Ada penjaganya, Nov,” kata Cita terdengar pasrah.

Inov mengibaskan tangannya di depan wajah Cita. “Ah, itu mah gampang. Bentar, gue samperin dulu anaknya. Ntar kalo gue kasih aba-aba, lo baru ke Fiko.”

Inov berlalu dari samping Cita. Cowok itu menghampiri Fiko di kantin. Nggak lama, akhirnya dia sampai di meja Fiko dan pacarnya. Entah, Cita sendiri nggak tahu Inov ngomong apa sama Fiko dan pacarnya. Yang jelas, setelah Inov berbicara, pacar Fiko pergi meninggalkan mereka berdua.

Setelah itu, Inov berbicara lagi dengan Fiko yang dibalas dengan anggukan. Kemudian dia memberi aba-aba pada Cita. Cita terperanjat, karena Fiko juga menatapnya sembari tersenyum. Akhirnya dia menghampiri Fiko dan Inov.

“Kok lo bisa sih...” bisik Cita pada Inov.

“Bisalah, gue gituloh,” sahut Inov bangga. “Gue aja bisa ngelerai ultraman sama gozila, masa yang kayak gini doang nggak bisa?”

Cita hanya memutar bola matanya, kemudian fokus pada Fiko. “Hai Fik,” sapa Cita kikuk ketika sudah sampai di meja mereka.

“Hai juga, Cit,” balas Fiko ramah. “Katanya lo mau dapet kenang-kenangan dari gue ya?”

Dalam hati Cita malu banget. Pasti tadi Inov ngomongnya langsung to the point.

“Hehe, iya. Boleh, kan?”

“Ya bolehlah. Masa nggak sih?”

Acara basa-basi itu dilanjutkan dengan foto-foto menggunakan ponsel Cita sendiri. Lagi-lagi Inov dijadiin kacung. Yah, nggak apa-apa sih, asal nanti Cita mau membantunya balik.

“Thanks ya, Fik,” kata Cita setelah selesai berfoto dengan Fiko sekaligus minta tanda tangan atau tulisan apa pun yang mau Fiko tulis di seragamnya. “Dan selamat buat kelulusannya,” Cita menjabat tangan Fiko dan dibalasnya hangat.

“Ya Cit, selamat juga ya.”

Inov juga memberi selamat, akhirnya mereka pergi dari kantin.

“Gimana? Udah puas?” tanya Inov.

Cita membalas dengan tersenyum lebar. “Thanks ya Nov.”

“Eits, makasih doang mah nggak cukup keles.”

“Iya-iya, tapinya emang mau langsung nyari barang buat gebetan lo pake seragam kayak gini?”

“Ya nggaklah,” tepis Inov. “Lo pulang dulu, nanti jam empat gue jemput. Awas aja lo kalo belom mandi.”

Cita membalas dengan menoyor kepala Inov. Tuh cowok memang nggak bisa untuk nggak disiksa sehari pun.

 ***

Cita menunggu di ruang televisi hingga motor Inov terdengar berhenti di halaman rumahnya. Nggak perlu disamper, karena Inov sendiri langsung nyelonong masuk ke dalam rumah. Yah, itu sih kebiasaannya.

Tapi dia nggak menghampiri Cita, justru dia menghampiri mamanya. Biasalah, kalau bertemu pasti cium tangan dulu. Itu satu-satunya sikap sopan yang Cita kagumi dari Inov, tapi yang lainnya enggak.

Inov juga pamit mau ngajak Cita sebentar keluar karena ada perlu. Yah, mamanya sih nggak perlu khawatir lagi. Toh dia sudah mengenal Inov lebih dari lima tahun.

Sekarang, Cita sudah berada di atas motor bersama Inov menuju mall terdekat. Cita masih heran siapa cewek yang jadi incaran Inov.

“Cewek lo siapa sih Nov?”

“Dia beloman jadi cewek gue,” kata Inov kalem. “Gue nggak mau kasih tau, ah. Kan intinya lo mau ngebantuin gue cariin barang yang disukain cewek. Gue nggak minta lo buat ngelakuin hal yang gue lakuin tadi ke Fiko kok...”

Cita langsung memukulkan helmnya yang belum dipakainya ke arah helm yang terpasang di kepala Inov. Inov langsung meringis. Ya gimana nggak sakit coba?

“Lama-lama gue gegar otak nih gara-gara lo! Awas aja kalo sampe beneran kejadian!”

Cita membalas dengan memeletkan lidahnya ke spion yang membias ke arah Inov. Inov cuma bisa memutar bola matanya.

Nggak lama, akhirnya mereka sampai juga. Cita langsung mengusulkan untuk ke toko pernak-pernik. Yah, mau nggak mau Inov harus mengikuti Cita, ini kan kemauannya.

“Ayo, Nov! Masuk!” paksa Cita sambil menarik tubuh Inov agar mau masuk ke dalam toko pernak-pernik tersebut.

Gimana nggak mau masuk coba? Itu isinya pernak-pernik cewek semua, yang beli juga rata-rata cewek. Kecuali orang pacaran yang benar-benar dipaksa sama ceweknya buat nemenin dia.

“Itu cewek semua Cit...” ringis Inov. “Malu gue...”

“Bodo amat!” sarkas Cita. “Yang mau kan elo, ya harus terima resikolah! Ayo!” tarik Cita lagi. Tapi Inov masih kukuh di tempatnya. “Kalo lo nggak mau masuk, gue pulang nih!” ancamnya.

“Eh, iya-iya!” Pertahanan Inov langsung luruh. Mau nggak mau akhirnya dia masuk ke toko itu dengan ditatap geli sama cewek-cewek yang ada di sana.

“Tipe gebetan lo apa?” tanya Cita ketika lagi melihat-lihat bando yang terpajang di sana. Entah mengapa sekarang rasanya dia nggak mau membantu Inov. Baru sekarang. Tapi dia juga nggak mungkin menolak karena Inov sudah membantunya tadi.

“Tipe? Hmm...” Inov berpikir sejenak. “Agak feminin sih kalo kata gue.”

Gue nggak feminin.

Cita terperanjat sendiri karena tiba-tiba saja di pikirannya terlintas hal seperti itu. Apa sih yang ada di pikirannya? Mau dia feminin atau enggak, peduli apa memangnya? Toh dia melakukan ini untuk membantu Inov. Cuma itu.

“Apalagi?” Suara Cita terdengar serak kali ini. Sepertinya Inov nggak menyadarinya karena dia juga sibuk melihat-lihat pernak-pernik di sana.

“Emang tipe-tipe cewek itu banyak ya?” tanya Inov polos.

Cita menghela napasnya. “Ya iyalah! Contohnya kayak gue—”

“Ah! Elo mah bukan cewek. Contoh lain aja kenapa,” potong Inov.

Cita langsung memutar bola matanya. Tadinya dia kepengin menonjok apapun ke arah Inov, yang penting kena. Tapi mengingat mereka lagi di daerah seperti ini, Cita mengurungkannya.

“Hmm... oke. Tadi kata lo sedikit feminin kan? Rata-rata cewek feminin itu suka warna pink, ya nggak pink juga sih. Ya pokoknya suka warna yang soft gitu deh, nggak mencolok gitu,” tutur Cita panjang lebar. Kemudian dia mengambil salah satu bando yang berwarna soft pink berpolkadot. “Contohnya kayak gini.”

“Coba pake.”

Cita sedikit terperanjat. Kenapa harus dia yang memakainya?

Tapi entah kenapa Cita menuruti perintah Inov. Dia menatap ke arah Inov dengan tatapan membulat.

Inov memerhatikan Cita sebentar dan hal itu membuat Cita salah tingkah. Ada apa sih dengannya? Ini kan cuma Inov. Inov.

“Ah, nggak cocok buat dia,” Inov langsung melepas bando tersebut dari kepala Cita. Kemudian dia mengambil bando yang lain dan dipasangkan ke kepala Cita. Lagi-lagi Cita berdegup!

“Kok kayaknya nggak cocok ya?” Bukan pertanyaan untuk Cita, melainkan Inov menggumam pada dirinya sendiri.

Cita melepaskan bando tersebut dari kepalanya sekaligus mencoba melepaskan rasa salah tingkah yang datang tiba-tiba tersebut. Kali ini entah mengapa dia nggak berani untuk menatap ke arah Inov.

“Kenapa nggak gelang aja?” usul Cita sambil melangkah menuju rak-rak bagian gelang.

“Lah yang nyontohin bando kan elo, gue cuma ngikut-ngikut doang,” sahut Inov nggak mau kalah.

Cita melatih napasnya sejenak untuk membuang sisa-sisa rasa salah tingkahnya pada Inov.

Ini cuma Inov, Cit. Cuma Inov, oke.

“Warna kulit tuh cewek apaan?” Pertanyaan Cita agak terdengar ketus. Tapi Inov nggak memedulikannya, mungkin dia ngambek gara-gara diketusin tadi.

“Kayaknya nggak putih-putih banget, lebih ke langsat tapi keliatan bersih.”

“Hmm... warna cokelat bagus kali ya?”

“Ah, ya udah. Gue juga suka warna cokelat.”

Cita meniti gelang-gelang yang berada di hadapannya. Semuanya menarik. Tapi ada satu gelang yang membuat Cita benar-benar tertarik, dan warnanya juga cokelat.

Gelangnya memang sederhana, tapi justru yang sederhana itulah yang membuat gelang itu anggun. Walaupun Cita nggak feminin, dia merasa benar-benar tertarik dengan gelang itu sampai akhirnya dia mencobanya di pergelangan tangannya sendiri.

“Gimana?” Cita menanyakan pendapat yang sebenarnya ditujukan untuk dirinya, bukan dia yang dimaksud oleh Inov.

“Bagus-bagus,” sahut Inov sambil mengangguk-anggukan kepalanya. “Kayaknya cocok buat dia.”

Dia, lagi. Dalam hati, entah kenapa Cita merasa dia nggak ikhlas membantu Inov memilih gelang-gelang itu.

Cita melepas gelang tersebut. “Jadinya yang ini nih?”

Inov mengangguk. “Ada yang mau lo beli nggak? Mumpung di sini nih, nanti pas pulang ngambek kepengin ke sini lagi,” candanya.

“Yee!” Cita hampir saja ingin melempar gelang itu ke arah Inov. “Nggak ah, gue nggak begitu doyan pake pernak-pernik. Nggak ada yang mau lo beli lagi?”

“Nggak deh. Kayaknya ini cukup.”

Cita berjalan menuju kasir, sedangkan Inov langsung keluar dari toko tersebut. Inov sempat memesan agar gelang itu dibungkus di kotak yang kecil. Yah, namanya juga hadiah kenang-kenangan.

Setelah selesai membayar, mereka menyempatkan diri untuk makan di food court terlebih dahulu. Cita yang masih penasaran, akhirnya menanyakan hal yang sama pada Inov lagi, tentang cewek itu.

“Nov, cewek yang lo gebet siapa sih?”

Inov mengangkat matanya dari menu. “Kepo dah lu.”

“Ih serius! Lo mau gue mati penasaran?”

“Emangnya lo kepengin mati hari ini?”

Duh, susah deh kalau ngomong sama cowok kolot itu.

Cita langsung ngambek, tapi hal itulah yang membuat Inov terpancing.

“Iya deh, iya,” Akhirnya Inov mengalah. “Sama sih kayak gebetan lo. Dia—”

“Lo suka juga sama Fiko?!” pekik Cita. Inov langsung memukul kepala Cita menggunakan lembaran menu.

“Tuh kan, giliran gue mau kasih tau, lo-nya begitu.” Gantian Inov yang ngambek.

Cita cuma bisa nyengir. “Hehe. Iya dah. Siapa sih? Temen sekelas kita?”

Inov masih sok ngambek. Dia pura-pura nggak mendengarkan Cita dengan membaca menu. Tapi Cita nggak mau nyerah. Akhirnya dia mencubit tangan Inov.

“Auw! Sakit Cit!” erang Inov.

“Makanya kasih tau buruan!” desak Cita.

“Menurut lo, emang siapa yang paling cantik di kelas?”

“Guelah,” sahut Cita.

“Yee! Mimpi aja lo sana.”

Cita sedikit memajukan bibirnya. Kemudian dia berpikir sejenak. Siapa ya yang paling cantik di kelasnya...

“Tami?”

Inov menatap ke arah Cita, tapi dia cuma diam. Dan itu artinya, iya.

Entah mengapa sekarang Cita merasa sesak. Padahal udara di sini baik-baik saja. AC juga tidak rusak.

Tami memang cantik, dan dia feminin. Yah, pantas saja kalau Inov menyukai cewek itu, bukan seperti dirinya.

Cita terperanjat dalam hati. Apa iya dia cemburu?

***

Inov menyempatkan diri untuk mengantar Cita terlebih dahulu. Setelah itu barulah dia akan menuju rumah Tami.

“Emangnya lo tau rumah Tami?” tanya Cita setelah mereka berdua sampai di rumah Cita.

“Taulah. Gue kan pernah satu kelompok sama dia,” kata Inov sambil memutar balik motornya ke arah jalan raya.

“Oh, lo mau nembak dia nih ceritanya?” pancing Cita.

Inov menatap ke arah Cita. “Menurut lo gimana?”

“Kok nanya gue? Kalo lo nembak pasti diterimalah. Ya kali nggak diterima. Lo kan...” Cita menghentikan ucapannya. Hampir saja dia keceplosan.

“Gue apa? Gue ganteng ya? Emang. Dari lahir kok.”

Cita melempar helm milik Inov ke arah cowok itu. Untung saja Inov cepat tanggap. Cita buru-buru masuk ke dalam rumah sebelum cowok itu memanggilnya lagi.

“Cita! Salam buat nyokap lo ya!”

“Iya! Good luck, Nov. Titidije!”

Cita menutup pintu rumah. Udara yang dihirupnya terasa semakin sesak.

Cita berjalan menuju kamarnya dan mengempaskan tubuhnya di atas ranjang. Dia berpikir sebentar. Masa iya dia cemburu sama Tami? Dan apa dia suka sama Inov?

Pertanyaan terakhir itu pernah muncul di benaknya tiga tahun lalu. Tapi itu adalah hal konyol yang pernah dialaminya.

Inov nggak pernah bersikap serius dengannya, sampai sekarang. Maka dari itu, Cita menyimpan perasaannya hingga menjadi tabu. Dan perasaan tabu itu kini menguar liar tanpa bisa dicegah Cita sendiri. Tapi yang namanya perasaan, apa iya bisa dicegah?

Cita membuka tasnya untuk mengambil ponselnya. Dia sempat mengernyit ketika kotak yang berisi gelang milik Inov berada di dalam tasnya! Ya ampun. Dia lupa memberikannya pada Inov. Padahal tadi Inov cuma menitip di tasnya.

Cita mengambil kotak itu dan membukanya. Ada perasaan bersalah saat dia menyentuh gelang yang akan dimiliki orang lain itu. Tapi perasaan bersalah itu nggak membuat Cita menghentikan tangannya untuk memakai gelang itu.

Cita dikagetnya dengan nada dering ponselnya. Dia langsung merogoh ponselnya dan melihat ke arah layar. Itu Inov!

“Halo, Nov?”

“Cit! Gue lupa, gelang gue ketinggalan. Turun dong! Gue di depan rumah nih!”

“Eh? Iya-iya.”

Dengan kilat Cita melepas gelang tersebut dan menaruhnya ke dalam kotak. Kemudian dia beranjak menuju pintu rumah. Inov masih duduk di motornya.

“Dasar tua! Pikun banget sih lo!” hardik Cita sambil memberikan kotak tersebut.

“Itu kan gara-gara lo yang sering mukulin kepala gue,” bela Inov.

Kemudian Inov membuka kotak tersebut. Dia sempat mengernyit melihat gelang di dalamnya. Kemudian matanya beralih menatap Cita.

“Lo abis make nih gelang ya?” tudingnya, dan itu memang benar.

Cita terperanjat. Bagaimana Inov bisa tahu?

“Dih. Kok lo seudzon banget sih sama gue?” Cita mencoba membela diri.

“Tapi kok kotaknya agak berantakan ya?”

“Ya tadikan keudek-udek di tas gue! Salah lo sendiri yang ngendarain motor pake ngebut segala!”

Inov turun dari motor dan menaruh kotak tersebut di jok motornya. Kemudian dia menarik tangan Cita secara paksa.

“Tuh kan ada bekasnya! Udah deh ngaku aja!”

“Ih! Itu kan gara-gara gue make pas di toko! Kok lo nggak percayaan sih sama gue?” Cita masih ngotot nggak mau ngaku.

Tiba-tiba saja Inov mengambil gelang tersebut dan memakaikannya di pergelangan tangan Cita.

“Oke, kalo lo nggak mau ngaku, gue nanya sendiri sama gelangnya. Lang, lo abis dipake nggak sama cewek ini?” Inov melirik ke arah Cita.

“Lo udah gila ya?” Cita mencoba melepas gelang itu dari tangannya. Tanpa diduga-duga, Inov malah mencoba menghentikannya.

“Jangan dilepas.” Cita mendengar ucapan Inov antara perintah dan paksaan. “Kalo lo mau pake, pake aja.”

“Lho? Ini bukannya buat Tami?” tanya Cita bingung.

“Iya, ini emang buat Tami.” Jawaban Inov semakin membuat Cita bingung. “Cita Daniatami.”

Cita langsung diserang kaget. Bahkan tangannya yang sedang dalam cengkraman Inov sempat terkejut. Inov benar-benar menatapnya serius kali ini.

“Maksud lo apa...”

“Ini emang buat lo, Tami.”

Panggilan dari Inov sempat membuatnya bernostalgia di lima tahun lalu. Dia baru ingat bahwa Cita pernah dipanggil Tami oleh Inov!

“Nov, jangan bercanda...”

“Gue lagi bercanda?”

Lagi-lagi Cita dibuat terdiam oleh Inov. Dia nggak tahu harus ngomong apa dan harus melakukan apa.

Di kelas mereka, memang ada cewek yang bernama Tami. Tami memang cantik, feminin, dan cukup populer. Ketika Inov memberi kode siapa yang menjadi incarannya, Cita langsung menjawab Tami. Lagipula, siapa sih yang nggak suka sama Tami?

Tapi, Cita sendiri nggak sadar bahwa namanya sendiri mengandung nama ‘Tami’. Dan ‘Tami’ yang dimaksud oleh Inov adalah Cita. Cita Daniatami.

“Yah, yang pasti itu kenang-kenangan dari gue,” kata Inov mencoba untuk mencairkan suasana. “Asal lo mau make, gue udah seneng.”

Inov melepas cengkramannya dan duduk di motor. Cita menatapnya penuh.

“Lo nggak jadi nembak Tami?” Inov menoleh ke arah Cita, tapi dia cuma diam. “Maksud gue... lo nggak jadi nembak... gue?”

“Emangnya lo pengin banget gue tembak?” Inov menyeringai, hal itu cukup membuat suasana mereka mencair.

“Yah... itu sih terserah lo aja...”

Inov kembali turun dari motor. “Tapi gue mau ngedapetin jawaban ‘iya’. Dan haram untuk bilang ‘nggak’.”

“Emangnya pengin banget apa...”

Inov langsung mengacak-acak rambut Cita sambil tersenyum. Namun Cita nggak membalas dengan mengeluarkan bogem mentahnya. Dia juga membentuk senyum ikhlas di bibirnya.
Continue reading
Share:
Views:
Cerbung

Sorry, mate. [2]

Saturday, June 28, 2014 By astaghiri 0 Comments


Yang belum baca part pertamanya, klik di sini ya :)

***

Pulang dari kondangan gue jadi kesemsem sendiri. Nyokap yang sifat keibuannya ketinggian, dia sadar bahwa anak bongsornya ini daritadi senyam-senyum nggak jelas.

Alhasil, kena taboklah punggung gue, lagi. Gue yang memang lagi kesemsem sambil ngendarain motor langsung mengaduh. Dahsyat banget memang tabokan emak.

“Mom! It hurts you know!” lagak gue sok pakai bahasa inggris.

Dan mendaratlah lagi tabokannya nyokap. Berasa KDMM. Kekerasaan Dalam Mengendarai Motor. Haha.

“Mam mom mam mom, biasa manggil emak jugaan lu!”

Nah kan, nah kan. Keluar dah betawinya. Gini nih kalau nyokap suka keceplosan. Kadang-kadang dia suka diomelin, ya nggak diomelin juga sih, mungkin ditegur bokap gara-gara gaya bahasanya, karena menurut orang jawa itu kurang sopan. Ya gimana nggak diomelin? Wong bokap gue jawa tulen.

“Lah, biar keluarga kita bervariasi, Mom. Daddy orang jawa, Mom orang betawi, and I orang Inggris.”

“Halah,” cibir nyokap. “Lagian kenapa sih daritadi kamu senyam-senyum terus?” Kosakata nyokap balik lagi.

“Kepo banget sih Mak.”

“Hah? Kelepon?”

Duh. Biasa orang dulu. Susah buat terima informasi-informasi terkini. Bahasa gahol saja dia nggak tahu. Gimana bokap gue yang tontonannya wayang melulu?

“Bukaaan. Tadi Doni ketemu sama Vina. Mama inget nggak?”

“Vina? Anaknya Bang Dulloh?”

Masyaallah. Gue saja sama sekali nggak ingat nama bokapnya. Et dah, si emak ya suka banget sok tahu.

“Bang Dulloh siapa lagi?”

“Nah itu nama anaknya ya Vina,” Nyokap lagi-lagi nabok punggung gue. “Emang kenapa sama si Vina?”

“Kagak,” jawab gue yang lagi-lagi kesemsem sendiri. Nyokap yang melihat gue cuma bisa heran. Ya iyalah, gimana nggak heran? Anaknya berasa kesambet kayak gini.

***

Begonya, gue lupa minta nomor handphone-nya Vina. Ya mana gue ingat sih? Orang tiba-tiba dia juga noleh ke belakang, terus nyuruh gue buat ke pos ronda malam ini. Dan gue juga sudah kesenengan duluan.

Ah, nanti juga bisa minta kok. Haha.

Gue pakai celana pendek—ya nggak kolor jugalah—selutut sama kaus pendek. Gue juga pakai jaket. Namanya juga malam, kan dingin. Nggak kok, gue lagi nggak kode. Kodein siapa juga lagi?

Setelah azan isya dan kemudian sholat, gue pamit sama nyokap mau ke depan, bilangnya sih mau beli sekuteng. Ya masa gue bilang mau ke pos ronda? Entar gue dicibir gini lagi sama nyokap, ‘Emangnya kamu bisa nangkep maling? Kamu kan kerjaannya tidur mulu, nyadar ada maling juga kagak’ dan blablabla.

Setelah belasan menit gue nunggu, nggak ada tanda-tanda Vina mau datang. Ya iya sih, Vina nggak bilang jam berapa mau ketemuan di pos ronda. Bego juga sih gue, kenapa nggak nanya coba?

Akhirnya dengan sabar gue nungguin dia bahkan sampai nyamuk bikin pesta kecil-kecilan menikmati darah gue. Gila. Gue yang salah waktu atau memang si Vina yang pelupa?

Dan sekarang sudah kelewat satu jam brooo. Mau sampai kapan nunggu? Sama kayak Raisa, ‘Apalah arti menunggu bila kamu tak...’ sori, gue lupa lirik. Beneran.

Karena nggak tahan dijadiin bahan pesta sama nyamuk, akhirnya gue pergi dari pos ronda itu. Tadinya sih gue punya niat langsung pulang. Eh, gue malah ketemu sama Amel.

“Mel? Mau ke mana lo?”

Amel noleh ke arah gue. Matanya dia kalau malam memang rada burem. Buktinya, dia saja nggak melihat gue jalan di depannya. Padahal sudah tahu gue berdiri kayak tiang berjalan gini.

“Nah, lo? Mau ke mane?”

Nggak kayak Vina dan yang lain-lainnya. Amel itu salah satu sahabat yang masih cukup dekat dengan gue. Ya nggak dekat banget sih. Seenggaknya, kita masih saling sapa karena rumah yang paling dekat memang cuma gue sama Amel.

Ya iyalah, orang rumah gue sama rumah dia ketimbang ngesot.

Gue garuk-garuk kepala. Akhirnya gue cerita sedikit tentang ketemuannya gue sama Vina di kondangan tadi siang. Dan sampailah sekarang di pos ronda itu.

Tiba-tiba Amel ketawa, persis banget Rudi kalau lagi ngejek gue.

“Lo tuh bego atau apa sih? Ya dia minta ketemuannya pasti di pos ronda deket rumah dia lah! Hahaha. Begonya emang nggak pernah ilang dah lo dari dulu.”

Kurang ajar banget kan nih cewek? Dari kita berlima, Amel yang paling nyablak. Sama kayak nyokap gue, dia betawi tulen. Suka banget ceplas-ceplos.

Pernah suatu hari gue sakit hati gara-gara ceplosannya dia. Tapi tuh anak nggak nyadar-nyadar juga kalau gue sakit hati gara-gara dia. Batu banget kan tuh cewek?

Dan begonya, gue memang lupa kalau di dekat rumahnya Vina ada pos ronda. Ya ada benarnya juga sih Amel, kadang-kadang.

“Ya udah deh, lo mau ikut nggak?”

Sebenarnya gue cuma basa-basi doang sih, soalnya ini juga menyangkut Vina. Amel juga sudah lama nggak main sama Vina dan yang lain-lainnya. Ya tapi lebih lamaan gue sih, mungkin kalau si Amel cuma barang satu sampai dua tahun.

“Ya udah deh, yok!”

Ya Tuhan. Padahal kan gue cuma basa-basi. Gimana nih kencan pertama gue?

Ya sudahlah. Biarin deh si Amel ngikut, biar nggak canggung-canggung banget.

Kita berdua jalan menuju pos ronda yang dekat dengan rumah Vina. Dan benar saja, di situ ada Vina. Tapi bukan Vina saja! Ada Titi sama Jaka juga!

Gue berhenti jalan sebentar. Inilah momen-momen yang paling gue benci. Mereka sahabat lama gue, tapi gue sendiri ngerasa canggung buat ketemu sama mereka untuk sekian lamanya.

“Ngapa lo berenti?” Sama kayak nyokap gue, dia ikut-ikutan tabokin gue. Bedanya, dia cuma nabokin lengan gue. Ya beda sih, tapi sakitnya sama.

“Ah? Enggak. Tadi ada kucing lewat,” ngawur gue.

“Mane cing! Ayo jalan!”

Akhirnya kita berdua kembali berjalan menuju pos ronda itu. Titi yang pertama kali nyadar ada kita berdua datang. Tapi dia masang muka datar gitu. Jaka sama Vina juga ikutan noleh. Cuma Vina yang pasang raut senang melihat gue sama Amel.

Tapi tiba-tiba Jaka sama Titi beranjak dari pos ronda. Gue pikir mereka kayaknya ogah menerima kembali gue sama Amel—kayaknya sih khususnya cuma gue doang—di persahabatan itu. Mereka kayak mau ninggalin pos ronda.

Tapi yang gue nggak sangka, mereka justru nabokin gue! Nampolin gue! Jambak gue! Ah pokoknya nampolinnya pakai perasaan banget. Amel juga kena, tapi dia cuma sekedar dijitak sama Jaka, dicubit sama Titi.

Mereka berdua ketawa, mau nggak mau gue juga ikutan. Jaka ngerangkul pundak gue sama Amel. Titi balik ke pos ronda, duduk di samping Vina.

“Ini nih, akhirnya orang yang sempet ngilang, nongol juga. Terutama elo, Don!” kata Jaka sambil ngejitakan gue. Amel cuma senyam-senyum. Gue sendiri juga cuma bisa nyengir. “Ah! Gue kangen banget sama lo berdua!”

Nggak kok, Jaka nggak lagi akting. Gue tahu dia benar-benar kangen sama kita berdua. Di antara kami berlima, cuma gue yang paling sensitif buat ngebaca mimik orang, dan perasaan mungkin juga sedikit. Dan juga nyimpen perasaan. Ha. Ha. Ha.

Ya pokoknya gue sedikit-banyak tahu mana yang lagi jujur dan mana yang lagi beralibi.

“Eh! Ayo duduk! Gue bikinin pisang goreng nih!” kata Vina sembari tersenyum ke arah gue, tapi sih kayaknya lebih ke arah kita bertiga. Duh, geer ya gue?

Kita bertiga masuk ke pos ronda, ngelilingin pisang goreng buatan Vina yang sudah kelewat dingin.

“Lo ke mana aja sih? Gue tungguin dari isya juga,” kata Vina sambil melahap pisangnya.

“Lo kayak nggak tau Doni aja sih, Vin,” sahut Amel sambil ngelirik ke arah gue. Gue langsung pasang rambu-rambu. “Begonya kan emang kelewatan dia.”

Ketawalah mereka, kecuali gue.

“Udah tau pos ronda nggak cuma satu doang, belum lagi dia nggak mikir kalo deket rumah lo ada pos ronda.”

Gue langsung nyumpelin pisang goreng sisa yang gue makan ke mulutnya Amel. Biar sekalian keracunan tuh anak. Sekalinya ngatain, tuh anak bakal ngelanjutin terus.

“Yah, kena rabies deh gue,” kata Amel, tapi dia malah ngunyah pisang goreng yang gue jejelin. Gila memang tuh cewek.

“Gila, udah berapa tahun lo nggak ketemu sama kita-kita?” Kali ini Titi yang menyahut. Gue sampai lupa kalau ada dia di sini. Habis, dia kecil banget sih, imut gimana gitu. Imutnya dia tuh imut marmut, baby face banget.

Gue nyengir. “Kenapa lo, kangen sama gue?”

Titi ngelempar kulit pisang goreng ke arah muka gue. “Banget, bego! Elo tuh pelengkap kita semua!”

Gue langsung nyombongin diri. “Yah gue mah emang pantes dikangenin.”

“Halah!” Titi mengambil pisang goreng lagi, kemudian dijejel ke mulutnya. “Eh, main ayam yuk! Udah lama nih kita nggak main ayam!”

Gue dan yang lainnya langsung antusias. Eits, ini bukan ayam beneran. Ya kali malam-malam begini mainin ayam. Ayamnya siapa coba? Nyolong di kandangnya Bang Udin yang ngoleksi ayam jantan? No way banget gue megangin ayam.

Gue sendiri juga nggak tahu kenapa permainan yang bakal kita mainin disebut ayam. Pokoknya cara mainnya gini; setiap orang nyediain dua jempol tangan. Kalau lima orang, berarti ada sepuluh jempol kan.

Nah setiap pemain itu dapat giliran, ya iyalah. Caranya, dia harus nyebutin angka dari enol dan nggak boleh lebih dari sepuluh karena jempolnya saja cuma ada sepuluh.

Misalkan angka yang dia sebutin dan jempol yang berdiri itu sama jumlahnya, berarti dia menang. Dia boleh narik salah satu jempolnya. Nah gitu cara mainnya.

“Eh! Ntar dulu ntar dulu! Gue ambil bedak dulu ya, nggak asyik kalo nggak pake apa-apaan!” Jaka langsung beranjak dari pos ronda, berlari menuju rumahnya.

Gue yakin, dia bakal nyolong bedak nyokapnya. Ya iyalah, Jaka tuh nggak punya adek cewek. Masa iya dia mau nyolong ke bokapnya? Lebih ngawur lagi. Kecuali kalau memang Jaka punya sendiri...

Tapi nggak mungkinlah, gila banget.

Nggak lama, Jaka balik ke pos ronda bawa bedak bayi. Barulah kita main.

Permainan satu sampai ketiga, gue masih aman. Tapi sialnya, gue kena di permainan yang keempat! Cemonglah muka ganteng gue. Nanti gue dikira pocong berjalan lagi pas mau pulang.

Lama-kelamaan kita bosan. Semuanya juga sudah pada kena bedak. Mana tenggorokan seret gara-gara kebanyakan makan pisang goreng lagi.

“Duh, bosen nih,” Titi yang menyudahi permainannya.

“Iya, mana seret lagi tenggorokan,” Jaka yang menyahut.

Kini Vina yang berdiri. “Ya udah deh, gue bikinin minuman dulu ya,” katanya sambil beranjak dari pos ronda.

Setelah Vina menjauh, Jaka melakukan gerak-gerik yang agak mencurigakan. Walaupun Vina jauh, dia malah bisik-bisik ke arah Titi. Gue sih kurang tahu apa yang dibisikin sama Jaka. Yang jelas, Titi cuma ngangguk-ngangguk setelah dibisikin. Habis itu si Jaka pergi dari pos ronda.

“Si Jaka mau ngapain sih Ti?”

“Dia mau bikin surprise buat Vina. Jangan bilang lo nggak tau kalo hari ini ulang tahunnya Vina?” tuding Titi menggunakan jarinya ke arah muka gue.

Kampret! Gue benar-benar lupa kalau hari ini Vina ulang tahun.

Gue cuma nyengir idiot, dan gue memang benar-benar lupa.

“Terus nanti gimana?”

Titi ngesot di lantai menuju ujung pos ronda. Persis banget siput.

Dia mengambil kantung kresek hitam yang di dalamnya ada telur sama bungkusan tepung! Wah, wah. Jadi Jaka sama Titi sudah punya niatan buat ngerjain Vina? Gila nih dua orang.

“Serius lo mau nyeplokin Vina?” Sebenarnya sih gue mau saja, tapi gue nggak tega buat ngotorin rambut panjangnya Vina.

“Ya elah, pacarnya aja ngebolehin,” kata Titi sambil mengembalikan kantung kresek tersebut ke bawah kolong pos ronda.

Apa?

Gue nggak salah dengar kan?

Gue cuma dengar acar kan?

Tukang nasi goreng jualan nasi goreng terus dikasih acar kan...

“Pacar?” tanya gue dengan nada hati-hati.

Titi menepuk jidatnya sendiri. “Lo belom pada tau ya? Jaka itu pacaran sama Vina.”

Gluduk. Gluduk. Jeger!

Ting... ting... ting...

Yang pertama memang suara petir di hati gue. Tapi yang kedua cuma suara abang-abang tukang sekuteng yang numpang lewat kok...

“Serius?!” pekikkan Amel menambah parah suara gluduk buatan di hati gue.

“Iyeeee. Ada kali dua minggu, apa sebulan ya? Ya pokoknya belom lama dah.”

“Gila! Akhirnya ada juga yang jadian di antara kita berlima. Hahaha.”

Kalau masih ada pisang goreng, gue beneran nggak segan-segan buat cekokin Amel. Ketawanya dia tuh benar-benar ngerusak suasana hati gue banget.

Jadi, buat apa Vina ngajak gue ke sini?

Gue pikir... gue pikir...

Gila! Melankolis banget gue!

“Mana? Sini kasih tepungnya ke gue, elo sama Titi yang nyeplokin Vina.”

Titi buru-buru mengambil kembali kantung kresek itu. Gue langsung ngambil bungkusan tepung, sedangkan Titi sama Amel telurnya.

Jaka sempat ke pos ronda bawa kue ulang tahun, tapi habis itu dia langsung sembunyi nggak jauh dari pos ronda.

Nggak lama, akhirnya Vina nongol juga. Di antara rada sakit hati dan kepengin semburin nih tepung ke Vina, kita bertiga pura-pura ngobrol sambil cekikikkan sendiri.

“Lho? Jakanya ke mana?” tanya Vina sambil naruh teko di lantai pos ronda.

Oh, yang lo cari cuma Jaka doang, Vin?

Apaan sih gue?!

“Tadi sih katanya kebelet,” timpal Amel. Amel beranjak dari lantai, memakai sendalnya. “Eh, gue nggak bisa lama-lama nih, takut babeh gue ngomel gara-gara gue ngayeng melulu.”

“Yah? Masa gitu Mel?” Titi pura-pura kaget karena ini yang memang kita rencanakan.

“Yah, lo semua juga tau kan babeh gue kayak gimane? Ya udah yak, gue balik dulu. Vin, salam buat—”

PLOK! Telur yang ada di genggaman Amel tadi sudah pecah di kepala Vina. Kini giliran Titi yang nyeplokin. Vina langsung diam. Di antara senang dan kesel, dia menatap kita bertiga.

“Kurang ajar lo yaaa...”

“Ah, nggak juga ah,” sahut gue yang kemudian membuka bungkus tepung dan menyemburkannya ke arah Vina. Vina makin histeris karena sekarang rambutnya kotor banget!

Hahaha. Di antara senang dan miris sih sebenarnya.

“Happy birthday to you...”

Dan datanglah si pangeran yang bawa kue dengan beberapa lilin di atasnya. Gue cuma bisa senyum miris.

Vina sumringah banget, persis Kak Reni yang kawinan tadi. Dia menyambut Jaka, kita langsung ngerubungin Vina.

“Make a wish dong say...”

Say?

Say...?

Say...ur kan maksudnya?

Gue tahu Vina melirik ke arah gue, tapi gue langsung malingin wajah ke arah kuenya, pura-pura ngiler.

Vina khusyuk sebentar, barulah dia niup lilinnya. Tapi nggak sampai di situ saja. Vina langsung nyolek krim kue dan nyoret ke mukanya Jaka. Gue sontak mundur, takut-takut Vina bakal nyerang gue. Kok gue geer banget ya?

Jaka pastilah kena. Dia juga nggak bisa ke mana-mana karena lagi bawa kue. Sekarang giliran Titi sama Amel yang dikejar-kejar Vina. Biasalah cewek, teriak-teriak mulu kerjaannya.

Jaka ngehampirin gue. Dia tersenyum ke arah Vina. Gue sendiri cuma ngenes ngeliatnya.

“Kita semua udah pada gede ya, Don,” kata Jaka masih melihat ke arah Vina. “Nggak kerasa makin lama Vina makin cantik.”

Yeah. Tapi dari dulu Vina memang cantik.

Gue tertawa samar, sebenarnya lebih mirip miris sih.

“Kayaknya lo udah lama suka sama Vina ya,” tebak gue.

“Hm. Dari persahabatan kita dimulai. Gue pikir, lo pasti bakal pacaran sama Vina karena dulu lo deket banget sama Vina.”

Vina balik ke arah pos ronda. Si Titi sama Amel juga ikut balik, mukanya pada belepotan. Pasti gara-gara Vina.

Gue tersenyum sambil menepuk bahu Jaka. “Dulu ya dulu. Sekarang dia milik lo, bro.”

Sekilas gue dapat melihat Jaka tersenyum. Tapi entah kenapa tiba-tiba saja tuh anak megangin tangan gue keras banget. Padahal dia cuma nyengkram pakai satu tangan doang.

“Vina! Buruan kenain Doni sebelum nih bocah kabur!”

Sial! Mana Vina sumringah banget lagi ngeliat gue kayak ayam yang mau dikandangin.

Gue coba buat ngelepas cengkramannya Jaka. Ya gue bisa loloslah. Orang dia cuma pakai satu tangan doang. Tapi hal itu nggak ngurungin niat Vina buat jejelin krim ke muka gue. Dia justru ngejar gue!

“Doni! Sini nggak lo!” teriak Vina di belakang gue.

“Gue udah mandi, Vin!”

“Bodo amat! Satu kena, yang lain juga harus kena!”

Gue makin lari, maraton malah. Hal ini justru membuat gue sama Vina jauh dari pos ronda. Bahkan kayaknya Jaka dan yang lainnya sudah nggak bisa ngeliat keberadaan gue sama Vina.

Akhirnya gue berhenti lari. Nyerah. Setengah bungkuk gara-gara ngos-ngosan. Dengan cepatnya Vina nyamper gue. Gue lupa kalau dia sering banget menangin lomba lari pas tujuh belasan. Nih cewek kuat banget.

“Nyerah Vin... nyerah...”

Walaupun gue sudah pasang bendera putih, Vina tetap saja melakukannya. Dia langsung meperin telapak tangannya ke arah muka gue. Ya beginilah kalau pasrah. Gue juga nggak bisa ngapa-ngapain.

“Dah puas?”

Vina cuma bisa nyengir. “Balik lagi yuk.”

Kita berdua balik lagi ke arah pos ronda. Untung saja ini sedang malam, jadi nggak banyak orang yang lagi beraktivitas. Gila kali, malu pakai banget gue kalau sampai ada orang yang ngeliat muka gue penuh belepotan krim kayak gini.

“Waktunya nggak pas banget ya, Don?” Tiba-tiba Vina angkat suara, ngusik gue yang lagi ngebersihin krim di muka.

“Waktu? Pas? Apaan?” Gue memang benar-benar nggak ngerti.

“Lo tau kan kalo gue sama Jaka...”

“Oh. Tau.” Suara gue berubah sinis. Gue malah makin sibukkan diri dengan membersihkan krim, sekalian dakinya juga biar kulit gue kinclong.

“Sori, Don. Gue nggak maksud buat... ya lo taulah.”

Tahu apa sih?

“Ya nggaklah,” kata gue sok tegar. “Itu kan cuma dulu. Namanya juga cinta monyet, cuma sesaat doang.”

Tapi sebenarnya dan kayaknya sekarang masih. Masih.

Entah cuma perasaan gue doang atau bukan, Vina sedikit terperanjat. Selintas, gue lihat dia tersenyum.

“Tapi... dulu gue juga gitu. Dan sekarang kayaknya gue nggak sama kayak lo, sebenernya gue masih. Yah, masih.”

Gue berhenti sejenak. Apa sih maksudnya cewek ini?

Vina sadar kalau gue berhenti di belakangnya. Dia menoleh ke arah gue. “Don?”

“Maksud lo apa?” Tiba-tiba gue benar-benar bersikap kayak cewek minta penjelasan. Melankolis banget!

“Gue udah bilang. Waktunya bener-bener nggak tepat di saat... lo bilang... lo... lo pasti inget apa yang lo ucapin di kondangan tadi siang.”

Gue dan Vina saling tatap, sama-sama diam. Di antara kepengin ngomong, tapi gue nggak tahu apa yang harus gue ucap.

“Ah, udahlah. Itu kan dulu. Lagi pula, yang ‘masih’ sampe sekarang kan cuma gue. Balik yuk, Don?”

Rasanya gue kepengin tonjok mulut gue sendiri. Tapi gue nggak bisa main jilat lagi lidah gue sendiri. Gue cowok. Ada harga diri yang punya batas, terutama nggak ngejilat lidah sendiri.

Dan lagi pula gue nggak mungkin ngerebut Vina. Dia sudah dimilikin Jaka. Teman gue. Sohib gue. Teman kecil gue.

Vina dan gue balik ke pos ronda. Jaka dan yang lainnya duduk santai di sana. Semoga mereka nggak ngeh kalau sekarang gue sama Vina agak jaga jarak. Tapi kayaknya ini lebih karena gue. Sebenarnya gue mau ngebuat dia ngerasa nyaman dulu.

Kita semua icip-icip kue itu sambil bercanda, cerita tentang masa lalu. Gue ngecoba buat netralisir suasana, terutama ke Vina. Untungnya dia cepat tanggap. Kayaknya dia juga nggak mau kejebak dalam suasana yang kayak tadi.

Setelah itu kita balik. Yah, kayaknya gue bakalan kena omel nyokap nih. Ya iyalah, orang gue pamitnya cuma buat beli sekuteng. Nggak logis amat kalau gue bilang beli sekutengnya di Arab Saudi. Memangnya gue mau jadi TKW?

Akhirnya, gue sama Amel pamit karena rumah kita memang satu gang. Gue sempat ngelirik ke arah Vina. Tatapan matanya persis kayak gue ngedenger buat pertama kalinya Vina sama Jaka pacaran. Miris. Atau cuma gue yang lagi-lagi kegeeran?

Gue sama Amel pulang. Nggak kayak tadi, nih anak cuma diam kayak baru dapat musibah. Berasa kayak rumahnya kebanjiran.

Lah, kalau rumahnya dia kebanjiran, berarti rumah gue ikutan kebanjiran juga dong?

Ngapa jadi ngomongin banjir dah?

“Heh, Mel. Ngapa dah lo?”

“Hah?” Amel spontan ngejawab. “Kagak.”

Mata gue menyipit. Gue tahu banget kalau nih anak lagi bohong. Gini-gini gue lumayan peka.

“Jangan boong deh ama gue. Ngapa sih lo? Belom kenyang makan kuenya?”

Gue langsung kena tabok. Sial.

“Bukan. Gue masih kaget aja kalo... emak gue kagak nelpon gue. Padahal kan udah jam segini,” alibinya. Kayaknya gue tahu apa yang dimaksud nih anak.

“Yang lo maksud si Jaka sama Vina, kan?” tembak gue langsung. Dan hal itu sedikit ngebuat Amel terperanjat.

“Okelah. Gue ketauan. Ya gue kaget aja. Gue pikir elo yang bakal jadian sama Vina, karena dulu lo deket banget sama dia. Yah, nggak taunya sekarang yang pacaran sama Vina malah si Jaka.”

Dahi gue mengerut. Ini kebetulan atau apa? Kenapa ucapannya Amel barusan sama dengan apa yang diucapkan sama Jaka tadi?

“Ya terus emangnya kenapa?” Gue kebawa sinis gara-gara Amel ngungkit tentang mereka berdua. Gue juga sih yang bego, kenapa gue harus kepo coba?

“Ya nggak papa sih. Heran aja.”

Entah kenapa, gue merasa Amel rada gusar. Atau memang cuma radar gue yang lagi sok tahu? Tapi gue memang cukup peka kok kalau terhadap masalah yang kayak gini.

“Mel. Ini tentang mereka berdua kan?” ulang gue lagi.

Kini justru Amel yang mengerutkan dahinya. “Lo budek apa tuli sih Don? Kan gue udah bilang tadi,” berangnya.

Dahi gue makin mengerut berasa kayak orangtua. “Atau, ini tentang salah satu dari mereka?”

“...”

“Vina?”

“...”

“Jaka?”

“...”

“Mel?”

“Don! Lo punya indera ke berapa sih? Sepuluh? Dua puluh? Seratus?!”

“Mel? Lo suka sama...”

“Ah! Banyak bacot lu!”

Amel langsung jalan ninggalin gue. Hal itu justru ngebuat gue jadi mengerti kenapa Amel sempat bersikap gusar kayak tadi.

Hah. Ternyata, bukan cuma gue yang ngerasain kegembiraan sekaligus sakit hati dalam satu waktu.

Jadi, sebenarnya ini cinta monyet segi berapa sih? Segi lima? Segi empat? Atau cuma garis yang dimulai dari titik Amel, lalu ke Jaka, kemudian titik Vina, dan terakhir di gue?

Entah kenapa, sekarang gue berharap banget bisa jadi Titi. Walaupun imut kayak marmut, tapi cuma dia sendiri yang nggak tersambung dalam garis itu. Dia bebas merasakan kecanggungan yang khususnya gue alamin sendiri, ke Vina.

Dan dia mungkin nggak akan punya pikiran bahwa suatu saat persahabatan ini bakal kayak jembatan tali, bisa putus kapan saja.
Continue reading
Share:
Views:
Cerbung

Sorry, mate.

Saturday, June 21, 2014 By astaghiri 2 Comments

Lagi enak-enaknya tidur ayam, ponsel gue berdering. Kampret banget memang mengingat gue kekurangan jam tidur karena semalam gue begadang, nonton bola. Biasalah, namanya juga cowok.

Tanpa harus lihat layar ponsel, gue langsung angkat tuh telepon sambil merem.

“Halo?” sapa gue dengan nada khas ngantuk. Sebenarnya lebih mirip kayak lagi keselek biji salak sih.

“Suteeeeeeeet! Apa kabar lo? Hahaha.”

Gue langsung melek. Kurang ajar. Itu kan nama panggilan gue pas tiga tahun yang lalu, pas gue masih imut-imutnya plus cupu di SMP. Kayaknya nih orang teman SMP gue deh. Nggak salah lagi.

“Siapa ya?” Ya walaupun dia pasti teman SMP gue, tapi gue nggak tahu siapa orang yang lagi nelpon gue ini.

“Wah, parah banget lo nggak ngenalin temen sebangku selama tiga tahun berturut-turut. Ini gue, Tet!”

Astaga.

“Et si kunyuk! Hahaha, sori-sori. Abis suara lo kayak baru pubertas sih. Hahahaha.” Gue ketawa dengan lebarnya. Ya gue memang senang nge-bully tuh anak.

“Pubertas gigi lo! Suara macho kayak gini dibilang baru pubertas.”

Gue hanya tersenyum. “Kabar gimana kabar?”

“Gue? Oh gue—”

“Bukan, gue nanyain kabar kakak lo. Sudi amat nanyain lo kabar. Haha.”

“Et dari dulu sampe sekarang kagak ada perubahannya lu. Oh ya, justru gue nelpon lo karena kakak gue,” Rudi lebih serius kali ini.

“Kenapa kakak lo? Suka ya sama gue? Haha akhirnya.”

“Buset dah, nggak sudi gue punya kakak ipar kayak lo. Serius nih gue.”

“Apaan?”

“Kakak gue mau nikah pas hari sabtu—”

Pupus sudah.

“—lo dateng ya. Lebih baik bawa partner, kalo punya.”

Wah, kurang ajar. Kalo punya?

Baiklah, gue ngaku. Sampai saat ini gue nggak punya pacar. Bukannya nggak ada cewek yang suka sama gue—yah kalau boleh jujur gue cukup famous di SMA gue—tapi guenya yang belum mau pacaran.

“Oke, nanti gue bawa partner,” Gue nantangin. Siapa bilang gue nggak punya partner? Sori ye.

“Widih, gue pikir lo masih ngejomblo. Siapa coy?”

“Nyokap gue.”

HAHAHAHA. Rudi langsung ketawa lebar. Yang penting bawa partner kan? Ya memangnya partner itu harus pacar? Ya kalau sama nyokap kan berarti tandanya gue anak yang berbakti dan sayang sama nyokap gue dong.

“Udah gue duga, mana mungkin kan ada cewek yang pacaran sama tiang kayak lo?”

Yeah, itu kenapa di masa SMP gue dipanggil sutet. Tinggi gue di kala itu memang over kapasitas buat anak SMP. Bahkan tinggi gue semakin bertambah ketika gue sudah ke jenjang SMA.

“Sampe nanti gue punya cewek, liat aja nanti.”

“Sampe nanti kapan? Pas kakak gue udah punya bayi? Hahaha.”

Asem. Kurang ajar juga lama-lama nih anak.

“Ah! Udah ah! Ganggu tidur aja sih lo!”

Rudi malah makin ketawa lebar. Rasanya kepengin gue jejelin sandal swallow tahu nggak.

“Ya udah, yang penting lo dateng ya. Ya bawa aja tuh nyokap lo, sekalian buat reunian sama nyokap gue. Jangan lupa ye?”

“Iyeee.”

***

Dan datanglah hari kawinannya kak Reni. Di dalam otak gue, gue ngebayangin kak Reni lagi jadi bidadari hari ini. Pakai baju biasa saja dia sudah cantik banget, gimana kalau tubuhnya yang molek itu dibalut dengan kebaya coba?

Ah elah. Mana sebentar lagi dia jadi istri orang lagi.

Ya sebenarnya dulu gue sempat suka sama kak Reni. Biasalah anak SMP, masih cinta monyet. Tapi kak Reni menganggap gue sama kaya Rudi, sebatas kakak-adik doang. Ya sudahlah ya. Punya kakak cantik gue juga nggak keberatan kok.

“Ma? Udahan belom?” Gue ngelirik ke arah jam tangan. Kayaknya memang kebiasaan ibu-ibu kalau mau ada acara pasti dandannya lama pakai banget. Make up gue kan jadi luntur. Hahaha. Nggak deng, gue nggak pakai make up. Eh pernah deng, tapi itu dulu. DULU. DULU YA.

“Iya, sebentar. Ini lagi pake kerudung.”

Gue langsung mencibir. Bukannya gue lagi bersikap kurang ajar, tapi gue tahu banget kalau sekarang nyokap pasti lagi bedakan, dan belum SAMA SEKALI pakai kerudung.

Akhirnya setelah penantian selama dua puluh menit, kita caw ke lokasi yang nggak jauh dari rumah kak Reni sendiri, maksudnya rumah orangtuanya.

Gue yang jadi tukang ojek. Eh maksud gue, gue yang nyetir motornya. Masa iya nyokap gue? Mau ditaruh di mana muka gue kalau banyak orang yang ngeliat? Badan gue bongsor kayak gini.

Bunyi dentuman musik dangdut khas kawinan sudah mulai terdengar ketika gue lagi di daerah jalan rumah Rudi. Untung saja gue nggak pikun-pikun amat dengan alamat rumahnya si Rudi. Lagipula sebenarnya gue juga dikasih undangan sih, dengan tulisan untuk; DONI DAN PARTNER gede banget. Apa coba maksudnya?

Akhirnya kita sampai juga. Titip motor di parkiran, habis itu baru masuk ke acara pesta kawinannya. Tapi kita sempat ke apa tuh namanya yang kalau lagi ada acara kawinan pasti bagian depan ada yang duduk sambil kasih souvenir gitu deh. Ya pokoknya itulah. Dan barulah habis itu kita salamin si pengantin.

Sumpah! Kak Reni cantik pakai banget hari ini! Bahkan kalau nyokap nggak ngebuyarin pikiran gue, tanah yang lagi gue injak ini bakal terkena cairan najis dari mulut gue, alias iler. Hehe.

Gue bakal salamin si pengantin wanitanya dululah.

“Hai Kak Reni,” sapa gue ramah banget ditambah senyum paling ganteng menurut gue.

Kak Reni membalas senyumannya yang paling manis. “Eeeeeh kamu Doni, kan? Aduh, kamu makin ganteng aja sih sekarang.”

Dan tanpa gue duga-duga, kak Reni cipika-cipiki gue! Hahaha.

Dan karena gue nggak mau kehilangan kesempatan yang terlalu sempit banget ini, akhirnya gue mencoba memeluk kak Reni for the first time and for the last time. Hiks. Sedih juga ya?

“Selamat ya Kak atas pernikahannya,” bisik gue ketika gue memeluk dia. Dan kak Reni juga membalas pelukan gue! Asyik nggak tuh?

“Semoga langgeng ya Kak,” lanjut gue ketika dia melepaskan pelukannya.

Kak Reni tersenyum sumringah banget. Gue bisa baca dari matanya kalau hari ini dia lagi bahagia banget. Ya sudahlah ya. Kalau dia bahagia, gua juga ikutan bahagia kok.

Dan sekarang giliran pengantin prianya. Sebenarnya gue cuma kepengin sekedar salaman saja sih. Tapi ada suatu hal yang agak ganjil menurut gue.

“Lho? Kamu nggak mau nyalamin saya, Don?”

Sebentar-sebentar. Kok kayaknya gue pernah kenal orang ini ya? Tapi di mana?

Waktu itu pas gue lihat undangan juga kayaknya gue familiar banget sama nama yang tertera di undangan itu.

Astaga.

“Pak Imam?!”

Kaget bukan main, gue memekik seperti itu hingga membuat beberapa tamu undangan menoleh ke arah gue. Punggung gue langsung ditabok sama nyokap.

“Kamu nih berisik banget sih. Malu diliatin orang-orang,” kata nyokap lanjut cipika-cipiki sama kak Reni.

Pak Imam itu guru olahraga gue pas gue SMP. Dia memang guru termuda pada saat itu. Ya ampun, tapi siapa yang bisa sangka sih kalau ternyata jodohnya kak Reni tuh Pak Imam...

“Pak Imam...? Bapak ngapain Pak di sini? Mau ngajar senam?” Dengan begonya gue berkata seperti itu.

“Kamu nih,” Pak Imam tersenyum. Tanpa sadar tangan gue terulur, akhirnya gue salaman sama dia.

“Sumpah Pak, saya sampe nggak ngeh kalo ini Bapak. Kabar gimana Pak? Sehat?” Ya iyalah sehat. Orang dia guru olahraga. Masa iya sakit-sakitan?

“Alhamdulillah sehat. Kamu gimana Don?”

“Yah gitu deh, Pak. Betewe, selamet ya Pak udah ngedapetin Kak Reni. Susah lho buat ngedapetin hatinya dia.”

“Makasih, makasih. Tapi perjuangan saya juga sepadan kok dengan apa yang terjadi di hari ini.” Pak Imam benar-benar tersenyum bahagia. Ekor matanya juga memancarkan kebahagiaan.

Ya sudahlah ya. Pak Imam juga sebenarnya juga lumayan ganteng, ditambah kak Reni yang cantiknya kebangetan. Mereka kayaknya klop-klop saja tuh.

“Semoga langgeng Pak, amin.”

“Amin.” Pak Imam menepuk-nepuk bahu gue.

Setelah acara salam-salaman, selanjutnya berburu makanan! Eh, tapi kayaknya daritadi gue nggak lihat si lutung itu. Rudi ke mana ya?

“Suteeeeeet!”

Tiba-tiba punggung gue berat gara-gara si lutung main nemplok begitu saja.

“Berat, bego!”

Rudi cuma nyengir. Dia meluk gue sebentar, karena kalau lama nanti dikiranya homo lagi. Dia cuma kangen gue, dan sebenarnya gue juga kangen sih sama dia.

“Gila lo, makin tinggi aja.”

“Iyalah gue, ada revolusinya. Emangnya elo? Makin kuntet kayak gitu. Hahaha.”

“Siaul.” Tapi si lutung ini nggak merasa tersinggung, dia malah nyengir. “Eh, gue tinggal dulu ya? Nikmatin makanannya sepuas lo. Gue ada perlu sebentar, oke brother?”

Gue hanya menaikkan alis. Setelah itu Rudi pergi dari hadapan gue. Gue mulai berburu makanan lewat mata. Ada bakso, somay, makanan prasmanan, buah-buahan, banyak gila! Kayaknya gue nggak bakal berhenti makan hari ini.

Gue menuju kios bakso dulu. Yah walaupun baksonya cuma dua, ya nggak apa-apalah. Yang penting makan. Ya kali satu mangkuk dikasih bakso lima? Wong tamunya saja ada ratusan. Si abangnya langsung demam bakso kali.

Tapi sialnya pas gue balik badan, tuh bakso enak banget tergelincir... di gaun orang. Sial!

Tuh orang langsung memekik karena gue telah menodai gaun berwarna soft orange-nya. Ya siapa juga yang nggak teriak? Kayaknya dia juga sedikit kena air panas dari kuah baksonya deh.

“Eh aduuuuh... maaf banget ya. Maaaaf banget, gue nggak sengaja,” kata gue dengan refleks menepuk-nepuk gaunnya. Tuh cewek juga mengulurkan tangannya untuk membersihkan tumpahan itu.

“Errrrr... ya udah. Nggak papa.”

Huft. Gue pikir gue bakal kena damprat. Ya walaupun tadi gue sempat mendengar tuh cewek mengerang. Tapi sebentar-sebentar. Ya elah, sebentar-sebentar melulu.

Nggak-nggak. Ini serius.

“Vina?”

Tuh cewek mendongak. Nggak salah lagi! Ini memang Vina!

Vina mengernyitkan dahinya. Mungkin dia berpikir kalau gue sok kenal sok dekat. Tapi gue beneran kenal Vina kok! Suer!

“Elo...”

“Lo nggak inget gue? Wah! Parah banget lo.”

“Bentar-bentar,” Vina memejamkan matanya, hendak berpikir. Gue jadi tersenyum sendiri. Dari dulu dia memang cantik banget, sampai sekarang pun begitu.

“Dino?” Senyum yang melengkung ke atas di bibir gue berubah menjadi melengkung ke bawah. Ya ampun, nih anak dari dulu nggak pernah berubah.

“Ini gue Doni. Masih nggak inget juga?”

“Nah itu! Iya Doni!” Vina menepuk lengan gue. “Mana bisa sih gue lupa sama lo, hehehe.”

Astaga. Orang jelas-jelas dia lupa sama gue tadi.

“Lo temennya Rudi juga?”

“Rudi? Rudi siapa?“

“Eh maksud gue, kok lo bisa di sini?“

“Oh. Gue ke sini sama kakak gue, dia temennya si pengantin cewek.“ Vina terdiam sebentar. “Eh, kalo dipikir-pikir kita nggak pernah ketemu lagi ya? Padahal kita masih satu RT lho.”

Yeah. Begini ceritanya. Dulu, dulu banget, gue ini teman kecilnya Vina. Teman sepermainanlah. Ceilah. Nggak, pokoknya teman main gitu deh. Dan kita juga punya geng yang nggak tahu apa namanya, yang penting sering main bareng gitu deh.

Ada gue, Vina, Amel, Jaka, sama Titi. Dan kebetulan kita berlima juga satu pengajian, dan hal itu ngebuat gue sama Vina begitu dekat.

Tapi, ada satu hal yang ngebuat gue ngejauh dari mereka-mereka, tapi lebih untuk ngejauh dari Vina sih karena dia cinta monyet pertama gue!

Di saat itu sih kita semua lagi main bareng, sama anak tetangga juga ikutan main. Nah, gue nempeleng si anak itu dan dilihat sama orangtuanya. Langsunglah gue diceramahin panjang lebar, dan gue juga dilihatin sama teman-teman gue. Untuk mereka yang selain Vina sih gue nggak begitu ngerasa malu, tapi untuk Vina gue merasa malu banget!

Akhirnya setelah itu, gue nggak pernah main bareng lagi. Mereka-mereka juga nggak pernah ngehubungin gue lagi kok—maksud gue nyamperin gue ke rumah gitu.

Ya memang persoalannya nggak logis banget sih. Tapi namanya juga masih kecil, gue belum bisa banget kena omelan orang. Dan sebenarnya gue juga salah sih nempeleng kepala orang. Hehe.

“Iya juga ya... mau makan bakso?”

Vina mengangguk. “Tapi gara-gara lo nih gaun gue jadi kotor.”

“Sori deh sori. Kan gue nggak sengaja. Kalo sengaja mah udah gue siram dari atas kali Vin.”

Vina hanya tersenyum. Akhirnya gue memesan dua mangkuk bakso. Kali ini gue harus hati-hati. Masa gue harus menghilangkan wajah gue di depan Vina lagi sih?

Setelah itu gue duduk berdua. Ceilah, duduk berdua. Nggak, maksud gue cari bangku kosong terus duduk samping-sampingan gitu.

“Nih bakso lo,” Gue ngasih salah satu mangkuk bakso yang banyak sambalnya. Karena gue tahu banget si Vina ini doyan sama cabe-cabean, bukan cabe-cabean yang suka duduk bertiga di motor itu ya. Ya intinya dia doyan banget pedas.

“Tenkyuuu.”

Tiba-tiba gue ngerasa canggung. Bukannya gimana, tapi bayangin tujuh tahun gue nggak main bareng lagi sama dia, padahal kita masih satu RT.

“Sekarang lo sekolah di SMA mana, Don?” tanya Vina ketika satu bakso masuk ke dalam mulutnya. Nih anak memang punya kebiasaan banget makan sambil ngomong.

“Di Lenteng Agung, Vin. Lo?”

“Deket-deket sini sih.”

Damn. Gue masih ngerasa canggung. Kenapa sih gue?

Daritadi gue juga ngerasa kalau Vina melirik ke arah mangkuk bakso gue. Seketika gue baru inget kalau Vina itu bakso lovers. Bakso diapain saja dia juga doyan.

“Kenapa? Lo mau?”

Vina sedikit terperanjat, kemudian menggeleng dan tersenyum. Dia mengaduk-aduk bihunnya.

Dengan sok cool gue ngasih bakso gue ke mangkuknya Vina.

“Alah. Bilang aja mau. Tuh abisin,” kata gue sambil sedikit tersenyum. Yah pada akhirnya tuh bakso diludesin juga sama Vina.

Gue panjangin leher, gue baru ingat kalau gue bawa nyokap ke sini. Ke mana ya? Ah tuh dia. Dia lagi ngobrol sama nyokapnya Rudi. Ya sudahlah ya. Biarkan saja. Ibu-ibu kan suka lama kalau ngobrol.

“Oh ya Don,” Vina angkat suara pas habis dia selesai makan baksonya. “Lo kenapa sih tiba-tiba waktu itu nggak pernah main bareng lagi sama kita-kita? Lo juga udah nggak ngaji lagi.”

Gue garuk-garuk kepala. “Hehe. Gue ngaji di rumah Vin.”

Vina hanya ber-oh ria. “Terus?”

Masa iya gue harus cerita? Itu kan hal konyol yang pernah gue alamin seumur hidup. Tapi dari mata Vina kayaknya dia penasaran banget.

Setelah menghela napas panjang, akhirnya gue cerita, minus tentang Vina yang jadi cinta monyet pertama gue.

“Jadi gara-gara itu doang?! Hahaha. Iya-iya, gue inget, gue inget banget malah!”

“Kok lo jadi ketawa sih?”

“Abis lo pea banget sih jadi orang! Hahaha.”

“Ya itu kan karena gue malu sama lo.” Ups! Bego! Bego! Kenapa gue jadi keceplosan gini sih?

Vina langsung berhenti tertawa. “Gue?”

Ya sudahlah. Mengaku saja.

“Iya. Lo itu cinta monyet pertama gue, Vin.”

Suasana malah semakin kaku. Duh! Bego banget sih gue.

“Vin?” panggil gue.

“Vin? Vina?” Gue sama Vina menoleh. Kakaknya Vina ngehampirin dia. Ya ampun, perfect time banget sekarang.

“Hai Kak,” sapa gue sambil berdiri.

“Kamu... Doni kan?”

“Iya Kak.”

“Gila. Makin tinggi aja kamu sekarang. Oh ya, maaf nih ya, mau bawa pulang si Vina.”

“Oh, iya Kak, nggak papa kok.”

“Ayo Vin, balik.”

Vina berdiri, mengikuti kakaknya dari belakang. Yah sudahlah. Sekarang pertemanan gue sama Vina malah makin hancur.

Tapi tiba-tiba Vina membalikkan badannya, ada senyum tipis yang terbentuk di bibirnya.

“Nanti malem ketemuan di pos ronda ya!” katanya sambil melambaikan tangan.

Gue langsung bengong ala idiot. Vina mau ketemuan sama gue?

Hahahahazek!
Continue reading
Share:
Views:
Cerpen

Rasa Bersyukur

Wednesday, April 30, 2014 By astaghiri 0 Comments
“Gue mau cabut!”

Anka langsung mengambil kunci motor dan helmnya. Dia nggak peduli dengan Wina yang terus saja berteriak di belakangnya. Anka mengambil langkah lebar untuk keluar dari rumah kontrakan itu.

“Anka! Kamu mau ke mana?!” teriak Wina yang menghampiri Anka, mencoba mencegah adiknya itu untuk pergi. Dia langsung mencengkram tangan Anka. “Kita belom selesai ngomong, Ka!”

Anka sedikit menaikkan sudut bibirnya. Dia melirik ke arah Wina. “Tapi menurut gue ini semua udah selesai. Lo boleh ikut mereka, tapi gue enggak!”

Anka langsung melepaskan cengkraman Wina dan segera pergi dari rumah kontrakan itu. Kali ini Wina nggak mengejarnya lagi. Dia tahu Anka pasti marah banget. Tapi ini dilakukannya untuk kepentingan mereka berdua.

Wina merasa ada yang lepas setelah melihat Anka mengendarai motornya menjauh dari rumah kontrakan itu.

Anka melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Dia nggak peduli dengan teriakan orang-orang akibat cara mengemudi motornya yang kelewat asal. Dia berharap rasa sakit hatinya sekarang ikut terlewat dengan arus jalanan. Anka menghela napas dan sejenak menutup mata.

Dan tabrakan itu pun terjadi.

***

Wina setengah berlari menuju ruang UGD. Tangannya cukup gemetar memegang ponsel. Ponselnya itu digenggam terus ketika seseorang mengabarkan bahwa adik perempuannya itu mengalami kecelakaan.

Wina hendak menghambur masuk ke dalam ruang UGD sebelum seorang perawat keluar dari ruangan tersebut.

“Sus, adik saya... adik saya di mana?!” Terdengar nada gemetar dari suara Wina. Perawat itu mencoba menenangkan Wina.

“Maaf, adik anda siapa ya?”

“Adik saya yang baru aja kecelakaan motor! Adik saya di mana, Sus?!” Wina masih histeris karena hatinya cukup nggak tenang.

“Mari saya antarkan. Mbak tenang dulu ya, adik mbak ada di dalam,” kata perawat itu sambil mengantarkan Wina ke dalam ruang UGD.

Wina menemukan Anka dengan tubuh penuh balutan perban. Ada darah yang merembes dalam perban itu. Adiknya benar-benar kelihatan nggak berdaya.

“Alhamdulillah nggak ada yang terlalu serius dari luka adik mbak. Walaupun ada beberapa bagian tulang yang retak. Nggak disangka struktur tulang saudari ini cukup kuat, padahal tadi dia sempat terpental setelah tertabrak mobil pikap,” jelas perawat tersebut. “Untuk pemulihannya, adik mbak butuh dirawat di sini,” lanjutnya.

Wina menoleh ke arah perawat tersebut. “Berapa lama buat di rawat di sini?”

“Tergantung seberapa cepat pulihnya adik mbak.”

Wina menghela napas. “Tolong urus semuanya.”

***

Anka terbangun dan merasakan seluruh tubuhnya seperti habis dijotosi berkali-kali, bahkan lebih parah. Kepalanya terasa pening ketika pertama kali membuka mata dan melihat cahaya lampu di langit-langit kamar. Dia juga merasakan kerongkongannya yang kering.

Ketika Anka menoleh ke arah samping, dia mendapati Wina dengan kepalanya yang tersandar di atas ranjang. Tiba-tiba kejadian yang hampir merenggut nyawanya tadi terlintas di otaknya. Kenapa gue nggak mati aja sih?

Anka melupakan hasrat hausnya dan langsung menolehkan kepalanya ke arah samping kiri. Sepertinya dia berada di ruangan dengan tiga bilik karena terdapat hordeng yang menutupi ranjangnya.

Anka dikagetkan dengan kedua mata di balik hordeng! Dia ingin berteriak, namun percuma, pita suaranya sedang habis. Akhirnya dia hanya menutup mata dan mencoba tidak mengingat apa yang dia lihat barusan.

Akhirnya Anka kembali tertidur dengan rasa lelah yang luar biasa di tubuhnya.

***

Karena keberisikan yang dilakukan oleh Wina, akhirnya Anka terbangun dari tidurnya. Wina terperanjat ketika mengetahui akhirnya adiknya bangun juga dari pingsannya. Padahal semalam dia sudah siuman.

“Alhamdulillah akhirnya kamu bangun juga,” Wina langsung menggenggam tangan Anka. “Kakak nggak tau harus ngapain kalo kamu sampe lewat, Ka.”

Oh? Dia ngedoain gue lewat? Fine.

Anka hanya menghela napas. Kemudian dia melirik ke arah botol mineral yang ada di atas meja. Wina langsung tahu apa yang diinginkan oleh adiknya tersebut.

“Sebentar, sebentar,” Wina berjalan memutari ranjang menuju meja tersebut, kemudian membuka botol. Nggak lupa dia menyiapkan sedotan juga.

Anka dibantu Wina untuk sedikit terduduk, kemudian membantunya untuk meminum air mineral tersebut. Setelah itu, Anka kembali ke posisi tidur.

“Mau kakak panggilin dokter?”

Anka hanya menggeleng, menjauhkan tatapannya ke arah lain.

Tiba-tiba Anka merasakan tangannya digenggam lagi. Tapi Anka enggan menoleh.

“Anka, kakak mau kamu lebih hati-hati setelah kejadian ini. Kakak nggak mau kamu kenapa-napa. Tolong balik ke sifat kamu yang dulu, Ka. Kakak kangen sama kamu yang dulu,” Terdengar nada sedih dari suara Wina.

“Kakak balik aja ke rumah. Gue bisa di sini sendirian,” kata Anka dengan begitu nggak pedulinya. “Oh ya kalo mau ke sini lagi, tolong bawain hp gue yang satunya lagi, sama charger.”

Wina menghela napasnya. Baiklah, kali ini dia akan menuruti permintaan Anka. Lagi pula semua ini bisa terjadi karena dirinya yang nggak mau mencegah kepergian Anka.

Wina mengambil ponsel beserta dompetnya di atas meja. Kemudian dia berpamitan dengan Anka.

“Ya udah, kakak pulang dulu. Kalo ada apa-apa, pencet bel di dinding belakang ranjang kamu ya. Nanti kakak balik lagi.”

Wina menghilang di balik pintu. Dan kini ruangan itu kembali menyepi. Padahal sekarang sudah tepat jam delapan pagi. Tiba-tiba Anka teringat dengan mata yang muncul di balik hordeng tadi malam.

Anka langsung mengambil remot tv di atas meja dengan susah payah. Akhirnya dia menyalakannya dengan sengaja memperbesar volumenya agar pikirannya tentang tadi bisa menghilang.

“Bisa ngecilin volume suaranya nggak sih?”

Anka menoleh dan mendapat seseorang yang bermata sama dengan semalam yang dia lihat muncul setengah badan di balik hordeng. Entah Anka dapat tenaga dari mana ketika remot tv yang digenggamnya tadi sudah terlempar ke arah kepala orang itu.

Orang itu meringis, Anka juga setengah berteriak.

“Nggak ada benda yang lebih empuk buat ditimpuk ke gue apa?”

Anka terdiam sejenak dan memandangi cowok yang kini sudah benar-benar sempurna bentuknya—nggak setengah badan lagi ketika badan bagian bawahnya tertutup hordeng tadi.

“Lo... manusia?”

“Emang badan gue keliatan ijo kayak buto ijo atau hulk?”

Anka langsung merasa lebih tenang. Ternyata dia manusia. “Lo lebih mirip si buta dari goa hantu.” Anka menatap pergelangan tangan cowok itu yang juga diinfus sama sepertinya. “Balikin remotnya.”

“Kenapa si buta dari goa hantu?” Cowok itu mengambil remot yang berada di lantai. Tapi dia nggak segera memberikannya pada Anka.

Anka menoleh malas. Kemudian dia hanya menengadahkan tangannya untuk meminta remot itu kembali. Tapi cowok itu justru diam saja.

Kali ini Anka menoleh ke arah cowok itu yang masih menatapnya datar. Matanya menyiratkan cepetan-balikin-remot-gue.

“Jawab dulu pertanyaan gue.”

Anka memutar bola matanya. Memangnya itu penting?

Dia mencoba membalikkan badannya membelakangi cowok itu dengan susah payah. Dia sedikit meringis ketika badannya tiba-tiba digerakkan seperti itu.

“Gue Andre.”

Terus gue peduli?

Anka nggak kembali membalikkan tubuhnya. Untuk menggeser badannya sekidit pun dia merasa kesakitan.

“Oke. Tanpa nama. Kenapa lo bisa ada di rumah sakit ini?”

Bawel.

“Masih nggak mau ngomong juga?”

Ya terus?

“Gue denger pembicaraan lo sama kakak lo,” Andre mencoba untuk memancing.

“Itu namanya lo nguping,” cela Anka.

“Aha! Akhirnya lo ngomong juga,” Andre mengangguk-angguk puas di belakang Anka. Anka hanya menghela napasnya. Dasar cowok gila.

“Eh, jawab dong pertanyaan gue,” desak Andre.

“Jangan ganggu gue.”

“Lah, ini kan kamar gue juga, gue duluan lagi yang nempatin ruangan ini.”

Karena sudah nggak sabar lagi, akhirnya Anka memaksa untuk membalikkan tubuhnya ke arah cowok itu. Tapi celaka! Kini dia merasa lebih kesakitan dibanding yang tadi.

“Shit!” gumam Anka mencoba memegang sesuatu agar bisa meredakan sakitnya.

Andre sedikit kelabakan melihat teman seruangannya itu. Dia berjalan cepat menuju sisi ranjang Anka dan menekan bel di dinding. Kini, dia dapat melihat dengan jelas wajah meringis Anka.

Nggak lama, seorang perawat datang ke kamar mereka.

“Ada apa?”

“Itu sus... itu...”

Perawat itu langsung menghampiri Anka.

“Kenapa bisa jadi begini?”

Anka masih memejamkan matanya, menahan sakit. Andre sendiri juga nggak kunjung menjawab.

“Tunggu sebentar, saya panggilkan dokter.”

Perawat itu keluar dari ruangan. Andre masih menatap Anka sedikit ngeri.

“So...sori...”

Kali ini Anka membuka kelopak matanya, matanya sedikit memerah.

“Sekali lagi lo ngomong, gue gampar mulut lo.”

Walaupun nggak ada penekanan dalam kalimatnya, Andre tahu kata-kata itu cukup menakutkan. Setelah mendapat ancaman dari Anka, Andre kembali menuju ranjangnya.

Nggak lama, datang dokter dengan perawat yang sama. Dia langsung memeriksa Anka. Andre nggak terlalu memerhatikan karena hordeng bilik Anka sempat ditutup oleh perawat tadi. Setelah dokter itu selesai dengan pemeriksaan Anka, Anka jauh lebih tenang dibandingkan tadi. Sepertinya dia dibius.

“Orangtuanya ke mana?” tanya si dokter.

“Kemarin sih cuma kakaknya aja yang dateng, dok.”

“Hmm kalo kamu ketemu sama kakaknya, pesan saya suruh adiknya untuk nggak banyak bergerak untuk mempercepat pemulihannya.”

“Baik, dok.”

***

Pintu ruangan terbuka. Seseorang yang dikenal Andre dengan panggilan bang Jeki masuk ke dalam membawakan sarapan. Dia memang sudah kenal betul dengan Andre.

“Weits! Punya temen sekamar juga nih akhirnya,” goda bang Jeki sambil menaruh piring bubur beserta lauk pauknya di atas meja. “Mana cewek lagi.”

Andre langsung mencoba memperingatkan.

“Jangan berisik! Saya nanti yang kena!”

“Wih, galak nih ceritanya?”

Bang Jeki kembali menuju troli makanan dan mengambil menu sarapan milik Anka. Dia kembali masuk dan menaruh makanan milik Anka di atas mejanya.

“Selamat sarapan, Mas!”

Andre hanya manggut-manggut. Kemudian bang Jeki keluar dari ruangan tersebut. Andre menoleh ke arah hordeng yang membatasi wilayahnya dengan wilayah Anka. Lalu dia beranjak dari ranjangnya dan sedikit mengintip di balik hordeng. Anka masih tertidur pulas akibat suntikan bius dokter tadi.

Padahal kan niatnya cuma ingin mencari teman mengobrol, eh ujung-ujungnya dia yang kena damprat.

Andre kembali menutup hordeng dan terduduk di ranjangnya. Dia mengambil menu makanannya. Sebenarnya dia bosan bahkan lumayan enek memakan menu itu. Tapi mau bagaimana lagi? Biar dia cepat sembuh.

Nggak beberapa lama Andre menyuap beberapa sendok makanan, pintu ruangan kembali terbuka. Nggak ada suara apa pun kecuali bunyi hordeng yang dibuka, dari bilik ranjang Anka.

“Ya Allah Anka...” Terdengar isakan wanita dari bilik sebelah. Sebenarnya Andre nggak mau menguping, tapi telinganya sendiri sudah stand by daritadi. “Dia belum siuman, Win?”

“Udah kok, Ma. Kayaknya dia cuma tidur.”

“Maafin Mama baru jenguk kamu, Ka. Mama ke sini bareng Papa buat nemenin kamu, nak.”

Tiba-tiba Andre merasa tersedak. Suasana yang menurut Andre sedikit mengharukan itu langsung terhenti. Andre langsung menyambar air mineral di atas meja.

“Ruangan ini ada orang selain Anka?” Kali ini suara seorang pria.

“Ada, Pa.”

Tiba-tiba alis Anka tergerak. Dia membuka kelopak matanya dan mendapatkan orangtuanya bersama kakaknya di hadapannya.

“Anka...” Mama mencoba untuk memegang tangan Anka.

Anka menghela napasnya. “Semuanya keluar. Anka mau istirahat.”

“Anka...”

“Tolong.”

Papa langsung merangkul bahu mama dan menggiringnya keluar dari ruangan. Wina juga mengikuti dari belakang.

Suasana kembali sepi. Andre masih sibuk dengan makanannya dari biliknya. Tiba-tiba Anka merasa haus lagi. Anka melirik ke arah meja sambil berdeham untuk menghilangkan rasa dahaganya.

Tapi tiba-tiba Andre muncul dari balik hordeng. Dia pikir barusan Anka bermaksud memanggilnya dengan berdeham.

“Lo manggil gue?”

Anka menghela napasnya lagi. Dia lupa bahwa ruangan ini bukan hanya dirinya yang menempatinya.

Lagi-lagi Anka melirik ke arah botol mineral di atas meja, kemudian dia mendesah lagi. Mending dia lanjut tidur dibandingkan minta tolong sama teman sekamarnya itu.

“Tinggal bilang tolong ke gue apa susahnya.” Anka menoleh dan telah mendapati Andre sudah berdiri di samping ranjangnya sambil memegang botol minuman. “Mau gue bantu?”

Anka mengerutkan keningnya. Siapa lo siapa gue?
“Nggak usah malu-malu,” Andre membuka tutup botol dan menyodorkan sedotan ke arah mulut Anka. Mau nggak mau akhirnya Anka minum juga dengan bantuan Andre. Setengah botol air langsung tersedot ke tubuh Anka.

“Lo nggak laper?” tanya Andre setelah menutup kembali botol minuman.

Apaan sih nih cowok? Kepo banget jadi orang.

Anka menoleh ke arah pintu, nggak menjawab pertanyaan Andre. “Bisa tolong kunciin pintu kamar nggak?” Akhirnya Anka bersuara.

Kali ini gantian alis Andre yang mengerut. “Buat apaan?”

Anka menoleh ke arah Andre dengan tatapan nggak-usah-banyak-tanya-deh. Hal itu membuat Andre bergegas menuju pintu sambil mendorong tiang infusnya, kemudian mengunci pintu ruangan.

Setelah terkunci, Anka ingin mengambil menu makanannya, tapi tenaganya belum pulih banget.

“Eh, kata dokter lo belom boleh banyak gerak,” cegah Andre sambil kembali menuju sisi ranjang Anka.

Ini gara-gara lo, bego.
Andre mendorong meja khusus makan ke ranjang Anka. Kemudian dia menaruh menu makanannya di meja tersebut. Anka mengernyit ke arah makanannya. Nggak ada nasi padang atau gorengan apa?

Tanpa berbicara lagi, Anka memakan sarapannya. Sebenarnya dia nggak suka dengan makanan seperti ini. Tapi karena dia belum makan dari kemarin, yah mau bagaimana lagi?

“Tadi itu... keluarga lo?” tanya Andre di sela-sela Anka menyuap makanannya. Dia sudah terduduk di ranjangnya sendiri.

Anka mulai nggak berselera. Dia sedikit memainkan makanannya. “Lo udah gue peringatin.”

Andre pindah ke posisi tidur. “Gue nggak mau nilai, tapi kayaknya lo nggak suka sama keluarga lo ya? Kenapa?”

Kali ini Anka menghentikan acara makannya. Dia menatap lurus ke arah Andre. “Lo bukan siapa-siapa gue. Jangan pernah ikut campur.”

“Sori, bukannya mau ikut campur,” Andre membalas tatapan Anka. Sudut bibirnya tersenyum. “Gue cuma iri aja sama lo.”

Iri? Apa coba yang ngebuat orang iri sama gue?
“Lo masih punya keluarga di sekeliling lo. Sedangkan gue, boro-boro. Sodara aja gue nggak punya, bahkan orangtua pun gue juga nggak punya.”

Anka langsung berpikir lebih baik dirinya yang seperti itu dibanding dia menerima keluarganya.

“Gue nggak peduli.”

“Terserah. Gue cuma mau bilang kalo lo harus bersyukur masih punya keluarga. Dan yang gue sempet denger tadi, mereka peduli sama lo.”

“Peduli? Cih. Kalo peduli, kenapa mereka nggak langsung ke rumah sakit aja sebelum gue diopname?”

“Kalo mereka tau lo kecelakaan dan langsung ke sini, lo mau berubah pikiran tentang keluarga lo?”

Anka tertohok. “Lo nggak ngerti.”

“Gue ngerti,” Andre nggak mau mengalah.

“Nggak usah sok jadi Mario Teguh. Gue nggak butuh nasehat.”

“Apa yang ngebuat lo sampe benci kayak gitu?”

“Masa kecil gue kayak nggak punya orangtua! Mereka sibuk masing-masing! Pada akhirnya mereka nyalahin satu sama lain karena nggak becus ngurus gue! Dan setelah itu mereka cerai!”

Andre hanya menatap datar Anka, menunggu cewek itu untuk berargumen lagi.

“Setelah bertahun-tahun sampe sekarang, mereka mau rajuk lagi. Ngapain mereka rajuk? Mau ngerusak masa remaja gue juga? Toh mereka ujung-ujungnya bakal sibuk sendiri. Itu drama keluarga gue. Puas lo?”

“Seenggaknya mereka masih hidup dan mau balikan lagi, nyatuin keluarga lo,” Andre membalas dengan nada tenang.

Hati Anka langsung memberontak. Baiklah, dia tahu. Keadaan dirinya dengan keadaan Andre memang berbeda. Tapi... argh! Andre nggak pernah merasakan menjadi dirinya.

“Apa sih mau lo? Mau ngorek-ngorek tentang keluarga gue?”

“Lo masih sebut mereka ‘keluarga’? Padahal kayaknya lo benci banget sama mereka.”

Lagi-lagi Andre membuat Anka tertohok.

Anka nggak tahu apa yang harus dia katakan lagi. Dia mengalihkan tatapannya ke sarapan paginya. Andre hanya tersenyum ketika Anka sudah kehabisan kata-kata.

“Dari lahir, gue nggak tau siapa sodara gue, apalagi orangtua. Sori aja ya, kehidupan gue juga drama banget. Tapi toh ini kenyataannya. Sampe sekarang nggak ada orang yang ngakuin gue sebagai anak.”

Anka melirik pedas ke arah Andre. Apaan sih nih orang? Curhat ke gue?

“Oke. Kayaknya lo nggak mau denger lika-liku kehidupan gue. Tapi sekali lagi, gue iri banget sama lo. Seharusnya lo seneng kalo orangtua lo mau balikan lagi. Itu berarti mereka mau memperbaiki keluarga lo. Ya emang sih gue nggak ngerti tentang keluarga, toh sampe sekarang gue nggak pernah punya keluarga. Tapi satu hal yang sampe saat ini gue pertahanin, rasa bersyukur. Gue bersyukur masih dikasih hidup sama Allah, mungkin aja suatu saat nanti gue bakal ketemu sama orangtua gue. Siapa tau, kan?”

Tiba-tiba pintu ruangan terketuk. Andre dan Anka berbarengan menoleh.

“Anka? Kok pintunya dikunci, nak?”

Anka mengalihkan tatapannya ke arah Andre. Dia hanya diam saja. Tapi pada akhirnya Andre membuka kunci pintu kamar tersebut.

***

Sudah berhari-hari Andre dan Anka berada di satu ruangan. Cowok itu juga nggak menampakkan dirinya lagi setelah berbicara panjang lebar dengan Anka waktu itu. Anka juga tampak lebih diam setelah Andre menasihatinya.

Dan untuk hari ini, waktunya kepulangan bagi Andre. Dia sudah merasa cukup bugar walaupun dia nggak tahu harus pergi ke mana. Orang yang sempat menyelakakannya bertemu dengannya di ruangan itu untuk meminta maaf sekian kalinya akibat kecerobohannya. Andre hanya mengangguk. Walaupun badannya masih terasa sedikit remuk, asalkan orang yang menyelakakannya bertanggungjawab, nggak akan jadi masalah.

Setelah itu, Andre hendak langsung pergi. Tapi dia teringat dengan teman sekamarnya.

Awalnya dia mau berpamitan, tapi rasanya kurang enak karena di biliknya sedang terdapat keluarganya. Akhirnya Andre melengos pergi keluar dari ruangan.

Namun sebelum Andre sempat keluar dari ruangan, Anka sempat melihat Andre yang sudah berpakaian rapi.

“Eh, Andre! Lo mau ke mana?”

Andre menghentikan langkahnya. Dia terdiam sebentar. “Gue mau balik nih, udah sembuh ceritanya,” Andre sedikit mengulaskan senyumannya.

Sekarang Andre bisa melihat kedua orangtua Anka, plus kakaknya. Dia jadi semakin iri.

“Gue pulang ya, semoga cepet sembuh deh.”

“Sebentar,” kata Anka sebelum Andre melanjutkan langkahnya. “Ini... bokap nyokap gue, itu kakak gue.”

“Oh?” Andre agak sedikit tersentak. Setelah itu, dia segera bersalaman dengan keluarga Anka. Dari raut wajahnya sih, Anka cukup berbeda dengan hari-hari kemarin.

“Andre?”

Andre menatap ke seorang pria yang disebut Anka sebagai ‘bokap’nya. Andre sedikit tersentak. Dia sendiri daritadi nggak terlalu memerhatikan wajah pria itu.

“Bapak?”

“Astaga, kamu sakit?”

Andre hanya menggarukkan kepala belakangnya. “Saya sempet kecelakaan, Pak. Untungnya orang yang nyelakain saya mau tanggung jawab.”

“Saya pikir kamu udah nggak kerja lagi di kantin kantor.”

“Papa... kenal?”

Ayah Anka menoleh ke arah Anka. “Dia kerja di kantin kantor Papa.” Kemudian ayah Anka beranjak dari tepat duduknya, menggiring Andre keluar dari ruangan tersebut.

“Andre, saya mau berterimakasih sama kamu,” kata ayah Anka ketika mereka berdua sudah berada di lorong.

“Terimakasih buat apa ya, Pak?”

“Aduh, kamu jangan pura-pura lupa gitu deh, kamu kan belum tua kayak saya,” candanya. “Jadi gini, Anka sempat bungkam seharian, nggak mau ngomong sama saya, sama mamanya, apalagi sama kakaknya semenjak kamu ngunci ruangan itu. Entah ada angin apa, tiba-tiba Anka minta disuapin sama mamanya, saya pikir itu perubahan yang cukup drastis karena selama ini dia jarang mau berkontak sama mamanya, apalagi saya. Setelah itu, dia baru cerita ke mamanya tentang nasehat yang kamu kasih. Saya pikir dari situ Anka mulai berubah. Itu gara-gara kamu, Ndre. Saya berterimakasih sekali ke kamu karena bisa sedikit merubah sikap anak saya.”

“Ah, bapak. Enggak kok, Pak, biasa aja. Itu karena emang dari diri Anka sendiri yang nggak akan bisa jauh dari keluarga, cuma mulutnya aja yang emang suka nyangkal.”

Ayah Anka sedikit tersenyum. “Untuk itu, kamu mau tinggal di rumah saya? Saya dan istri saya dengan senang hati nerima kamu di keluarga kami. Kamu mau?”

Untuk pertama kalinya dalam seumur hidup ada perasaan lebih dari kata senang dalam diri Andre.

“Beneran, Pak?”

Ayah Anka mengangguk.

Tiba-tiba, Anka beserta mama dan kakaknya keluar dari ruangan. Dia dipapah oleh mama dan kakaknya. Anka memancarkan senyum yang baru pertama kali dilihat oleh Andre.

“Lo mau gue panggil mas, abang, atau kakak?”

Andre nggak bisa lagi menahan senyumnya yang semakin melengkung terlukis di bibirnya. Walaupun dia cowok, ternyata ada juga air mata kebahagiaan di pelupuk matanya.
Continue reading
Share:
Views:
Newer Posts Older Posts Home
Subscribe to: Posts ( Atom )

Hi, you!

Hi, you!

Blog Archive

  • ►  2017 (3)
    • ►  September (1)
    • ►  July (2)
  • ►  2016 (5)
    • ►  September (1)
    • ►  June (3)
    • ►  February (1)
  • ►  2015 (3)
    • ►  July (2)
    • ►  June (1)
  • ▼  2014 (10)
    • ▼  December (1)
      • H&L
    • ►  July (1)
      • Tami
    • ►  June (2)
      • Sorry, mate. [2]
      • Sorry, mate.
    • ►  April (3)
      • Rasa Bersyukur
    • ►  March (3)
  • ►  2013 (24)
    • ►  December (1)
    • ►  October (1)
    • ►  September (1)
    • ►  August (5)
    • ►  July (6)
    • ►  May (1)
    • ►  April (5)
    • ►  January (4)

Labels

CAKES! Cerbung Cerpen Imajinasi Travel Trip

Wanna be my mate?

© 2016 Astaghiri | All rights reserved
Created By Responsive Blogger Templates | Distributed By Gooyaabi Templates