Gilaaa!!! Udah lima bulan rasanya blog gue umpetin di lemari demi ngambis sama nilai hahaha. Entah kenapa ide absurd ini muncul ketika gue lagi jauh dari rumah, maksudnya pulang kampung. Haha. Siap-siap penasaran. Enjoy!
***
“Eh! Eh! Itu tuh orangnya!”
“Duh! Ganteng banget yaa!”
“Udah punya pacar belum sih dia?”
Galvan cuek saja dengan cuap-cuapan cewek-cewek yang baru saja dilewatinya itu. Toh, dia sudah ‘biasa’ mendengarnya selama satu tahun terakhir ini. Sekarang, dia sudah menjajaki kelas XI. Mengingat dia mendapat peringkat paralel yang pertama, dia sekarang menjadi siswa kelas XI IPA 1.
Sekarang dia menuju tempat duduk baris kedua dekat pintu. Semoga saja dia nggak mendapatkan teman sebangku ‘cewek yang cerewet’ atau pun ‘cowok yang pecicilan’. Dia kepengin hidupnya tenang-tenang saja tanpa adanya gangguan sebelum—
“Eits! Ini meja gue, oke?” Seorang cewek dengan rambut diikat sudah berdiri di dekat meja Galvan sambil mengecakkan pinggangnya. Galvan hanya menaikkan salah satu alisnya seakan sudah men-cap ini-meja-gue.
“Lo nggak liat ya kalo di kolong itu udah ada tasnya?” Cewek itu masih bersikukuh mau mengambil tempat duduknya kembali. Mau nggak mau Galvan melihat ke arah kolong dan—dia nggak mau buang energi untuk bilang ‘minta maaf’ dan langsung ngeloyor pergi menuju meja tepat di belakang tempat duduk cewek itu.
“MAKASIII BANGEEET!!!” ucap cewek itu setengah berteriak sambil memancarkan senyum paksa.
“Well, sama-sama,” balas Galvan sambil mengambil sebuah buku dari tasnya. Nyebelin banget sih nih cowok!
***
Dan... cowok nyebelin itu terpilih jadi ketua kelas. Fulan jadi nggak ngerti. Apa sih pantasnya tuh cowok jadi ketua kelas? Coba teliti satu-satu.
Ganteng? Oke, checklish. Lagipula, Fulan lagi ‘nggak buta’ kok.
Pintar? Hmm... checklish. Katanya sih dia rengking satu paralel untuk kelas IPA.
Charming? Hih! Nggak sama sekali. Toh sebenarnya dia juga nggak memilih Galvan kok. Alasannya kuat, dia nggak suka sama cowok itu!
“Kenapa sih Win lo pilih tuh cowok?” bisik Fulan pada Wina ketika Galvan sedang berbicara dengan wali kelas di dekat meja guru. Nggak mungkin kan dia ‘ngecibir’ Galvan ketika cowok itu berada di belakangnya?
“Lo tuh buta ya, nyet?” damprat Wina langsung. “Galvan tuh cowok terkeren di SMA ini! Ya jelas dong kalo gue pilih dia!”
“Jadi, gara-gara itu doang?”
“Nggak juga sih,” Wina langsung sok berpikir dengan mengetukkan jari di dagunya. “Selain keren, dia juga cool, ganteng, tampan, seksi... itulah kenapa gue pilih dia.”
Fulan langsung menempeleng kepala Wina. “Hih! Dasar!”
Wina hanya terkekeh mendengar reaksi temannya tersebut. Kayaknya Fulan memang lagi eror deh. Masa cowok seganteng Galvan nggak disukain sih? Kayaknya dia lagi kena sindrom deh.
Hah. Tapi Wina nggak tahu saja kalau cowok itu sebenarnya sombong setengah mati!
***
“Heh! Ful! Bisa diem nggak sih lo?”
Yang dibentak Fulan, tapi yang diam langsung sekelas. Malah Fulan sempat tertawa sumbang ketika semuanya sudah terdiam dan memerhatikan mereka berdua, terlebih-lebih sih ke Galvan.
Yak! Akhirnya selama dua bulan ini rahasia Galvan yang orang-orang nggak tahu terbongkar juga. Yaitu sifat judes dan galaknya itu yang nggak pandang bulu! Sebenarnya sih orang-orang tahu kalau sebenarnya Galvan itu galak. Tapi karena cewek-cewek di sana selalu ‘membungkus’ Galvan dengan sifat charming, sifat galaknya jadi tertutupi.
“Apaan sih lo?” Fulan langsung memutar bola matanya, nggak peduli. “Nama gue Fulan, bukan Ful. Masih nggak bisa inget juga? Lo tuh punya penyakit amnesia pendek ya?”
Galvan langsung menggenggam keras pensil mekaniknya. Terdengar bunyi ‘krak’ yang membuat ngeri teman-teman sekitarnya.
“Udah dong udah,” Julian mencoba melerai pacarnya itu dengan si ketua kelas. Namun mata mereka masih menyatakan perang belum selesai. “Berantem mulu sih lo berdua,” Julian menaruh tangannya di pundak Fulan. “Mending kita ke kantin. Yuk, say?”
Fulan langsung berdiri sambil menatap sinis ke arah Galvan yang dibalasnya menantang. Dia mengikuti Julian menuju ke arah kantin.
“Kalian berdua kenapa sih berantem melulu?” tanya Julian ketika mereka berdua sudah duduk berhadapan di kantin.
“Siapa?” tanya Fulan cuek.
“Ya kamu sama Galvan. Sebenernya pacar kamu itu aku atau Galvan sih?”
Mulai deh, desah Fulan. Kok yang sifatnya kecewek-cewek-an malah Julian, bukannya Fulan. Sering ngambeklah, marah nggak jelaslah, cemburulah, ya pokoknya tipe cewek bangetlah.
“Mau ribut lagi tentang masalah itu?” tanya Fulan dengan nada datar. Sebenarnya dia juga sudah malas kalau Julian mau membahas masalah itu lagi. Apa sih pentingnya membahas Galvan? Si cowok nomor satu yang kepengin dia injak mukanya.
“Kok kamu aneh gini sih? Dulu kamu nggak kayak gini, Lan.” Duh, drama banget sih nih cowok. Dulu ya dulu. Sekarang ya sekarang. Zaman kan gampang banget ngerubah orang.
Fulan mengangkat salah satu alisnya. Kenapa sekarang gayanya mirip banget sama Galvan ya? Hah! Lupakan Galvan!
“Aneh? Aku berubah jadi alien, gitu?”
“Lan.” Ups. Kayaknya Julian mulai marah deh. Kelihatan banget dari mukanya yang putih langsung berubah merah.
Fulan langsung mengeluarkan jurus senyum manisnya. “Bercanda, Jul.”
Hal itu membuat Julian sedikit ‘luluh’. Rona kemerahan di wajahnya mulai menghilang.
“Beliin aku somay ya, Jul?”
Hah. Itulah enaknya punya pacar.
***
“Eh eh eh! Jul! Jul! Berentiii!” Julian langsung ngerem mendadak.
“Apaan sih Lan? Kamu bikin aku kaget tau nggak.”
“Sori...” Fulan tersenyum bimbang. “Hape aku ketinggalan di kolong meja...”
“Hah? Kok bisa?”
“Soalnya di tas aku nggak ada, berarti masih ada di kelas. Balik lagi yuk, Jul?” pinta Fulan memelas.
Hmm sebenarnya Julian mau saja sih mengantarnya balik, tapi kayaknya ‘agak ribet’ deh kalau kembali mengantar Fulan ke rumahnya. Soalnya sebentar lagi dia ada tanding futsal bareng teman-temannya.
“Tapi aku nggak bisa nganter kamu pulang, aku ada tanding futsal, gimana dong?”
“Ya udah deh, nggak papa,” jawab Fulan datar. Kemudian mereka berdua kembali menuju sekolah yang ternyata sudah cukup sepi. Fulan langsung berlari ke kelasnya begitu mereka sudah sampai ke sekolahnya kembali. Bahkan dia nggak sempat buat say bye ke pacarnya itu. Julian cuma bisa mendesah, kemudian mengendarai motornya menuju tempat futsalnya.
Fulan berlari kecil menuju kelasnya yang berada di lantai dua, ujung pula. Lumayanlah olahraga sebentar, tapi capek juga ternyata.
Sesampainya di kelas, suasananya sudah sepi. Dia langsung menuju ke mejanya, melihat kolongnya dan syukurlah! Hapenya ternyata masih ada. Fulan langsung bernapas lega. Dan—apa itu?
Fulan melihat beberapa foto yang berserakan di bawah meja Galvan, salah satunya bahkan tergeletak di bawah meja Fulan. Fulan mengambilnya dan kemudian dia mengernyit. Kok kayaknya dia kenal orang-orang yang ada di foto ini ya?
Ah! Yang ini pasti foto ketua osis! Soalnya Fulan pernah melihatnya berpidato di depan lapangan. Dan ini... ini bukannya ketua basket itu ya? Yang tinggi banget dan punya warna kulit yang eksotis itu? Terus itu... itu bukannya Julian? Kok bisa sih ada foto Julian di sini?
Tiba-tiba, semua foto itu sudah raib dari tangan Fulan. Fulan langsung mendongakkan kepalanya dan melihat Galvan berada di hadapannyaaa!!!
Galvan sudah menatap garang Fulan seakan-akan mau menyemburkan kata-kata apa saja yang akan menyakitkan hati Fulan. Tapi kemudian dia menghela napasnya, mencoba untuk berpikir tenang.
“Apa yang lo liat tadi, dan apa yang coba lo pikirkan sekarang, nggak perlu lo umbar ke mana-mana.”
Fulan mencoba berdiri ketika Galvan mau beranjak dari kelas. “Van, lo... hom...”
Galvan menghentikan langkahnya sejenak. “Ya.” Kemudian dia kembali melangkah keluar dari kelas.
Setelah mencoba menghubungkan apa yang baru saja terjadi padanya, Fulan berlari keluar kelas dan mengejar Galvan. Dia berhenti tepat berada di hadapannya.
“Lo... lo... se—serius?”
Galvan nggak langsung membalas pertanyaan Fulan. Mulai sekarang, dia harus berhati-hati dengan ucapannya. “Baguslah kalo lo nggak percaya.”
Galvan langsung melewati bahu Fulan, nggak peduli ketika cewek itu sempat eror melihatnya.
Jadi... ternyata Galvan itu... homo? Oooooh itu kenapa selama ini dia galak sama orang-orang. YESS! GALVAN HOMO! Kok gue seneng sih? Ah, seenggaknya gue tau satu rahasianya dia. Rahasia terbesarnya. HOHOHO.
***
“Haaaaaaiiiii Galvaaaaan!” sapa Fulan ‘ceria’ ketika pertama kali dia masuk kelas melihat Galvan duduk di mejanya.
Sontak teman-teman sekelasnya dibuatnya bungkam, takut-takut perang dunia ketiga bakal dimulai.
Galvan bersikap sok skeptis, pura-pura bahwa kemarin nggak terjadi apa-apa. Memang nggak terjadi apa-apa sih selain ternyata CEWEK ITU TAHU RAHASIA TERBESARNYA!!!
“Senyum dikit dong, cemberut melulu,” goda Fulan sambil mengerlingkan matanya ke arah Galvan.
Galvan kepengin langsung mencekik leher cewek itu, tapi dia mencoba untuk meredam emosinya dengan larut dalam buku biologinya. Anggap cewek ini tuyul Van... tuyul...
“Tumben ya Galvan diem aja, biasanya si Fulan juga langsung disembur...” bisik seseorang yang bahkan bisa sampai di telinga Galvan. Bukan bisik-bisik itu namanya!
“Lagi baca apa sih? Kok kayaknya...” Galvan langsung menutup bukunya dengan sedikit menggebrak ke arah meja. Dan timbullah kembali suasana yang tegang dan bikin resah itu.
“Bisa nggak sih buat nggak ganggu gue? Lo annoying tau nggak.”
Fulan langsung terdiam. Dia sebenarnya agak sakit hati mendengar ucapan Galvan. Namun dia mencoba untuk nggak menyembur kembali agar bisa terus menggoda Galvan. Kapan lagi coba dia bisa kayak gini?
“Okedeh... sori....”
Hah! Itu bahkan hal yang lebih mencengangkan dibanding yang tadi! Fulan bilang maaf?! Sejak kapan?! Nggak ada sejarahnya dia bakal minta maaf ke Galvan! Kecuali hari ini, jam ini, menit ini, detik ini.
Tiba-tiba Galvan sudah berdiri dan menarik Fulan agar keluar dari kelas. “Kita perlu ngomong, sebentar.”
Teman-temannya langsung syok melihat Fulan dibawa paksa keluar oleh Galvan. Wah, bakal ada kejadian apa ya? Fulan sendiri hanya bisa nyengir nggak jelas sambil mengedikkan bahunya.
Julian yang berada di sudut kelas, hanya bisa mengepalkan tangannya sambil menatap elang ke arah mereka berdua.
Galvan menarik Fulan ke tempat yang sepi, tempat di mana nggak ada seorang pun yang bakal ‘menengok’ ke arah mereka. Fulan sih nggak takut, toh dia nggak bakal ‘diapa-apain’ sama Galvan, pikirnya.
“Lo mau cari mati sama gue?” sembur Galvan langsung tanpa perlu basa-basi.
“Uuuh... takut... hahaha,” Fulan malah semakin senang menggoda Galvan.
Galvan langsung menyengkram lengan Fulan yang membuatnya sedikit meringis. Ternyata Galvan benar-benar ‘galak’.
“Mau lo apa sih?”
“Lepasin gue dulu!” Galvan langsung melepaskan cengkramannya. Dia melihat bekas merah berbentuk jari di lengan Fulan.
“Kok lo kasar banget sih sama cewek?”
“Apa perlu gue kasih tau lagi kenapa gue kasar sama cewek?”
Oke. Oke. Kayaknya Galvan merupakan tipe orang yang paling nggak suka basa-basi. Yah, seperti ini.
“Jawab pertanyaan gue,” sarkas Galvan.
“Yang mana?” Galvan langsung menempeleng kepala Fulan, membuat cewek itu kembali mengaduh. “Bisa nggak sih lo buat nggak main fisik? Nggak gentle banget tau nggak!”
“Itu lo tau. Sekarang lo maunya apa, hah?”
“Emangnya lo bener kepengin tau gue pengin apa?”
Duh! Bego banget sih Galvaaaan!!! Seharusnya dia bisa membuat cewek ini patuh padanya dengan hanya menggertaknya! Bukan malah ‘mengabulkan’ permintaannya.
“Hmm... gini gini... lo pasti nggak mau kan kalo rahasia terbesar lo itu kebongkar?”
“...”
“Jadi...”
“Jadi apa?”
“Sabar dulu dong! Makanya jangan main potong ucapan gue!” Galvan langsung terdiam. Ternyata Fulan bisa juga menggertak Galvan. HAHA.
“Gue cuma pengin kita damai, nggak ada lagi lo ngomel-ngomelin gue, nyembur gue, damprat gue. Setuju?”
“...”
“Oh ya satu lagi,” lanjut Fulan yang benar-benar membuat Galvan ingin mencekiknya. “Sering-sering senyum ke gue ya?” Fulan langsung mengerling dan mendapatkan respons jijik dari Galvan. Fulan hanya tertawa kemudian meninggalkan Galvan begitu saja.
Ketika Fulan ingin mencapai kelasnya, Julian menghadangnya di depan pintu kelas. Dia langsung menggamit tangan Fulan dan menariknya menjauh dari kelas.
“Kita perlu ngomong.”
Duh. Kenapa hari ini tuh dua cowok demen banget tarik-tarikan gini sih? Eh, yang satunya cuma setengah cowok deng...
***
Galvan lebih suka mengerjakan PR-nya di sekolah dibandingkan di rumah. Alasannya simpel sih, di sini lebih tenang dibandingkan di rumah. Toh kebiasaan siswa sini setelah mendengar bel ya langsung pulang, nggak ada yang namanya nongkrong di sekolah kecuali kerajinan.
“Oh? Lo masih di sini?” Galvan dikagetkan oleh Fulan yang ternyata sudah berjalan ke arahnya. Ck. Cewek itu lagi.
“Ngerjain apa? Eh PR mtk ya? Ikutan dong!” Fulan langsung antusias dan membalikkan kursi yang berada di hadapan Galvan. Kemudian dia mengambil buku matematikanya. Galvan sedikit memberi spasi meja untuk cewek itu, mengingat tadi mereka berdua sudah membuat kesepakatan. Yah, kayaknya sih lebih ke kesepakatan sepihak.
“Lo mau ngerjain apa cuma nyalin doang?” damprat Galvan karena sejak tadi Fulan hanya melirik ke arah jawaban di bukunya. Fulan membalas dengan senyum cengirannya, seperti habis ketangkap basah mencuri permen.
“Dikit doang kok...” balas Fulan sambil mengumpamakan sedikit menggunakan ibu jari dan telunjuknya.
“Dikit apaan? Lo nyalin semua apa yang gue kerjain. Gimana lo mau bisa kalo lo bisanya cuma nyontek doang? Lo nggak mikir ya kalo yang lo lakuin sekarang cuma bisa ngerugiin lo nanti?”
Fulan mengerjap-ngerjapkan matanya. Kenapa sih si Galvan ini? Dia kan cuma menyontek PR-nya, bukan ulangannya yang cukup dianggap sakral.
“Kok lo jadi ceramahin gue sih? Ini kan cuma PR, bukan ulangan. Lagian, gue cuma liat caranya kok, hasilnya gue cari sendiri,” Fulan langsung cemberut.
Galvan menghela napasnya. Huh. Memang iya sih ini cuma PR doang, nggak seharusnya dia menyeramahi Fulan seperti tadi. Hah. Nggak apalah, anggap saja tadi pelajaran buat Fulan agar suatu saat dia nggak perlu ‘bergantung’ sama orang lain.
“By the way, thanks ya,” Galvan mengangkat pandangannya dari buku matematikanya, menatap ke arah Fulan yang sibuk menulis di buku PR-nya. Galvan cuma menaikkan alisnya. “Thanks karena lo udah ngebuat gue putus sama Julian.”
Kini Fulan menatap penuh ke arah Galvan sambil tersenyum aneh. Galvan cuma bisa mengernyit, nggak tahu apa dia harus merasa bersalah atau syukurin tuh cewek. Masa iya sih tuh cewek nggak sedih sama sekali?
“Lo... nggak nangis?” tanya Galvan hati-hati. Dia nggak pernah mencoba untuk menyampuri urusan cewek seperti ini. Yah, tapikan ini Fulan, teman sepihak barunya. Setidaknya, dia bisa mendengar kabar Julian dari Fulan.
“Buat apa?” Galvan menangkap raut datar yang ia dapat dari Fulan. Benar-benar kosong. Cewek ini sepertinya nggak merasa hal itu terlalu dititikberatkan. “Gue malah seneng putus dari dia setelah setengah tahun lebih gue jalan sama dia.”
SENENG??? Galvan yang selama ini cuma bisa memerhatikan Julian dari jauh dan mencoba untuk nggak mencekik Fulan karena dia cemburu berat sama cewek itu ternyata senang kalau dia putus dari Julian? Brengsek juga nih cewek.
“You know, because I’m a lesbian.”
To be continued~
Views: