Astaghiri

  • Home
  • CERPEN
  • CERBUNG
  • CAKES!
  • Trip
Cerpen

Selamat Ulang Tahun, dan Sampai Jumpa

Sunday, April 14, 2013 By astaghiri 0 Comments
     Deru napasnya terdengar sesekali. Melihat orang-orang yang berlalu lalang dari hadapannya. Tak ada seorang pun yang menyapanya. Mungkin teman-temannya masih merasa kesal dengan perbuatannya yang lalu. Selalu mengerjai teman-temannya. Tak pernah yang tak terkena getah dari Rama. Bagaimana ia ingin berbuat kebaikan? Teman-temannya saja sedang menjauhinya.
      Inisiatif yang harus ia jalani adalah memulai menyapa temannya. Namun tetap saja. Berkali-kali teman-temannya menghiraukannya.
     "Eh, Dian.." sapanya ramah. Dian sempat menghentikan langkahnya, menatap tajam Rama. "Mau dibantu bawain proyektornya?"
     "Nggak butuh!" jawab Dian cetus. Kemudian ia meninggalkan Rama di tempat.
     Rama menghela napas. Niat baiknya sama sekali tak terbaca. Sesekali melihat ke arah jam yang melingkar di tangannya. Waktunya tinggal 63 jam lagi. Waktunya semakin lama semakin menipis. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan selain bernapas dan melamun.
     Bel berbunyi nyari. Pelajaran matematika dimulai. Setidaknya dengan ia terdiam, ia tidak melakukan sebuah dosa. Guru matematika itu pun melangkah kakinya masuk ke dalam kelas dengan santainya, dan mulai mengajar. Baru kali ini, Rama serius dalam belajarnya.
     "Rama, tolong kamu isikan tinta spidol. Tinta spidol Ibu udah abis." pintanya.
     Dengan langkah lemas tetapi dalam hatinya begitu senang. Akhirnya ia bisa melakukan kebaikan.
     "Awas Bu, bukannya nanti diisi tinta malah diisi air got lagi," canda Gildan. Membuat teman-temannya tertawa terbahak-bahak, termasuk Rama.
     "Haha.. ya enggak lah, masa gue segitunya, sih?"
     Namun tiba-tiba saja tawa mereka terhenti. Tak menganggap bahwa barusan ada yang sedang berbicara.
     Rama terdiam, lalu ia melangkahkan kakinya menuju pintu. Kemudian ia ke ruang Tata Usaha.

***

     Sehari telah berlalu. Waktunya hanya tinggal dua hari lagi. Percuma, desisnya. Yang hanya bisa ia lakukan adalah berbaik hati dengan Ibunya. Apa pun akan ia lakukan.
     "Kamu kenapa, Ram? Tumben rajin bantu Ibu," ucapnya sambil menyapu ruangan.
     Rama menggeleng, hanya membalas senyuman. Ia tak tahu lagi harus berbuat apa. Ia tak tahu lagi harus bagaimana mengungkapkan perasaannya. Dua hari lagi, ia sudah tidak ada di rumah ini lagi. Meninggalkan keluarganya.
     "Udah makan?" tanya Ibunya, mencoba menyadarkan anaknya yang sedang melamun.
     "Udah kok, Bu," jawab Rama. "Ibu mau dibantu apa lagi? Biar Rama yang ngerjain."
     "Nggak usah. Kamu istirahat aja gih," ucap Ibunya lembut.
     Kemudian Rama berdiri, mengecup pipi Ibunya. Membuat Ibunya sedikit terperanjat. Rama langsung kabur dari hadapan Ibunya. Ibunya hanya menggeleng tak mengerti mengapa anaknya berbuat seperti itu.

***

     Hari kedua lebih parah dibanding sebelumnya. Tak ada seorang pun teman sekelasnya yang berbicara dengannya. Yang hanya bisa ia lakukan adalah tertidur, sambil menghitung jam. Jam kepergiannya.
     Hari ketiga, Rama tak masuk sekolah. Suhu badannya tiba-tiba saja meninggi. Badannya tak berhenti bergetar. Bibirnya mulai pecah-pecah. Mulutnya selalu berkata menggigil. Padahal suhu disaat itu normal.
     Ibunya lebih khawatir lagi. Ia terus memeluk tubuh anaknya yang bergetar. Keringat yang keluar dari tubuh Rama, dirasakan oleh kulit Ibunya. Ada apa dengan anaknya?

Di sekolah

     "Udah pada siap semua?" tanya mencoba melihat persiapan.
     Jam sudah menunjukkan pukul 6.15 pagi. Tak biasanya Rama datang setelat ini. Dilihatnya keluar kelas, belum ada tanda-tanda Rama akan masuk ke kelas. Akhirnya semua temannya menunggu di dalam kelas. Karena semua temannya sudah masuk ke dalam kelas, orang terakhir yang membuka pintu kelas pasti adalah Rama.
     Perlakuan teman-temannya memang cukup keterlaluan. Namun, itu semua hanya sebuah candaan. Candaan untuk mempersiapkan ulang tahun Rama.
     Akting Dian waktu itu pun, cukup membuat Dian tertawa sendiri tanpa sepengetahuan Rama. Takut-takut ia tertawa saat di depan Rama.
     6.25. Tanda-tanda Rama akan masuk kelas belum ada. Teman-temannya mulai gelisah. Takut Rama telat atau bolos sekolah karena teman-temannya tidak mengacuhkannya.
     Bel telah berbunyi. Tepat jam 6.30 pagi. Teman-temannya mendesah. Mungkin Rama telat, pintu gerbang tak boleh dibuka oleh satpam. Rencana mereka gagal hari ini.
     Tak berselang waktu lama, suara hentakan kaki terdengar dari luar. Gildan sudah siap membawa kue dengan lilin yang menyala. Ia berjalan menuju depan pintu. Menyambut Rama dengan meriah. Teman-temannya juga sudah bersiap.
     Pintu terbuka lebar. Tiba-tiba saja, ruang kelas itu senyap. Bukan Rama, melainkan wali kelas mereka.
     "Duduk, semuanya." Ucap wali kelas mereka. Mereka langsung berlari menuju bangku mereka masing-masing.
     "Buat siapa kue itu?" tanya wali kelasnya, menatap kue tersebut dengan garang.
     "Buat Rama, Bu. Dia kan ulang tahun hari ini," ucap Gildan dengan riang.
     "Percuma, teman kalian sudah dipanggil sama yang Maha Kuasa," ucap wali kelas mereka sambil menyeka air matanya.
     Mereka semua dibuat bingung. Masih mencerna perkataan wali kelas mereka. Mereka mulai bertanya-tanya, ingin mendapat penjelasan atas semua ini.
     Tepat jam 6 pagi tadi, wali kelas mereka ditelepon oleh orangtua Rama. Tepat disaat itu juga, Rama dipanggil yang Maha Kuasa.

3 hari yang lalu

     Kelopak matanya terbuka. Hawa kali ini yang ia rasakan sangatlah berbeda. Ruangan yang ia tempati kini gelap. Sangat gelap. Tak bisa menerawang apa pun. Namun tiba-tiba saja, tengkuk lehernya terasa kaku dan merinding. Lalu keluarlah sosok dengan wajah menawan menyambut Rama. Tak pernah sekali pun Rama bertemu dengan sosok seperti itu. Bermimpi pun tidak. Sosok yang menawan itu cukup membuat takut Rama.
     "Bagaimana dengan kabarmu, Rama?" sosok dengan wajah yang menawan itu menyapa dengan ramah. Menambah rasa mengerikan bagi Rama.
     "Siapa kamu?" pertanyaan itulah yang pertama kali terlontar dari mulut Rama. Ia hanya membalas dengan tersenyum. Cukup lama membuat jeda. Matanya yang halus menatap seakan berbicara, 'Kau tak perlu tahu siapa diriku sebenarnya'.
     "Mau apa kamu datang ke sini? Apa kamu ingin mencabut nyawaku?" sosok itu tersenyum lagi, kemudian menggeleng.
     "Kau sangat beruntung, Rama. Hanya orang tertentu yang memiliki kesempatan ini."
     "Kesempatan? Kesempatan apa?" tanya Rama bingung.
     "Tuhan  telah memberikanmu kesempatan hidup, hanya 3 hari. Kau harus mempersiapkan bekalmu, berbuat baiklah kepada orang lain."
     "A-aku akan mati?" tanya Rama semakin cemas.
     "Semua manusia akan kembali kepada Tuhannya. Pergunakanlah hari-hari terakhirmu dengan sebaik-baiknya."
     "Ta-tapi.."
     Namun, tiba-tiba sosok dengan wajah yang menawan itu menghilang dari penglihatan Rama. Dahi Rama dipenuhi dengan bulir keringat. Tiba-tiba saja terdengar suara yang mendengungkan telinganya. Cukup membuatnya terperanjat dari tempat tidurnya. Suara Ibunya yang melengking cukup membuat dirinya terjatuh dari tempat tidurnya, lalu ia langsung lari maraton menuju kamar mandi. Mengingat jam sudah menunjukkan pukul 6 pagi.

Di sekolah, kelas mereka

     Kelas mereka begitu sepi. Namun, tiba-tiba saja terpecahkan oleh suara tangis, semakin mengeras. Mereka menyesal telah melakukan ini terhadap Rama.
     Wali kelas mereka membiarkan mereka menangis. Benar-benar pagi yang basah. Penuh dengan deru napas yang tak beraturan.
     "Rama bilang untuk terakhir kalinya, dia ingin minta maaf sama kalian semua, tolong, maafin dia, biar dia bisa bebas," ucapnya getir. Membuat deru tangis muridnya semakin mengeras.
     10 menit..
     20 menit..
     Tangis penyesalan mereka belum berhenti. Akhirnya, Gildan melangkahkan kakinya, menuju depan kelas dengan membawa kue tersebut. Matanya merah, pipinya basah, rambutnya acak-acak.
     "Happy birthday Rama, happy birthday Rama, happy birthday happy birthday happy birthday Rama..."
     Tangis mereka tersendu-sendu. Kemudian, Gildan meniup lilin tersebut.
     "Sampai jumpa kawan, kami semua menyesal, kami harap, elo bisa maafin kami. Semoga elo tenang disana, Ma," ucap Gildan terakhir.
     Yang diujung hanya bisa tersenyum senang. Bahagia melihat semua ini. Kemudian sayapnya mengembang, mengajaknya untuk pergi dari dunia. Terimakasih atas kejutannya, kawan.
Continue reading
Share:
Views:
Cerpen

Pengorbanan yang Terbayar

Sunday, April 7, 2013 By astaghiri 0 Comments
     Tuk! Satu kepalan tangan berhasil mendarat di ubun-ubun Sarah. Terdengar suara tawa dari arah belakang. Ia sudah tahu pasti pelakunya. Abiyan. Teman masa SMP-nya. Sarah hanya mengaduh sambil mengelus-elus kepalanya.
     “Kok nggak ngomel-ngomel sih, Sar?” tanya Biyan yang tawanya tiba-tiba berhenti.
     “Buang-buang energi!” cetus Sarah sambil melahap baksonya.
     Tanpa meminta izin terdahulu kepada Sarah, Biyan langsung menyendok satu bakso berukuran sedang yang berada di mangkuk Sarah dan langsung melahapnya. Tangan Sarah menggeram. Ia menghela napas, mengingat Biyan sering berkelakuan seperti itu.
     “Biy, temen sekelas gue ada yang suka sama lo,” ucap Sarah sambil menengguk air mineralnya.
     “Orangnya yang mana?” Biyan masih sibuk mengunyah bakso yang berada di mulutnya.
     Sarah mengambil ponsel yang berada di saku bajunya. Kemudian membuka galeri foto, lalu memperlihatkan foto tersebut ke arah Biyan.
     Biyan langsung tersedak. Sarah yang sedari tadi sudah siap tertawa melihat raut wajah Biyan yang memerah. Biyan langsung menyambar air mineral Sarah dan menengguknya. Bukannya Sarah memperlihatkan foto temannya yang menyukai Biyan, ia justru memperlihatkan foto bayi kera.
     “Saking gantengnya, lo juga disukain sama anak kera, Biy,” Sarah melanjutkan tawanya.
     Biyan masih fokus dengan air mineral yang sedang diminumnya. Sembari mengelus-elus dadanya.
     “Tau nggak? Barusan kita lagi ciuman nggak langsung dari botol ini lho!” ucap Biyan dengan enteng sambil mengangkat botol air mineral yang barusan ia minum. Ia tertawa melihat Sarah yang langsung diam terpaku.
     Refleks, tangan Sarah langsung menjitak kepala Biyan. Biyan mengaduh sambil tersenyum-senyum menggoda Sarah.
     Sarah langsung menolehkan kembali kepalanya ke arah lcd ponselnya. Lalu menyuruh Biyan untuk melihat foto yang terdapat di layar lcd ponselnya. Biyan manggut-manggut sambil sesekali memerhatikan foto itu lagi.
     “Cantik juga,” ucap Biyan sambil menguap. Jam-jam siang seperti ini memang membuat memori otaknya sering eror. “Boleh juga. Anaknya asik, nggak? Enak nggak kalau diajak ngobrol? Lemah lembut nggak?”
     Sarah banyak mengangguk utnuk menjawab pertanyaan-pertanyaan Biyan. Raut wajah Biyan terlihat senang. Sarah menghela napas. Kali ini, ia harus mengorbankan perasaannya lagi.
*** 
     Seringkali, Sarah mengorbankan perasaannya hanya karena temannya. Teman-temannya tahu, bahwa Sarah memang dekat dengan Biyan. Maka dari itulah, banyak yang meminta Sarah untuk sekedar berkenalan dengan Biyan.
     Yang tahu perasaan Sarah hanyalah ia dan Tuhan. Ia tak mengerti mengapa ia mau mengorbankan perasaannya. Perlahan menggores sisi hatinya. Tapi tak pernah merasa benci terhadap Biyan. Biyan nggak salah, batin Sarah.
     Lamunan Sarah dikagetkan oleh gadis berambut hitam sebahu itu, Hanna.
     “Gimana, Sar? Ada tanda-tanda Biyan suka nggak sama gue?” tanya Hanna sembari mengembangkan senyum simpulnya.
     Sarah mengangguk pasrah sambil terpaksa tersenyum. Terlihat sangat jelas, Hanna memancarkan senyum kebahagiaan, yang tentunya tidak dapat diberikan kepada Sarah.
     Tiba-tiba bangku Sarah langsung dihampiri oleh Biyan. Biyan datang dengan senyum manisnya. Hanna langsung membelalakkan matanya karena tidak percaya kalau Biyan sudah ada dihadapannya.
     “Sar, minjem catatan fisika dong,” pinta Biyan kepada Sarah.
     Sarah sedang memikirkan taktik untuk membantu Hanna. Sarah beralasan bahwa catatannya tak lengkap. Ia langsung melirik Hanna agar dapat berbicara.
     “Oh iya, gue ada catatannya. Ma—mau?” tanya Hanna dengan ragu.
     Biyan langsung memanggut sambil memancarkan senyumannya. Hanna langsung berdiri dari tempat duduk Sarah, kemudian mengambil buku catatannya.
     “Eh, itu cewek yang tadi lo tunjukin bukan sih? Lumayan cakep Sar!” senggol biyan menggunakan sikutnya. Sarah terlihat kesal dan langsung memukul lengan Biyan. Biyan meringis.
     “Nih bukunya,” ucap Hanna selembut mungkin.
     “Oh iya. Makasih ya, Hanna,” ucap Biyan sambil menyimpulkan senyumnya kembali.
     Hanna diam terpaku melihat kepergian punggung Biyan. Tak lama, senyum terpancar dibibirnya. Ia langsung histeris sendirian. Sarah menutup telinganya, sekaligus menutup matanya agar dapat cepat melupakan kejadian ini.
*** 
     Sarah melangkah dengan lunglai. Barusan ia mendengar kabar bahwa Hanna akan pulang dengan Biyan. Secepat itukah?
     Ia melangkahkan kakinya menuju gerbang depan sekolah. Tetapi ia langsung menghentikan langkahnya. Punggung itu sangat ia kenali, Biyan. Sarah langsung mengambil napas agar terlihat normal. Ia mencoba menghampiri Biyan.
     “Biy, nggak jadi nganterin Hanna pulang?” tanya Sarah dengan nada lembut. Biyan langsung menoleh dengan wajah muram. Tak biasanya ia seperti itu.
     “Biy, lo kenapa?” tanyanya lagi ingin menunggu kepastian.
     “Kenapa sih, Sar?” bukannya menjawab pertanyaan Sarah, ia justru berbalik tanya. Membuat Sarah semakin bingung.
     “Apanya yang kenapa?”
     “Kenapa lo harus ngorbanin perasaan lo sendiri?” skak mat. Sarah tak bisa berkata lagi. “Sar, gue tau, lo sayang kan sama gue?” tanyanya sambil mempertegas lengan Sarah.
     Sarah menunduk tak tahu ingin menjawab apa.
     “Emangnya lo nggak sakit hati nyomblangin orang lain buat gue? Gue yang lo suka selama ini?” Sarah tak mengangkat kepalanya.
     Biyan mengangkat dagu Sarah agar mereka bisa saling menatap.
     “Jawab, Sarah!”
     “Iya!” tangan Sarah menggeram. “Gue emang sayang sama lo! Gue emang sering sakit hati kalau gue nyomblangin lo buat orang lain! Puas lo?!” Sarah langsung melangkah meninggalkan Biyan. Biyan langsung menggenggam tangannya.
     “Tapi kenapa..?” tanya Biyan kini dengan nada lemah.
     “Karena.. karena gue udah cukup bahagia ngeliat orang yang gue sayang bahagia sama pacarnya.”
     “Lo kira emang gue bahagia? Seneng gitu?” Sarah tak menjawab. “Selama ini gue nunggu lo! Nunggu reaksi lo cemburu atau nggak! Tau nggak sih kalau yang lo lakuin itu bikin sakit hati gue juga? Pikirin gue juga dong, Sar!”
     “Jadi lo mau apa sekarang?” tanya Sarah to the point.
     “Gue mau lo nggak usah nyomblangin gue sama siapa pun.” Ucap Biyan dengan tegas. Sarah langsung meng-iya-kan. Lalu ia beranjak pergi dari tempat itu.
     “Dan yang gue mau, lo harus jadi pacar gue sekarang. Nggak ada tapi-tapian. Gue capek nahan perasaan gue tau nggak!”
     Sarah diam terpaku mendengar perkataan Biyan. Tak lama, satu pelukan hangat mendekap tubuhnya. Pelukan hangat yang membayar semua pengorbanannya selama ini.

     Terima kasih, Tuhan. Doaku telah didengar olehnya.
Continue reading
Share:
Views:
Cerpen

PHP atau Geer?

By astaghiri 0 Comments
     Awal Februari yang tidak terlalu menyenangkan. Langit seringkali berselimutkan dengan awan kelabu yang membuat bayangan mengabur. Tapi tidak untuk Lisa. Hati Lisa terus bergeming ketika datang hujan yang membasahi bumi terus-menerus. Suhu kali ini memang tidak sama dengan suhu yang ia rasakan 2 bulan yang lalu.

     Boscha, 18 Desember 2012

     Kala itu hujan sedang menemani langit Bandung. Menghentikan langkah kami—rombongan study tour—untuk kembali menuju parkiran bus. Jarak Boscha dengan bus yang terparkir memang cukup jauh. Untuk menempuhnya, diperlukan ojek motor.
     Suasana gelap sedang merundung langit. Jutaan air dijatuhkan oleh awan. Ditambah dinginnya suhu Bandung saat itu.
     Lisa yang hanya mengenakan baju lengan pendek merasakan dinginnya suhu saat itu. Tangannya terus-menerus mengelus lengannya agar menciptakan kehangatan. Tetapi percuma, suhu udara kali ini mengalakan kehangatannya yang menelungkup ditubuhnya.
     Orang-orang yang menunggu datangnya ojek pun mulai sepi. Sesekali menengok ke ujung jalan menunggu datangnya ojek.
     “Kedinginan?” tanya seseorang entah darimana.
     Lisa langsung mencari sumber suara. Ternyata dari arah belakang. Lisa mengangguk jujur. Desahan napasnya pun keluar membentuk gumpalan asap tipis.
     “Kenapa nggak naik ojek daritadi?”
     “Rame,” cetus Lisa sambil menggosok-gosok telapak tangannya.
     Tanpa sepengetahuan Lisa, cowok itu melepaskan jaketnya kemudian menaruhnya di punggung Lisa. Lisa langsung tersentak kaget.
     “Kasian gue ngeliat lo. Tapi pake aja deh, mumpung gue pakai baju lengan panjang,” omongnya dengan santai.
     “Gimana gue balikinnya? Kita kan nggak satu bus.” Ucap Lisa sambil menatapi mata cowok itu.
     “Kalau ada kesempatan, balikin aja.”
     Lisa langsung mengangguk lalu bergegas memakai jaket tersebut. Suhu dingin masih menelungkup di tubuhnya. Tetapi setidaknya ada usaha untuk menghangatkannya.
     “Eh itu ojek!” sahutnya. “Ladies first,” omongnya sambil menatapku ramah.
     “Eh? Nggak kenapa-kenapa nih?” tanya Lisa takut merepotkan.
     Cowok itu menggeleng, lalu mempersilahkan Lisa untuk menaiki ojek.
     Cowok yang baik, benak Lisa.
*** 
     Parfum cowok itu masih melekat di hidung Lisa. Kejadian 2 bulan lalu itu selalu membenak di pikirannya. Setelah Lisa telusuri, akhirnya ia tahu nama cowok tersebut. Diaz Raditya Pratama.
     Ternyata Diaz kelas X-7, tepat di samping kelas Lisa, X-6. Lisa tak mengerti mengapa ia terus berlaku aneh ketika melewati kelas X-7 atau pun berlalu melewati Diaz. Jantungnya selalu berdegup tak beralur. Sesekali menahan napas agar tak merasa grogi. Tapi semua yang dilakukannya nihil.
     Sering sekali Lisa mendapatkan senyuman itu dari Diaz sengaja atau pun tidak sengaja. Mereka pernah tertangkap mata saling menatap. Tak sekali, bahkan berkali-kali. Rasa suka Lisa terhadap Diaz pun semakin meninggi.
     Bel istirahat berbunyi. Raungan yang berasal dari perut Lisa membuatnya harus pergi ke kantin. Berbagai macam makanan tersaji di depan mata. Harus membeli makanan yang tak terlalu megenyangkan. Pilihannya adalah somay.
     “Sendirian?” tanya seseorang yang membuat Lisa cukup tersentak. Diaz. Napasnya sedikit tercekat.
     “Ng.. kelihatannya?” tanya Lisa sambil memiringkan kepalanya sedikit.
     “Mmh.. berdua sih, kan ada gue,” ucapnya sambil mengembangkan senyum simpulnya.
     Entah perasaan apa yang kini menyelimuti hati Lisa. Apa Lisa tak salah mendengar? Telinganya masih berfungsi kan?
     “Jangan bengong terus, diambil tuh somaynya. Emangnya mau ikutan jualan sama abangnya?” canda Diaz yang langsung membuyarkan pikiran Lisa.
     Lisa langsung mengambil somaynya. “Duluan ya, Diaz.”
     Lisa terburu mengambil langkah menuju kelas. Tak lama, Diaz memanggilnya. Sesegera mungkin ia menoleh. Dan benar, Diaz memang sedang memanggilnya.
     “Somaynya belum dibayar, Lisa..” ucap Diaz sambil terkekeh-kekeh. Dengan langkah malu, Lisa kembali ke pedagang somay tersebut dan membayarnya.
     Apakah perasaan Lisa sama dengan Diaz? Sepertinya ia menyukaiku, benak Lisa.
*** 
     Perasaan itu terus berkalut di hati Lisa. Ia tak mampu lagi menahan perasaannya itu. Jadilah ia membeberkan rahasianya ke salah satu teman terdekatnya, Rena. Perasaan senang sekaligus lega karena Lisa bisa menumpahkan perasaannya.
     Tetapi, kesenangan itu sangatlah cepat berlalu.
     “Yang gue tau, Diaz lagi pdkt sama anak kelas lain,” ucap Rena dengan berbisik-bisik.
     Lisa diam tak berkatanya. Pikirannya blank. Tiba-tiba saja napasnya sedikit memburu. Lalu ia memejamkan matanya sejenak.
     “Lo serius?” tanya Lisa untuk meyakini hatinya.
     Rena mengangguk. Rasanya bersalah sekali terhadap Lisa karena memberitahu berita miring itu. Tapi, setidaknya ia telah menyadari Lisa untuk tidak terbang terlalu tinggi dan tidak terus mengejar mimpi itu. Setidaknya mimpi itu dapat diramalkan tidak dapat terwujud untuk sekarang ini.
     “Sabar ya, Sa. Cowok nggak cuma Diaz doang kok.”
     Lisa mengangguk pura-pura mengerti.
*** 
     Lisa kesal dengan Diaz! Dasar pemberi harapan palsu! pekik lisa dalam hati. Tak tahukah Diaz jika selama ini ia telah mengambil separuh hatinya? Kini Lisa bergantung dengan Diaz.
     Karena tak puas dengan ungkapan Rena, ia mendatangi temannya, Karin, teman satu kelas dengan Diaz.
     Lisa menceritakan semuanya dengan detail. Sesekali Karin tersenyum mendengarnya, karena menurutnya memang perlakuan Diaz ke Lisa agak kurang wajar.
     “Tapi Lisa..” rasanya Lisa ingin menyumbat telinganya agar tak bisa mendengar. “Diaz begitu karena emang sifatnya. Dia itu terlalu baik ke semua orang. Ke gue juga begitu. Dia itu emang penolong banget. Ya emang kelewat wajar sih. Awalnya gue juga ngerasa di php-in. Nggak taunya gue cuma kegeeran.”
     Lisa mendesah mendengar perkataan temannya itu. Lalu tiba-tiba, datang sosok yang dikenal di mata Lisa. Diaz. Ia tersenyum melewati Lisa. Dengan senyum paksa, Lisa membalasnya.
     “Tuh, malaikat maut banget kan senyumnya?” bisik Karin sambil terkekeh-kekeh.
     Kamu memang pantas hanya untuk jadi sahabatku, Diaz.
Continue reading
Share:
Views:
Cerpen

Perbedaan yang Menyatu

Saturday, April 6, 2013 By astaghiri 0 Comments
Ada pepatah mengatakan, perbedaan itu indah. Tetapi, mengapa perbedaan itu sulit menyatukan kita?

     Kalimat itu mulai lagi mengisi benakku ketika aku melihat seseorang yang duduk tepat di depan ku, di bangku taman. Waktu itu, pertama kali kami kerja kelompok disini.

7 tahun yang lalu..

     Entah mengapa kali ini aku merasa bosan dengan pelajaran Biologi. Guru itu terus saja mengoceh tanpa di sadari banyak murid yang mengacuhkannya. Terkecuali, Alvin. Tetap saja ia memerhatikan guru tersebut walaupun sesekali ia menguap. Aku lebih memilih untuk tidur. Untung saja aku duduk di belakang.
     Tubuhku terasa di goyang-goyang kan. Gempa? Tidak. Alvin membangunkan ku. “Azka, bangun, aku mau ngomong tentang kelompok.” Aku? Alvin merupakan salah satu laki-laki yang terlalu polos menurutku. Ia tak bisa berkata elo-gue terhadap perempuan.
     “Kenapa?” Omong ku sambil mengulat.
     “Biologi sekelompok ya sama aku? Kamu belum ada kelompok kan?” Aku menyipitkan mata sambil mengumpulkan nyawa.
     “Emangnya disuruh ngapain sama Pak Harjo?”
     “Tentang analisis gitu deh. Kamu hari ini ada waktu nggak? Kalau bisa sih hari ini.”
     Mulut ku membentuk huruf O. “Kenapa nggak kelompokan sama Bimo? Dia kan sebangku sama kamu.”
     “Hmm..dia udah sama Gerald. Yang lain juga udah berkelompok. Tinggal kita doang.”
     “Oh yaudah deh terserah.” Aku melanjutkan tidurku. Cukup lama aku tertidur, tiba-tiba pipi ku ditepuk oleh seseorang.
     Ada yang membisikku. “Azka, bangun.” Ia mengguncang tubuh ku. “Kamu dipanggil Pak Hardi tuh.”
     “Ha?” Aku langsung terbangun.
     “Azka, kamu tidur lagi ya? Pules banget. Sini sekalian tidur di depan kelas.” Semua orang dikelas menertawaiku.
     “Eh? Enggak kok pak. Cuma kecapean aja, pusing.” Aku mencoba mencari alasan. “Saya dengerin kok bapak ngajar.”
     “Oh ya? Coba bapak mau tanya. Ciri-ciri Pithecanthropus apa aja?”
     Waduh! Mata ku menoleh ke kanan kiri. Alvin? Sejak kapan ia duduk disamping ku? Aku melihat ia komat kamit. Sepertinya ia ingin membisikkan sesuatu. Ah, aku mengerti.
     “Makanannya tumbuh-tumbuhan, terus.. nah keningnya menonjol pak.”
     Pak Hardi mengangguk. “Bagus-bagus. Mari, kita lanjutkan. Jadi meganthropus..”
     Aku mengelus dada. “Makasih ya, Vin.” Sambil berbisik. Ia hanya mengangguk.
***** 
     Bel tanda pulang sekolah telah berbunyi. Barang-barang yang tergeletak di meja ku sudah ku masukkan ke dalam tas. Saat nya pulang.
     Ketika berjalan, bahu ku dipegang seseorang. Aku langsung menengok ke belakang. Alvin.
     “Kenapa Vin?”
     “Kan kita udah janji mau ada tugas kelompok hari ini. Nggak batal kan?” Alvin memang tak suka menunda-nunda pekerjaan.
     “Masyaallah!” Aku menepuk jidat. “Maaf, Vin. Lupa. Tapi mau ngerjain dimana?”
     “Hmm taman kali ya. Gimana mau nggak?”
     “Boleh deh. Ayo.” Kami berdua berjalan menuju parkiran.
     “Azka? Kamu nggak solat dulu? Udah ashar kan?”
     “Astaghfirullah. Aku lupa. Tapi nggak enak sama kamu. Kamu mau nungguin?”
     “No problem.” Sambil tersenyum. Oh? Aku belum menjelaskan? Alvin beragama kristen protestan. Sedangkan aku islam. Aku agak salut dengannya karena ia mengingatkan ku untuk ibadah. Seharusnya aku malu karena aku tak mengingat itu.
     Tak lama, aku sudah selesai solat. Aku langsung menuju parkiran. Ku lihat Alvin sudah bersiap di motornya. Ia sedang memainkan ponselnya. Aku menghampirinya.
     “Maaf ya, Vin. Lama.”
     “Gapapa kok. Ayo. Jadi ngerjain biologi kan?” Aku mengangguk.
     “Eh tapi, aku bisanya duduk miring, kamu bisa nggak?”
     “Yaudah. Aku bisa kok.” Aku langsung menaiki motor Alvin. Kemudian kami mencari taman terdekat.
***** 
     “Azka,” Alvin menghampiri. “Nih, minum buat kamu.” Ia duduk di sampingku. “Gimana? Sampel nya udah lumayan banyak kan?” Tanya nya.
     “Udah kok. Lebih dari cukup malah.” Aku mencoba mengurutkan data. Alvin memainkan sampel daun-daunan yang kami ambil di taman tadi. “Kenapa Vin? Bosen ya?”
     Alvin menggeleng. “Enggak kok. Aku mau nanya deh. Kamu pernah ngerasain perbedaan nggak antara kamu sama seseorang? Kalo pernah, apa yang kamu lakuin?”
     “Perbedaan itu indah, Vin. Indah nya ya dimana kita bisa menerima perbedaan itu. Bukannya malah bagus ya, jadi kita nggak ngerasa bosen. Masa pendiam disatuin sama pendiam. Ya akhirnya mereka nggak akan ngomong satu sama lain. Ya kan?”
     Alvin nampak berpikir. “Iya juga sih.”
     “Ya emang menurutmu gimana?” Aku balik bertanya.
     “Hmm iya sih. Jadi, kita nggak merasa bosen. Tapi..”
     “Eh ini udah selesai. Sekarang di apain lagi?” Alvin langsung membuka buku Biologi nya.
     “Kata Pak Harjo kerjain soal-soal yang disini. Aku yang cari jawabannya deh. Kamu yang nulis ya?” Aku mengangguk.
***** 
     Semakin lama, kedekatan ku dengan Alvin semakin merekat. Banyak yang bilang kami mempunyai hubungan khusus. Awalnya itu hanya sebuah gosip belaka. Tapi di saat itu juga, Alvin menepis gosip itu. Dan akhirnya, kami resmi berpacaran.
     “...pasangan yang berbeda agama ini telah resmi bercerai pada tanggal 15 Agustus 2012.”
     “Padahal kan kalo nikah beda agama aja udah dosa.” Omong Mama ku.
     “Nonton gosip terus, Ma.” Ujar ku sambil membolak balik majalah.
     “Tapikan itu berdasarkan fakta. Masa nikah beda agama. Tentu dilarang dong.”
     Aku langsung berhenti membolak-balik lembaran majalah. “Gitu ya Ma?” Aku terdiam sejenak. “Dosa Ma?”
     “Ya jelas lah. Berbeda keyakinan.” Mama menatap ku tajam. “Kenapa kamu? Kok tiba-tiba cemas kayak gitu? Ada apa?”
     “Ah, enggak kok Ma. Nonton lagi tuh gosipnya di mulai lagi.” Mama semakin menatap ku aneh.
     “Ada yang kamu sembunyiin ya dari Mama?” Aku langsung menggeleng. “Mama sering ngeliat kalo kamu pulang sekolah dianterin sama cowok. Cowok kamu ya?” Mama menitik beratkan kata ‘cowok’.
     “Eh? Hmm..” Mama senyum-senyum melihat wajah ku.
     “Gapapa kok. Asal jangan ganggu pelajaran kamu.” Aku tersenyum. Tetapi.. “Agama nya islam kan? Anaknya baik-baik kan? Dia ngasih kamu motivasi nggak?”
     Duh! Kenapa sih nih gosip mesti tayangin tentang perceraian gara-gara beda agama. Aku menggerutu sendiri dalam hati. “Emangnya kenapa Ma kalo misalkan dia beda agama?”
     “Mama cuma takut kamu terpengaruh sama dia. Dan akhirnya, kamu dibawa ke agama dia.”
     “Misalkan itu nggak terjadi?”
     “Tetep aja, dosa akibatnya. Jangan bilang, kalo pacar kamu kristen?” Aku menunduk. Sepertinya Mama sudah tahu jawabannya. “Nak, Mama mohon kamu jangan berhubungan sama dia. Mama cuma takut, kamu nanti jadi berpindah agama.”
     “Tapi Alvin orangnya baik, Ma. Dia selalu ingetin Azka buat ibadah.”
     “Tapi, pasangan beda agama itu dosa sayang. Mama harap kamu dengerin omongan Mama. Walaupun orangnya baik, ada kemungkinan kamu pindah agama.” Aku terus menunduk. Aku memang tak bisa melawan perkataan Mama. “Lebih baik, kamu berteman aja.”
***** 
     “Lebih baik, kamu berteman aja.” Perkataan itu selalu mengaung di telinga ku. Aku tak tega mengatakan ‘kita berteman saja’ kepada Alvin. Selama ini ia baik dengan ku. Ia pun tak pernah mengangguku untuk beribadah.
     “Hei,” panggil Alvin. “Kok kamu diem aja?” Sambil mengembangkan senyumannya.
     Aku menggeleng sembari menyimpulkan senyumanku. “Gapapa kok.”
     “Kenapa? Kok kamu kayaknya lesu gitu? Sakit?” Aku menggeleng. “Cuci muka gih, atau wudhu biar kamu seger. Mau aku anterin?”
     “Gapapa. Alvin, aku mau ngomong sesuatu sama kamu.”Alvin melihat muka ku aneh. Tak biasanya aku memasang muka seserius ini. “Vin, kayaknya kita nggak bisa pacaran lagi. So..”
     “Kenapa? Apa aku ngelakuin kesalahan?” Mata Alvin menatap ku tajam. Aku tak bisa membalas tatapannya.
     Aku menggeleng. “Kita beda agama, Vin. Mama aku nggak setuju. Aku nggak bisa nolak.”
     “Kamu pernah bilang gini ke aku, Perbedaan itu indah, Vin. Indah nya ya dimana kita bisa menerima perbedaan itu. Bukannya malah bagus ya, jadi kita nggak ngerasa bosen. Kamu masih inget itu kan?”
     “Permasalahannya beda, Vin. Kita bukan beda kelakuan atau sifat, tapi kita beda keyakinan.” Aku menitik beratkan kata ‘keyakinan’. Alvin terdiam sebentar.
     “Apa aku harus pindah ke agama kamu, biar aku bisa terus sama kamu?” Aku langsung menatap Alvin tak percaya. Kenapa ia bisa mengatakan hal seperti itu? Apa ia tak menyadarinya?
     Aku menggeleng cepat. “Vin, aku nggak mau sakitin kamu apalagi orang tua kamu. Jangan gara-gara aku, kamu jadi pindah agama. Orang tua kamu pasti sakit hati.” Skak mat. Alvin terdiam lagi.
     “Tapi aku nggak ganggu ibadah kamu kan? Aku nggak ngelarang kamu ibadah kan?” Aku menggeleng pelan.
     “Vin, maafin aku. Tapi ini udah keputusan aku. Aku harap, kamu mau nerima itu.” Aku langsung berdiri kemudian meninggalkan Alvin. Alvin tak mengejarku. Ia memilih berdiam tetap. Perlahan, air matanya membasahi bumi. Alvin, aku minta maaf.
***** 
     Aku terus saja menatap orang itu. Itu tak mungkin Alvin. Sepertinya, ia agak terusik. “Maaf, kenapa ya anda melihat saya seperti itu? Apa saya salah duduk disini?”
     Aku langsung menggeleng.”Enggak kok. Maaf.” Aku kembali sibuk dengan ponsel ku. Sepertinya, ia juga memerhatikan ku.
     “Azka? Kamu Azka kan? Mantan anak SMA 10 disana kan?” Aku kembali menatap nya. Darimana ia tahu? “Azka, kamu nggak inget aku?”
     Aku menyipitkan mata. Garis-garis wajah itu, sepertinya aku mengenalnya. Alvin? Ah tak mungkin. Masa ia membaca Al-Quran begitu lancar?
     “Aku Alvin, Azka. Kamu nggak inget? Masa kamu lupa ingatan?” Ia tersenyum pada ku. Apa aku bermimpi? Bukankah semenjak kejadian itu ia pindah sekolah?
     “Alvin? Tapi..”
     “Kenapa? Aku banyak perubahan ya?”
     “Ka—kamu pindah agama?” Alvin mengangguk tanpa ragu. “Tapi..”
     “Tenang. Ini emang kemauan aku kok. Semenjak aku pindah sekolah, aku mencoba mempelajari agama kamu. Dan ternyata, agama kamu itu indah.”
     “Orang tua kamu?”
     “Mereka juga pindah ke Islam. Mereka juga ngerasain kok, mereka ngerasa lebih tentram.” Huh..baguslah. Bukan karena aku ia ingin pindah agama. Tapi, ini juga merupakan berita bagus.
     “Tapi, aku juga pindah agama karena kamu.” Aku langsung menatapnya. “Sekarang, perbedaan kita udah bersatu kan? Jadi, aku bisa ngelamar untuk jadi pemimpin hidup kamu kan?”
Continue reading
Share:
Views:
Cerpen

Mimpi Buruk - Cincin Perak

By astaghiri 0 Comments
Rasha meraba ranjangnya dengan mata yang sempurna tertutup. Tidurnya terganggu akibat dering ponsel yang mungkin sudah ketiga kalinya berbunyi. Setelah mendapatkannya, Rasha mengintip layar, kemudian men-swipe bulatan hijau, mendekatkan ponsel ke arah telinganya.

"Kenapa, babe?" sapa Rasha dengan parau.

"Baru bangun, yang?" sahut di seberang, Candra. "Ini udah jam 10, my baby. Kebo banget sih lo."

Rasha berdesis. "Aku baru tidur subuh tadi, ya. Kalau bukan karena Fiko that son of a bitch, aku bisa tidur dengan tenang dari jam 9 malam."

"Pernah ada rasa cinta
Antara kita kini tinggal kenangan."

Rasha mengernyit, sadar kalau sepertinya Candra sedang berada di tempat umum karena mendengar nyanyian pengamen yang terdengar creepy di telinganya.

Bukan apa-apa. Rasha pernah membaca artikel bahwa lagu itu dibawakan oleh penyanyinya untuk pacarnya yang sudah meninggal, kan?

"Kamu lagi di mana, sih?" Rasha memberanjakkan punggungnya dari ranjang, menggaruk lehernya yang gatal.

"Ini aku otw ke apartemen kamu. Sana mandi, biar seger."

"Oh. Oke. Kalau udah sampai di stasiun, kabarin aku, ya."

"Okay. Bye, babe. Love you."

"Love me too."

Candra berdecak, membuat Rasha terkekeh. "Ck. Dasar."

Setelah itu, Rasha memutuskan sambungan telepon, menggeser pantatnya menuju pinggir ranjang, meletakkan telapak kakinya di lantai yang dingin. Dia berjalan menuju kamar mandi, menyegarkan tubuhnya dari keringat yang kembali menyerap di pori-pori kulit.

[***]

Candra menuruni angkot, menyebrangi zebra cross dan memasuki stasiun kereta. Rumahnya dan apartemen Rasha memang cukup jauh, pun Candra tidak memiliki kendaraan pribadi baik roda dua maupun empat, belum. Dia masih menabung, mungkin baru 2 atau 3 tahun lagi baru kesampaian.

Tetapi, untuk meminang Rasha, dia tidak mau menunggu lagi. Candra ingin memiliki Rasha seutuhnya. Dia rasa, dirinya sudah mapan untuk mendampingi Rasha selamanya.

Setelah menaiki kereta, Candra turun dienam stasiun selanjutnya. Sambil berjalan, dengan rasa yang tidak sabaran, Candra kembali membuka kotak beludru berwarna hitam itu. Isinya kontras dengan kotak yang menaunginya; sebuah cincin perak dengan ukiran C&R pada bagian dalamnya.

Tanpa sadar, cincinya jatuh, menggelinding dan turun ke badan rel karena seseorang menabraknya dari belakang. Dia berdesis marah pada seorang pria yang bahkan tidak menoleh ke arahnya sama sekali untuk minta maaf.

"Mas! Kalau jalan pakai kaki, lihat pakai mata! Udah nabrak, nggak minta maaf pula!" ucap Candra dengan keras, membuat beberapa orang menoleh ke arahnya. "Anjinglah," desisnya yang kemudian mencoba mengintip jalan kereta untuk mencari cincinnya.

Pria itu mendekati Candra, berdiri di belakangnya. "Oke, gue minta maaf."

Namun, yang dilakukannya membuat semua orang di sana menutup mulutnya. Pria itu menendang pantat Candra sehingga Candra jatuh ke badan rel. Dia mengerang, pinggangnya tertusuk besi jalur kereta, sebagian tubuhnya juga terakupuntur batu-batu kerikil di sana.

"Sini lo, bangsat! Tai lo!" geram Candra, membuat pria itu kembali tersulut dan turun ke badan rel.

Nggak ada yang bisa menghentikan mereka, orang-orang di sana terlalu takut. Para petugas kereta juga tidak terlihat batang hidungnya.

Candra mendapat pukulan telak di hidungnya, memuncurkan darah segar. Tetapi pria asing yang sedang bertanding dengannya itu juga mendapat 'penghargaan' yang sama.

Mereka terus saja berperang dengan ego, tidak mendengar teriakan orang-orang dan para petugas stasiun yang tergopoh berlari sambil membunyikan pluit, tidak mendengar sirene kuat dari kereta. Telinga mereka pias.

[***]

Hairdryer terjatuh ketika Rasha ingin mengambilnya. Setelah menyolokkan dan menekan tombol on, hairdyernya tidak berfungsi. Dia mengernyit heran, mencoba menekan tombol on setelah mematikamnya sementara.

Tetapi sama saja, nggak berfungsi.

Ponselnya berdering, menampilkan nama Candra. Tanpa berkata lagi, dia men-swipe layar ponsel dan mendekatkannya ke telinga.

"Can, belum sampai juga? Kok lama amat?"

"Halo?"

Dia kembali mengernyit, ini bukan suara Candra.

"Ini siapa?"

"Saya dari pihak polisi, ingin menyampaikan kabar, kebetulan Ibu adalah orang terakhir di panggilan ponsel korban."

"Polisi? Korban? Maksud Bapak apa, ya?" potong Rasha langsung, nada khawatir dari pita suaranya pun mulai keluar.

"Ibu, saya mohon Ibu harus tenang. Saya butuh keterangan dari orang-orang terdekat. Mungkin Ibu bisa datang ke stasiun Tebet, sekarang?"

Tanpa berkata dan memutus sambungan telepon tersebut, Rasha berlari keluar dari apartemennya, turun menggunakan lift dengan perasaan gelisah. Dia nggak peduli dengan rambutnya yang basah. Bahkan dia juga nggak peduli bahwa dia sadar dia tidak menggunakan alas kaki.

Setelah keluar dari gedung apartemen, dia mencari ojek yang terdekat untuk menuju stasiun secepat mungkin.

Sesampainya di sana, Rasha membeku ketika melihat police line yang membentang, dikelilingi oleh masyarakat dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Dengan kaki yang gemetar, Rasha mendekati dan menerobos orang-orang itu, memastikan bahwa Candra tidak di sana.

"Maaf, Mbak," seorang polisi bertubuh tegap menghalanginya untuk melewati garis polisi. "Mbak nggak boleh masuk, ini--"

"SAYA PACARNYA!" teriak Rasha histeris, padahal tadi dia berharap itu bukanlah Candra. Tetapi, polisi itu tampak tidak percaya. Rasha berkata dengan suara pelan. "S-saya baru saja ditelpon sama p-polisi untuk--"

"Ibu Rasha?"

Rasha menoleh ketika ada polisi lain yang datang, dia tidak tahu darimana polisi itu mengetahui namanya, mungkin dari ponsel Candra, yang itu berarti... dia tidak siap dengan kemungkinan buruk lainnya.

Rasha mengangguk kaku. "Mari, ikut saya, Bu."

Dia mengikuti polisi itu, berjalan menggigil. "Saya turut berduka, Bu--"

"Siapa yang mati?" tanya Rasha pias. "Kenapa Bapak turut berduka untuk saya?"

Polisi itu menghela napas, terbiasa dengan sikap masyarakat macam Rasha. Dia paham, walau dia tidak pernah mengalaminya. "Kalau Ibu Rasha belum mau melihat jasad Bapak Candra, kami mafhum. Kami menemukan ini, Bu," polisi itu memberikan plastik bening pada Rasha. "Ini ada di genggaman Pak Candra. Mungkin, ini milik Ibu."

Rasha menatap plastik bening itu, meniti benda yang ada di dalamnya.

Sebuah cincin perak yang berlumuran darah.

Dia terkesiap, peluh keringat membasahi tiap jengkal kulit. Kamarnya dalam keadaan gelap gulita. Rasha langsung meraba ranjangnya untuk mencari ponsel, menelepon Candra untuk memastikan kabar pacarnya tersebut.

Dering pertama sampai kelima pun, Candra tetap tidak mengangkatnya. Rasha menggigit bibir. Dia merasa bahwa mimpinya terlalu nyata.

"What's up, babe?"

"Kamu di mana?"

Candra terkekeh. "Posesif amat. Aku di kantor, lah. Kenapa? Kamu lihat aku gandengan tangan sama cewek lain?"

"Not funny, Candra!"

Candra berhenti tertawa ketika mendengar Rasha terisak. "Kamu kenapa sayang? Ya ampun, aku cuma bercanda. Kamu lagi kenapa, sih? Aku lagi di kantor, sumpah. Mau aku fotoin sekarang?"

"Kamu... baik-baik aja, kan?"

"I'm fine, very fine. Ada apa?"

Rasha menghela napas lega. "Aku mimpi buruk. Ya udah, kalau udah selesai ngantor, kabarin aku."

"Makanya, jangan tidur siang bolong, nggak baca doa kali tadi."

"Bye!" Rasha mendengus, mengetuk bulatan merah di layar ponselnya dengan kesal.

[***]

Tepat di hari minggu, Candra ingin mengunjungi apartemennya, menghabiskan waktu seharian duduk berdua, menonton film sambil mengemil popcorn.

Rasha membuat panggilan ke Candra, lalu menekan bulatan loudspeaker di layar. Dia mengambil hairdryer, ingin mengeringkan rambutnya yang basah.

"Halo, sayang." Dering pertama, Candra langsung mengangkatnya. "Aku lagi di angkot, nih."

"Emangnya aku nanya?"

"Ngasih tahu doang, woy." Rasha tertawa, lalu dia mulai menyalakan hairdryer dan mengeringkan rambutnya. "Suara apaan, tuh?"

"Hairdryer. Bisa nih buat mouthdryer, biar mulut kamu nggak nyinyir terus! Hehehe."

"Yee! Nyinyiran juga kamu suka, kan?"

"Pernah ada rasa cinta. Antara kita kini tinggal kenangan."

"Kamu dengar, nggak? That song sounds creepy, right?"

Dahi Rasha berkerut, hairdryernya mati mendadak, padahal dia tidak menekan tombol off.

Tiba-tiba, dia merasa de javu. Ini... pernah dialaminya. That creepy song, hairdryer yang tidak berfungsi, Candra...

"Stay there, Can!" teriak Rasha tiba-tiba, membuat Candra kaget. "Turun dari angkot sekarang, dan balik ke rumah kamu! Jangan ke sini!"

"Kamu kenapa, sih?" tanya Candra heran.

"Just listen to me! Kamu--"

"Rasha, aku tutup dulu teleponnya. Aku lagi nyebrang, nih. Kamu jangan aneh-aneh, deh. Sampai ketemu di apartemen, babe."

Candra memutuskan sambungan teleponnya secara sepihak, membuat Rasha semakin panik. Tanpa kata lagi, dia keluar dari apartemen, menuju stasiun Tebet yang hanya berjarak 200 meter dari apartemennya menggunakan ojek. Dia harus lebih dulu sampai dari Candra.

Sesampainya di sana, stasiun tampak seperti biasanya. Tidak terlihat kecelakaan apapun atau bahkan police line seperti pada mimpinya.

Candra sama sekali tidak bisa dihubungi, dan itu membuat Rasha mawas diri. Dia mencoba menenangkan diri dengan terapi bernapas, bahwa semuanya akan baik-baik saja, dan mimpinya hanyalah sebuah mimpi.

Rasha terus menunggu. Pantatnya terus terangkat dari kursi tunggu ketika kereta berhenti di stasiun itu. Namun nihil, Candra tidak menunjukkan batang hidungnya.

"Sha?"

Rasha membalikkan tubuh, dia hampir menangis ketika melihat ternyata Candra sudah berdiri di belakangnya, dia masih hidup.

Rasha memeluk Candra, hampir saja pria itu limbung kalau dia tidak memegangi pinggang Rasha.

"Kamu kenapa, sih? Rambut juga lepek gini," Rasha melepas pelukannya, menyeka air mata yang terlanjur keluar. "Lah? Nangis? Cengeng."

Rasha memukul pelan dada Candra, lalu benar-benar melepaskan pelukannya. "Where's the ring?"

"What ring?"

"Just give me the ring!" Rasha menengadahkan tangannya.

"Tapi, darimana kamu tahu?"

"Give that damn ring, Candra. You aren't romantic men, anyway," Rasha terkekeh, masih menengadahkan tangannya.

Candra berdecak, mengalah, mengambil kotak beludru hitam dari tas punggungnya. Lalu memberikannya pada Rasha.

"Ya pasanginlah, keleus."

"Malas ah kalau kamu ternyata udah tahu," Candra ngambek, membuka kotak tersebut, menyuruh Rasha memakainya sendiri. "Toh kamu terima aku, kan."

Rasha nyinyir, dia mengambil cincin di dalamnya dan memakainya di jari manis. "Iya, aku terima. Makasih, sayang."

"Nggak peluk dulu, nih?"

"Tadi udah meluk, wek!"

Rasha berjalan terlebih dahulu, meninggalkan Candra yang terdiam di tempatnya. For God's sake. Ini lamaran paling tidak romantis yang pernah ada. Apa-apaan ini? Kenapa Rasha bisa tahu?

Candra berjalan lebih cepat, bersampingan dengan Rasha. Mereka berdua keluar dari stasiun.

"Kamu tahu darimana, sih?" tanya Candra yang kemudian menautkan tangan mereka berdua. Candra mengintip sebentar pada tangan tautan Rasha, dia memasang cincinnya di sana. Pada akhirnya, dia senang juga kalau Rasha menerima lamarannya.

Lalu dia menoleh kanan kiri, memastikan tidak ada kendaraan yang lewat karena ingin menyebrang.

"Ceritanya panjang, nanti aku--"

"AAAAAAAAAKH!"

"JANGAN KABUR LO BANGSAT!"

Tubuh mereka terpental sejauh 10 meter, tidak menyadari bahwa mobil sedan sedang melaju cepat ke arah mereka. Para orang-orang di sekitar berlari mendekati kedua korban tabrak lari yang mulai merembeskan darah dari pakaian.

Rasha dan Candra saling menatap, tersenyum, tangan mereka tidak terlepas.

Continue reading
Share:
Views:
Newer Posts Older Posts Home
Subscribe to: Posts ( Atom )

Hi, you!

Hi, you!

Blog Archive

  • ►  2017 (3)
    • ►  September (1)
    • ►  July (2)
  • ►  2016 (5)
    • ►  September (1)
    • ►  June (3)
    • ►  February (1)
  • ►  2015 (3)
    • ►  July (2)
    • ►  June (1)
  • ►  2014 (10)
    • ►  December (1)
    • ►  July (1)
    • ►  June (2)
    • ►  April (3)
    • ►  March (3)
  • ▼  2013 (24)
    • ►  December (1)
    • ►  October (1)
    • ►  September (1)
    • ►  August (5)
    • ►  July (6)
    • ►  May (1)
    • ▼  April (5)
      • Selamat Ulang Tahun, dan Sampai Jumpa
      • Pengorbanan yang Terbayar
      • PHP atau Geer?
      • Perbedaan yang Menyatu
      • Mimpi Buruk - Cincin Perak
    • ►  January (4)

Labels

CAKES! Cerbung Cerpen Imajinasi Travel Trip

Wanna be my mate?

© 2016 Astaghiri | All rights reserved
Created By Responsive Blogger Templates | Distributed By Gooyaabi Templates