Astaghiri

  • Home
  • CERPEN
  • CERBUNG
  • CAKES!
  • Trip
Cerpen

Mimpi Buruk - Cincin Perak

Saturday, April 6, 2013 By astaghiri 0 Comments
Rasha meraba ranjangnya dengan mata yang sempurna tertutup. Tidurnya terganggu akibat dering ponsel yang mungkin sudah ketiga kalinya berbunyi. Setelah mendapatkannya, Rasha mengintip layar, kemudian men-swipe bulatan hijau, mendekatkan ponsel ke arah telinganya.

"Kenapa, babe?" sapa Rasha dengan parau.

"Baru bangun, yang?" sahut di seberang, Candra. "Ini udah jam 10, my baby. Kebo banget sih lo."

Rasha berdesis. "Aku baru tidur subuh tadi, ya. Kalau bukan karena Fiko that son of a bitch, aku bisa tidur dengan tenang dari jam 9 malam."

"Pernah ada rasa cinta
Antara kita kini tinggal kenangan."

Rasha mengernyit, sadar kalau sepertinya Candra sedang berada di tempat umum karena mendengar nyanyian pengamen yang terdengar creepy di telinganya.

Bukan apa-apa. Rasha pernah membaca artikel bahwa lagu itu dibawakan oleh penyanyinya untuk pacarnya yang sudah meninggal, kan?

"Kamu lagi di mana, sih?" Rasha memberanjakkan punggungnya dari ranjang, menggaruk lehernya yang gatal.

"Ini aku otw ke apartemen kamu. Sana mandi, biar seger."

"Oh. Oke. Kalau udah sampai di stasiun, kabarin aku, ya."

"Okay. Bye, babe. Love you."

"Love me too."

Candra berdecak, membuat Rasha terkekeh. "Ck. Dasar."

Setelah itu, Rasha memutuskan sambungan telepon, menggeser pantatnya menuju pinggir ranjang, meletakkan telapak kakinya di lantai yang dingin. Dia berjalan menuju kamar mandi, menyegarkan tubuhnya dari keringat yang kembali menyerap di pori-pori kulit.

[***]

Candra menuruni angkot, menyebrangi zebra cross dan memasuki stasiun kereta. Rumahnya dan apartemen Rasha memang cukup jauh, pun Candra tidak memiliki kendaraan pribadi baik roda dua maupun empat, belum. Dia masih menabung, mungkin baru 2 atau 3 tahun lagi baru kesampaian.

Tetapi, untuk meminang Rasha, dia tidak mau menunggu lagi. Candra ingin memiliki Rasha seutuhnya. Dia rasa, dirinya sudah mapan untuk mendampingi Rasha selamanya.

Setelah menaiki kereta, Candra turun dienam stasiun selanjutnya. Sambil berjalan, dengan rasa yang tidak sabaran, Candra kembali membuka kotak beludru berwarna hitam itu. Isinya kontras dengan kotak yang menaunginya; sebuah cincin perak dengan ukiran C&R pada bagian dalamnya.

Tanpa sadar, cincinya jatuh, menggelinding dan turun ke badan rel karena seseorang menabraknya dari belakang. Dia berdesis marah pada seorang pria yang bahkan tidak menoleh ke arahnya sama sekali untuk minta maaf.

"Mas! Kalau jalan pakai kaki, lihat pakai mata! Udah nabrak, nggak minta maaf pula!" ucap Candra dengan keras, membuat beberapa orang menoleh ke arahnya. "Anjinglah," desisnya yang kemudian mencoba mengintip jalan kereta untuk mencari cincinnya.

Pria itu mendekati Candra, berdiri di belakangnya. "Oke, gue minta maaf."

Namun, yang dilakukannya membuat semua orang di sana menutup mulutnya. Pria itu menendang pantat Candra sehingga Candra jatuh ke badan rel. Dia mengerang, pinggangnya tertusuk besi jalur kereta, sebagian tubuhnya juga terakupuntur batu-batu kerikil di sana.

"Sini lo, bangsat! Tai lo!" geram Candra, membuat pria itu kembali tersulut dan turun ke badan rel.

Nggak ada yang bisa menghentikan mereka, orang-orang di sana terlalu takut. Para petugas kereta juga tidak terlihat batang hidungnya.

Candra mendapat pukulan telak di hidungnya, memuncurkan darah segar. Tetapi pria asing yang sedang bertanding dengannya itu juga mendapat 'penghargaan' yang sama.

Mereka terus saja berperang dengan ego, tidak mendengar teriakan orang-orang dan para petugas stasiun yang tergopoh berlari sambil membunyikan pluit, tidak mendengar sirene kuat dari kereta. Telinga mereka pias.

[***]

Hairdryer terjatuh ketika Rasha ingin mengambilnya. Setelah menyolokkan dan menekan tombol on, hairdyernya tidak berfungsi. Dia mengernyit heran, mencoba menekan tombol on setelah mematikamnya sementara.

Tetapi sama saja, nggak berfungsi.

Ponselnya berdering, menampilkan nama Candra. Tanpa berkata lagi, dia men-swipe layar ponsel dan mendekatkannya ke telinga.

"Can, belum sampai juga? Kok lama amat?"

"Halo?"

Dia kembali mengernyit, ini bukan suara Candra.

"Ini siapa?"

"Saya dari pihak polisi, ingin menyampaikan kabar, kebetulan Ibu adalah orang terakhir di panggilan ponsel korban."

"Polisi? Korban? Maksud Bapak apa, ya?" potong Rasha langsung, nada khawatir dari pita suaranya pun mulai keluar.

"Ibu, saya mohon Ibu harus tenang. Saya butuh keterangan dari orang-orang terdekat. Mungkin Ibu bisa datang ke stasiun Tebet, sekarang?"

Tanpa berkata dan memutus sambungan telepon tersebut, Rasha berlari keluar dari apartemennya, turun menggunakan lift dengan perasaan gelisah. Dia nggak peduli dengan rambutnya yang basah. Bahkan dia juga nggak peduli bahwa dia sadar dia tidak menggunakan alas kaki.

Setelah keluar dari gedung apartemen, dia mencari ojek yang terdekat untuk menuju stasiun secepat mungkin.

Sesampainya di sana, Rasha membeku ketika melihat police line yang membentang, dikelilingi oleh masyarakat dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Dengan kaki yang gemetar, Rasha mendekati dan menerobos orang-orang itu, memastikan bahwa Candra tidak di sana.

"Maaf, Mbak," seorang polisi bertubuh tegap menghalanginya untuk melewati garis polisi. "Mbak nggak boleh masuk, ini--"

"SAYA PACARNYA!" teriak Rasha histeris, padahal tadi dia berharap itu bukanlah Candra. Tetapi, polisi itu tampak tidak percaya. Rasha berkata dengan suara pelan. "S-saya baru saja ditelpon sama p-polisi untuk--"

"Ibu Rasha?"

Rasha menoleh ketika ada polisi lain yang datang, dia tidak tahu darimana polisi itu mengetahui namanya, mungkin dari ponsel Candra, yang itu berarti... dia tidak siap dengan kemungkinan buruk lainnya.

Rasha mengangguk kaku. "Mari, ikut saya, Bu."

Dia mengikuti polisi itu, berjalan menggigil. "Saya turut berduka, Bu--"

"Siapa yang mati?" tanya Rasha pias. "Kenapa Bapak turut berduka untuk saya?"

Polisi itu menghela napas, terbiasa dengan sikap masyarakat macam Rasha. Dia paham, walau dia tidak pernah mengalaminya. "Kalau Ibu Rasha belum mau melihat jasad Bapak Candra, kami mafhum. Kami menemukan ini, Bu," polisi itu memberikan plastik bening pada Rasha. "Ini ada di genggaman Pak Candra. Mungkin, ini milik Ibu."

Rasha menatap plastik bening itu, meniti benda yang ada di dalamnya.

Sebuah cincin perak yang berlumuran darah.

Dia terkesiap, peluh keringat membasahi tiap jengkal kulit. Kamarnya dalam keadaan gelap gulita. Rasha langsung meraba ranjangnya untuk mencari ponsel, menelepon Candra untuk memastikan kabar pacarnya tersebut.

Dering pertama sampai kelima pun, Candra tetap tidak mengangkatnya. Rasha menggigit bibir. Dia merasa bahwa mimpinya terlalu nyata.

"What's up, babe?"

"Kamu di mana?"

Candra terkekeh. "Posesif amat. Aku di kantor, lah. Kenapa? Kamu lihat aku gandengan tangan sama cewek lain?"

"Not funny, Candra!"

Candra berhenti tertawa ketika mendengar Rasha terisak. "Kamu kenapa sayang? Ya ampun, aku cuma bercanda. Kamu lagi kenapa, sih? Aku lagi di kantor, sumpah. Mau aku fotoin sekarang?"

"Kamu... baik-baik aja, kan?"

"I'm fine, very fine. Ada apa?"

Rasha menghela napas lega. "Aku mimpi buruk. Ya udah, kalau udah selesai ngantor, kabarin aku."

"Makanya, jangan tidur siang bolong, nggak baca doa kali tadi."

"Bye!" Rasha mendengus, mengetuk bulatan merah di layar ponselnya dengan kesal.

[***]

Tepat di hari minggu, Candra ingin mengunjungi apartemennya, menghabiskan waktu seharian duduk berdua, menonton film sambil mengemil popcorn.

Rasha membuat panggilan ke Candra, lalu menekan bulatan loudspeaker di layar. Dia mengambil hairdryer, ingin mengeringkan rambutnya yang basah.

"Halo, sayang." Dering pertama, Candra langsung mengangkatnya. "Aku lagi di angkot, nih."

"Emangnya aku nanya?"

"Ngasih tahu doang, woy." Rasha tertawa, lalu dia mulai menyalakan hairdryer dan mengeringkan rambutnya. "Suara apaan, tuh?"

"Hairdryer. Bisa nih buat mouthdryer, biar mulut kamu nggak nyinyir terus! Hehehe."

"Yee! Nyinyiran juga kamu suka, kan?"

"Pernah ada rasa cinta. Antara kita kini tinggal kenangan."

"Kamu dengar, nggak? That song sounds creepy, right?"

Dahi Rasha berkerut, hairdryernya mati mendadak, padahal dia tidak menekan tombol off.

Tiba-tiba, dia merasa de javu. Ini... pernah dialaminya. That creepy song, hairdryer yang tidak berfungsi, Candra...

"Stay there, Can!" teriak Rasha tiba-tiba, membuat Candra kaget. "Turun dari angkot sekarang, dan balik ke rumah kamu! Jangan ke sini!"

"Kamu kenapa, sih?" tanya Candra heran.

"Just listen to me! Kamu--"

"Rasha, aku tutup dulu teleponnya. Aku lagi nyebrang, nih. Kamu jangan aneh-aneh, deh. Sampai ketemu di apartemen, babe."

Candra memutuskan sambungan teleponnya secara sepihak, membuat Rasha semakin panik. Tanpa kata lagi, dia keluar dari apartemen, menuju stasiun Tebet yang hanya berjarak 200 meter dari apartemennya menggunakan ojek. Dia harus lebih dulu sampai dari Candra.

Sesampainya di sana, stasiun tampak seperti biasanya. Tidak terlihat kecelakaan apapun atau bahkan police line seperti pada mimpinya.

Candra sama sekali tidak bisa dihubungi, dan itu membuat Rasha mawas diri. Dia mencoba menenangkan diri dengan terapi bernapas, bahwa semuanya akan baik-baik saja, dan mimpinya hanyalah sebuah mimpi.

Rasha terus menunggu. Pantatnya terus terangkat dari kursi tunggu ketika kereta berhenti di stasiun itu. Namun nihil, Candra tidak menunjukkan batang hidungnya.

"Sha?"

Rasha membalikkan tubuh, dia hampir menangis ketika melihat ternyata Candra sudah berdiri di belakangnya, dia masih hidup.

Rasha memeluk Candra, hampir saja pria itu limbung kalau dia tidak memegangi pinggang Rasha.

"Kamu kenapa, sih? Rambut juga lepek gini," Rasha melepas pelukannya, menyeka air mata yang terlanjur keluar. "Lah? Nangis? Cengeng."

Rasha memukul pelan dada Candra, lalu benar-benar melepaskan pelukannya. "Where's the ring?"

"What ring?"

"Just give me the ring!" Rasha menengadahkan tangannya.

"Tapi, darimana kamu tahu?"

"Give that damn ring, Candra. You aren't romantic men, anyway," Rasha terkekeh, masih menengadahkan tangannya.

Candra berdecak, mengalah, mengambil kotak beludru hitam dari tas punggungnya. Lalu memberikannya pada Rasha.

"Ya pasanginlah, keleus."

"Malas ah kalau kamu ternyata udah tahu," Candra ngambek, membuka kotak tersebut, menyuruh Rasha memakainya sendiri. "Toh kamu terima aku, kan."

Rasha nyinyir, dia mengambil cincin di dalamnya dan memakainya di jari manis. "Iya, aku terima. Makasih, sayang."

"Nggak peluk dulu, nih?"

"Tadi udah meluk, wek!"

Rasha berjalan terlebih dahulu, meninggalkan Candra yang terdiam di tempatnya. For God's sake. Ini lamaran paling tidak romantis yang pernah ada. Apa-apaan ini? Kenapa Rasha bisa tahu?

Candra berjalan lebih cepat, bersampingan dengan Rasha. Mereka berdua keluar dari stasiun.

"Kamu tahu darimana, sih?" tanya Candra yang kemudian menautkan tangan mereka berdua. Candra mengintip sebentar pada tangan tautan Rasha, dia memasang cincinnya di sana. Pada akhirnya, dia senang juga kalau Rasha menerima lamarannya.

Lalu dia menoleh kanan kiri, memastikan tidak ada kendaraan yang lewat karena ingin menyebrang.

"Ceritanya panjang, nanti aku--"

"AAAAAAAAAKH!"

"JANGAN KABUR LO BANGSAT!"

Tubuh mereka terpental sejauh 10 meter, tidak menyadari bahwa mobil sedan sedang melaju cepat ke arah mereka. Para orang-orang di sekitar berlari mendekati kedua korban tabrak lari yang mulai merembeskan darah dari pakaian.

Rasha dan Candra saling menatap, tersenyum, tangan mereka tidak terlepas.

Cerpen
Share:

Unknown
astaghiri
Book eater. Sunrise and sunset lover, and anything about universe.

Related Articles

Mika

Splash!

Rian!


0 comments:

Post a Comment

Newer Post Older Post Home
Subscribe to: Post Comments ( Atom )

Hi, you!

Hi, you!

Blog Archive

  • ►  2017 (3)
    • ►  September (1)
    • ►  July (2)
  • ►  2016 (5)
    • ►  September (1)
    • ►  June (3)
    • ►  February (1)
  • ►  2015 (3)
    • ►  July (2)
    • ►  June (1)
  • ►  2014 (10)
    • ►  December (1)
    • ►  July (1)
    • ►  June (2)
    • ►  April (3)
    • ►  March (3)
  • ▼  2013 (24)
    • ►  December (1)
    • ►  October (1)
    • ►  September (1)
    • ►  August (5)
    • ►  July (6)
    • ►  May (1)
    • ▼  April (5)
      • Selamat Ulang Tahun, dan Sampai Jumpa
      • Pengorbanan yang Terbayar
      • PHP atau Geer?
      • Perbedaan yang Menyatu
      • Mimpi Buruk - Cincin Perak
    • ►  January (4)

Labels

CAKES! Cerbung Cerpen Imajinasi Travel Trip

Wanna be my mate?

© 2016 Astaghiri | All rights reserved
Created By Responsive Blogger Templates | Distributed By Gooyaabi Templates