Astaghiri

  • Home
  • CERPEN
  • CERBUNG
  • CAKES!
  • Trip
Cerpen

Tami

Thursday, July 10, 2014 By astaghiri 5 Comments
“Cit, lo nggak mau kenang-kenangan dari gue nih? Sini, baju lo biar gue yang coret-coret.”

Derry mengambil spidol perak yang berada di dalam saku seragamnya. Seragamnya kini penuh dengan coret-coretan pilox warna-warni. Berbeda dengan seragam Cita yang masih putih bersih. Belum tercoret sedikit pun—kecuali noda pulpen yang tercoreng di ujung lengan seragamnya.

“Nggak bisa,” Cita langsung menolak. “Karena hari ini adalah hari kelulusan, the first person yang harus coret-coret seragam gue adalah—”

“Of course guelah,” sahut seseorang yang kini sudah berdiri di belakang punggung Cita. Cita langsung membalikkan tubuhnya. Ia melihat Inov memegang spidol berwarna hitam di tangannya dengan tutup spidolnya yang sudah terbuka. Cita langsung melotot ke arah Inov.

“Kampret! Lo coret-coret apaan di punggung gue?!” damprat Cita langsung. Inov nggak kaget mendengar bentakkan Cita. Toh dia memang sudah terbiasa mendengar gadis itu mengomel-ngomeli dirinya.

“Mau tau apa mau tau banget?” Inov langsung tersenyum meledek. Kemudian, ia membungkuk mencari tutup spidol yang sempat terjatuh.

Tanpa aba-aba, Cita langsung menjatuhkan sikutnya pada punggung Inov dan menekannya dengan keras. Inov langsung terjatuh begitu mendapat serangan dari Cita. Walaupun Inov sudah seringkali mendapat serangan mendadak dari Cita, bukan berarti dia sudah merasa kebal mendapat serangan dari Cita.

“Cita!” bentak Inov langsung. “Punggung gue masih biru gara-gara lo tinju pake sikut lo tiga hari yang lalu!”

“Siapa suruh coret-coret seragam gue?!” Cita nggak mau kalah ketusnya. “Ah elah! Kampret banget sih lo, Nov! Harusnya orang pertama yang boleh coret-coret baju gue tuh orang yang spesial buat gue!”

“Ya orang yang spesial di hati lo kan cuma gue. Emangnya ada yang lain?”

Cita langsung menoyor kepala Inov begitu Inov berdiri. Lagi-lagi cewek itu main kasar dengannya. Tapi, bukan Cita namanya jika nggak berani bermain tangan seperti itu pada cowok seperti Inov. Lagipula, memang dari awal Inov sendiri yang jahil pada Cita.

“Spesial nenek lo! Nih seragam sengaja gue nggak bolehin orang lain coret-coret biar pacar gue bisa jadi orang pertama yang punya kenangan di seragam gue!” tutur Cita sambil melipat kedua tangannya di depan dadanya.

Inov langsung menaikkan salah satu sudut bibirnya. “Pacar? Sejak kapan lo punya pacar?”

“Pu—punya lah! Emangnya elo? Haha.”

“Paling cuma calon pacar,” cela Inov langsung.

“Itu...”

“Oh, bukan. Tapi gebetan. Palingan juga cuma calon gebetan.”

“...”

“Gue bener, kan? Hahaha.”

“...”

Cita memandangi Inov. Seragam putihnya sudah dipenuhi coret-coretan spidol dan pilox. Tapi, belum sedikit pun Cita menyoret seragam Inov. Itu pun karena Cita memang sengaja menyembunyikan dirinya agar seragamnya tidak dicoret-coreti oleh siapa pun. The first person.

“Yah ngambek.” Inov langsung memberikan spidol hitam miliknya. “Nih, coret-coret seragam gue. Lo kan sahabat gue, jadi coret-coret deh sepuas lo.”

Dengan kasar, Cita langsung mengambil spidol dari tangan Inov. Kemudian, ia membalikkan tubuh Inov dan membuka kerah seragamnya—bagian seragam yang belum tercoret spidol sedikit pun. Sambil menulis hal yang tidak diketahui Inov, Cita berkata, “Gimana sama si Anu?”

Inov langsung mengerutkan keningnya. “Anu? Anu siapa? Emang di sekolah kita ada yang namanya Anu?”

Sambil berdecak sebal, lagi-lagi Cita menoyor kepala Inov. “Capek gue ngomong sama lo.” Setelah selesai mencoret bagian kerah seragam Inov, Cita menutupnya spidolnya kembali.

Inov membalikkan tubuhnya menghadap ke arah Cita. “Capek? Ya udah yuk kita tidur,” katanya sambil memegang kedua bahu Cita.

Cita refleks menonjok dagu Inov. “Tidur mbahmu!”

“Cit! Sakit!” erang Inov.

“Sakit ya?” Citra nenyeringai lebar. “Rasain tuh.”

“Rasanya nggak enak, nggak ada rasa stoberi apa?”

Cita langsung mengepalkan kedua tangannya tepat di depan wajah Inov. “Adanya yang kanan rasa jambu, terus yang kiri rasa melon. Pilih mana?”

“Pilih hati kamu aja deh, hehe.”

Sumpah. Rasanya Cita benar-benar kepengin nonjok Inov lagi. Tapi kasihan, seminggu ini sepertinya dia sudah menyiksa Inov dengan bogem mentahnya. Lagian siapa suruh menjahilinya?

“Nov!” teriaknya. “Lo nyebelin banget sih jadi orang!”

“Emang,” jawab Inov santai. “Nyebelin tapi ngangenin kan?”

Cita sudah bersiap dengan sikutnya, siap ingin menerjang dada Inov. Tapi Inov langsung membuat tameng dengan tangannya. Dia juga langsung minta ampun pada Cita.

“Iya! Ampun Cit! Ampun!”

Cita menurunkan sikutnya. “Gebetan lo gimana? Nggak mau minta kenang-kenangan?” Cita mengubah arah pembicaraan.

“Ya nggak gimana-gimana. Belom tuh.”

Cita menyipitkan matanya. Sampai sekarang, Cita nggak tahu siapa yang menjadi kecengannya Inov. Inov sama sekali nggak mau cerita. Itu pun dia tahu bahwa Inov punya kecengan gara-gara Inov suka berkelakuan aneh. Tapi dia tetap nggak tahu siapa cewek yang jadi incaran Inov!

“Siapa sih ceweknya?” selidik Cita.

Kini gantian Inov yang menyipitkan matanya. “Yakin lo mau tau?”

Cita mengangguk penuh. Tapi dari auranya sih kayaknya Inov tetap nggak mau kasih tahu siapa cewek itu. Mengingat, belum lama ketika Inov memberitahu cewek incarannya waktu itu, entah apa yang Cita lakukan, intinya cewek gebetannya langsung menjauh begitu saja.

“Nggak mau ah! Rugi gue kasih tau elo!”

“Yah, Nov,” ringis Cita. “Kok lo gitu banget sih sama gue?”

“Bodo amat,” sarkas Inov. “Nah lo sendirinya nggak mau ngasih tau siapa gebetan lo itu.”

Cita langsung terperanjat. “Eh itu...”

“Itu apa?”

Cita melirik ke arah Inov. Tiba-tiba saja tangannya menepuk keras lengan Inov. “Elo sih! Udah tau gue sengaja nggak ngebiarin orang lain nyoret-nyoret baju gue. Elo malah main nyosor aja! Ini buat dia tau!”

“Yee biarin aja. Berarti emang bukan rejeki lo,” balas Inov sambil melirik ke arah Cita. “Mumpung gue lagi baik nih ya, gue bantuin deh buat dapetin kenang-kenangan dari gebetan lo itu,” tawar Inov sambil melipat kedua tangannya.

“Serius lo?”

Inov membalas dengan satu anggukan. “Tapi kasih tau dululah siapa tuh cowok.”

Sejenak Cita ragu. Masa iya dia mau kasih tahu siapa gebetannya? Bisa malu tujuh turunan dia...

“Gimana? Tawaran gue langka lho, Cit.”

Cita melirik ke arah Inov. Yah, biasanya sih Inov memang selalu menolongnya. Namun bukan itu yang dikhawatirkannya. Tapi...

“Oke,” kata Cita tegas. “Orangnya nggak jauh dari kita kok...”

“Siapa?”

“...”

Tiba-tiba Cita melirik ke arah lain. Bukan cuma setengah detik, bahkan Cita melirik cukup lama. Hal itu membuat Inov juga menolehkan kepalanya. Kemudian dia kembali menatap Cita.

“Jangan bilang...”

Cita menoleh ke arah Inov, tapi nggak mau menjawab. Dan itu artinya, iya.

Tiba-tiba Inov tertawa lebar. Cita cuma bisa menunduk. Padahal Cita sama sekali belum memberitahunya. Salah matanya juga sih yang main lirik-lirik.

“Udah puas lo ketawa?”

“Belom, belom. Hahahahaha...”

“Ah nggak tau ah!” Cita langsung ngambek. Gimana nggak ngambek coba? Masa orang yang disukainya diketawai oleh Inov?

“Yeee malah ngambek,” Inov menghentikan tawanya, walaupun dia masih menyeringai lebar. “Jadi beneran nih lo suka sama pedangdut itu?”

Cita melirik ke arah Inov, malu.

Namanya Fiko. Cita dan Inov sekelas dengan cowok itu. Memang sih cowok itu ganteng, tampilannya juga selalu rapi. Tapi ada satu masalah yang ngebuat cewek-cewek rada ilfeel sama Fiko. Yah, selera musiknya itu. Dia senang banget dangdut. Kayaknya dangdut mana pun pasti dia hapal.

Ya iya sih, dangdut itu khas Indonesia. Tapi kan nggak banget gitu lho...

Cita menunduk lagi, dan artinya itu, iya.

“Oke, gua bakal bantuin lo,” kata Inov yang kembali membuat Cita menatap ke arahnya. “Tapi gue punya syarat.”

“Lah, tadi kan syaratnya udah, masa ada lagi?” sarkas Cita.

“Yee. Itu mah bukan syarat, itu adalah ketentuan. Gimana gue mau ngebantuin lo kalo gue nggak tau orangnya?”

Yah, benar juga sih kata Inov. Ya sudahlah. Apa boleh buat? Lagipula, nggak ada salahnya ngebantu Inov.

“Ya udah, apa syaratnya?”

Inov hanya membalas dengan seringainya.

***

Sesuai janjinya tadi, Inov mau membantu Cita untuk mendapat kenang-kenangan dari si pendangdut itu, eh maksudnya Fiko. Tapi masalahnya, Fiko sendiri sudah punya pacar. Dan pacarnya itu persis banget permen karet, nempel mulu kerjaannya.

“Orangnya lagi di kantin tuh,” Inov menyenggol Cita menggunakan sikutnya.

Cita mengikuti mata Inov yang juga menatap ke arah Fiko. Yah sudah dibilang, Fiko selalu nempel sama pacarnya terus.

“Ada penjaganya, Nov,” kata Cita terdengar pasrah.

Inov mengibaskan tangannya di depan wajah Cita. “Ah, itu mah gampang. Bentar, gue samperin dulu anaknya. Ntar kalo gue kasih aba-aba, lo baru ke Fiko.”

Inov berlalu dari samping Cita. Cowok itu menghampiri Fiko di kantin. Nggak lama, akhirnya dia sampai di meja Fiko dan pacarnya. Entah, Cita sendiri nggak tahu Inov ngomong apa sama Fiko dan pacarnya. Yang jelas, setelah Inov berbicara, pacar Fiko pergi meninggalkan mereka berdua.

Setelah itu, Inov berbicara lagi dengan Fiko yang dibalas dengan anggukan. Kemudian dia memberi aba-aba pada Cita. Cita terperanjat, karena Fiko juga menatapnya sembari tersenyum. Akhirnya dia menghampiri Fiko dan Inov.

“Kok lo bisa sih...” bisik Cita pada Inov.

“Bisalah, gue gituloh,” sahut Inov bangga. “Gue aja bisa ngelerai ultraman sama gozila, masa yang kayak gini doang nggak bisa?”

Cita hanya memutar bola matanya, kemudian fokus pada Fiko. “Hai Fik,” sapa Cita kikuk ketika sudah sampai di meja mereka.

“Hai juga, Cit,” balas Fiko ramah. “Katanya lo mau dapet kenang-kenangan dari gue ya?”

Dalam hati Cita malu banget. Pasti tadi Inov ngomongnya langsung to the point.

“Hehe, iya. Boleh, kan?”

“Ya bolehlah. Masa nggak sih?”

Acara basa-basi itu dilanjutkan dengan foto-foto menggunakan ponsel Cita sendiri. Lagi-lagi Inov dijadiin kacung. Yah, nggak apa-apa sih, asal nanti Cita mau membantunya balik.

“Thanks ya, Fik,” kata Cita setelah selesai berfoto dengan Fiko sekaligus minta tanda tangan atau tulisan apa pun yang mau Fiko tulis di seragamnya. “Dan selamat buat kelulusannya,” Cita menjabat tangan Fiko dan dibalasnya hangat.

“Ya Cit, selamat juga ya.”

Inov juga memberi selamat, akhirnya mereka pergi dari kantin.

“Gimana? Udah puas?” tanya Inov.

Cita membalas dengan tersenyum lebar. “Thanks ya Nov.”

“Eits, makasih doang mah nggak cukup keles.”

“Iya-iya, tapinya emang mau langsung nyari barang buat gebetan lo pake seragam kayak gini?”

“Ya nggaklah,” tepis Inov. “Lo pulang dulu, nanti jam empat gue jemput. Awas aja lo kalo belom mandi.”

Cita membalas dengan menoyor kepala Inov. Tuh cowok memang nggak bisa untuk nggak disiksa sehari pun.

 ***

Cita menunggu di ruang televisi hingga motor Inov terdengar berhenti di halaman rumahnya. Nggak perlu disamper, karena Inov sendiri langsung nyelonong masuk ke dalam rumah. Yah, itu sih kebiasaannya.

Tapi dia nggak menghampiri Cita, justru dia menghampiri mamanya. Biasalah, kalau bertemu pasti cium tangan dulu. Itu satu-satunya sikap sopan yang Cita kagumi dari Inov, tapi yang lainnya enggak.

Inov juga pamit mau ngajak Cita sebentar keluar karena ada perlu. Yah, mamanya sih nggak perlu khawatir lagi. Toh dia sudah mengenal Inov lebih dari lima tahun.

Sekarang, Cita sudah berada di atas motor bersama Inov menuju mall terdekat. Cita masih heran siapa cewek yang jadi incaran Inov.

“Cewek lo siapa sih Nov?”

“Dia beloman jadi cewek gue,” kata Inov kalem. “Gue nggak mau kasih tau, ah. Kan intinya lo mau ngebantuin gue cariin barang yang disukain cewek. Gue nggak minta lo buat ngelakuin hal yang gue lakuin tadi ke Fiko kok...”

Cita langsung memukulkan helmnya yang belum dipakainya ke arah helm yang terpasang di kepala Inov. Inov langsung meringis. Ya gimana nggak sakit coba?

“Lama-lama gue gegar otak nih gara-gara lo! Awas aja kalo sampe beneran kejadian!”

Cita membalas dengan memeletkan lidahnya ke spion yang membias ke arah Inov. Inov cuma bisa memutar bola matanya.

Nggak lama, akhirnya mereka sampai juga. Cita langsung mengusulkan untuk ke toko pernak-pernik. Yah, mau nggak mau Inov harus mengikuti Cita, ini kan kemauannya.

“Ayo, Nov! Masuk!” paksa Cita sambil menarik tubuh Inov agar mau masuk ke dalam toko pernak-pernik tersebut.

Gimana nggak mau masuk coba? Itu isinya pernak-pernik cewek semua, yang beli juga rata-rata cewek. Kecuali orang pacaran yang benar-benar dipaksa sama ceweknya buat nemenin dia.

“Itu cewek semua Cit...” ringis Inov. “Malu gue...”

“Bodo amat!” sarkas Cita. “Yang mau kan elo, ya harus terima resikolah! Ayo!” tarik Cita lagi. Tapi Inov masih kukuh di tempatnya. “Kalo lo nggak mau masuk, gue pulang nih!” ancamnya.

“Eh, iya-iya!” Pertahanan Inov langsung luruh. Mau nggak mau akhirnya dia masuk ke toko itu dengan ditatap geli sama cewek-cewek yang ada di sana.

“Tipe gebetan lo apa?” tanya Cita ketika lagi melihat-lihat bando yang terpajang di sana. Entah mengapa sekarang rasanya dia nggak mau membantu Inov. Baru sekarang. Tapi dia juga nggak mungkin menolak karena Inov sudah membantunya tadi.

“Tipe? Hmm...” Inov berpikir sejenak. “Agak feminin sih kalo kata gue.”

Gue nggak feminin.

Cita terperanjat sendiri karena tiba-tiba saja di pikirannya terlintas hal seperti itu. Apa sih yang ada di pikirannya? Mau dia feminin atau enggak, peduli apa memangnya? Toh dia melakukan ini untuk membantu Inov. Cuma itu.

“Apalagi?” Suara Cita terdengar serak kali ini. Sepertinya Inov nggak menyadarinya karena dia juga sibuk melihat-lihat pernak-pernik di sana.

“Emang tipe-tipe cewek itu banyak ya?” tanya Inov polos.

Cita menghela napasnya. “Ya iyalah! Contohnya kayak gue—”

“Ah! Elo mah bukan cewek. Contoh lain aja kenapa,” potong Inov.

Cita langsung memutar bola matanya. Tadinya dia kepengin menonjok apapun ke arah Inov, yang penting kena. Tapi mengingat mereka lagi di daerah seperti ini, Cita mengurungkannya.

“Hmm... oke. Tadi kata lo sedikit feminin kan? Rata-rata cewek feminin itu suka warna pink, ya nggak pink juga sih. Ya pokoknya suka warna yang soft gitu deh, nggak mencolok gitu,” tutur Cita panjang lebar. Kemudian dia mengambil salah satu bando yang berwarna soft pink berpolkadot. “Contohnya kayak gini.”

“Coba pake.”

Cita sedikit terperanjat. Kenapa harus dia yang memakainya?

Tapi entah kenapa Cita menuruti perintah Inov. Dia menatap ke arah Inov dengan tatapan membulat.

Inov memerhatikan Cita sebentar dan hal itu membuat Cita salah tingkah. Ada apa sih dengannya? Ini kan cuma Inov. Inov.

“Ah, nggak cocok buat dia,” Inov langsung melepas bando tersebut dari kepala Cita. Kemudian dia mengambil bando yang lain dan dipasangkan ke kepala Cita. Lagi-lagi Cita berdegup!

“Kok kayaknya nggak cocok ya?” Bukan pertanyaan untuk Cita, melainkan Inov menggumam pada dirinya sendiri.

Cita melepaskan bando tersebut dari kepalanya sekaligus mencoba melepaskan rasa salah tingkah yang datang tiba-tiba tersebut. Kali ini entah mengapa dia nggak berani untuk menatap ke arah Inov.

“Kenapa nggak gelang aja?” usul Cita sambil melangkah menuju rak-rak bagian gelang.

“Lah yang nyontohin bando kan elo, gue cuma ngikut-ngikut doang,” sahut Inov nggak mau kalah.

Cita melatih napasnya sejenak untuk membuang sisa-sisa rasa salah tingkahnya pada Inov.

Ini cuma Inov, Cit. Cuma Inov, oke.

“Warna kulit tuh cewek apaan?” Pertanyaan Cita agak terdengar ketus. Tapi Inov nggak memedulikannya, mungkin dia ngambek gara-gara diketusin tadi.

“Kayaknya nggak putih-putih banget, lebih ke langsat tapi keliatan bersih.”

“Hmm... warna cokelat bagus kali ya?”

“Ah, ya udah. Gue juga suka warna cokelat.”

Cita meniti gelang-gelang yang berada di hadapannya. Semuanya menarik. Tapi ada satu gelang yang membuat Cita benar-benar tertarik, dan warnanya juga cokelat.

Gelangnya memang sederhana, tapi justru yang sederhana itulah yang membuat gelang itu anggun. Walaupun Cita nggak feminin, dia merasa benar-benar tertarik dengan gelang itu sampai akhirnya dia mencobanya di pergelangan tangannya sendiri.

“Gimana?” Cita menanyakan pendapat yang sebenarnya ditujukan untuk dirinya, bukan dia yang dimaksud oleh Inov.

“Bagus-bagus,” sahut Inov sambil mengangguk-anggukan kepalanya. “Kayaknya cocok buat dia.”

Dia, lagi. Dalam hati, entah kenapa Cita merasa dia nggak ikhlas membantu Inov memilih gelang-gelang itu.

Cita melepas gelang tersebut. “Jadinya yang ini nih?”

Inov mengangguk. “Ada yang mau lo beli nggak? Mumpung di sini nih, nanti pas pulang ngambek kepengin ke sini lagi,” candanya.

“Yee!” Cita hampir saja ingin melempar gelang itu ke arah Inov. “Nggak ah, gue nggak begitu doyan pake pernak-pernik. Nggak ada yang mau lo beli lagi?”

“Nggak deh. Kayaknya ini cukup.”

Cita berjalan menuju kasir, sedangkan Inov langsung keluar dari toko tersebut. Inov sempat memesan agar gelang itu dibungkus di kotak yang kecil. Yah, namanya juga hadiah kenang-kenangan.

Setelah selesai membayar, mereka menyempatkan diri untuk makan di food court terlebih dahulu. Cita yang masih penasaran, akhirnya menanyakan hal yang sama pada Inov lagi, tentang cewek itu.

“Nov, cewek yang lo gebet siapa sih?”

Inov mengangkat matanya dari menu. “Kepo dah lu.”

“Ih serius! Lo mau gue mati penasaran?”

“Emangnya lo kepengin mati hari ini?”

Duh, susah deh kalau ngomong sama cowok kolot itu.

Cita langsung ngambek, tapi hal itulah yang membuat Inov terpancing.

“Iya deh, iya,” Akhirnya Inov mengalah. “Sama sih kayak gebetan lo. Dia—”

“Lo suka juga sama Fiko?!” pekik Cita. Inov langsung memukul kepala Cita menggunakan lembaran menu.

“Tuh kan, giliran gue mau kasih tau, lo-nya begitu.” Gantian Inov yang ngambek.

Cita cuma bisa nyengir. “Hehe. Iya dah. Siapa sih? Temen sekelas kita?”

Inov masih sok ngambek. Dia pura-pura nggak mendengarkan Cita dengan membaca menu. Tapi Cita nggak mau nyerah. Akhirnya dia mencubit tangan Inov.

“Auw! Sakit Cit!” erang Inov.

“Makanya kasih tau buruan!” desak Cita.

“Menurut lo, emang siapa yang paling cantik di kelas?”

“Guelah,” sahut Cita.

“Yee! Mimpi aja lo sana.”

Cita sedikit memajukan bibirnya. Kemudian dia berpikir sejenak. Siapa ya yang paling cantik di kelasnya...

“Tami?”

Inov menatap ke arah Cita, tapi dia cuma diam. Dan itu artinya, iya.

Entah mengapa sekarang Cita merasa sesak. Padahal udara di sini baik-baik saja. AC juga tidak rusak.

Tami memang cantik, dan dia feminin. Yah, pantas saja kalau Inov menyukai cewek itu, bukan seperti dirinya.

Cita terperanjat dalam hati. Apa iya dia cemburu?

***

Inov menyempatkan diri untuk mengantar Cita terlebih dahulu. Setelah itu barulah dia akan menuju rumah Tami.

“Emangnya lo tau rumah Tami?” tanya Cita setelah mereka berdua sampai di rumah Cita.

“Taulah. Gue kan pernah satu kelompok sama dia,” kata Inov sambil memutar balik motornya ke arah jalan raya.

“Oh, lo mau nembak dia nih ceritanya?” pancing Cita.

Inov menatap ke arah Cita. “Menurut lo gimana?”

“Kok nanya gue? Kalo lo nembak pasti diterimalah. Ya kali nggak diterima. Lo kan...” Cita menghentikan ucapannya. Hampir saja dia keceplosan.

“Gue apa? Gue ganteng ya? Emang. Dari lahir kok.”

Cita melempar helm milik Inov ke arah cowok itu. Untung saja Inov cepat tanggap. Cita buru-buru masuk ke dalam rumah sebelum cowok itu memanggilnya lagi.

“Cita! Salam buat nyokap lo ya!”

“Iya! Good luck, Nov. Titidije!”

Cita menutup pintu rumah. Udara yang dihirupnya terasa semakin sesak.

Cita berjalan menuju kamarnya dan mengempaskan tubuhnya di atas ranjang. Dia berpikir sebentar. Masa iya dia cemburu sama Tami? Dan apa dia suka sama Inov?

Pertanyaan terakhir itu pernah muncul di benaknya tiga tahun lalu. Tapi itu adalah hal konyol yang pernah dialaminya.

Inov nggak pernah bersikap serius dengannya, sampai sekarang. Maka dari itu, Cita menyimpan perasaannya hingga menjadi tabu. Dan perasaan tabu itu kini menguar liar tanpa bisa dicegah Cita sendiri. Tapi yang namanya perasaan, apa iya bisa dicegah?

Cita membuka tasnya untuk mengambil ponselnya. Dia sempat mengernyit ketika kotak yang berisi gelang milik Inov berada di dalam tasnya! Ya ampun. Dia lupa memberikannya pada Inov. Padahal tadi Inov cuma menitip di tasnya.

Cita mengambil kotak itu dan membukanya. Ada perasaan bersalah saat dia menyentuh gelang yang akan dimiliki orang lain itu. Tapi perasaan bersalah itu nggak membuat Cita menghentikan tangannya untuk memakai gelang itu.

Cita dikagetnya dengan nada dering ponselnya. Dia langsung merogoh ponselnya dan melihat ke arah layar. Itu Inov!

“Halo, Nov?”

“Cit! Gue lupa, gelang gue ketinggalan. Turun dong! Gue di depan rumah nih!”

“Eh? Iya-iya.”

Dengan kilat Cita melepas gelang tersebut dan menaruhnya ke dalam kotak. Kemudian dia beranjak menuju pintu rumah. Inov masih duduk di motornya.

“Dasar tua! Pikun banget sih lo!” hardik Cita sambil memberikan kotak tersebut.

“Itu kan gara-gara lo yang sering mukulin kepala gue,” bela Inov.

Kemudian Inov membuka kotak tersebut. Dia sempat mengernyit melihat gelang di dalamnya. Kemudian matanya beralih menatap Cita.

“Lo abis make nih gelang ya?” tudingnya, dan itu memang benar.

Cita terperanjat. Bagaimana Inov bisa tahu?

“Dih. Kok lo seudzon banget sih sama gue?” Cita mencoba membela diri.

“Tapi kok kotaknya agak berantakan ya?”

“Ya tadikan keudek-udek di tas gue! Salah lo sendiri yang ngendarain motor pake ngebut segala!”

Inov turun dari motor dan menaruh kotak tersebut di jok motornya. Kemudian dia menarik tangan Cita secara paksa.

“Tuh kan ada bekasnya! Udah deh ngaku aja!”

“Ih! Itu kan gara-gara gue make pas di toko! Kok lo nggak percayaan sih sama gue?” Cita masih ngotot nggak mau ngaku.

Tiba-tiba saja Inov mengambil gelang tersebut dan memakaikannya di pergelangan tangan Cita.

“Oke, kalo lo nggak mau ngaku, gue nanya sendiri sama gelangnya. Lang, lo abis dipake nggak sama cewek ini?” Inov melirik ke arah Cita.

“Lo udah gila ya?” Cita mencoba melepas gelang itu dari tangannya. Tanpa diduga-duga, Inov malah mencoba menghentikannya.

“Jangan dilepas.” Cita mendengar ucapan Inov antara perintah dan paksaan. “Kalo lo mau pake, pake aja.”

“Lho? Ini bukannya buat Tami?” tanya Cita bingung.

“Iya, ini emang buat Tami.” Jawaban Inov semakin membuat Cita bingung. “Cita Daniatami.”

Cita langsung diserang kaget. Bahkan tangannya yang sedang dalam cengkraman Inov sempat terkejut. Inov benar-benar menatapnya serius kali ini.

“Maksud lo apa...”

“Ini emang buat lo, Tami.”

Panggilan dari Inov sempat membuatnya bernostalgia di lima tahun lalu. Dia baru ingat bahwa Cita pernah dipanggil Tami oleh Inov!

“Nov, jangan bercanda...”

“Gue lagi bercanda?”

Lagi-lagi Cita dibuat terdiam oleh Inov. Dia nggak tahu harus ngomong apa dan harus melakukan apa.

Di kelas mereka, memang ada cewek yang bernama Tami. Tami memang cantik, feminin, dan cukup populer. Ketika Inov memberi kode siapa yang menjadi incarannya, Cita langsung menjawab Tami. Lagipula, siapa sih yang nggak suka sama Tami?

Tapi, Cita sendiri nggak sadar bahwa namanya sendiri mengandung nama ‘Tami’. Dan ‘Tami’ yang dimaksud oleh Inov adalah Cita. Cita Daniatami.

“Yah, yang pasti itu kenang-kenangan dari gue,” kata Inov mencoba untuk mencairkan suasana. “Asal lo mau make, gue udah seneng.”

Inov melepas cengkramannya dan duduk di motor. Cita menatapnya penuh.

“Lo nggak jadi nembak Tami?” Inov menoleh ke arah Cita, tapi dia cuma diam. “Maksud gue... lo nggak jadi nembak... gue?”

“Emangnya lo pengin banget gue tembak?” Inov menyeringai, hal itu cukup membuat suasana mereka mencair.

“Yah... itu sih terserah lo aja...”

Inov kembali turun dari motor. “Tapi gue mau ngedapetin jawaban ‘iya’. Dan haram untuk bilang ‘nggak’.”

“Emangnya pengin banget apa...”

Inov langsung mengacak-acak rambut Cita sambil tersenyum. Namun Cita nggak membalas dengan mengeluarkan bogem mentahnya. Dia juga membentuk senyum ikhlas di bibirnya.
Cerpen
Share:

Unknown
astaghiri
Book eater. Sunrise and sunset lover, and anything about universe.

Related Articles

Rian!

Cita-cita Keluarga

Rasa Bersyukur


5 comments:

  1. Fadillah Nur AJuly 10, 2014 at 3:44 PM

    Aaah romantis. Keren. Pengin. *eh.

    ReplyDelete
    Replies
    1. astaghiriJuly 12, 2014 at 8:03 AM

      Makasiih :D

      Delete
      Replies
        Reply
    2. Reply
  2. UnknownJuly 10, 2014 at 8:42 PM

    Aduh, romantis banget ini ceritanyaa hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. astaghiriJuly 12, 2014 at 8:02 AM

      Makasih :D

      Delete
      Replies
        Reply
    2. Reply
  3. Aghnan PramudihasanJuly 12, 2014 at 12:53 PM

    so sweet

    ReplyDelete
    Replies
      Reply
Add comment
Load more...

Newer Post Older Post Home
Subscribe to: Post Comments ( Atom )

Hi, you!

Hi, you!

Blog Archive

  • ►  2017 (3)
    • ►  September (1)
    • ►  July (2)
  • ►  2016 (5)
    • ►  September (1)
    • ►  June (3)
    • ►  February (1)
  • ►  2015 (3)
    • ►  July (2)
    • ►  June (1)
  • ▼  2014 (10)
    • ►  December (1)
    • ▼  July (1)
      • Tami
    • ►  June (2)
    • ►  April (3)
    • ►  March (3)
  • ►  2013 (24)
    • ►  December (1)
    • ►  October (1)
    • ►  September (1)
    • ►  August (5)
    • ►  July (6)
    • ►  May (1)
    • ►  April (5)
    • ►  January (4)

Labels

CAKES! Cerbung Cerpen Imajinasi Travel Trip

Wanna be my mate?

© 2016 Astaghiri | All rights reserved
Created By Responsive Blogger Templates | Distributed By Gooyaabi Templates