Astaghiri

  • Home
  • CERPEN
  • CERBUNG
  • CAKES!
  • Trip
Cerpen

Best I N-ever Had?

Friday, March 21, 2014 By astaghiri 0 Comments
“Lo mau ke mana, Nggi?” tanya Brian yang sedari tadi memerhatikan Anggi yang nggak henti-hentinya berkaca diri di depan cermin. Kenapa cewek betah banget ngaca ya? Brian jadi heran sendiri.

“Mau nge-date lah, emangnya elo yang tiap malem minggu ngejomblo mulu sama komik?” jawab Anggi dengan nada judes, seperti biasanya. Namun Brian sudah menganggap hal itu biasa.

Bagaimana tidak. Rentang waktu delapan belas tahun bukanlah waktu yang singkat untuk pertemanan mereka. Belum lagi rumah mereka memang berdampingan. Bahkan ibu mereka sendiri sudah menganggap Anggi atau Brian adalah anaknya. Maksudnya, misalkan ibu Anggi, sudah menganggap Brian sebagai anaknya sendiri. Jadi, Brian dengan seenak jidatnya bisa keluar-masuk ke rumah Anggi, bahkan ke kamarnya pula.

“Yang penting hepi,” balas Brian yang sudah malas menanggapi Anggi, berpaling pada komiknya sambil berselonjor di sofa kamar Anggi.

Anggi berdecak sebal sambil lagi-lagi merapikan rambutnya di depan cermin yang entah sudah berapa kalinya. Kemudian ia berjalan menuju Brian yang sedang asyik membaca komiknya.

“Bre, sonoan dikit,” perintah Anggi sambil mencoba menepis kaki Brian. Brian yang sedikit terganggu mau nggak mau harus lepas dari posisi pewenya.

“Bre, gue cantik nggak?”

“HAHAHAHAHA!”

“Bre! Kok lo ketawain gue sih?!” Anggi langsung cemberut.

“Hah? Apaan?” Brian berpaling dari komiknya. Sebenarnya dia tadi nggak mendengar Anggi mengucapkan apa, karena dia sibuk sama komiknya. Dan dia juga nggak menertawai Anggi, melainkan tertawa karena komiknya. “Gue nggak denger.”

“Gua cantik nggak, Breeeee-ku sayang?” ulang Anggi dengan nada manja, namun dengan mata mengancam khasnya.

“Lo kan udah tau pasti gue jawab apa,” Brian menanggapi dengan datar.

“Ayolah, jawab aja,” pinta Anggi.

“Cantik,” balas Brian tanpa mengindahkan kata tersebut.

“Makasi—”

“Tapi gila.”

Anggi mencoba menoyor kepala Brian. Untung saja Brian sudah hapal dengan pergerakan Anggi. Jadi dengan mudahnya Brian menghindar dari toyoran tangan Anggi.

“Kok lu gitu sih Bre sama gua? Jahat lu,” Anggi ngambek.

“Segala sesuatu tuh nggak selalu sempurna, Nggi. Buktinya elo. Elo emang cantik—tapi itu menurut nyokap lo ya—tapi kelakuan lo kayak hewan buas. Kecuali mungkin gue. Gue kan udah mendekati sempurna,” kata Brian dengan bangganya.

Anggi langsung tertawa mengejek. “Tapi jones. Inget itu.”

Mood bangga Brian langsung menurun. Lebih baik dia ketawa sendiri sama komiknya daripada ngomong nggak jelas sama Anggi yang ujung-ujungnya bakal ngomongin masa kejombloan Brian yang nggak ada habisnya.

“Tin! Tin!” suara klakson mobil terdengar dari luar rumah Anggi. Itu pasti Reno, pacarnya Anggi.

“Dijemput tuh sama pacar kesayangan,” kata Brian tanpa melirik ke arah Anggi.

Anggi langsung berdiri dan menyampirkan tasnya. “Dah bebep!”

Brian langsung mengernyit jijik.

***

“Happy anniversary!”

Reno sudah menyiapkan hadiah jauh-jauh hari. Sekarang, mereka sedang berada di restoran setelah menonton di 21. Sebenarnya Anggi sudah menantikannya sejak tadi, tapi dia mencoba menahannya. Dia kira, Reno bakal lupa kalau hari ini adalah aniv mereka.

“Happy anniv juga sayang,” kata Anggi dengan manisnya.

“Dibuka dong hadiah dari aku,” Reno tersenyum manis, benar-benar membuat Anggi terpikat.

Sebuah jam tangan berwarna cokelat menyembul dari kotak yang telah dibuka oleh Anggi. Mulut Anggi sedikit terbuka. Ini jam yang ia lihat sebulan yang lalu, dan ia benar-benar menginginkan jam ini. Anggi langsung memegang tangan Reno dengan hangatnya.

“Makasi sayaaaaaaang!” kata Anggi nggak henti-hentinya. “Aku suka banget hadiah ini.”

Reno membalas dengan senyum. “Terus, kamu ngadoin aku apa? Masa aku doang sih yang ngasih kado?”

Anggi tersenyum jahil. “Ntar kalo pulang dari sini kamu juga tau.”

Malam semakin larut. Tetapi tetap saja, semakin malam justru mall tersebut semakin ramai. Mungkin karena malam ini adalah malam minggu.

“Yang, aku ke toilet dulu ya,” Reno beranjak dari kursi dan meninggalkan Anggi di tempat. Anggi sudah kelewat senang dengan jam tangan barunya. Jadi dia nggak begitu peduli kalau Reno pergi ke mana pun atau selama apa pun.

Tiba-tiba mejanya terasa bergetar. Bukan mejanya, lebih tepatnya ponsel milik Reno. Karena penasaran, Anggi mengambil ponsel Reno dan melihat ada pesan yang masuk. Dengan seenak jidatnya, Anggi membuka privasi orang lain. Tapi toh Reno adalah pacarnya, buat apa ada kata ‘privasi’?

Kelopak Anggi sedikit melebar. Mulutnya juga sedari tadi nggak berhenti untuk mengucap ‘oh’. Setelah puas membaca pesan yang ada di kotak masuk Reno, Anggi mengembalikan ponsel Reno di meja dan gantian mengambil ponselnya. Kemudian ia beranjak pergi dari tempat tersebut.

***

Brian masih pewe membaca komiknya, dan kini ia sudah berpindah tempat ke kamarnya—setelah Anggi pergi jalan sama pacar kesayangannya itu. Acara mingguannya itu sempat terganggu ketika ponsel miliknya bordering melantunkan lagu Best I Ever Had milik Vertical Horizon. Tertera nama Crazy Girl. Anggi.

“Kenapa, Nggi?” Brian menanggapi dengan malas. Ia mengaktifkan loudspeaker ponselnya dan menaruhnya di atas ranjang. Sambil tiduran, tangannya masih sibuk membolak-balik halaman komiknya.

“Bre, jemput gue dong. Buruan yak! Nggak pake lama,” suruh Anggi.

Brian langsung mengernyitkan dahinya. Tangannya sudah berhenti membolak-balik halaman komiknya. Kenapa nih cewek? Kayaknya lagi ada masalah, pikir Brian.

“Margo ya, Bre,” tambah Anggi. “Nanti gue traktir pecel lele deh, hehe.”

Brian langsung menutup komiknya. “Depan margo, lima belas menit, oke?”

Brian beranjak dari ranjang dan berjalan menuju belakang pintu kamarnya, mengambil jaket. Seelah itu dia langsung berangkat menuju tempat di mana Anggi menunggu.

Brian memang nggak pernah mengingkari janjinya, dia selalu tepat waktu. Dan tepat lima belas menit, dia sampai di depan margo dekat jembatan penyebrangan. Dia melepas helm dan mencari sosok Anggi. Nggak lama, dia melihat Anggi melambai-lambaikan tangannya dengan ceria. Dahi Brian semakin mengerut. Nih cewek bener-bener gila, pikir Brian.

“Lo telat satu menit, Bre!” omel Anggi setelah ia setengah berlari menuju Brian.

“Gue udah nyampe satu menit yang lalu. Elo-nya aja yang ngelayap ke mana-mana.”

Anggi langsung terkekeh. Karena nggak tega melihat Anggi yang memakai baju lengan pendek, Brian melepaskan jaketnya dan mengenakannya pada Anggi. Anggi langsung senyum sumringah.

“Tau aja gue butuh ini.”

“Lo kalo lagi masuk angin seremnya minta ampun. Dah pake aja tuh sepuasnya.”

Anggi kembali tersenyum. Kemudian ia juga memakai helm yang dibawakan oleh Brian. Setelah itu barulah ia menaiki motor.

“Mau langsung pulang, Nggi?” tanya Brian setelah cukup lama ada kekosongan di antara mereka. Nggak seperti biasanya mengingat Anggi terus saja meracau tanpa henti.

“Ke pecel lele yuk! Gue laper nih.”

“Oke.”

“Eh, pulang aja deh, Bre.”

“Oke.”

Brian langsung mengemudikan motornya menuju ke arah jalan rumah mereka. Setelah lebih dari lima belas menit ditambah lagi kemacetan jalan raya, mereka sampai di depan rumah Anggi. Namun Anggi justru turun menuju rumah Brian.

“Lho? Kok malah masuk rumah gue, Nggi?”

“Ngopi dulu yuk, Bre, kita nyantai di teras rumah lo.”

Brian menghela napasnya. Kemudian ia mengikuti Anggi dan memasukkan motornya di halaman rumahnya.

Malam ini, orangtua brian sedang nggak berada di rumah. Kakak-kakaknya juga palingan malming sama pacarnya masing-masing. Tinggal Brian yang masih ngejones di rumah.

Anggi sudah berada di teras rumah sambil memeluk kedua lututnya. Brian datang dari belakang dengan membawakan dua cangkir kopi susu kesukaan mereka.

“Nih, Nggi,” Brian memberikan salah satu cangkirnya pada Anggi.

“Thank’s.”

Brian duduk di samping Anggi, kemudian menyesap kopinya. “Jadi, mau cerita nggak?”

Brian langsung menuju intinya. Sebenarnya dia juga nggak mau langsung to the point dan agak kurang mau memaksa Anggi untuk bercerita. Tapi kalau nggak kayak gini, tuh anak bakal terus berpua-pura punya muka sok innocent kayak tadi—bahkan sampai sekarang.

“Cerita apa? Gue nggak punya cerita apa-apaan.”

“Nggi, gue kenal elo dari orok. Nggak usah sok ditutup-tutupin gitu deh.”

Anggi tersenyum tipis. Dia menatapi cangkir kopinya yang mengeluarkan asap putih menggugah. Kemudian ia menyesapnya.

“Gue cuma heran aja, Bre,” Anggi berkata dengan tenangnya. “Kenapa masalah ‘klasik’ sering banget gue alamin. Dan untuk yang terakhir ini, ini bener-bener klasik. Nggak ada wow-nya sama sekali.”

“Maksud lo selingkuh?”

“That’s it.”

Brian menghela napas. Entah karena naluri persahabatannya itu atau mungkin dia punya naluri alamiah sendiri, Brian sudah dapat mendeteksi bahwa Reno bukan cowok yang dengan mudahnya setia dengan satu cewek. Yah kenyataannya, itu sudah di depan mata.

“Klasik banget, kan?” tambah Anggi lagi.

Brian hanya bisa menghela napas lagi dan lagi. Sahabat satu-satunya itu memang menyedihkan.

Tiba-tiba terdengar lagu Crush milik David Archuleta dari ponsel Anggi. Anggi agak malas harus membongkar tasnya hanya untuk mengambil ponselnya. Dan lebih malasnya lagi, yang menelepon adalah cowok yang akan jadi mantannya tersebut.

“Siapa Nggi?” Brian sok nggak tahu siapa yang sedang menelepon Anggi.

“Mantan gue.”

“Emang lo udah putus?”

“Emang harus ngomong dulu ya kalo putus?”

Anggi membiarkan ponselnya tersebut terus berdering. Bahkan Reno juga mengirimkan pesan pendek. Tetapi tetap saja, toh Anggi sama sekali nggak tertarik untuk menoleh ke arah ponselnya sedikit pun.

“Nggak mau nangis, Nggi?”

“Buat apa gue nangis? Toh gue udah biasa kayak gini.”

“Gue kira bahu gue masih berguna, ternyata enggak.”

Anggi menoleh ke arah Brian. Cowok itu tampak sedikit menundukkan kepalanya. Sama seperti dirinya tadi, Brian menatapi cangkir kopinya.

“Masih kok,” kata Anggi yang kemudian menyandarkan kepalanya tepat pada bahu Brian. Ternyata bahu Brian yang sekarang lebih bidang dibandingkan bahunya 3 tahun yang lalu di mana untuk yang terakhir kalinya Anggi menangis di bahu Brian.

“Terus lo maunya gimana?” tanya Brian yang sama sekali nggak punya bahan untuk pembicaraan lagi karena mood Anggi sedang lagi turun-turunnya.

“Ya nggak ngapa-ngapain. Emangnya lo mau ngapain? Lo mau pergi ya?”

“Enggak kok,” tepis Brian. “Lo tau sendiri gue ngejones sendirian di rumah pas malming,” jawab Brian dengan sedihnya.

“Cari pacar lah, Bre.”

“Nggak minat,” balas Brian dengan cepatnya.

Anggi langsung memberanjakkan kepalanya. “Jangan bilang selama ini lo homo?”

“Kalo gue homo, gue bakal nguntilin Reno terus.”

Anggi langsung tertawa hambar. Ups, Brian malah nyebut merek.

“Oh iya,” Brian mencoba menarik topik yang lain. “Kenapa lo ganti nada dering hp lo? Kan lo udah beberapa tahun pake lagu Best I Ever Had sampe-sampe gue juga bingung kenapa gue ikut-ikutan pake nada dering itu.”

“Katanya nggak enak… eh dipake juga,” goda Anggi.

Brian hanya mengedikkan bahunya.

“Hmm… Best I Ever Had ya? But it’s not so bad, you’re only the best I ever had,” Anggi menyanyikan sedikit lirik dari lagu tersebut. “Gue pikir tuh lirik bagus juga.”

“Buat seseorang?”

Anggi mengangguk. “Tapi gue nggak pake lagu itu lagi karena kayaknya lirik itu lebih cocok jadi you’re only the best I never had. Segala sesuatu yang the best kayaknya nggak bakal gue miliki, except family.”

“Itu gue ya, Nggi?” tanya Brian dengan sok tahunya.

Lagi-lagi Anggi mengangguk. Brian agak terkejut, namun ia tetap berusaha untuk bersikap cool.

“Lo emang orang yang paling terbaik setelah keluarga gue, Bre. Lo mau denger curhatan gue, lo mau denger keluh kesah gue, lo selalu mau ngalah, dan lo ngerti gue banget,” Anggi tertawa hambar. “Tapi sayang, lo nggak pernah bisa gue miliki karena adanya rentang tali persahabatan kita.”

“Lo nembak gue nih maksudnya?”

Anggi melirik ke arah Brian dan kemudian memukul pelan bahunya. “GR lo.”

Brian hanya menyengir.

“Tapi kalo ternyata Best I Ever Had beneran kejadian gimana?”

Anggi menoleh dengan mata bulatnya. “Gue nggak mau ngehancurin apa yang udah kita bangun selama 18 tahun, Bre.”

“Lo takut gue selingkuh?”

Anggi hanya terdiam, kemudian memalingkan wajahnya. Ia kembali menyesap kopinya yang sudah agak dingin.

“Lagi pula gue lagi nggak mau cari pacar kok, gue cuma mau cari calon istri buat masa depan gue nanti.”

Kali ini, Anggi benar-benar menoleh ke arah Brian. Brian membalas tatapannya sambil tersenyum lebar.

“Siap-siap aja ya kalo di masa nanti gue bakal ngelamar lo.”

“Ih!” Anggi langsung memukul bahu Brian. “Apaan sih lo Bre!”

Kemudian mereka berdua saling tertawa bersama sambil menghabiskan kopi yang sudah terlanjur dingin tersebut.
***
Cerpen
Share:

Unknown
astaghiri
Book eater. Sunrise and sunset lover, and anything about universe.

Related Articles

Mika

Splash!

Rian!


0 comments:

Post a Comment

Newer Post Older Post Home
Subscribe to: Post Comments ( Atom )

Hi, you!

Hi, you!

Blog Archive

  • ►  2017 (3)
    • ►  September (1)
    • ►  July (2)
  • ►  2016 (5)
    • ►  September (1)
    • ►  June (3)
    • ►  February (1)
  • ►  2015 (3)
    • ►  July (2)
    • ►  June (1)
  • ▼  2014 (10)
    • ►  December (1)
    • ►  July (1)
    • ►  June (2)
    • ►  April (3)
    • ▼  March (3)
      • Friends are Friends
      • Best I N-ever Had?
      • Suara Itu
  • ►  2013 (24)
    • ►  December (1)
    • ►  October (1)
    • ►  September (1)
    • ►  August (5)
    • ►  July (6)
    • ►  May (1)
    • ►  April (5)
    • ►  January (4)

Labels

CAKES! Cerbung Cerpen Imajinasi Travel Trip

Wanna be my mate?

© 2016 Astaghiri | All rights reserved
Created By Responsive Blogger Templates | Distributed By Gooyaabi Templates