
“Cho, ke pantai, yuk?” Gue langsung menoleh begitu mendapat ajakan dari Hasna, teman satu angkatan gue.
By the way, kami baru saja selesai ujian untuk hari terakhir. Dan sekarang, kami sedang menunggu nilai yang keluar untuk mata ujian di hari-hari yang lalu.
“Ayo! Pantai mana?” jawab gue terlanjur girang karena gue haus banget akan liburan.
Kota yang gue pijaki sekarang ini merupakan kota yang strategis akan objek wisata, salah satunya yaitu pantai. Nggak bisa dihitung berapa banyak pantai yang dekat dengan kota ini.
Yup. Gue tinggal di Malang, kota yang terkenal dengan kesejukkan udaranya tersebut, dan itu merupakan salah satu alasan mengapa gue memilih kuliah di kota ini.
“Pantai mana aja, deh. Yang penting pantai, dan bisa cuci mata. Hehehe.”
Yang dimaksud oleh Hasna dengan ‘cuci mata’ adalah bukan mengkhilafkan mata mencari cowok-cowok ganteng—ya walaupun di program studi yang kami jalani ini memang tidak ada sesosok lelaki satu pun, kecuali dosen—, tetapi cuci mata untuk menjernihkan pikiran dengan menikmati pemandangan alam hasil kreasi-Nya.
“Ya udah. Kamu searching aja dulu mau ke pantai mana. Aku tanya ke Bang Iwan, bisa nemenin apa enggak.”
Hasna tersenyum kegirangan dan mulai menyentuh ponselnya, mencari pantai untuk dijadikan ‘penyejukkan otak’ karena kami tidak pernah sedikit pun yang namanya mencicipi liburan—kecuali liburan akhir semester, itu pun pasti kami lakukan di kampung halaman masing-masing.
Sedangkan Bang Iwan, kenapa gue juga mengajaknya? Karena gue dan Hasna perempuan, kita berdua butuh sesosok laki-laki di agenda jalan-jalan kita untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Tapi kok rasanya gue ngajak Bang Iwan untuk sekadar tumbal jalan-jalan gue, ya? Hahaha.
Selain itu, karena gue dan Hasna juga belum punya gandengan tangan, uhuk, akhirnya gue mengajak Bang Iwan. Kebetulan doi teman SMP gue, dan ketemu lagi di masa kuliah, tetapi dia baru masuk kampus ketika gue sudah berada di tingkat dua. Dan kurang ajarnya, dia lebih tahu objek wisata asyik di Malang ketimbang gue yang hidupnya lebih lama di kota ini. Maka dari itulah Bang Iwan jadi tour guide setia gue.
Setelah gue menge-chat Bang Iwan, akhirnya doi mau jadi tour guide agenda jalan-jalan gue bareng Hasna. Tinggal memilih pantai mana yang mau kita telanjangi.
[***]
Di malam sebelum keberangkatan, kita berdua masih nggak tahu ingin jelajah ke pantai mana. Lagipula, destinasi kali ini yang ngajak Hasna, jadi dia yang menentukan ‘kita mau ke mana’. Kalau gue sih, ikut-ikut saja, apalagi Bang Iwan, dia manut-manut bae.
“Ke Goa Cinta aja, gimana?” tanya Hasna lewat chat.
“Hah?”
“Goa Cina deng, typo, hahaha.”
“Ya ampun, Has. Berasa jomblo banget sih dirimu.”
“Tolong ya, saya memang jomblo.”
Dan begitu seterusnya sampai pada akhirnya kita menetapkan Goa Cina sebagai destinasi besok. Namun sebelumnya, gue juga sempatkan untuk konsultasi ke Bang Iwan, karena doi sudah menjajaki pantai tersebut. Dan kata doi…
“Jangan Goa Cina, di situ panas.”
Emang ada ya pantai yang adem? Gue dalam hati berpikir kayak gitu. Tetapi, dalam lubuk hati gue, asek, gue juga kurang merasa sreg kalau pergi ke Goa Cina. Terus gue juga berpikir, kita kan jalan hari Sabtu, yang pasti itu weekend dong? Gue paling malas kalau liburan ke tempat yang ramai, dan Goa Cina merupakan salah satu pantai yang memang istilahnya paling terkenal dan banyak diketahui oleh para penikmat pantai.
Jadi, 4 jam sebelum keberangkatan, akhirnya kita berganti haluan menuju pantai Watu Leter, yang sebenarnya letaknya bersampingan dengan pantai Goa Cina. Setidaknya, Watu Leter lebih sepi dibandingkan dengan Goa Cina.
Dan seperti biasa. Manusia-manusia di Indonesia ini selalu punya jam karet, termasuk gue sih, hahaha. Awalnya kami mau berangkat jam 8 pagi, namun berakhir dengan berangkat satu jam setelahnya. Luar biasa sekali jam karet kami.
Akhirnya kita berangkat setelah Hasna menitipkan motornya di kost gue. Kita langsung menuju Universitas Kanjuruhan untuk bertemu dengan Bang Iwan. Tetapi ternyata dia harus membuat dua cewek ini menunggu karena ada urusan yang mendadak. Hmm.
Selang 15 menit, akhirnya Bang Iwan datang dengan motornya, lalu baru deh kita lanjut jalan. Sebenarnya jalanan nggak terlalu ramai mengingat ini masih pagi dan sekarang sedang weekend. Jadi, alhamdulillah kita nggak terserang macet.
Sebenarnya, alasan lain kenapa gue mengajak Bang Iwan adalah karena gue buta dengan jalan, hahaha. Butuh setidaknya satu sampai dua tahun untuk menghapal jalan-jalan yang baru, walau sebenarnya untuk ke pantai ini hanya butuh jalan lurus-lurus saja, kayak hatimu, uhuk. Ada belok-beloknya, sih. Tetapi, belok-beloknya ini yang bikin gue buta arah, hahaha.
Setelah ngobrol ngalur-ngidul hampir sekitar 3 jam kurang dengan Hasna yang menjadi penumpang gue—karena gue hanya bisa jadi ojeknya, hiks, akhirnya kami sampai di perempatan jalan pantai. Sudah gue bilang, di sini pantainya memang banyak banget, sampai dibuat perempatan gitu, hehehe.
Karena tujuan kita Watu Leter, akhirnya kami belok ke kiri dan melanjutkan laju motor.
Gue dan Hasna nggak henti-hentinya mengucapkan betapa indahnya ciptaan Sang Pemilik Semesta. Di sepanjang jalan, kami dikelilingi oleh tebing-tebing tinggi berwarna cokelat keemasan yang membuat laju angin semakin berani untuk menerpa wajah-wajah kekurangan libur ini. Belum lagi, ketika kami melewati tikungan di antara tebing-tebing yang menjulang, kami langsung disuguhkan pemandangan luasnya pantai yang membuat kelopak mata kami berdua langsung terbuka lebar akibat refleks kegirangan yang menyusup ke hati.
Seketika, gue sama Hasna kepengin bikin video clip di daerah ini. Haha.
Walaupun terdengar agak sedikit berlebihan, tetapi bagi kami yang setiap harinya selalu dihadapkan dengan tugas dan weekend yang selalu diisi dengan acara kepanitiaan, hal-hal kecil seperti ini sudah membuat sedikit rasa stres yang menumpuk di otak kami mulai mereda.
Perjalanan untuk kami menelanjangi pantai belum usai di sini. Kami harus melewati jalan tanah dan bebatuan untuk mencapai pantai Watu Leter.
Seperti yang gue bilang di awal tadi, untuk menuju pantai Watu Leter, kita harus melewati pantai Goa Cina terlebih dahulu. Dan benar saja, tempat parkiran untuk pantai Goa Cina cukup ramai, dan tentunya gue malas kalau harus ‘berbagi’ liburan dengan khalayak ramai kayak gitu. Akhirnya kita tetap lanjut melajukan motor lebih jauh menuju pantai Watu Leter.
Awalnya, gue dan Hasna agak ragu dengan jalannya karena di sepanjang jalan, baik kanan maupun kiri, nggak ada rumah warga satu pun. Hanya ada padang rumput liar setinggi mungkin di atas mata kaki, dan pohon-pohon kurus yang daunnya nggak terlalu lebat. Untungnya waktu itu masih siang, sih. Jadinya, kita tetap jalan untuk menemukan di mana Watu Leter berada.
Dan kedua sudut bibir gue pun langsung tertarik ke atas begitu sudah menemukan destinasi yang kita tuju. Akhirnya liburan! teriak gue dalam hati.
Kami langsung menuju tempat parkir yang nggak jauh dari bibir pantai. Ternyata, kita harus membayar lagi. Padahal, sebenarnya, sebelum memasuki perempatan jalan yang tadi, kami harus membayar tiket masuk per orang. Jadi, uang saku yang harus kami rogoh adalah:
Tiket masuk awal : Rp.10.000,00/orang
Tiket masuk pantai : Rp. 8.000,00/orang
Tiket parkir motor : Rp. 5.000,00/motor
Bagi anak kost seperti kami, sih, uang segitu lumayan untuk asupan makan dua hari, hehe. Tapi nggak papa, yang penting liburan.
Setelah selesai berkutat dengan uang yang harus kami keluarkan, tentunya kami ingin langsung memanjakan mata yang penuh dengan lingkaran hitam ini. Nggak lupa, kami langsung mengeluarkan kamera masing-masing. Karena dengan fotolah, kami bisa mengenang kisah di setiap detiknya.
Kita sampai di pantai ini sekitar jam 12 siang, dan pasti tahulah teriknya seperti apa, tetapi gue dan Hasna tetap nekat main-main di bibir pantai walau kaki kami berjingkat-jingkat karena tidak kuat dengan panasnya pasir pantai. Sedangkan cowok satu-satunya di tim jalan-jalan kali ini lebih memilih rehat di bawah rindangnya pohon, karena kata doi dia bosen sama pantai.
![]() |
Menyendiri menikmati hembusan angin laut. Segar! Tetapi jangan berlarut dengan kenangan lalu, ya. |
Di saat Hasna ingin minta gue fotoin di atas kayu yang terdampar di bibir pantai, gue nggak sengaja menjepret foto di atas pada saat sebelum Hasna naik ke kayu itu, karena tiba-tiba saja cowok itu juga berjalan menuju kayu tersebut. Perfect moment. Padahal gue, khususnya Hasna, nggak mengenal cowok itu. Tapi pakaian mereka sama, dan mereka sama-sama melangkah menuju kayu tersebut. Namun, jalan takdir mereka juga sama atau enggak, ya? Uhuk.

Setelah puas bermain di bawah teriknya matahari, kita memilih untuk makan di warung terdekat dan sekaligus untuk shalat zuhur.
Di warung makan, gue melihat ada kelompok lain yang sepertinya bakalan camping di sini. Kepengin juga, sih. Mungkin kapan-kapan gue bisa camping kayak mereka. Tapi nggak tahu, ‘kapan-kapan’-nya itu kapan, hahaha.
Setelah makan dan shalat zuhur, kami menyempatkan dulu untuk istirahat di warung dan menunggu ashar, sekaligus menunggu pantai setidaknya tidak segersang seperti jam 12 siang tadi.
Seusai shalat Ashar, gue dan Hasna kembali bermain di bibir pantai, sedangkan Bang Iwan lebih memilih duduk dan tidur di gazebo yang ada di sana. Gue dan Hasna bersiap lagi dengan kamera beserta tripod (pinjaman).
Di Watu Leter ini memang nggak terlalu ramai. Mungkin orang yang datang nggak mencapai 30-an. Berasa seperti pantai milik sendiri. Mau selonjoran, boleh. Mau guling-gulingan pun kalau nggak malu juga silakan, saking jarang orang yang berlalu-lalang.
Kita berdua belum puas kalau langit belum menyemburatkan kilauan penyejuk mata dan matahari turun untuk kembali menerangi sudut bumi yang lain. Yup. Mungkin, nggak ada orang yang nggak menyukai sunset. Keindahan yang dilukis oleh Tuhan tersebut selalu membuat terkesima setiap manusia-manusia yang memandangnya.
![]() |
Photo by: Hasna |
Momen-momen di mana tenggelamnya matahari di salah satu pantai yang baru pertama kali gue jamah ini membuat gue semakin sadar bahwa ciptaan Tuhan tiada duanya.
Sebenarnya, kami belum puas ketika langit sedang cantik-cantiknya melukiskan warna biru, pink, ungu, dan keemasan. Tetapi, karena waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore, kami harus bergegas pulang mengingat pernah ada kejadian tidak mengenakkan yang dialami oleh teman Bang Iwan langsung dan juga dirinya sendiri ketika pada malam hari mereka harus melewati kembali tebing-tebing tinggi di sepanjang jalan.
Sebenarnya sepele, sih. Rantai motor milik temannya itu tiba-tiba putus tanpa sebelumnya ada masalah apapun. Yang memperkeruh masalah adalah dalam kondisi malam yang gelap gulita dan memang tidak ada lampu penerangan di sana, di sepanjang jalan tidak ada bengkel satu pun, rumah warga apalagi. Hanya ada tebing, dan tebing.
Jadi, karena sekarang sudah malam dan kami nggak mungkin plus nggak mau melewati daerah tebing, kami melewati jalan yang lain dan mengikuti pengunjung lain yang sepertinya juga ingin pulang menuju kota.
Tapi yang buat gue merinding adalah, sudah dua kali kita memutar jalan yang sama, apalagi kondisi saat itu kita bertiga belum shalat magrib, bensin gue pun hampir mencapai garis merah. Akhirnya, gue memutuskan untuk membeli bensin eceran dan mau mencari jalan pulang sendiri dengan bantuan maps.
Setelah ngikutin jalur maps, kita masuk ke pemukiman warga. Berbelok ke masjid terlebih dahulu untuk menunaikan ibadah magrib.
Usai shalat magrib, kami kembali melaju. Karena maps dibuka dari ponsel gue, dan Hasna yang memegangnya, mau nggak mau gue melajukan motor paling depan. Bukan apa-apa, setelah masuk ke pemukiman warga, kita harus melewati jalur hutan yang benar-benar nggak ada penerangannya sama sekali. Sudah begitu, jalurnya nggak terlalu halus dan banyak tikungannya.
Masalahnya, bukan 1-2 menit kami melewati hutan kayak gitu, bahkan hampir 3 jam, hanya dengan penerangan dari lampu motor, kita harus melewati hutan, tanpa tahu kapan kita sampai di jalan raya. Dan nggak henti-hentinya dalam hati gue membaca ayat kursi, takut tiba-tiba ada sesosok yang muncul di tikungan, hihihi.
Entar tiba-tiba yang muncul malah mantan, lagi. Kan lebih seram, hiks.
Setelah melajukan motor di tengah-tengah hutan tanpa kepastian akan jalan raya—karena gue juga takut kalau ternyata kita dibawa ‘memutar-mutar’ lagi seperti tadi, akhirnya gue tersenyum lega begitu melihat sudah banyak kendaraan yang berlalu-lalang.
Sampai pada akhirnya kami benar-benar berada di jalan raya besar, tiba-tiba Hasna memukul punggung gue dengan irama yang cepat.
“CHO! CHO! CHO! DESA TAWANG REJENI, CHO!”
“Hah?!”
“TAWANG REJENI! PENMAS! HAHAHA!”
“SUMPAH?!”
Desa yang lagi kita lewatin memang punya sejarah buat kita berdua, terlebih gue sih, hehehe. Karena, berkat PENMAS (Pengabdian Masyarakat) yang dilakukan di desa ini, gue bisa ketemu dengan doi, walau kesenangannya hanya sesaat, hahaha, hiks.
“Itu TK yang pas kita pakai buat SEPIA, kan?”
“Iya, iya! Hahaha.”
“Mampir dulu apa kita? Tiba-tiba aku mau jenguk si mbah.” Bukan mbah gue sebenarnya, tetapi ‘mbah’ yang membuat gue nggak akan pernah melupakan kenangan di desa ini.
Kita pun lanjut ketawa-ketiwi di motor sambil mengenang masa-masa PENMAS. Mungkin kita berdua bakal dikatain gila sama Bang Iwan yang masih setia melajukan motornya di belakang motor gue karena kita ketawa terus nggak karuan.
Dan tiba-tiba saja, motor gue sama motor Bang Iwan berpisah jalur. Tapi setidaknya kita nggak berpisah di jalur hutan, bisa berabe.
Sebelum sampai kost, kita menyempatkan isi perut dulu. Setelah itu, barulah ke kost gue karena Hasna menitipkan motor di sana.
Ketika Hasna balik ke kost-nya, gue juga langsung naik ke atas menuju kamar gue. Gue nggak merasa ada yang aneh sampai ketika hari Sabtu pun berpindah ke hari minggu.
Perjalanan kali ini pun harus gue terima dengan tabah karena ATM gue menghilang dan gue dengan tidak sengaja mematahkan salah satu kaki tripod milik teman gue ketika gue ingin membersihkannya dari pasir.
Gue pun hanya bisa mengelus dada akibat menerima nasib di depan mata. Tetapi nggak apa. Terkadang, suatu kisah itu bukan hanya diwarnai dengan satu suasana hati. Kesenangan bisa dicampur dengan nelangsa, bahkan ditambah dengan kenangan yang semakin memenuhi satu kisah.
Ya, seperti cerpen perjalanan gue kali ini. Di satu sisi, rasa stres akibat perkuliahan pun mulai luntur, dan otak pun kembali segar dengan pemandangan yang dilukis oleh Si Maha Pencipta. Tapi di sisi lain, sepertinya gue harus belajar dari cerita gue bahwa kedepannya gue harus lebih berhati-hati lagi, dan mungkin ditambah dengan extra cheese, eh, ekstra sabar deng.
Dan gue harus belajar dari pengalaman bahwa seharusnya gue pakai sun block di kulit yang terbuka karena kaki gue jadi belang dan belum hilang bahkan sampai dua bulan ini, hiks.
Akhir kata dalam jalan-jalan alam gue kali ini adalah, lo harus banyak bersyukur bahwa kita hidup di Indonesia, karena banyak destinasi-destinasi di Indonesia yang mungkin bahkan belum tersentuh oleh mata telanjang manusia. Dan tentunya kita juga harus merasa bersyukur bahwa Tuhan nggak pernah membuat ciptaan-Nya cacat sedikit pun agar manusia-manusia seperti kita mengagumi kekuasaan-Nya.
Photo by: Ridhwan Bonus foto; Ketemu pantai aja bahagia, apalagi ketemu kamu. Eak. |
0 comments:
Post a Comment