Astaghiri

  • Home
  • CERPEN
  • CERBUNG
  • CAKES!
  • Trip
Cerpen

Perbedaan yang Menyatu

Saturday, April 6, 2013 By astaghiri 0 Comments
Ada pepatah mengatakan, perbedaan itu indah. Tetapi, mengapa perbedaan itu sulit menyatukan kita?

     Kalimat itu mulai lagi mengisi benakku ketika aku melihat seseorang yang duduk tepat di depan ku, di bangku taman. Waktu itu, pertama kali kami kerja kelompok disini.

7 tahun yang lalu..

     Entah mengapa kali ini aku merasa bosan dengan pelajaran Biologi. Guru itu terus saja mengoceh tanpa di sadari banyak murid yang mengacuhkannya. Terkecuali, Alvin. Tetap saja ia memerhatikan guru tersebut walaupun sesekali ia menguap. Aku lebih memilih untuk tidur. Untung saja aku duduk di belakang.
     Tubuhku terasa di goyang-goyang kan. Gempa? Tidak. Alvin membangunkan ku. “Azka, bangun, aku mau ngomong tentang kelompok.” Aku? Alvin merupakan salah satu laki-laki yang terlalu polos menurutku. Ia tak bisa berkata elo-gue terhadap perempuan.
     “Kenapa?” Omong ku sambil mengulat.
     “Biologi sekelompok ya sama aku? Kamu belum ada kelompok kan?” Aku menyipitkan mata sambil mengumpulkan nyawa.
     “Emangnya disuruh ngapain sama Pak Harjo?”
     “Tentang analisis gitu deh. Kamu hari ini ada waktu nggak? Kalau bisa sih hari ini.”
     Mulut ku membentuk huruf O. “Kenapa nggak kelompokan sama Bimo? Dia kan sebangku sama kamu.”
     “Hmm..dia udah sama Gerald. Yang lain juga udah berkelompok. Tinggal kita doang.”
     “Oh yaudah deh terserah.” Aku melanjutkan tidurku. Cukup lama aku tertidur, tiba-tiba pipi ku ditepuk oleh seseorang.
     Ada yang membisikku. “Azka, bangun.” Ia mengguncang tubuh ku. “Kamu dipanggil Pak Hardi tuh.”
     “Ha?” Aku langsung terbangun.
     “Azka, kamu tidur lagi ya? Pules banget. Sini sekalian tidur di depan kelas.” Semua orang dikelas menertawaiku.
     “Eh? Enggak kok pak. Cuma kecapean aja, pusing.” Aku mencoba mencari alasan. “Saya dengerin kok bapak ngajar.”
     “Oh ya? Coba bapak mau tanya. Ciri-ciri Pithecanthropus apa aja?”
     Waduh! Mata ku menoleh ke kanan kiri. Alvin? Sejak kapan ia duduk disamping ku? Aku melihat ia komat kamit. Sepertinya ia ingin membisikkan sesuatu. Ah, aku mengerti.
     “Makanannya tumbuh-tumbuhan, terus.. nah keningnya menonjol pak.”
     Pak Hardi mengangguk. “Bagus-bagus. Mari, kita lanjutkan. Jadi meganthropus..”
     Aku mengelus dada. “Makasih ya, Vin.” Sambil berbisik. Ia hanya mengangguk.
***** 
     Bel tanda pulang sekolah telah berbunyi. Barang-barang yang tergeletak di meja ku sudah ku masukkan ke dalam tas. Saat nya pulang.
     Ketika berjalan, bahu ku dipegang seseorang. Aku langsung menengok ke belakang. Alvin.
     “Kenapa Vin?”
     “Kan kita udah janji mau ada tugas kelompok hari ini. Nggak batal kan?” Alvin memang tak suka menunda-nunda pekerjaan.
     “Masyaallah!” Aku menepuk jidat. “Maaf, Vin. Lupa. Tapi mau ngerjain dimana?”
     “Hmm taman kali ya. Gimana mau nggak?”
     “Boleh deh. Ayo.” Kami berdua berjalan menuju parkiran.
     “Azka? Kamu nggak solat dulu? Udah ashar kan?”
     “Astaghfirullah. Aku lupa. Tapi nggak enak sama kamu. Kamu mau nungguin?”
     “No problem.” Sambil tersenyum. Oh? Aku belum menjelaskan? Alvin beragama kristen protestan. Sedangkan aku islam. Aku agak salut dengannya karena ia mengingatkan ku untuk ibadah. Seharusnya aku malu karena aku tak mengingat itu.
     Tak lama, aku sudah selesai solat. Aku langsung menuju parkiran. Ku lihat Alvin sudah bersiap di motornya. Ia sedang memainkan ponselnya. Aku menghampirinya.
     “Maaf ya, Vin. Lama.”
     “Gapapa kok. Ayo. Jadi ngerjain biologi kan?” Aku mengangguk.
     “Eh tapi, aku bisanya duduk miring, kamu bisa nggak?”
     “Yaudah. Aku bisa kok.” Aku langsung menaiki motor Alvin. Kemudian kami mencari taman terdekat.
***** 
     “Azka,” Alvin menghampiri. “Nih, minum buat kamu.” Ia duduk di sampingku. “Gimana? Sampel nya udah lumayan banyak kan?” Tanya nya.
     “Udah kok. Lebih dari cukup malah.” Aku mencoba mengurutkan data. Alvin memainkan sampel daun-daunan yang kami ambil di taman tadi. “Kenapa Vin? Bosen ya?”
     Alvin menggeleng. “Enggak kok. Aku mau nanya deh. Kamu pernah ngerasain perbedaan nggak antara kamu sama seseorang? Kalo pernah, apa yang kamu lakuin?”
     “Perbedaan itu indah, Vin. Indah nya ya dimana kita bisa menerima perbedaan itu. Bukannya malah bagus ya, jadi kita nggak ngerasa bosen. Masa pendiam disatuin sama pendiam. Ya akhirnya mereka nggak akan ngomong satu sama lain. Ya kan?”
     Alvin nampak berpikir. “Iya juga sih.”
     “Ya emang menurutmu gimana?” Aku balik bertanya.
     “Hmm iya sih. Jadi, kita nggak merasa bosen. Tapi..”
     “Eh ini udah selesai. Sekarang di apain lagi?” Alvin langsung membuka buku Biologi nya.
     “Kata Pak Harjo kerjain soal-soal yang disini. Aku yang cari jawabannya deh. Kamu yang nulis ya?” Aku mengangguk.
***** 
     Semakin lama, kedekatan ku dengan Alvin semakin merekat. Banyak yang bilang kami mempunyai hubungan khusus. Awalnya itu hanya sebuah gosip belaka. Tapi di saat itu juga, Alvin menepis gosip itu. Dan akhirnya, kami resmi berpacaran.
     “...pasangan yang berbeda agama ini telah resmi bercerai pada tanggal 15 Agustus 2012.”
     “Padahal kan kalo nikah beda agama aja udah dosa.” Omong Mama ku.
     “Nonton gosip terus, Ma.” Ujar ku sambil membolak balik majalah.
     “Tapikan itu berdasarkan fakta. Masa nikah beda agama. Tentu dilarang dong.”
     Aku langsung berhenti membolak-balik lembaran majalah. “Gitu ya Ma?” Aku terdiam sejenak. “Dosa Ma?”
     “Ya jelas lah. Berbeda keyakinan.” Mama menatap ku tajam. “Kenapa kamu? Kok tiba-tiba cemas kayak gitu? Ada apa?”
     “Ah, enggak kok Ma. Nonton lagi tuh gosipnya di mulai lagi.” Mama semakin menatap ku aneh.
     “Ada yang kamu sembunyiin ya dari Mama?” Aku langsung menggeleng. “Mama sering ngeliat kalo kamu pulang sekolah dianterin sama cowok. Cowok kamu ya?” Mama menitik beratkan kata ‘cowok’.
     “Eh? Hmm..” Mama senyum-senyum melihat wajah ku.
     “Gapapa kok. Asal jangan ganggu pelajaran kamu.” Aku tersenyum. Tetapi.. “Agama nya islam kan? Anaknya baik-baik kan? Dia ngasih kamu motivasi nggak?”
     Duh! Kenapa sih nih gosip mesti tayangin tentang perceraian gara-gara beda agama. Aku menggerutu sendiri dalam hati. “Emangnya kenapa Ma kalo misalkan dia beda agama?”
     “Mama cuma takut kamu terpengaruh sama dia. Dan akhirnya, kamu dibawa ke agama dia.”
     “Misalkan itu nggak terjadi?”
     “Tetep aja, dosa akibatnya. Jangan bilang, kalo pacar kamu kristen?” Aku menunduk. Sepertinya Mama sudah tahu jawabannya. “Nak, Mama mohon kamu jangan berhubungan sama dia. Mama cuma takut, kamu nanti jadi berpindah agama.”
     “Tapi Alvin orangnya baik, Ma. Dia selalu ingetin Azka buat ibadah.”
     “Tapi, pasangan beda agama itu dosa sayang. Mama harap kamu dengerin omongan Mama. Walaupun orangnya baik, ada kemungkinan kamu pindah agama.” Aku terus menunduk. Aku memang tak bisa melawan perkataan Mama. “Lebih baik, kamu berteman aja.”
***** 
     “Lebih baik, kamu berteman aja.” Perkataan itu selalu mengaung di telinga ku. Aku tak tega mengatakan ‘kita berteman saja’ kepada Alvin. Selama ini ia baik dengan ku. Ia pun tak pernah mengangguku untuk beribadah.
     “Hei,” panggil Alvin. “Kok kamu diem aja?” Sambil mengembangkan senyumannya.
     Aku menggeleng sembari menyimpulkan senyumanku. “Gapapa kok.”
     “Kenapa? Kok kamu kayaknya lesu gitu? Sakit?” Aku menggeleng. “Cuci muka gih, atau wudhu biar kamu seger. Mau aku anterin?”
     “Gapapa. Alvin, aku mau ngomong sesuatu sama kamu.”Alvin melihat muka ku aneh. Tak biasanya aku memasang muka seserius ini. “Vin, kayaknya kita nggak bisa pacaran lagi. So..”
     “Kenapa? Apa aku ngelakuin kesalahan?” Mata Alvin menatap ku tajam. Aku tak bisa membalas tatapannya.
     Aku menggeleng. “Kita beda agama, Vin. Mama aku nggak setuju. Aku nggak bisa nolak.”
     “Kamu pernah bilang gini ke aku, Perbedaan itu indah, Vin. Indah nya ya dimana kita bisa menerima perbedaan itu. Bukannya malah bagus ya, jadi kita nggak ngerasa bosen. Kamu masih inget itu kan?”
     “Permasalahannya beda, Vin. Kita bukan beda kelakuan atau sifat, tapi kita beda keyakinan.” Aku menitik beratkan kata ‘keyakinan’. Alvin terdiam sebentar.
     “Apa aku harus pindah ke agama kamu, biar aku bisa terus sama kamu?” Aku langsung menatap Alvin tak percaya. Kenapa ia bisa mengatakan hal seperti itu? Apa ia tak menyadarinya?
     Aku menggeleng cepat. “Vin, aku nggak mau sakitin kamu apalagi orang tua kamu. Jangan gara-gara aku, kamu jadi pindah agama. Orang tua kamu pasti sakit hati.” Skak mat. Alvin terdiam lagi.
     “Tapi aku nggak ganggu ibadah kamu kan? Aku nggak ngelarang kamu ibadah kan?” Aku menggeleng pelan.
     “Vin, maafin aku. Tapi ini udah keputusan aku. Aku harap, kamu mau nerima itu.” Aku langsung berdiri kemudian meninggalkan Alvin. Alvin tak mengejarku. Ia memilih berdiam tetap. Perlahan, air matanya membasahi bumi. Alvin, aku minta maaf.
***** 
     Aku terus saja menatap orang itu. Itu tak mungkin Alvin. Sepertinya, ia agak terusik. “Maaf, kenapa ya anda melihat saya seperti itu? Apa saya salah duduk disini?”
     Aku langsung menggeleng.”Enggak kok. Maaf.” Aku kembali sibuk dengan ponsel ku. Sepertinya, ia juga memerhatikan ku.
     “Azka? Kamu Azka kan? Mantan anak SMA 10 disana kan?” Aku kembali menatap nya. Darimana ia tahu? “Azka, kamu nggak inget aku?”
     Aku menyipitkan mata. Garis-garis wajah itu, sepertinya aku mengenalnya. Alvin? Ah tak mungkin. Masa ia membaca Al-Quran begitu lancar?
     “Aku Alvin, Azka. Kamu nggak inget? Masa kamu lupa ingatan?” Ia tersenyum pada ku. Apa aku bermimpi? Bukankah semenjak kejadian itu ia pindah sekolah?
     “Alvin? Tapi..”
     “Kenapa? Aku banyak perubahan ya?”
     “Ka—kamu pindah agama?” Alvin mengangguk tanpa ragu. “Tapi..”
     “Tenang. Ini emang kemauan aku kok. Semenjak aku pindah sekolah, aku mencoba mempelajari agama kamu. Dan ternyata, agama kamu itu indah.”
     “Orang tua kamu?”
     “Mereka juga pindah ke Islam. Mereka juga ngerasain kok, mereka ngerasa lebih tentram.” Huh..baguslah. Bukan karena aku ia ingin pindah agama. Tapi, ini juga merupakan berita bagus.
     “Tapi, aku juga pindah agama karena kamu.” Aku langsung menatapnya. “Sekarang, perbedaan kita udah bersatu kan? Jadi, aku bisa ngelamar untuk jadi pemimpin hidup kamu kan?”
Cerpen
Share:

Unknown
astaghiri
Book eater. Sunrise and sunset lover, and anything about universe.

Related Articles

Tami

Rasa Bersyukur

Mika


0 comments:

Post a Comment

Newer Post Older Post Home
Subscribe to: Post Comments ( Atom )

Hi, you!

Hi, you!

Blog Archive

  • ►  2017 (3)
    • ►  September (1)
    • ►  July (2)
  • ►  2016 (5)
    • ►  September (1)
    • ►  June (3)
    • ►  February (1)
  • ►  2015 (3)
    • ►  July (2)
    • ►  June (1)
  • ►  2014 (10)
    • ►  December (1)
    • ►  July (1)
    • ►  June (2)
    • ►  April (3)
    • ►  March (3)
  • ▼  2013 (24)
    • ►  December (1)
    • ►  October (1)
    • ►  September (1)
    • ►  August (5)
    • ►  July (6)
    • ►  May (1)
    • ▼  April (5)
      • Selamat Ulang Tahun, dan Sampai Jumpa
      • Pengorbanan yang Terbayar
      • PHP atau Geer?
      • Perbedaan yang Menyatu
      • Mimpi Buruk - Cincin Perak
    • ►  January (4)

Labels

CAKES! Cerbung Cerpen Imajinasi Travel Trip

Wanna be my mate?

© 2016 Astaghiri | All rights reserved
Created By Responsive Blogger Templates | Distributed By Gooyaabi Templates