Melamun merupakan hal yang seringkali menelungkup diriku, di mana keadaan sekitar ramai atau pun tidak. Kali ini, spot favoritku adalah berduduk diam di samping jendela besar dan memandangi langit yang terkadang berubah semena-mena. Terkadang biru cerah, kemudian diikuti awan kelabu yang membuat sedikit kota Jakarta meredup, dan lalu dibasahi dengan titik-titik hujan. Aku rindu dengan kehadirannya yang selalu bisa mengisi keseharianku. Rindu di mana tawaku selalu bersifat gembira karenanya.
Mungkin, cappuccino hangat yang kupesan ini, sudah terasa getir dilidah. Tak terasa hangat lagi. Mengikuti hawa yang mulai menggerogoti tubuhku. Aku kan sedang berada di dalam kafe. Tetapi, mengapa aku juga merasakan dinginnya hujan seperti kaca jendela ini?
Karena tak ingin menyia-nyiakan uangku karena membeli cappuccino ini, aku tetap menghabiskannya, walaupun setengguk demi setengguk hanya karena masih ingin berada di dalam kafe ini. Padahal, sedari tadi, aku juga merasa pelayan di kafe ini mencoba untuk mengusirku karena pelanggannya yang mulai memadati kafenya ini. Sepertinya mereka tak mendapatkan tempat duduk karena orang sepertiku yang hanya memesan cappuccino lalu terduduk termenung hingga berjam-jam. Persetan apa? Aku sudah membayar dan aku berhak seberapa lama aku berada di sini.
“Permisi, saya boleh duduk di sini?” ucap salah satu orang yang cukup membuyarkan setengah lamunanku. Aku setengah mengangguk dan melihatnya sekilas.
Ia langsung duduk di hadapanku. Kemudian mengusap-usap cangkir coffe latte panasnya. Apa? Coffe latte?
Aku langsung menangkap sosok yang berada di hadapanku. Tidak-tidak. Apa aku hanya bermimpi? Mengapa semua ini ada begitu saja berada di hadapanku?
Aku menatapnya tak percaya. Lalu, aku mencubit pahaku sendiri. Sakit. Aku memang sedang tak bermimpi. Ia memang berada di hadapanku.
Ia menyadari aku sedang menatapnya. Kemudian, ia menatapku balik. Awalnya, ia memasang wajah dengan raut yang mengagetkan, sama sepertiku tadi. Lalu, ia menyunggingkan sneyumannya. Senyuman yang dulu pernah menghiasi kehidupanku. Mengapa dengan mudahnya ia memberikan senyumannya lagi?
“Kamu apa kabar?” tanyanya dengan senyum tanpa getir sedikit pun.
***
Les merupakan kewajibanku dalam dua kali seminggu. Cukup memberatkan aktivitasku dalam SMA memang. Tapi, apa boleh buat? Ini semua kemauan Ibu yang menyuruhku untuk menaikkan kepintaran otakku. Setidaknya, aku harus menuruti perkataannya sebagai anak.
Setelah pulang sekolah, tepatnya jam tiga sore, niatku, aku langsung ingin menuju tempat les. Malangnya, aku terlebih dahulu disuruh oleh guru kimiaku untuk mengoreksi ulangan-ulangan kimia teman-temanku. Ah, sial.
Setelah mungkin lebih dari setengah jam memeriksa ulangan kimia teman-temanku, aku langsung menuju tempat les yang berjarak mungkin lebih dari 10 kilometer. Karena, sekolah dan tempat lesku berada di daerah yang berbeda. Yaitu Lenteng Agung dan di daerah Cilandak. Cukup jauh, bukan?
Aku tak perlu bersusah payah menaiki angkot. Aku sudah difasilitasi oleh Ibu untuk mengendarai motor sendiri. Tentunya motor matic yang tak perlu menginjak gigi atau apalah itu namanya aku tak begitu tahu persis. Tentu saja, motor matic sudah kukuasai sejak 4 tahun silam.
Dengan lancarnya, aku mengendarai motor melewati likak-likuk jalanan yang dipadati dengan kendaraan bermotor yang banyak jenisnya. Mungkin, jenis motor yang kukendarai sekarang sudah dimiliki lebih dari ratusan orang yang sedang melewati daerah ini.
Butuh waktu 45 menit untuk mencapai tempat lesku berada. Untungnya, Ibu memilih tempat les yang dapat memilih waktu jam les kapan pun semauku. Jadi, aku bisa kapan saja datang semauku.
Tentu saja ada tempat les yang seperti ini. Aku buktinya. Aku memang les di tempat ini karena pertama, aku dapat kapan saja datang semauku. Entah itu siang atau pun sore, bahkan pagi, dengan batasan waktu tempat les dibuka adalah jam 10 pagi. Karena, aku les hanya mengasah matematikaku sendiri. Aku perlu mengolah lebih banyak lagi tentang matematika yang kurasa belum sepenuhnya menelungkup ke dalam otakku ini.
Setelah satu jam lebih dirasa cukup untuk memenuhi kebutuhan otakku, aku langsung pulang menuju rumah yang jaraknya mungkin hanya 15 menit jika menggunakan motor ini. Belum ditambah dengan keadaan macet yang akan kuhadapi nanti.
Sebenarnya, aku ada perasaan tidak enak semenjak datang ke tempat les ini. Dan benar, ban belakang motorku bocor. Entah kapan ban motor ini mengalami bocor tiba-tiba. Mungkin, ketika aku membelokkan motor ke tempat lesku ini. Ah, sial.
Jam yang melingkar manis ditanganku sudah menunjukan pukul setengah enam sore. Langit juga mulai ikut menggelap. Bagaimana ini? Masa iya aku harus mendorong motor ini dengan pakaianku yang masih berseragam putih abu-abu? Bisa-bisa menhana malu di tengah jalan ini.
Mana ada orang yang mau menolongku? Ini sore, dan juga waktu untuk orang pulang bekerja dari kantornya. Mereka justru berebut jalanan untuk pulang lebih cepat ke rumahnya. orang-orang pinggiramn hanya sibuk memikirkan dagangan dan melayani pelanggannya. Mau tak mau, aku harus mendorong motor ini sendirian dalam keadaan langit setengah gelap ini.
Motor matic yang lumayan berat ini kudorong dengan menggunakan sisa-sisa tenagaku. Coba saja aku dapat mendorong motor ini dengan kekuatan otakku. Sayangnya, itu tak akan terkabul.
Orang-orang sekitar hanya memandangku dengan pandangan meremehkan. Memangnya mereka siapa? Hanya berduduk santai di warung kecil sambil menghisao rokok dan meminum segelas kopi. Bukannya menolongku untuk membawa motor ini ke bengkel, merek justru menggodaku dengan cibiran khas abang-abang tukang angkot.
Aku berusaha untuk menebalkan kupingku agar tak mendengar godaan yang menjijikan dari mereka. Dan melanjutkan perjalananku hingga mencapai bengkel terdekat.
“Butuh bantuan?” tiba-tiba saja seseorang membantu mendorong motorku dari belakang. Aku langsung mengerem mendadak motorku sendiri, dan menengok ke arah belakang. Sepertinya, aku mengenal wajah ini.
“Lo bukannya anak baru itu?” tanyaku tanpa rasa sopan santun sedikit pun kepadanya. Tidak meng-iya-kan atau pun menolak tawarannya.
Ia hanya tersenyum menjawab pertanyaanku dan mengambil alih stang motor ini. Kemudian, menjalankannya ke arah tujuan—entah ke mana, aku juga tak tahu. Mungkin ke arah bengkel.
“Tolong bawain tas gue dong. Agak ribet nih, kalau sambil dorong motor,” ucapnya dengan wajah yang—apa ya, aku juga tak bisa menjelaskannya. Mungkin, bisa dibilang ia melakukan ini dengan tidak terpaksa. Itulah yang terpancar dari wajahnya.
Tanpa ba-bi-bu lagi, aku langsung mengambil tas selempang yang terpasang di bahunya. Lagipula, siapa suruh sekolah dengan menggunakan tas selempang? Bukannya justru makin memberatkan bahu di bagian sebelah?
Kulihat, ia masih menggunakan seragam yang sama sepertiku. Ah, aku mengingatnya. Ia memang anak baru di kelasku. Baru memasuki kelasku mungkin sekitar 3 atau 4 hari yang lalu. Tetapi, aku memang tak terlalu mengenalnya, dan aku memang tak mau kenal. Jadi, untuk apa saling mengenal?
“Lo les di sini?” tanyanya yang mungkin ingin menghilangkan rasa canggung di antara kami berdua. Dari mana ia tahu aku sedang les di daerah ini?
“Iya. Di kumon—nama tempat lesku—sana, yang letaknya di sudut kampung kandang,” ucapku yang entah mengapa aku menspesifikasikan tempat lesku sendiri.
“Emang gue minta spesifikasiin, ya?” tanyanya kini dengan menatap ke arahku. Menjengkelkan. “Bercanda kok,” lanjutnya dengan diikuti senyum yang mulai terekam dalam benakku. “Pintar matematika sama bahasa inggris, dong?”
“Enggak. Bidang gue cuma di matematika. Gue nggak ikut kursus bahasa inggrisnya,” ucapku datar dengan melihat ke arah sepatuku yang bergesekan dengan aspal.
Ia hanya ber-oh ria sambil mengangguk-anggukan kepala. Suara kalkson kendaraan bermotor mulai mengganggu telingaku. Aku memang tak suka mendengar suara klakson. Aku sendiri, jarang sekali menggunakan klakson motor ini. Mungkin, dalam seminggu masih dapat dihitung menggunakan jari. Saking aku tak sukanya dengan mendengar suara klakson yang begitu berisik.
Tak beberapa lama kemudian, kami berdua sampai di sebuah bengkel yang berukuran kecil. Mungkin, bengkel ini terbentuk karena modal nekat, jadi ya seperti inilah bentuk bengkelnya.
“Lo punya motor lagi, cuy? Kapan dibeliin sama nyokap lo? Kok gue nggak tahu?” tanyanya yang mungkin ke arah ah—aku saja tak tahu siapa nama teman sekelasku ini. Ah, betapa anti sosialnya diriku ini.
“Bukan. Ini punya dia,” ucapnya sambil melirikkan matanya ke arahku. “Bannya bocor. Mumpung lagi di daerah sini, ya gue datang ke bengkel lo. Digratisin, kan?” tanyanya dengan alis yang ia naik-turunkan. Mungkin dengan nada yang bercanda.
“Mbahmu!” omongnya sambil menjitak kepala orang yang membantuku mendorong motor ini hingga ke bengkel. Ah, sampai sekarang pun aku tak tahu namanya.
“Mbah lo kan mbah gue juga. Udah buruan, kasihan nanti kemaleman.” Balasnya dengan kemudian menghampiri bangku kayu yang terpajang di sana.
Aku tak mengikutinya. Kakiku masih berdiri tegak dan merasakan betapa tegangnya kaki yang masih terpasang di tubuhku ini karena berjalan cukup jauh hanya untuk mencari bengkel.
Ia yang berduduk santai menyuruhku untuk duduk di sampingnya. Tidak. Tentu saja duduk di bangku kayu yang ia duduki tersebut. Karena aku sudah tak kuat menahan beban diriku sendiri, aku memilih duduk dan tak berkutik lagi.
“Lo pasti belum tahu nama gue,” omongnya sambil mengambil tasnya yang ternyata sedang kupangku. Aku lupa, kalau tas ini miliknya. “Tegar,” lanjutnya dengan ingin menjabat tanganku. Mungkin itu kebiasaannya. Atau memang itu kebiasaan orang Indonesia jika ingin berkenalan? Hei, aku kan orang asli Indonesia juga.
Aku membalas jabatan tangannya. Ketika aku ingin menyebutkan namaku, justru ia sudah tahu namaku sebelum aku menyebutkan namaku sendiri. Mengapa ia bisa tahu? Aku saja baru tahu namanya sekarang.
“Nggak kenapa-kenapa kok, kalau lo baru tahu nama gue sekarang. Yang penting, gue udah tahu nama lo,” ucapnya dengan kepala yang menengadah ke arah langit. Ternyata langit sudah menampakkan warna lainnya.
“Kok lo ada di daerah sini? Emangnya lo ada urusan apa?” tanyaku agar ia tak merasa aku benar-benar anti sosial terhadap orang lain. lagipula, jika aku hanya terdiam di hadapannya yang telah menolong diriku, rasanya tak enak hati.
“Nyokap ada usaha cathering di Kampung Kandang, dekat tempat les lo juga, kan? Jodoh kali ya, kita ketemu,” ucapnya sembari dengan tawa yang sumbang.
Aku ikut tertawa kecil mendengar leluconnya. Lucu juga orang ini. Bisa membawa suasana menjadi nyaman. Entah mengapa, setiap ia mengeluarkan kata yang—ya agak sedikit menyimpang, ia langsung mengatakan maaf, dan hanya bercanda.
Tegar memberitahuku bahwa ini adalah bengkel milik sepupunya. Ia sendiri yang membuka usaha bengkel kecil-kecilan ini. Lumayan, walaupun gaji harian yang tak seberapa, yang penting ia sudah bisa menghasilkan uang sendiri. Sepertinya, Tegar dan sepupunya hanya berbeda umur 4 tahun.
“Kok lo agak anti sosial, ya? Atau karena gue jarang perhatiin anak kelas? Tapi, yang gue lihat lo yang paling pendiam,” ucapnya yang seakan-akan tahu sifatku.
Aku memang orang yang paling pendiam di kelasku. Hanya berbicara seperlunya saja. Aku memang tak terlalu suka dunia yang—ya yang terlalu dibawa candaan. Tapi, entah mengapa aku bisa menerima candaan dari Tegar. Entahlah apa yang sedang merundungku sekarang. Mungkin karena bantuan tangannya ini.
“Gue kelihatan anti sosial?” tanyaku yang entah ingin mengulang atau memang ingin menghindari jawaban.
“Kan tadi gue udah bilang, kan?”
Sial. Mengapa ia bisa membuat diriku tak bisa berkata lagi?
Aku langsung menghindari tatapan matanya. Kemudian, memainkan kuku-kuku jari. Hei, aku baru menyadari bahwa jariku cukup kecil.
“Jangan dibawa serius. Santai aja. Kalau nggak mau jawab, ya nggak apa-apa. Nggak ada paksaan kok di sini,” ucapnya dengan santai sambil mengulaskan senyum yang terlukis di bibirnya. Baguslah, jika ia tak memiliki sifat paksaan.
Kemudian, kami berdua saling terdiam. Entah, sibuk melirik ke arah yang berbeda. Menyibukkan diri dengan mungkin mengetuk-ngetukkan sepatu ke arah bumi, atau pun melihat ban motor sedang di ganti.
“Oh ya, rumahlo di mana?” tanyanya yang sempat menyentakkan diriku. Hei, mengapa tiba-tiba saja ia menanyakan rumahku? Memangnya ada urusan?
“Daerah cipedak.” Pendekku.
Hei, mengapa aku menjawab pertanyaannya? Bodoh.
Ia hanya ber-oh ria sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun, tiba-tiba saja ia menyentakkanku lagi untuk yang kedua kalinya.
“Eh, lewat halte kelinci, nggak?”
Halte kelinci? Sepertinya aku pernah mendengarnya. Hei, bukankah halte kelinci adalah halte yang sering kulewati jika ingin berangkat sekolah? Dan jika aku pulang sekolah atau pulang les pun, aku melewati halte tersebut.
Aku mengangguk karena aku memang melewati halte tersebut.
“Nanti gue boleh nebeng nggak? Sampai halte aja kok. Lo lewat kan?”
Hei, siapa ia yang tiba-tiba saja meminta untuk menebengi motorku baru kenal saja hari ini. Tetapi, bukankah seharusnya aku berterima kasih karena bantuannya ini? Setidaknya, aku bisa mengantarnya hingga halte tersebut sebagai tanda terima kasih.
Aku hanya mengangguk, tak apalah. Anggap saja sebagai balas budi.
Tak berselang waktu lama, sepertinya penggantian ban motorku sudah selesai. Namun, ketika aku ingin mengeluarkan dompetku, Tegar justru menahannya. Menyuruhku untuk tak usah mengeluarkan uang.
Sepupu Tegar datang menghampiri kami berdua. Ia sendiri yang bilang, tak usah membayar. Alasannya hanya karena aku adalah teman Tegar, jadi aku tak perlu membayarnya. Mengapa orang ini baik sekali? Padahal, aku berkenalan dengan Tegar saja baru kali ini.
Aku pulang dengan ucapan terima kasih tentunya. Namun, kini yang menjadi kendala adalah, siapa yang akan menyetir motor ini? Jika aku, masa aku sebagai perempuan harus membonceng laki-laki? Dan jika yang membonceng Tegar, bagaimana posisi dudukku? Aku hanya memakai celana ketat tak sampai selutut. Dan aku tak mau duduk seperti itu.
“Sini, gue yang nyetir.” Ucapnya dengan tangan yang menengadah ke arahku. Mengapa tangannya seperti meminta-minta sesuatu? Ah, bodoh. Ia pasti meminta kunci motorku.
Baiklah. Satu pertanyaan sudah terjawabkan. Dan bagaimana dengan pertanyaan selanjutnya?
“Kalau nggak bisa duduk biasa, duduk samping aja. Gini-gini gue bisa kok,” omongnya dengan tangan yang menunjukkan dirinya sendiri, sembari mengeluarkan senyumannya. Mengapa dengan mudahnya ia memberikan sneyumannya ke orrang lain, seperti halnya aku?
Aku mengedepankan tasku sendiri, biar aku duduk tak terlalu menyulitkan, makanya, aku memangku tasku sendiri. Kemudian, memegang bagian besi motor dekat ujung jok belakang yang entah, aku tak tahu apa namanya. Tak ada lagi benda atau apa pun yang bisa kupegang untuk keselamatanku sendiri.
“Nggak ada pegangan ya? Kalau nggak mau pegang pundak gue, pegang baju gue aja. Seenggaknya, kalau lo jatuh, gue juga jatuh dari motor ini. Biar sama-sama dapat imbasnya gitu,” ucapnya dengan tambahan tawa sumbangnya. Mengapa orang ini tahu dengan apa yang sedang ingin kuperbuat?
Jalan pintasnya adalah aku memegang baju bagian pinggangnya. Mungkin, jika aku memegang pundaknya, aku dikira sedang menaiki motor ojek.
Di perjalanan, kami berdua tak saling mengisi obrolan. Sibuk dengan pandangan masing-masing. Aku sibuk memangdangi arah bagian kiriku yang masih ramai akan orang. Sedangkan Tegar, tentu saja ia disibukkan dengan jalan raya.
Dan entah apa yang membuat diriku mendekatkan diri ke punggung Tegar. Aku seperti merasakan sesuatu yang hangat dari punggung Tegar. Ayah. Punggung ini sama persis dengan punggung Ayah ketika aku sedang diboncengi oleh Ayah. Seringkali, aku trtidur di punggung Ayah jika aku diboncengi olehnya. Dan itu terjadi sekarang, ketika aku tertidur di punggung Tegar. Betapa memalukannya diriku ini.
“Lin? Bangun Lin, kita udah sampai di halte kelinci.” Ucapnya sambil menepuk-nepuk tanganku yang ternyata telah melingkar di pinggangnya. Ah, mau ditaruh di mana wajahku ini? Di jalan raya?
Aku terbangun dengan mata yang memerah. Lalu, aku baru sadari kalau tanganku sedang melingkari pinggangnya. Dengan cekat, aku langsung melepas tanganku dari pinggangnya. Lalu mengucapkan minta maaf.
Ia hanya tersenyum melihat kelakuanku tersebut. Kemudian, ia turun dari motorku. Aku masih dalam keadaan posisi duduk menyamping.
“Mau gue antar sampai rumahlo? Kayaknya lo ngantuk banget,” ucapnya dengan melepaskan helmku yang berada di kepalanya.
Aku langsung menggeleng. Mengetahui kejadian memalukan itu saja langsung membuat mataku melek 1000 watt.
Matanya menatapku seakan-akan berbicara ‘Oh, yaudah’. Kemudian, ia memakaikan helm yang sedari tadi ia sudah lepaskan dari kepalanya. Kemudian, ia pamit pulang kepadaku. Lalu mengucapkan terima kasih telah mau mengantarnya sampai ke halte ini. Dan ia pun berlalu dari hadapanku.
Entah mengapa, sekitar 10 hingga 15 menit aku melamun menatap punggungnya yang semakin lama semakin mengecil dan hilang. Ketika hilanglah, aku baru tersadar kalau sekarang sudah malam. Pasti Ibu mencariku di rumah.
***
Dan dimulai dari saat itulah, aku dekat dengan Tegar. Awalnya, aku memang tak sengaja bertemu dengan Tegar di halte kelinci. Ia sendiri yang memberhentikan motorku, dan ingin menumpang menuju sekolah. Apa boleh buat, dia satu kelas denganku. Mengapa harus menolak?
Dan kejadian itu pun berangsur-angsur setiap hari. Dan entah mengapa, itu pun menjadi hal rutinitasku setiap hari. Hei, aku ini kan perempuan. Masa aku harus menjemputnya jika ingin berangkat sekolah?
Kedekatan kami pun semakin bertambah dengan tambah rajinnya ia bermain di rumahku. Bukan. Kami berdua hanya belajar bersama. Itu pun, Ibu sangat terbuka dengan Tegar. Membiarkan anak itu bolak-balik masuk ke rumahnya. mungkin, Tegar sudah dianggap sebagai anak oleh Ibuku.
Kosakataka kami berdua pun berubah menjadi aku-kamu. Entah, kapan itu tercipta, aku juga tak tahu. Itu terjadi begitu saja. Dan kami pun, juga tak terlalu sungkan untuk mengucapkan kosakata tersebut.
Aku juga sering mengajaknya jalan-jalan, entah itu ke mall atau pun ke taman yang belum pernah kukunjungi. Tentu saja aku harus menjemputnya ke arah halte tersebut. Jika tidak, ia juga tak ingin menerima ajakanku. Dasar, seperti anak kecil saja.
Aku memang sering bertemu dengan Ibu Tegar. Tetapi, hanya bertemu di tempat usaha cathering Ibunya. Aku tak pernah memijaki kakiku di rumah Tegar, sekali pun. Walaupun, kami berdua telah menjalin hubungan—entah, hubungan apa aku juga tak tahu, yang jelas, hubungan kami begitu dekat—Tegar tak pernah membolehkanku untuk mengunjungi rumahnya. Ketika kutanya mengapa, ia selalu mengalihkan ke topik yang lain. Menyebalkan.
Suatu Sabtu, kami mempunyai janji untuk mengunjungi toko buku yang terletak di daerah mall Depok. Tentu saja aku harus menjemputnya di halte kelinci dengan motorku, karena, ia sendiri tak memiliki motor. Jadinya, aku yang harus menjemputnya. Seperti laki-laki saja.
Kami berdua berjanji bertemu di halte kelinci sekitar jam dua. Dan sekarang, kakiku sudah memijaki halte tersebut. Sepertinya, hari ini ia akan terlambat.
20 menit berlalu. Ia tak pernah seterlambat ini. Baru kali ini ia tak menepati janjinya. Namun, aku masih ingin menunggunya. Mungkin, ia sedang ada masalah di rumahnya, jadi ia akan datang terlambat.
1 jam kemudian..
2 jam kemudian..
Hingga langit berbuah menjadi agak gelap. Tegar, kenapa kamu mengingkari janjimu sendiri?
Dengan kesal, aku mengambil ponselku yang berada di saku celanaku. Kutekan nomor ponselnya yang sudah kuhapal, kemudian kutekan tombol hijau yang berada di bawah layar ponselku.
Tak ada jawaban. Bahkan, ponselnya pun dimatikan. Kenapa ia semenjengkelkan ini?
Aku mengomel-ngomel sendiri dalam hati. Kemudian, meninggalkan halte tersebut dengan mengendarai motor sekencang-kencangnya. Mengapa aku harus menungguinya kalau pun ia tak akan datang menemuiku?
***
Keesokkan harinya, Tegar belum juga menelponku. Yang hanya bisa kulakuan adalah duduk di teras—hal yang biasa kulakukan dengan Tegar jika ingin bersantai ria hingga langit mengubah warnanya.
Sore menjelma menjadi malam. Langit malam kali ini, sepi tanpa dihadiri gemerlapan bintang. Percuma, aku duduk di teras dengan memandangi langit yang kosong ini.
Sebenarnya, minatku juga bukan ke arah langit tanpa bintang tersebut. Tetapi, kepada ponselku yang sedari berdering tak jauh dari jangkauan tempat dudukku. Aku tahu, itu pasti Tegar. Ia mencoba menghubungiku untuk meminta maaf kepadaku. Memangnya bisa seenaknya ia melakukan hal seperti itu kepadaku?
Namun, mungkin karena aku ingin berbaik hati atau pun mungkin karena aku rindu dengan suaranya yang seharian ini belum kudengar. Entah mengapa, tiba-tiba saja tanganku ingin menggapai ponselku tersebut, ingin mengetahui siapa yang sedang menghubungiku. Bukan. Tak tertera nama Tegar. Aku juga tak mengenal nomor ponsel ini.
Lalu, kutekan perlahan tombol berwarna hijau yang berada di bawah layar ponselku. Kudekatkan ponselku ke arah telingaku. Menyimak baik-baik siapa yang sedang menelponku. Mungkin saja Tegar.
Namun, bukannya menyapa, orang yang menelponku ini justru hanya terdiam. Entah, mungkin sedang ada urusan, atau pun ia bingung ingin berbicara apa denganku, atau mungkin, ia tak sengaja menekan tombol nomor ponselku.
“Gar?” panggilku asal tak sabar ingin mengetahui siapa yang menelponku. Dan sepertinya memang benar. Ini Tegar.
Ia masih tetap membisu. Namun, tak berselang waktu lama kemudian, ia membalas perkataanku.
“Lin, maafin aku. Maaf kalau aku udah ingkar janji. Maaf kalau aku udah buat kamu nunggu lama. Maaf—” namun, aku langsung menepis perkataan maaf yang terlalu banyak ia lontakan. Memangnya mudah sekali mengucapkan permintaan maaf kepadaku?
“Udah ngomongnya?” tepisku agak kasar.
“Lin, kamu marah sama aku?” tanyanya lembut seakan-akan benar-benar polosnya ia bertanya hal yang seperti itu. Memangnya, siapa yang tak marah jika harus menunggu seseorang hingga berjam-jam?
“Hell—o, kamu kira aku nggak capek nunggu kamu berjam-jam? Dan tanpa ada kabar satu pun. Seengaknya kamu bisa kan, kabarin aku kenapa kamu nggak bisa nepatin janji kita? Aku capek, Gar. Waktu aku tuh bukan buat kamu doang,” ucapku yang mungkin lampiasanku akibat kejadian kemarin.
Tegar terdiam. Tak menjawab perkataan-perkataanku yang benar-benar sedang memojokkannya.
“Dan sekarang kamu nggak bisa ngomong apa-apa, kan?”
Seketika itu juga, aku mematikan ponselku. Dan menon-aktifkannya. Biarkan saja ia menelpon. Bukan urusanku lagi.
***
Keesokkan harinya, seseorang yang biasa kujemput di halte, tak menampakkan dirinya. Entah karena takut menghadapi diriku, atau pun karena alasan-alasan yang belum kupikirkan.
Setelah sampai di sekolah pun, aku juga tak menemukan Tegar. Ah, mungkin ia akan datang terlambat. Hei, mengapa aku harus memikirkannya? Bukankah seharusnya ia adalah orang yang kubenci sekarang?
Sampai bel masuk sekolah pun, belum ada tanda-tanda ia datang akan sekolah. Mungkin, ingin menghindari diriku. Karena, selama ini aku belum pernah berbicara kasar seperti itu kepadanya. Hei, mengapa sekarang aku lebih merasa kasihan kepadanya?
Dan mau tahu apa alasannya ia tak masuk sekolah? Baru saja wali kelasku masuk ke kelasku untuk memberitahu bahwa Tegar sudah pindah sekolah. Ya, alasan itu. Untuk spesifikasinya, wali kelasku tak memberitahu di mana Tegar akan pindah sekolah.
Mengapa ia begitu jahat kepadaku? Meninggalkanku tanpa ucapan perpisahan sedikit pun? Terakhir kami berbicara saja, aku sedang dalam keadaan emosi yang tak terkendali. Gar, mengapa kamu begitu?
“Lo lagi ada masalah ya, Lin?” tanya teman sebangku yang seakan-akan tahu apa masalah yang sedang merundungku. “Tegar nggak bilang kalau dia pindah sekolah?”
Aku tak menjawab pertanyaannya. Aku juga tak menatap matanya. Tetapi, aku hanya menggeleng. Tatapanku benar-benar kosong. Tak tahu lagi apa yang harus kupikirkan mengapa Tegar melakukan hal itu kepadaku.
“Jangan berpikiran yang enggak-enggak, Lin. Mungkin dia punya alasan tertentu.”
Alasan? Oh, ya?
***
Aku tak menjawab pertanyaan sapaannya. Memangnya dia kira dia siapa? Berlalu begitu saja, dan datang tanpa kupinta sedikit pun.
“Lin, aku takut kalau kamu tatap aku kayak gitu. Aku masih manusia, kok,” ucapnya dengan senyum yang masih sangat kukenal waktu pertama kali ia pancarkan. Tepatnya, dua tahun yang lalu.
Mengapa ia mudah sekali membaut candaan dalam keadaan yang seperti ini? Apakah dua tahun tak bertemu, tak membuat dirinya merasa canggung bertemu denganku? Apalagi, terakhir kali kami berbicara, aku sedang merasa emosi dengannya.
“Kamu masih marah sama aku?” tanyanya benar-benar polos.
“Kamu kok nyebelin banget sih, Gar? Kamu kira emangnya gampang buang kamu dari pikiran aku begitu aja? Dua tahun nggak cukup, Gar. Kamu kira aku ngapain di sini? Cuma mikirin kamu, yang pergi nggak pernah bilang perpisahan sedikit pun ke aku. Dan dalam dua tahun ini kamu pun nggak kasih kabar kamu ada di mana.”
“Aku kira kamu nggak akan kangen aku,” ucapnya sembari dengan senyuman yang terlukis di bibirnya.
Aku langsung membuang tatapannya dengan kesal menuju jendela besar yang kini telah dipenuhi dengan titik-titik embun cipratan hujan di langit.
“Kamu nggak kasih kesempatan aku buat bicara, Lin,” lanjutnya yang membuat kepalaku langsung tertoleh ke arahnya. Kesempatan? Ia saja tak pernah menelponku dua tahun terakhir ini.
“Lin, kalau aku cerita, kamu janga sedih ya?”
Aku tak menjawabnya. Namun, mataku masih menatapnya. Menunggu cerita apa yang akan dilontarkannya sebagai alasan mengapa ia pergi meninggalkanku.
“Hari Jumat, sebelum kita pengin janjian ke toko buku di hari Sabtu, kamu masih ingat kan, kamu antar aku ke halte kelinci?” aku hanya mengangguk tanpa berbicara. “Kamu tahu, kenapa aku nggak pernah bolehin kamu main ke rumahku?” kali ini aku menggeleng.
“Gang menuju rumahku itu sepi, Lin. Tapi, di sana masih banyak preman yang berkeliaran. Aku nggak mau, kamu ditodong sama kayak aku. Makanya, terkadang kalau pulang sekolah, aku ke tempat cathering Ibuku. Aku juga tahu kapan jadwal mereka ada di gangku itu. Makanya, aku sering banget main ke rumahmu sebenarnya untuk menghindari preman itu. Sekaligus aku nunggu Ibu untuk pulang bareng.”
Ditodong? Selama ini ia tak pernah bilang kepadaku.
“Dan Jumat itu, aku salah perkiraan. Aku sempat main ke rumah kamu waktu itu, kan? Ternyata, preman itu ada di gang itu. Mereka nodong aku lagi, Lin. Aku nggak bisa apa-apa. Karena aku juga nggak megang uang sama sekali. Jatah bulananku habis.”
Ya Tuhan—mengapa selama ini aku baru mengetahuinya?
“Karena aku nggak punya uang, ponselku diambil Lin. Nggak ada jalan lain. Karena mereka belum puas, mereka periksa tasku. Barangkali, ada barang yang berharga. Kamu tahu sendiri kan, aku nggak pernah bawa barang-barang elektronik selain ponsel?”
“Gar, kenapa kamu nggak pernah bil—” selalu saja, perkataanku ditepis olehnya.
“Dengar cerita aku dulu, Lin. Mereka nggak puas, akhirnya mereka main kasar. Aku juga nggak nyadar ternyata salah satu dari mereka bwa pisau kecil. Mana bisa sih, aku lihat pisau sekecil itu? Apalagi kejadiannya udah malam, kan?”
Aku benar-benar terdiam kali ini. Membayangkan bagaimana peristiwa itu terjadi.
“Dan pisau itu kena perut bagian kananku, Lin. Sakit, sakit banget. Tapi, lebih sakit kalau aku lihat kamu jenguk aku yang dalam keadaan kayak gitu, terus kamu nangis.” Tegar terdiam sebentar, mengatur deru napasnya.
“Aku pingsan, Lin, di tengah jalan. Aku udah nggak tahu lagi apa kejadian selanjutnya. Yang kutahu, aku udah ada di rumah, dan luka balutan seadanya di luka perutku ini.” Ucapnya sambil menunjuk ke arah perut bagian kanannya.
“Hari kita janjian untuk pergi ke toko buku, aku masih belum bisa gerak Lin, masih terasa sakit. Dan entah kenapa, Ibu packing baju aku semuanya. Aku juga nggak tahu mau dikemanain. Dan katanya, aku mau dibawa ke rumah Mbahku di Semarang sana, daerah yang lumayan terpencil dan jauh dari kota, jauh juga dari ancaman preman, terus jauh juga dari kamu, Lin.”
Aku sempat nolak, Lin. Tapi, Ibu nggak ngebolehin. Di Semarang, aku juga sekalian ada pengobatan alami gitu. Yaudahlah, aku nggak mau bantah kata Ibuku, makanya aku mau pindah rumah sekaligus sekolah. Tapi tenang Lin, aku nggak pindah hati kok,” ucapnya dengan senyum sumringah ditambah dengan tawa khasnya.
“Aku berangkat Minggu Malam Lin. Dan aku maksa diriku sendiri buat nunggu di depan halte kelinci dari siang. Mungkin aja kamu lewat. Dan ternyata enggak. Terus, aku nelpon kamu dari ponsel Ibu. Aku senang kamu mau nerima telponku. Hebat ya, kamu bisa tahu kalau itu aku yang lagi nelpon kamu. Padahal, aku belum ngomong lho, kalau itu aku.”
Tapi, kamu belum kasih aku kesempatan untuk aku ngomong, Lin. Aku tahu, kamu pastinya marah. Tapi mau gimana lagi? Di Semarang, aku juga nggak bisa nelpon kamu karena di sana sinyalnya nggak pernah bagus.”
Entah mengapa, tiba-tiba saja ada tetesan yang mengalir di pipiku. Bukan hujan. Tetapi memang air mataku. Ternyata, selama ini aku memang salah mengartikan kepergiannya yang tiba-tiba begitu saja. Semua ini memang salah paham. Bukan. Semua ini memang salahku yang terlalu egois karena amarahku sendiri.
Tegar langsung mengusap air mataku menggunakan ibu jarinya.
“Lin, aku bilang jangan nangis,” ucapnya kini dengan nada yang agak pelan.
“Maafin aku, Gar,” ucapku tanpa menatap ke arahnya.
Tegar langsung menelungkung kedua tanganku yang kuletakkan di atas meja menggunakan kedua tangannya.
“Tapi, kamu percaya kan dengan omonganku?”
Aku mengangguk perlahan. Kemudian, Tegar mengangkat daguku, ia tersenyum ke arahku. Lalu, dengan tangan usilnya, ia memberantaki poniku. Namun, kali ini aku tak langsung membenahinya. Aku hanya membalas senyumannya yang mungkin tak akan pernah lagi kulepaskan.
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
0 comments:
Post a Comment